Posts

Natal Bukanlah Sekadar Perayaan

Oleh Queenza Tivani, Jakarta

Beberapa hari yang lalu, grup WhatsAppku ramai. Dua grup yang beranggotakan rekan-rekan gereja dan satu grup yang beranggotakan rekan sekolah mulai membahas rencana mengenai Christmas Dinner. Mereka ingin mengadakan acara makan bersama dan tiap peserta diharap hadir sambil mengenakan outfit bertema Natal. Kata mereka, acara ini dibuat untuk merayakan Natal yang jatuh di tanggal 25 Desember. Aku tertarik dengan acara ini karena aku belum pernah mengikutinya. Di kota asalku, Natal selalu diisi dengan kebaktian.

Aku membalas beberapa pesan di grup WhatsApp tersebut. Aku bertanya mengapa acara ini diselenggarakan mendekati tanggal 25, sebab di tanggal tersebut aku dan teman-teman lainnya yang merantau sudah pulang ke kampung halaman. Dan, aku juga bertanya apa sih tujuan sebenarnya dari Christmas Dinner ini?

Beberapa temanku lalu menjawab pertanyaanku. Tapi, ada satu jawaban yang menyentakku. “Kita adain acara ini menjelang 25 Desember itu biar lebih seru dan terasa suasana Natalnya.”

Jawaban itu membuatku berpikir. Apa benar demikian? Apa benar jika kami berkumpul dan makan-makan di tanggal menjelang 25 Desember maka rasa serunya lebih terasa? Apakah makna Natal yang sebenarnya? Apakah Natal dimaknai hanya dengan kumpul, have fun, dan makan bersama?

Aku mengingat kembali peristiwa Natal yang diceritakan dalam Alkitab. Natal seharusnya bukan sekadar perayaan. Natal adalah sebuah cerita agung yang terjadi karena Allah begitu mengasihi umat manusia. Yohanes 3:16 berkata, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Yesus adalah Tuhan, namun Dia justru datang dalam keadaan yang sangat sederhana, jauh dari gegap gempita. Yesus lahir di dalam palungan, di sebuah kandang di kota yang kecil. Pada hari kelahiran-Nya, hanya ada para gembala yang datang menjumpai-Nya.

Kelahiran Yesus yang sederhana itu mengajarkanku untuk memaknai Natal bukan hanya sebagai sebuah momen untuk perayaan. Lebih dari itu, bagiku Natal adalah suatu momen untukku merenungkan kembali apa makna kedatangan Kristus ke dunia ini buatku. Sejak aku menerima-Nya secara pribadi, Natal adalah momen bagiku untuk merenungkan kembali pertanyaan-pertanyaan ini:

“Sudahkah Yesus lahir di hatiku?”

“Apakah dalam setiap hari yang kujalani, aku lebih mengandalkan Tuhan daripada hal-hal lainnya? Apakah Tuhan telah menjadi yang utama dan terutama dalam hidupku?”

“Apakah hidupku telah menunjukkan teladan Yesus?”

Kadang, aku menyadari bahwa aku hanya larut dalam suasana Natal tanpa sungguh-sungguh menyelami makna sejatinya. Aku larut dalam kemeriahan Natal di mal dan di jalan-jalan, tawaran diskon yang menggoda di banyak pusat perbelanjaan, dan kadang aku juga menganggap Natal itu adalah waktu liburan panjang yang terbaik. Aku bisa pulang ke rumah, menyanyikan lagu-lagu Natal di kebaktian gereja. Namun, lama-lama itu semua terasa seperti rutinitas belaka. Toh memang sudah bulan Desember, sudah waktunya untuk memutar lagu-lagu bernuansa Natal.

Aku lupa bahwa Natal adalah kisah tentang Yesus yang adalah Tuhan, yang lahir ke dunia untuk menebus dosa manusia. Dia yang telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia, bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2:7-8).

Percakapan di grup WhatsApp itu menyadarkanku tentang makna Natal yang sebenarnya. Tidak ada yang salah dengan sebuah perayaan. Hanya, kita perlu benar-benar memahami apa makna Natal yang sesungguhnya.

Tekadku, kiranya di Natal tahun ini, aku bisa merasakan sukacita Natal yang sejati. Perayaan dan acara kebersamaan yang berlangsung selama momen Natal, bukanlah sesuatu yang harus kita hindari. Namun hendaknya kita melakukannya dalam kesederhanaan, dan dalam kesadaran untuk mengucap syukur atas kedatangan Kristus ke dalam dunia ini.

Untuk teman-teman yang membaca tulisan ini, inilah doaku untukmu: kiranya Tuhan Yesus Kristus, yang lahir ke dunia dan menebus dosa manusia, lahir juga di hatimu dan menjadi Tuhan atas hidupmu.

Baca Juga:

Saat Aku Tidak Punya Kesaksian Hidup yang Mengesankan

Aku pernah punya keyakinan bahwa orang Kristen yang sejati itu hidupnya punya kesaksian yang menarik. Tapi, aku tidak punya kesaksian hidup yang seperti itu. Apakah aku benar-benar sudah diselamatkan?

Hidup Ini Adalah Kesempatan, Sudahkah Aku Memanfaatkannya dengan Bijak?

