Posts

“A Man Called Otto”, Film yang Mengajak Kita untuk Memperhatikan Sekitar Kita

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya
Sumber gambar: IMDB

A Man Called Otto adalah sebuah film yang dibintangi oleh aktor papan atas Tom Hanks. Film ini bercerita tentang seorang kakek bernama Otto yang merasa kehilangan warna dalam hidupnya setelah istrinya meninggal. Dia berubah menjadi seorang yang pemarah dan tertutup pada orang sekitarnya karena dia merasa tidak ada orang yang sebaik istrinya. Bergulat dengan kesepian dan rasa kosong, dia pun berniat mengakhiri hidup. Namun, takdir malah membawanya bertemu dengan tetangga baru yang cerewet dan peduli padanya. Melalui tetangga barunya itu, perlahan Otto kembali melihat warna dalam hidupnya.

Kesepian dan merasa hampa seperti yang dialami Otto, mungkin juga pernah kita alami. Ketika kita kehilangan seseorang, harta benda yang kita punya, kemampuan yang kita andalkan, atau hal-hal lain yang kita pegang erat akan membuat kita merasa kecewa dengan dunia. Rasanya seakan tak ada lagi yang bisa mengisi rasa kesepian dan kekosongan di hati kita.

Nilai-nilai dunia seringkali mengajar kita bahwa nilai diri dan kebahagiaan kita terletak pada sesuatu atau seseorang yang kita pegang erat. Namun, tak ada yang abadi di dunia ini. Apa yang kita kagumi dan pegang erat, bisa saja mengecewakan, menyakiti, bahkan meninggalkan kita. Namun, satu hal yang aku sendiri telah merasakannya, bahwa yang kekal, kasih yang dapat mengisi kekosongan, yang tidak pernah mengecewakan, dan yang dapat mengusir kesepian hatiku adalah TUHAN. Mazmur 147:3 mengatakan, “Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka”, dan Mazmur 34:19 juga mengatakan, “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”

Perasaan frustrasi yang dialami oleh Otto memang belum pernah aku rasakan, namun aku pernah merasakan kekecewaan, kekosongan, dan kesepian ketika aku memegang erat hal yang aku pikir bisa andalkan dan bukan mengandalkan Tuhan. Namun, ketika Tuhan menegur aku yang tidak mengandalkan Dia, aku menjadi sadar bahwa apa yang aku andalkan selama ini tidak benar. Setelah aku memutuskan untuk bertobat dan mengandalkan Dia, aku menemukan kepuasan di dalam-Nya. Perasaan negatif itu memang terkadang masih muncul, namun ketika aku berlari kembali kepada Tuhan, kepuasan di dalam Tuhan itu selalu dapat aku temukan dan dapat aku rasakan.

Salah satu di antara para tokoh Alkitab yang juga pernah mengalami perasaan ini adalah Ayub. Bayangkan betapa kecewanya Ayub melihat apa yang dia punya habis dengan cepat. Betapa kesepiannya dia tidak dihibur oleh istrinya dan teman-temannya. Dia tidak punya apa-apa lagi yang bisa diandalkannya, namun akhir kisah Ayub seperti yang kita tahu, dia tetap percaya kepada Tuhan dan tetap mengandalkan-Nya, hingga pada akhirnya Tuhan memulihkan keadaannya.

Teman-teman, mungkin sekarang kita sama seperti Otto yang menutup diri dari dunia karena takut dikecewakan dan disakiti. Dalam kesempatan ini, aku mau mengajak kita untuk kembali datang dan mengandalkan Tuhan, Sang Kasih Sejati dan Penyembuh patah hati kita yang sesungguhnya dekat dengan kita (Mazmur 34:19). Mari kita perhatikan sekitar, siapa tahu tanpa kita sadari selama ini ada orang-orang yang benar-benar tulus mengasihi kita dan mengajak kita untuk melihat dan merasakan kasih Tuhan sehingga kita dapat dengan yakin menyerukan “Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka dan TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”

Kemudian, tidak berhenti di titik ini, setelah kita sadar dan merasakan kasih-Nya yang begitu besar, aku mau mengajak kita untuk melakukan perintah-Nya yang tertulis dalam Yohanes 15:12: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.”

Seperti tetangga Otto, mari kita mengasihi dan memperhatikan orang-orang sekitar kita, terlebih untuk orang-orang seperti Otto yang rindu merasakan kasih sejati dari Tuhan yang sedang mencari hal yang dapat memberikan warna dalam hidupnya. Agar seseorang yang tadinya sudah menyerah terhadap dunia, dapat menemukan pengharapan baru di dalam Tuhan, sehingga ia dapat bergantung pada Sang Kasih Sejati yang tidak pernah mengecewakan.

