Posts

4 Cara untuk Pulih dari Patah Hati yang Menyakitkan

Oleh Hilary Charlet, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Ways To Navigate A Painful Break-up

Patah hati. Air mata. Hubungan yang tak pernah kamu pikirkan untuk berakhir pun kandas.

Apakah kamu masih ingat momen itu? Saat-saat di mana hatimu seolah pecah berkeping-keping? Tempat di mana hubunganmu itu berakhir? Jamnya? Cuacanya?

Rasanya lucu apabila kita masih bisa mengingat dengan amat jelas peristiwa itu.

Sebelum hubunganku kandas, aku sedang duduk di dalam mobil menanti ibuku yang sedang membeli kopi. Cuaca di luar sedang berawan, momen yang sempurna untuk menikmati kopi di tempat favoritku. Saat aku tengah menunggu, pacarku bertanya apakah dia bisa meneleponku. Aku baru saja berdiam di rumah selama lima jam setelah meluangkan akhir pekanku bersamanya. Aku tidak berpikir ada masalah apapun. Sampai akhirnya suara di ujung telepon berkata, “Aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini,” katanya.

Tunggu. Apa?

Sepuluh menit lalu aku dalam keadaan yang baik-baik saja saat aku berbicara dengan ibuku. Namun ketika ibuku akhirnya datang, pikiranku kacau balau. Sikapku yang mendadak berubah membuatnya heran. Waw, seperti kejutan! Aku baru saja putus dari suatu hubungan yang kupikir tidak akan berakhir.

Putus dan patah hati bisa jadi hal sulit. Itu bisa mengacaukan. Mengambil kembali serpihan-serpihan hati yang telah hancur berkeping-keping bisa jadi sesuatu yang sangat sulit. Move-on rasanya seperti kemustahilan. Aku tahu. Aku pernah mengalami itu. Hatimu pun terasa kosong.

Namun, beberapa hari setelah peristiwa itu, aku mendapatkan penghiburan dari Yeremia 31:4. Tuhan memberi tahu bangsa Israel, “Aku akan membangun engkau kembali, sehingga engkau dibangun, hai anak dara Israel!” Tuhan berjanji untuk membangun kembali Israel, memberinya petunjuk, harapan, damai, dan kasih. Aku percaya Tuhan pun akan memulihkanku. Meskipun aku merasa hancur dan kosong, Tuhan mampu mengisi kehampaan dalam ruang hatiku. Meskipun kepingan-kepingan hatiku berserakan di atas lantai, Tuhan dapat menyusunnya kembali menjadi sesuatu yang luar biasa. Aku tahu hal itu karena aku sudah pernah mengalaminya.

Namun, untuk menjadi pulih diperlukan waktu. Pemulihan tidak terjadi dalam semalam. Bagaimana caramu mengumpulkan kekuatan untuk menerima kenyataan dan melangkah maju setelahnya? Inilah empat hal yang menolongku:

1. Ketahuilah dirimu berharga

Kita diciptakan secara dahsyat dan ajaib. Tuhan menciptakan kita seturut gambaran-Nya, untuk suatu tujuan yang baik (Efesus 2:10). Meskipun orang-orang di sekitar kita mungkin tidak menghargai kita, kita tahu bahwa kita telah dibeli oleh darah Kristus. Adakah penghiburan lain yang lebih besar daripada mengetahui bahwa kita amat dicintai oleh Tuhan?

2. Nikmatilah sejenak kesendirianmu

Kamu tidak selalu harus meminta seseorang pergi menemanimu agar kamu bahagia. Luangkanlah waktu bersama dirimu sendiri, untuk lebih mengenal dirimu. Pergi jalan-jalan, minum kopi, membaca, menulis jurnal. Temukan apa yang menyemangatimu dan lakukanlah lebih dari tu.

Ada hal baik yang bisa kamu petik di masa-masa ketika kamu tidak terikat kepada seorang pun. Kamu memiliki waktu istimewa untuk bertumbuh sebagai seorang individu, dan yang paling penting adalah kamu juga bertumbuh dalam relasimu bersama Kristus. Mungkin akan ada waktu ketika kamu merasa kesepian dan rindu akan hubunganmu yang semula. Tapi ingatlah, Tuhan selalu ada, dan Dia dapat mengisi ruang hampa di hatimu dengan kasih yang jauh lebih besar dari kasih mana pun di dunia ini.

3. Lingkupilah dirimu dengan orang-orang yang benar

Ada pepatah yang berkata bahwa dengan siapa kita bergaul itulah yang menentukan diri kita. Apakah kamu bergaul dengan orang yang akan menanyakanmu pertanyaan yang benar, menyemangatimu dalam perjalananmu, dan mendukungmu saat kamu berjalan di jalan ini? Teman yang baik perlu tahu bagaimana bersenang-bersenang bersama (jalan-jalan, main game, dsb). Tapi, mereka pun perlu tahu bagaimana untuk saling mendukung satu sama lain agar bertumbuh. Pastikan kamu memperhatikan pergaulanmu dan bagaimana itu mempengaruhi hidupmu.