Oleh Queenza Tivani, Jakarta

Di suatu malam aku menjelajahi timeline Instagramku. Aku melihat beberapa temanku memposting sebuah screenshot dari akun Kitabisa.com, sebuah akun untuk penggalangan dana. Aku tidak membaca jelas postingan itu dan melewatkannya begitu saja. Tapi, semakin lama aku melihat lebih banyak teman-teman sekampusku mulai memposting screenshot itu.

Ting, nada pesan WhatsAppku berbunyi. Di dalam pesan itu tertulis cerita dan link menuju website penggalangan dana tersebut. Aku penasaran, lalu kubukalah link itu. Aku terkejut dan tidak percaya. Seorang teman yang dulu pernah bersama denganku di bangku kuliah sekarang terbaring sakit. Dia sudah mengalami koma selama kurang lebih delapan bulan. Temanku itu menderita penyakit yang jarang sekali didengar, Moyamoya Disease namanya. Penyakit ini menyerang sistem saraf otak dengan memperkecil pembuluh darah yang menuju otak. Akibatnya suplai darah menjadi terhambat. Tindakan yang bisa dilakukan untuk mengobatinya adalah dengan operasi. Tapi, pasca operasi itu dia kehilangan kesadaran.

Aku terdiam dan merenung. Aku mungkin tidak begitu dekat dengan temanku itu. Tapi kami sempat duduk di satu kelas yang sama ketika kuliah dulu. Dia adalah orang yang easygoing, loyal, lucu, dan selalu terlihat ceria. Seingatku dia juga dari keluarga yang berkecukupan. Aku sama sekali tidak menyangka kalau dia akan terbaring sakit tak berdaya.

Malam itu aku mengambil waktu untuk mendoakannya dan melihat kembali hidupku akhir-akhir ini. “Apakah aku sudah melakukan yang terbaik selama aku hidup? Bagaimana jika aku yang berada di posisi temanku itu? Apa yang bisa kulakukan untuk temanku selain donasi dan doa?” tanyaku dalam hati. Lalu aku teringat akan sebuah lagu “Hidup ini Adalah Kesempatan” yang liriknya berkata:

Hidup ini adalah kesempatan
Hidup ini untuk melayani Tuhan
Jangan sia-siakan apa yang Tuhan beri
Hidup ini harus jadi berkat

Oh Tuhan pakailah hidupku
Selagi aku masih kuat
Bila saatnya nanti
Ku tak berdaya lagi
Hidup ini sudah jadi berkat

Lirik lagu itu terdengar sederhana, tetapi maknanya begitu dalam dan menegurku. Sudah dua bulan terakhir aku bolos dari pelayanan menari di gereja. Malas, itulah alasanku. Padahal dulu ketika awal-awal aku berkomitmen pelayanan, aku dipenuhi kerinduan untuk mempersembahkan talentaku buat Tuhan. Tapi, sekarang aku malas untuk datang latihan. Aku malas mencari outfit pelayanan, dan aku pun malas pergi ke gereja karena jaraknya dengan tempat tinggalku yang jauh. Bahkan di hari Minggu aku tidak menggunakan waktu itu untuk beribadah ke gereja. Aku malah tidur seharian. Selain itu, aku pun banyak menyia-nyiakan waktuku. Daripada bersaat teduh, aku lebih suka meluangkan waktuku untuk menjelajahi media sosialku, menonton YouTube, dan melakukan hal-hal lain yang kusuka.

Aku lupa bersyukur. Aku lupa untuk menggunakan waktu-waktu yang sudah Tuhan berikan kepadaku untuk melayani-Nya. Bukankah tujuan hidup manusia sejatinya adalah untuk memuliakan Allah? Seperti yang tertulis dalam Katekismus Westminster pertanyaan 1, apa tujuan umat manusia? Tujuan utama manusia ialah memuliakan Allah dan bersukacita di dalam Dia selama-lamanya.

Kuakui bahwa aku menggunakan waktuku dengan sembrono. Pemazmur dalam Mazmur 90:12 (BIS) berkata: “Sadarkanlah kami akan singkatnya hidup ini supaya kami menjadi orang yang berbudi.” Waktuku di dunia begitu singkat, seharusnya aku dapat lebih bijak memanfaatkan setiap momen yang Tuhan berikan padaku.

Mungkin ada banyak hal tak terduga yang terjadi dalam kehidupan kita, tetapi satu hal yang perlu kita ingat adalah bahwa Tuhan selalu memegang kendali kehidupan ini. Kesakitan, kehilangan, kematian, atau apapun itu adalah hal yang tak terelakkan. Kita harus siap menghadapinya. Namun, yang menjadi penting bukanlah kapan atau bagaimana waktu-waktu kemalangan itu akan terjadi dalam kehidupan kita, melainkan bagaimana kita memanfaatkan waktu-waktu yang ada sekarang. Selagi kita memiliki waktu dan kesempatan untuk berkarya melayani-Nya, pakailah itu.

Aku berdoa dan berharap kiranya Tuhan memberikan kekuatan buat keluarga temanku, juga memberikan yang terbaik untuknya. Aku percaya akan kuasa Tuhan yang besar, dan tugas kita adalah percaya sepenuh-Nya kepada-Nya dan memanfaatkan waktu-waktu kita sebijak mungkin hingga kelak ketika tiba saatnya, Tuhan akan berkata kepada kita: “Well done, anakku terkasih.”

Baca Juga:

3 Respons untuk Menyikapi Musibah

Sebagai orang Kristen, ada tiga hal yang perlu kita pikirkan sebelum memposting sesuatu di media sosial sebagai wujud respons kita terhadap suatu musibah.