Mengatasi Burnout di Tempat Kerja

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Aku kembali melihat arloji di lengan kiriku, untuk kesekian kalinya dalam 30 menit. Aku tidak sabar menunggu jarumnya menunjuk angka 4 pertanda waktu mengajarku selesai. Memasuki tahun terakhir di kampus, sembari mengerjakan skripsi aku menerima tawaran mengajar persiapan Ujian Nasional bagi anak SMA di salah satu daerah di Sumatera Utara. Walau sudah beberapa kali punya kesempatan untuk menjadi pendidik, rasa jenuh dan keinginan untuk segera selesai mengajar tidak selalu berhasil kuhindari.

Bekerja dan berhadapan dengan anak didik sebagai manusia dengan kehendak bebas yang kaya dengan berbagai respons atau pun tingkah laku di setiap harinya tidak menjadi jaminan bagi seorang pendidik untuk tidak mengalami kejenuhan bekerja atau dikenal dengan istilah burnout. WHO yang merupakan organisasi kesehatan dunia mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang dihasilkan stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola dengan baik. Sindrom tersebut ditandai dengan tiga hal: pertama, merasa kehilangan energi atau kelelahan; kedua, meningkatnya keinginan untuk mengasingkan diri dari pekerjaan, atau adanya perasaan negatif atau sinisme terhadap pekerjaan; dan yang ketiga berkurangnya efikasi profesional.

Secara umum burnout menggambarakan kondisi di mana seseorang merasa lelah dan jenuh dengan pekerjaannya. Dari 1 Raja-raja 19:1-18, kita bisa membaca kisah tentang nabi Elia yang melarikan diri ke padang gurun. Elia menghindari pengejaran ratu Izebel yang mengancam ingin membunuhnya. “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku”, katanya ingin mati (ayat 4). Merasa gagal dengan yang dikerjakan, ketakutan akan keselamatan diri dan kelelahan fisik setelah berjalan seharian penuh menggiring rasa ingin mati pada Elia.

Hal yang sama juga dapat terjadi pada kita. Sebagai pendidik tidak jarang aku merasa kurang maksimal ketika aku melihat anak didikku kesulitan mengerti materi yang kami bahas, terkadang aku khawatir tentang pertumbuhan karakter mereka dengan semua pengaruh teknologi yang mereka gunakan dan seringkali hal itu membuatku mempertimbangkan untuk meninggalkan profesi yang idealnya memanusiakan manusia tersebut.

Apa pun pekerjaan yang sedang kita tekuni, bukan tidak mungkin kita mengalami kejenuhan. Kendati WHO menyarankan agar perusahaan/tempat bekerja untuk menfasilitasi pencegahan atau pun penyembuhan burnout pada pekerja, secara pribadi kita juga bisa menerapkan beberapa hal berikut untuk membantu menghindari ataupun mengatasi burnout :

  1. Memiliki motivasi kerja yang benar (Kolose 3:23)
  2. Mengerjakan segala sesuatu untuk Tuhan mungkin terdengar klise karena setiap pekerjaan tentu mempunyai target yang harus dicapai dalam jangka waktu tertentu. Jurnalis yang mesti memenuhi jumlah berita minimal yang diterbitkan, manager pemasaran yang harus mencapai target penjualan, supir angkot yang perlu kejar setoran serta pekerjaan lain dengan target-target yang wajib diselesaikan.

    Keberhasilan memenuhi target kerja tentu berpengaruh baik pada karier dan kesejahteraan kita, namun acap kali motivasi pengejaran tersebut berubah menjadi ambisi berlebihan berujung serakah. Gaji yang besar, kenaikan pangkat, pujian dari atasan memang perlu bagi kita namun tidak selalu menjadi kebutuhan kita yang utama, kelegaan dan sukacita ketika bekerja tentu menjadi award yang tidak terukur.

  3. Memiliki perencanaan yang dikerjakan (Amsal 21:5)
  4. Mengerjakan tugas dengan sistem kebut semalam (SKS), menyelesaikan laporan bulanan sampai subuh, menonton drama dari pagi hingga pagi adalah contoh kegiatan yang mungkin pernah kita kerjakan. Selain berbahaya bagi kesehatan tubuh dan performa dalam bekerja, hal tersebut bisa jadi alarm untuk manajemen waktu yang kita punya. Demikian halnya dalam bekerja, kita mungkin kerap menunda-nunda pengerjaanya atau sebaliknya kita sangat bersemangat hingga ingin segera menyelesaikannya.

    Dengan pertimbangan, kita bisa menyusun perencanaan tentang mana pekerjaan yang harus diselesaikan dulu, memutuskan kapan waktu untuk microbreak atau rehat kilat dengan bermain gim atau mendengarkan musik, mengatur jadwal makan yang teratur serta aktivitas lainnya yang kita kerjakan di tempat kerja (Amsal 15:22). Tentang hal ini, Tuhan Yesus juga mengingatkan orang yang mengikut Dia dalam perjalanan-Nya tentang pentingnya perencanaan sebelum mengerjakan sesuatu. Dia menggunakan ilustrasi tentang seseorang yang akan melihat ketersediaan anggarannya sebelum mendirikan menara serta tentang seorang raja yang akan mengatur strategi sebelum berperang (Lukas 14:28-31).