4. Ampuni dan carilah pengampunan

Apabila seseorang menyakitimu, membohongimu, ataupun mencurangimu, janganlah terlalu ambil pusing. Kamu diciptakan dahsyat dan ajaib. Tuhan punya sesuatu yang indah buatmu, tapi kamu tidak bisa melihat itu kalau kamu berfokus pada hal-hal buruk melulu. Jika kamu telah disakiti, mintalah kekuatan kepada Tuhan agar kamu bisa mengampuni dan move on.

Di sisi sebaliknya, bagaimana jika aku yang salah? Bagaimana jika aku berbohong, aku menyakiti orang lain yang sangat peduli kepadaku? Berdoalah dan memohon pengampunan dari Tuhan. Jika memungkinkan, meminta maaflah kepada orang yang telah kamu sakiti.

Patah hati itu sakit. Dan pemulihan membutuhkan waktu. Aku bahkan tidak akan mengatakan kepadamu berapa lama aku berproses sampai akhirnya aku dapat move-on karena kupikir prosesku itu terlalu lama. Namun, di balik proses pemulihan yang panjang itu, kita tahu bahwa Tuhan senantiasa membaharui kita hari demi hari (2 Korintus 4:16). Tuhan ada di sini. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Tuhan mengisi ruang di hati kita yang hanya mampu diisi oleh kasih-Nya yang tak bersyarat dan tak pernah berakhir.

Kasih Tuhan bagi kita itu jauh lebih baik daripada yang bisa kita bayangkan. Dia berjalan bersama kita seiring kita berproses untuk pulih. Kasih-Nya memenuhi kita, entah kita hidup sendiri atau menikah. Bersandar pada kasih, damai, dan jaminan-Nya itu jauh lebih indah daripada segala imajinasi yang digambarkan dalam film-film.

Pasca patah hati, aku juga bergumul dengan rasa sakit, kekhawatiran, dan ketidakpercayan. Namun, Tuhan juga mengajariku untuk bersandar dan bergantung kepada-Nya secara penuh. Tuhan berjanji bahwa Dia itu baik dan Dia bekerja di balik segala sesuatu untuk kebaikanku, terlepas dari bagaimana kacaunya keadaan yang kualami dulu (Roma 8:28).

Jika kamu pernah mengalami atau mungkin sedang patah hati, aku berdoa kiranya penghiburan dan pemulihan Tuhan hadir dalam hidupmu. Aku tahu hari-harimu menjadi sulit, tapi Tuhan ada bersamamu. Aku berdoa, sama seperti, kiranya peristiwa ini dapat mengajarimu untuk mengalami betapa kita dicinta oleh Tuhan, yang mati lalu bangkit agar kita dapat hidup. Dan, itulah kasih yang tak dapat tergantikan.

Baca Juga:

Ketika Orang Tuaku Tidak Menyetujui Hubungan Kami

Satu tahun lalu, aku dan pacarku memutuskan untuk menjalin relasi pacaran. Namun, perjalanan hubungan kami di masa-masa awal tidaklah mudah. Kedua orang tuaku menolak pacarku karena dia berasal dari suku yang berbeda dengan keluargaku.

Mengapa Hubungan Ini Harus Berakhir?

Penulis: M. Tiong, Malaysia
Artikel asli dalam Simplified Chinese: 我们怎么会分手?

mengapa-hubungan-ini-harus-berakhir

Sejak awal berpacaran, aku dan pacarku sudah memikirkan untuk membawa hubungan kami hingga jenjang pernikahan. Tidak pernah sekalipun terlintas di pikiranku bahwa hubungan kami pada suatu hari akan bisa berakhir. Tentu saja kami pernah berselisih pendapat, namun kami selalu bisa bicara baik-baik dan menyelesaikan setiap masalah kami bersama-sama.

Sebagai bagian dari persiapan kami untuk menikah, kami juga melatih diri kami dalam sejumlah disiplin rohani, seperti menghadiri persekutuan, berdoa, dan merenungkan firman Tuhan bersama. Namun, segalanya berubah saat aku menjalani studi di luar negeri.

Pacarku memang sudah menyatakan keberatan dengan keputusanku pergi ke luar negeri, namun aku tidak berpikir bahwa kepergianku itu adalah masalah yang serius. Hubungan kami sangat stabil dan sekalipun kami berada di dua negara yang berbeda, kami dapat berkomunikasi dengan mudah dengan teknologi yang ada saat ini. Lagipula masa studiku hanya satu tahun. Aku pikir hubungan kami akan baik-baik saja.