  5. Menjalin relasi yang baik (Ibrani 10:22-25)
  6. Abai dalam menjalin relasi kepada Tuhan dan kepada sesama dengan berbagai alasan sering menggiring kita untuk selalu asyik sendiri seakan punya dunia sendiri. Baik kepada Tuhan maupun terhadap sesama, relasi dibangun lewat komunikasi. Kita menemukan kekuatan di saat lemah dan semangat ketika kita merasa tidak berdaya untuk melanjutkan pekerjaan kita lewat relasi dengan Tuhan (Yesaya 40:29). Sama halnya dengan relasi dengan mereka yang kita temui hampir setiap hari di jam kerja. Sapaan di pagi hari, lelucon receh dari rekan kerja, pujian dan kerjasama yang baik dengan teman-teman di kantor sampai saling menolong dan berbagi suka-duka dengan mereka dapat menjadi sumber sukacita di tempat kerja.

    Datang menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh dan saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih di tempat bekerja merupakan bentuk relasi yang bisa membantu kita mengatasi burnout yang sedang kita alami.

Menjadi rekan sekerja Allah melalui pekerjaan kita tentu tidak menjamin kita terbebas dari belenggu kejenuhan (burnout). Selain mencoba ketiga hal diatas, dengan akal budi yang dianugerahkan Allah kepada kita, kiranya kita juga terus berusaha mengatasi kejenuhan (burnout) yang kita alami serta senantiasa mengimani bahwa Allah tetap menyertai kita untuk melaluinya (Yesaya 41:10).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Kemarin Aku Gagal, Hari Ini Aku Memilih Mengucap Syukur

Meski di awal usahaku meniti karier pil terasa getir, tapi aku mau tetap membuka hatiku untuk mengecap kebaikan-Nya. Aku mau tetap mengucap syukur.

Ketika Tuhan Seakan Mempermainkan Hidupku

Oleh Metty Kristine, Palu

Setiap orang tentulah mempunyai cita-cita, begitu pun denganku. Saat lulus kuliah, itulah momen yang paling aku tunggu. Sejak SMA, aku begitu menginginkan bekerja sebagai CS di sebuah bank. Bagiku, menjadi CS di bank itu mempunyai kebanggan tersendiri. Gaji yang besar, seragam yang bagus, kantor yang luas, teman-teman, dan relasi yang banyak adalah alasan yang ada di benakku saat itu untuk bekerja di bank. Cita-cita inilah yang selalu membuatku semangat untuk belajar.

Tapi yang terbaik menurut kita, belum tentu terbaik buat Tuhan. Aku sering berpikir, apakah Tuhan kurang mengasihiku? Apakah doa dan usahaku kurang? Kenapa orang lain terlihat begitu mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan, sedangkan aku? Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang timbul di dalam hatiku, ketika Tuhan mengizinkan kegagalan demi kegagalan terjadi dalam hidupku.

Memulai perjuangan

Hari itu, setelah mengurus semua kelengkapan berkas-berkasku, dengan semangat aku mengajukan lamaranku di bank-bank yang ada di kotaku. Bukan hanya di bank saja, aku juga memasukkan lamaranku di beberapa perusahaan besar. Setelah menunggu beberapa hari, sebuah perusahaan swasta yang lumayan besar memanggilku untuk wawancara. Dalam hati aku berkata “Tuhan, walaupun bukan di bank, di tempat ini juga tidak apa-apa kok”.

Setelah melewati proses demi proses, aku sampai di tahapan psikotes. Perasaanku campur aduk. Ini adalah kali pertama aku ikut psikotes. Namun, aku tetap mengikuti tes dengan tenang. Setelah menanti berhari-hari dan sampai berbulan-bulan, aku belum juga mendapat kepastian dari perusahaan tersebut. Sampai suatu saat, temanku yang kebetulan bekerja di perusahaan tersebut menberitahuku, bahwa posisi yang aku lamar sudah terisi.

Aku sangat kecewa dan sakit hati. Aku bertanya, “Tuhan, mengapa Kau tidak membantuku?”

Ini adalah kegagalan pertama yang aku alami ketika mencari pekerjaan. Namun, dari hal ini aku mengambil suatu pelajaran penting. Bahwa, sekalipun kita punya kenalan di suatu kantor, jika Tuhan tidak berkehendak kita berada di tempat tersebut, kita tetap akan gagal walaupun sudah berada hampir di tahap akhir saat tes.

Aku tidak menyerah. Beberapa minggu setelah itu, aku mendapat panggilan wawancara dari sebuah bank besar. Aku begitu semangat untuk mengikuti wawancara. Aku dinyatakan lulus menjadi pegawai di bank tersebut. Namun, saat akan tanda tangan kontrak, hatiku mulai ragu dengan pekerjaan ini. Aku malah ditawari menjadi marketing. Sebuah hal yang paling tidak aku sukai, karena aku tidak suka bekerja di lapangan dan merasa kalau aku tidak mempunyai keterampilan menjual produk dan mencari nasabah. Ditambah lagi saat itu aku belum bisa mengendarai motor. Dengan berat hati, aku membatalkan kontrak kerja tersebut.

Bulan berganti bulan, aku tetap semangat dan tidak berputus asa. Namun, suatu saat aku sampai di titik kejenuhanku. Saat itu aku sudah mulai lelah dan putus asa, begitu banyak lamaran yang aku sebar, baik yang di bank ataupun di perusahaan-perusahaan swasta lainnya. Tapi tidak satupun yang membuahkan hasil. Ada yang tidak memanggil sama sekali, bahkan ada yang putus sampai di tahap wawancara dan psikotes saja. Belum lagi adanya pertanyaan-pertanyaan orang di luar sana yang selalu bertanya, “sudah kerja dimana sekarang?” aku begitu benci dengan pertanyaan itu.

Saat aku merasa ada di titik terendah

Sudah hampir setahun berlalu. Saat-saat seperti ini, adalah saat yang paling menyakitkan. Saat di mana teman-teman seangkatanku sudah mendapatkan pekerjaan. Bahkan aku merasa lebih sakit lagi, ketika membuka media sosial dan melihat beberapa temanku yang sudah bekerja di bank.

Perasaanku campur aduk saat itu. Aku begitu marah dan kecewa pada Tuhan. Aku menangis dan bertanya, “Tuhan, apakah Kau sudah tidak mengasihiku? Apakah saat ini Kau melihatku? Mengapa Kau begitu pilih-pilih kasih menolong orang? Apakah aku kurang berkenan sehingga Kau tidak menjawab doaku? Mengapa Kau belum memberikan aku pekerjaan?” Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang timbul di hatiku. Bahkan aku sempat meragukan kuasa Tuhan dalam hidupku. Saat itu aku merasa benar- benar berada dititik terendah dalam hidupku. Aku merasa menjadi orang yang tidak berguna. Aku begitu putus asa.

Namun Tuhan tetap baik dalam hidupku. Saat aku mengalami kegagalan demi kegagalan yang membuatku jatuh dan putus asa, saat itu Dia memberikanku seorang sahabat yang mengajakku untuk mencari kerja bersama-sama. Dia adalah sahabatku sejak di bangku SMP. Saat itu, aku hanya menganggapnya sebagai seseorang yang bernasib sama sepertiku. Namun lama kelamaan, Tuhan mulai membuka mataku. Sahabat yang yang Dia kirimkan untukku adalah seseorang yang selalu memberi motivasi dan semangat kepadaku. Bahkan aku berkali-kali mengatakan kepadanya, “Kalau tidak ada kamu, mungkin aku sudah menyerah mencari pekerjaan”.

Kami pun menjadi kawan yang saling mendoakan dan menguatkan satu sama lain. Bahkan yang paling aku syukuri, Tuhan memberikanku seorang sahabat yang selalu membuat suasana hangat dengan candaan dan tertawanya sekalipun kami berkali-kali gagal saat mencari pekerjaan bersama.

Saat keadaan yang terjadi tidak sesuai dengan keinginanmu

Suatu hari seorang teman yang bekerja di sebuah perusahaan swasta menawarkanku untuk bekerja di perusahaannya, namun di lokasi yang berbeda. Singkat cerita, aku diterima kerja di tempat itu. Hari pertama aku begitu semangat datang bekerja. Namun, kondisi tempat dan suasana kantor tersebut, tidak seperti yang aku bayangkan.

Aku selalu membayangkan bisa bekerja disebuah perusahaan besar, menggunakan pakaian yang rapi dan bagus, mempunyai disiplin waktu, serta mempunyai teman-teman yang banyak. Namun, keadaan yang aku dapatkan, berbeda dengan apa yang aku pikirkan. Tempat itu begitu sepi, dengan jam kerja yang tidak menentu dan semua hal yang aku bayangkan, tidak ada di tempat itu. Lagi-lagi, aku marah pada Tuhan dan kembali bertanya “Tuhan, mengapa Kau begitu jahat padaku?” Aku kembali menyalahkan Tuhan.

Setiap pulang kerja aku selalu menangis. Pikiranku sangat kacau. Aku ingin keluar dari tempat itu, tapi ketika berbicara dengan orang tuaku, mereka tidak mengizinkannya. Setiap hari aku berangkat kerja dengan berat hati. Bahkan nafsu makan dan timbanganku sampai turun. Akhirnya, aku mengambil keputusan sepihak untuk berhenti dari tempat itu setelah tiga hari bekerja. Dalam hati aku meminta maaf kepada Tuhan, karena sudah menyia-nyiakan kesempatan yang Dia berikan dan berharap supaya Tuhan berikan pekerjaan yang sesuai dengan yang aku harapkan.