Namun, tak lama setelah aku pergi, hubungan kami yang sudah berjalan lebih dari dua tahun itu mulai retak. Ia mulai jarang menelepon dan mengirim SMS. Kalau pun ada, bicaranya singkat dan seperlunya saja. Pacarku tampaknya tidak tahan dengan hubungan jarak jauh. Aku mulai merasa cemas dan curiga bahwa ia menyukai orang lain di gereja. Kecurigaanku membuat hubungan kami memburuk, dan pada akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.

Sendirian di negeri orang, aku merasa sangat terpukul dengan kejadian yang tidak terduga itu. Aku ingat pacarku pernah berkata, “Cinta itu adalah sebuah pilihan, bukan sebuah perasaan”—dan pernyataan itu membuat pikiranku dipenuhi banyak pertanyaan. “Bukankah kami sudah membuat pilihan untuk saling mencintai? Tidakkah kami hanya perlu bergantung kepada Tuhan dan semua masalah kami akan terselesaikan? Mengapa hubungan kami sampai harus berakhir?”

Namun peristiwa yang menyakitkan itu kemudian menyadarkanku bahwa kekaguman dan rasa cintaku kepada pacarku sesungguhnya telah melebihi kekaguman dan rasa cintaku kepada Tuhan. Harus kuakui bahwa selama berpacaran, kami pernah melakukan hal-hal yang tidak kudus. Kami tidak taat sepenuhnya pada kehendak Tuhan dan hampir tidak pernah berusaha mengubah atau memperbaiki perilaku kami. Rasa takut kehilangan membuat kami tidak bisa melihat betapa kami telah menjadi terlalu bergantung satu sama lain. Tanpa sadar aku menjadi berhala bagi pacarku, demikian pula sebaliknya.

Aku ingat akan sesuatu yang pernah menyentak pikiranku: tulisan Pendeta Zhu Hui Ci dalam sebuah buku yang berjudul Dear God, Where Is The Love You Promised Me? Tulisannya kurang lebih berkata, “Pernikahan diciptakan oleh Tuhan, pacaran diciptakan oleh manusia”. Tuhan dengan jelas menyatakan pernikahan seperti apa yang sesuai dengan kehendak dan rancangan-Nya, namun Dia tidak menentukan siapa yang harus kita nikahi. Dia memberi kita kehendak bebas dan kemampuan untuk memilih. Pacaran memberi kita kesempatan untuk belajar mencintai satu sama lain dan bersama-sama bertumbuh dalam keserupaan dengan Kristus. Sebab itu, bila dalam berpacaran muncul masalah-masalah mendasar yang tidak ada jalan keluarnya, kita bisa memilih untuk memutuskan hubungan tersebut. Tentu saja kebebasan ini tidak untuk digunakan seenaknya.

Berikut ini contoh kasus yang bisa kita pikirkan: Jika pacar kita seorang yang gila kerja sampai pada batas yang tidak bisa kita tolerir, akan sangat konyol kita kita berharap ia akan berubah setelah menikah. Memang, pacar kita bisa saja berubah suatu hari nanti. Tetapi, berharap ia akan berubah saja tidak menutup kemungkinan munculnya masalah dalam hubungan kita di kemudian hari. Memang, kita bisa meminta nasihat orang lain dan berusaha menyelesaikan masalah yang muncul itu bersama-sama. Tetapi, hal ini pun tidak menjamin masalah kita pasti terselesaikan. Jika kita melihat masalah tersebut akan membahayakan hubungan kita di masa depan, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah mengakhiri hubungan itu sebelum menikah. Dengan demikian, masing-masing pihak dapat berfokus menyelesaikan dulu masalah yang ada dalam dirinya.

Keberhasilan menurut kacamata dunia adalah meraih atau mendapatkan sesuatu, sedangkan kegagalan adalah kehilangan sesuatu itu. Namun, menurut kacamata Alkitab, ukuran keberhasilan adalah kasih. Kita gagal ketika kita tidak mengasihi. Dalam bukunya, Pendeta Zhu juga menulis: “Dalam kekristenan, kasih harus menjadi dasar dari segala sesuatu yang kita lakukan, termasuk saat kita memutuskan akan tetap melanjutkan atau mengakhiri hubungan dengan pacar kita.”

Melalui hubunganku dengan pacarku, aku sendiri telah mengalami apa artinya mencintai seseorang dengan sangat. Aku yakin pacarku juga mengalami hal yang sama. Namun, cinta jugalah yang membuatku akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, dan menerima hal itu sebagai jalan keluar terbaik bagi kami berdua—sekalipun sebenarnya hal itu bukan sesuatu yang aku kehendaki.

Dalam doa-doaku, aku memohon agar Tuhan menolong kami berdua untuk mau selalu tunduk kepada pimpinan Roh Kudus, dan menjalani hidup kami masing-masing seturut dengan kehendak-Nya, selalu mengasihi Tuhan di atas segalanya.