Aku kembali bersemangat mencari pekerjaan baru, tapi kali ini aku sendirian. Sahabatku sudah lebih dulu mendapatkan pekerjaan. Empat bulan kemudian, aku diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta. Tempat itu besar dan mempunyai pegawai yang banyak. Dalam hati aku berkata, “Tuhan,, ini yang aku mau. Terima kasih Tuhan.”

Di hari pertamaku bekerja, aku begitu bersemangat. Namun, semangat itu mulai memudar saat mendapatkan suasana kantor yang tidak seperti aku harapkan. Aku mendapat rekan kerja yang sangat cuek denganku dan seakan tidak menerima diriku. Belum lagi orang-orang di dalam yang sangat cuek satu dengan yang lainnya. Tidak ada kehangatan di tempat itu, bahkan kehadiranku seakan tidak dianggap. Aku bekerja selama delapan hari dan karena ada sesuatu yang terjadi, aku keluar dari tempat itu. Di satu sisi aku merasa senang karena bisa keluar dari tempat itu. Tapi di sisi lain, aku merasa menjadi orang gagal yang tidak mempunyai masa depan. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Berdoa pun rasanya sia-sia. Toh selama ini Tuhan seakan membiarkan aku, pikirku.

Ketika Tuhan seakan tutup mata dengan kegagalanku

Beberapa minggu kemudian, aku mendapat email dari sebuah bank yang mengundangku untuk mengikuti tes. Aku kaget, karena aku sudah mengirimkan lamaran itu sebulan yang lalu. Aku pikir, mungkin ini saatnya Tuhan menjawab doaku. Aku begitu semangat mempersiapkan semua keperluanku untuk mengikuti tes. Semua tes aku lewati dengan lancar selama kurang lebih hampir 3 minggu. Sampai akhirnya aku sampai pada tahap wawancara akhir.

Aku berpikir, mungkin ini yang terakhir kalinya aku gagal dalam mencari pekerjaan. Mungkin ini jawaban Tuhan atas semua kegagalan aku selama ini. Malam itu aku begitu takut dan penasaran menunggu hasil tesku yang akan dikirim melalui email. Aku begitu berharap dengan pekerjaan ini. Sekitar jam 2 malam, aku terbangun dan langsung mengecek HP ku. Saat itu hatiku begitu sakit ketika melihat kiriman dari seorang teman di grup yang isinya screenshot hasil pengumuman yang dikirimkan pihak bank ke dia. Tidak ada namaku di daftar itu dan jelas aku tidak mendapat email dari pihak bank.

Aku langsung berlari ke toilet dan menangis sejadi-jadinya di tempat itu. Aku marah, kecewa dan sakit hati kepada Tuhan. Aku menangis dan dengan setengah nada aku berkata, “Tuhan, kenapa Kau begitu jahat? Mengapa Kau tega mempermainkan aku? Mengapa Kau biarkan aku seakan hampir berhasil, namun ujung-ujungnya malah kegagalan yang aku dapatkan?”

Malam itu aku hanya bisa menangis dan menyalahkan Tuhan. Aku merasa sudah tidak mempunyai masa depan dan harapan lagi. Namun, saat itu aku tiba-tiba teringat dengan sebuah ayat Alkitab dalam 1 Tes 5:18 “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah didalam Kristus Yesus bagi kamu”.

Saat itu aku seakan mendapat teguran dengan ayat ini dan Tuhan tiba-tiba berbicara lewat hatiku dan berkata “Ingat, rancanganku tidak pernah salah dan jangan salahkan Aku atas apa yang sudah terjadi dalam hidupmu”. Dalam keadaan hati yang sedang kacau, aku pun berlutut dan berdoa meminta ampun pada Tuhan karena sudah begitu banyak menyalahkan Tuhan saat-saat aku mengalami kegagalan.

Aku berusaha tegar dan semakin mencari tahu apa maunya Tuhan dalam hidupku. Aku berusaha menghibur diri dan menguatkan hati dengan mendengarkan lagu-lagu rohani dan khotbah-khotbah yang aku unduh. Saat-saat penantianku, aku selalu berdoa, bersyukur kepada Tuhan untuk segala hal yang Dia izinkan boleh aku alami dalam hidupku, bahkan untuk hal yang paling menyakitkan sekalipun. Aku berserah pada Tuhan dan membiarkan Tuhan ambil alih dalam hidupku serta menuntunku ke tempat yang Dia mau.

Saat itu aku hanya berpegang pada firman Tuhan dalam Amsal 23:18 “Karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang” dan Yeremia 29:11 “Sebab Aku ini mengetahui rancangan- rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah Firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan”.

Jawaban Tuhan berbeda dengan yang kupikirkan

Sekitar dua minggu kemudian, teleponku tiba-tiba berbunyi. Aku mendapat panggilan telepon dari perusahaan yang sudah sejak sebulan lalu mewawancaraku. Manajer perusahaan tersebut memintaku untuk datang pada hari Senin. Aku datang dalam keadaan yang tidak bersemangat, karena jujur aku masih merasa trauma dengan kegagalan demi kegagalan yang aku alami sebelumnya. Dalam hati, aku berkata, “permainan apa lagi yang Tuhan sedang rencanakan untukku?” Aku begitu takut kalau Tuhan membuatku gagal lagi.

Aku melihat situasi kantor itu sangat berbeda dengan apa yang menjadi impianku dulu. Kantor yang besar, seragam yang bagus dan teman-teman yang banyak. Bagiku semua itu tinggal mimpi belaka. Impian besar menurut pikiran seorang anak yang masih sangat muda sepertiku, ternyata berbanding terbalik dengan impian besar yang Tuhan sedang sediakan untukku. Dalam hati aku berkata, “Apakah aku akan bertahan di tempat ini?”

Tidak disangka, tahun ini adalah tahun kedua aku bekerja di perusahaan ini. Di tempat ini aku mendapatkan seorang bos dan teman-teman yang begitu baik serta ramah. Suasana kantor yang begitu hangat dengan canda tawa teman-teman dan Gaji yang lumayan besar dari apa yang aku pikirkan sewaktu aku ingin bekerja di bank dulu. Walaupun tidak bekerja di bank, tetapi Tuhan mengizinkan aku untuk bekerja dibagian keuangan yang mengharuskan aku ke bank setiap harinya. Di sana aku banyak berteman dengan karyawan-karyawan bank yang selalu berbagi cerita tentang pekerjaan mereka. Aku juga mendapat pekerjaan yang meskipun banyak, tetapi aku bisa mengerjakannya dengan santai tanpa tekanan kerja yang besar seperti beberapa teman-teman yang aku jumpai saat aku berkunjung ke bank. Ternyata, perusahaan yang besar, seragam yang bagus dan teman- teman yang banyak tidak menjamin kita nyaman bekerja di suatu tempat.

Meskipun aku tidak bisa mencapai cita-citaku menjadi seorang pegawai bank, tetapi Tuhan Yesus menggantikannya dengan pekerjaan yang lebih baik dari apa yang aku pikirkan baik dulunya.

Ketika kamu mengalami kegagalan demi kegagalan hari ini, ingatlah bahwa Tuhan Yesus tidak pernah gagal atas hidupmu dan masa depanmu. Ada kalanya, Tuhan Yesus tidak menunjukkan mukjizat-Nya saat itu juga untuk membuatmu sadar bahwa tanpa-Nya kamu tidak bisa berbuat apa-apa. Ingatlah juga, bahwa Dia tidak pernah terlambat dan selalu tepat waktu menolong anak-anak-Nya, karena kita begitu berharga dihadapan-Nya dan kita sangat dicintai-Nya.

Baca Juga:

Apa Pun Ucapan Syukur yang Bisa Kita Ucapkan, Ucapkanlah

Hidup tak selalu berjalan mulus, tapi selalu ada kebaikan yang Tuhan berikan bagi kita.

Wabah Virus Corona: Dari Ancaman, Terbit Harapan

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: klik di sini

*Kim Cheung tinggal di Tiongkok. Sejak virus corona merebak, kota tempat tinggalnya diisolasi. Artikel Kim sebelumnya dapat dibaca di sini.

Hingga 2 Maret 2020, sudah 89,081 kasus terkonfirmasi, 3.057 orang meninggal dunia dan 45,156 pulih. (Data dari Worldometers).

Sudah dua bulan berlalu sejak Novel Corona Virus (Covid-19) pertama kali mewabah pada 31 Desember 2019 dan sebulan berlalu sejak kota-kota di sekitar Wuhan (termasuk kota di mana aku tinggal) diisolasi.

Banyak orang sepertiku dilarang meninggalkan rumah. Tak jelas kapan kami bisa kembali bekerja atau harus tetap bekerja dari rumah.

Apakah wabah ini akan semakin memburuk? Sampai kapan hidup kami akan dipengaruhi oleh kondisi ini? Tak ada yang tahu jawabannya.

Dalam minggu-minggu belakangan ini, aku telah menyaksikan banyak orang Tiongkok membagikan pengalaman terisolasi di kota mereka sendiri melalui media sosial. Beberapa meratapi kebosanan mereka. Yang lain bercanda karena akhirnya mereka tahu seperti apa rasanya “hidup di penjara”. Beberapa lagi mengatakan bahwa sekarang mereka mengerti mengapa para ibu yang baru melahirkan dan harus tinggal di rumah seringkali merasa depresi. Akan tetapi, seiring dengan semakin tingginya kasus diagnosa dan kematian karena virus corona, tidak ada satupun yang berani bertindak gegabah.

Sebulan terakhir ini terasa seperti seabad bagiku. Ini bukan hanya tentang berapa lama aku terjebak di rumah. Setiap harinya, aku diperhadapkan dengan apa yang seringkali aku saksikan dalam film Contagion. Kondisi ini membuatku semakin merefleksikan kehidupan lebih mendalam.

Kita melihat kebenaran dengan lebih jelas di saat-saat yang sulit. Seperti dikatakan melalui Pengkhotbah 7: 2, “Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya.” Dalam menghadapi bencana dan kematian, kita dipaksa untuk memperhitungkan satu realita kehidupan: kita semua kelak akan mati.

Rasa Takut dalam Ketiadaan Harapan

Selama sebulan belakangan, tidak ada di antara kami yang menganggap enteng masalah ini. Kami menghadapi sebuah wabah epidemik, rasa takut kami semakin menggema. Orang-orang sulit untuk berpikir jernih. Kepanikan menguasai. Mereka memborong barang-barang penting seperti makanan dan obat-obatan, plus percaya kepada berita-berita bohong yang merebak.

Aku tidak memikirkan berita-berita tersebut sampai aku masuk ke supermarket terdekat dan melihat orang-orang belanja dengan rakusnya di sekitarku. Itulah saat di mana ketakutan menyelimutiku. Dua bungkus biskuit yang ingin kubeli berubah jadi satu kardus. Aku juga langsung membeli sekarton susu dan makanan lain. Bagaimana jika aku tidak punya kesempatan untuk membeli semuanya ini di kemudian hari? Bagaimana jika aku kehabisan makanan di rumahku sendiri? Selain kebutuhan sehari-hari, semua orang juga menambah stok obat demam dan obat batuk, sembari berharap bahwa semua ini akan memberikan rasa aman yang sangat kami butuhkan dalam menghadapi keputusasaan.

Rumor-rumor semakin berkembang dan justru makin menggelikan dari hari ke hari. Dalam satu kesempatan di malam hari, sebuah pernyataan resmi dirilis. Katanya ada satu obat Tiongkok bernama Shuang Huang Lian yang bisa menghentikan virus corona. Banyak orang yang salah paham dan mengira itu adalah pasta teratai kuning telur yang seringkali digunakan sebagai isi kue bulan, kue tradisional Tiongkok. Salah paham ini terjadi karena ada kata-kata bahasa Mandarin yang bunyinya mirip satu sama lain. Ketika besoknya aku bangun, bukan hanya obat-obatan yang ludes terjual melainkan kue bulan juga.

Ketakutan menyetir orang untuk melakukan berbagai macam tindakan tak masuk akal. Ketika kita kekurangan rasa damai yang berasal dari pengetahuan akan kebenaran, sangat mudah bagi kita untuk mempercayai kebohongan serta terperangkap dalam rasa takut dan kekhawatiran.

Namun, sebagai orang yang menjadi milik Kristus, kami memegang kebenaran, kedamaian, dan harapan yang telah dianugerahkan-Nya kepada kami (Roma 15:13). Oleh karenanya, kami tidak perlu takut atau khawatir akan apa yang akan terjadi, tapi kami bisa terus menaruh harapan kepada-Nya seiring dengan perjuangan kami melawan ketidakpastian.

Penyakit yang Memperbudak Kami

Selain rasa takut, kami juga merasa terjebak. Namun, sebuah percakapan antara aku dengan seorang teman dari luar negeri membantuku melihat sudut pandang lain dari krisis yang terjadi di negaraku, bahkan juga di dunia. Ketika aku bercerita bahwa sebulan terakhir di rumahku terasa menyesakkan seperti di penjara, dia memberitahuku bahwa hidup memang selalu seperti ini—hanya saja dalam cara yang berbeda.

Sebelum wabah virus corona merebak, kami terbelenggu dengan jadwal rutinitas kami yang super sibuk. Sebaris dialog dari film The Shawshank Redemption merangkum itu semua: “Kita sibuk menghidupi diri sendiri.”

Saat itu, kita sebenarnya telah diperbudak. Namun, pengejaran kita akan kesenangan duniawi menjebak kita untuk berpikir bahwa kita ini bebas. Dunia di mana kita hidup sebenarnya tak lebih dari sebuah penjara yang besar. Meskipun terlihat seakan kita bisa bebas memilih apa yang kita inginkan, kita tidak bisa melarikan diri dari tanggung jawab kita untuk belajar, bekerja dan terhadap keluarga kita. Begitu pula mereka yang tampaknya bebas dan bisa traveling ke mana saja.

Itulah mengapa banyak orang khawatir dan depresi. Dan meskipun kita berfantasi tentang pindah ke luar negeri dan memulai hidup yang baru, kita tidak menyadari bahwa kita mengulang hidup yang sama di mana saja.

Kebebasan sejati hanya bisa ditemukan di dalam Kristus (Yohanes 14: 6). Ketika kita datang kepada-Nya, Dia membebaskan kita dari pencarian kita akan tujuan dan kepuasan hidup yang tanpa akhir.

Wabah ini juga telah memperlihatkan belenggu-belenggu lain yang tak tampak dari permukaan. Kami melihat sisi gelap dari manusia. Oleh karena makin sedikitnya stok masker, beberapa penjual menaikkan harga (satu masker bisa dihargai 4.30 dolar AS atau setara dengan Rp 58 ribu). Begitu juga dengan masker bekas yang dijual kembali.

Supermarket juga menaikkan harga kebutuhan sehari-hari. Sebuah kubis kini dijual seharga 8.60 dolar AS atau setara dengan Rp 116 ribu! Bahkan ada laporan bahwa Persatuan Palang Merah Wuhan secara diam-diam menahan semua masker donasi dan baju pelindung. Alhasil, barang-barang ini tidak bisa sampai ke garda depan staf medis.

Dan ada pula berita tentang geng bersenjata di Hong Kong yang mencuri tisu toilet senilai 206 dolar AS (Rp 2,8 juta) dari supermarket karena takut akan kekurangan tisu toilet.

Membaca berita-berita seperti ini semakin membuat kami kehilangan harapan. Aksi-aksi manusia itu rasanya lebih menakutkan daripada melihat statistik virus corona yang terus meningkat. Aku percaya bahwa dengan usaha para ahli kesehatan dunia, kelak kita akan menemukan vaksin untuk melawan wabah ini.

Namun rasa sakit yang ada di dalam diri kita—dosa—akan tetap ada. Meskipun kita akan menemukan obat untuk berbagai penyakit fisik dan kembali ke kehidupan kita yang penuh “damai”, namun mereka yang korup akan tetap korup.

Jiwa kita sakit dan kesakitan ini jauh lebih menakutkan daripada virus corona. Tak ada obat, praktik-praktik spiritual maupun agama yang bisa menyembuhkan penyakit ini. Hanya satu Pribadi yang bisa:

“Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Markus 2:17).

Yesus adalah penyembuh kita yang luar biasa. Dia sendiri menanggung rasa sakit dan membayar harga mahal untuk menebus dosa kita dengan kematian-Nya. Dan penyembuhan ini cuma-cuma. Dia memberikannya kepada kita dengan penuh cinta.

Di saat-saat seperti ini, kita tidak perlu takut atau merasa bahwa kebebasan kita direnggut. Sebagai gantinya, semoga krisis yang kita alami ini mengarahkan kita kepada Kristus, memimpin kita untuk percaya kepada-Nya dan menerima berkat yang terbesar—kesembuhan sejati yang kita butuhkan.

Baca Juga:

Virus Wuhan: Tinggal di “Kota Hantu” dan Diliputi Ketakutan

Tulisan ini kutulis dari provinsi Jiangsu, tempat tinggalku. Semenjak virus Corona mewabah, negeriku diliputi kepanikan dan ketakutan. Kami hanya bisa terduduk di rumah, bahkan hanya turun tangga dan singgah ke warung pun rasanya luar biasa cemas.

Tempat Bernaung

Jumat, 21 Februari 2020

Tempat Bernaung

Baca: Efesus 3:14-21

3:14 Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa,

3:15 yang dari pada-Nya semua turunan yang di dalam sorga dan di atas bumi menerima namanya.

3:16 Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu,

3:17 sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih.

3:18 Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus,

3:19 dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.

3:20 Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita,

3:21 bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai selama-lamanya. Amin.

Sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu.—Efesus 3:17

Tempat Bernaung

Beberapa tahun setelah kematian tragis pasangan pertama mereka masing-masing, Robbie dan Sabrina jatuh cinta, menikah, dan menyatukan kedua keluarga mereka. Mereka membangun rumah baru yang diberi nama Havilah (dari bahasa Ibrani yang berarti “menggeliat kesakitan” dan “membawa keluar”). Kata itu melambangkan suatu keindahan yang dihasilkan dari proses yang menyakitkan. Pasangan ini berkata bahwa rumah itu tidak dibangun untuk melupakan masa lalu, melainkan untuk “membangun kembali hidup dari puing-puing reruntuhan, untuk merayakan pengharapan.” Bagi mereka, rumah itu menjadi “tempat bernaung, tempat mensyukuri kehidupan, dan tempat berpegang pada pengharapan akan masa depan.”

Sungguh suatu gambaran yang indah akan kehidupan kita di dalam Yesus Kristus. Dia mengangkat hidup kita dari puing-puing kehancuran dan menjadikan diri-Nya tempat pernaungan kita. Ketika kita menerima-Nya, Kristus pun diam di dalam hati kita (ay.17). Allah mengangkat kita menjadi anak dalam keluarga-Nya melalui Yesus sehingga kita juga menjadi milik kepunyaan-Nya (1:5-6). Walaupun kita akan mengalami masa-masa sulit, Dia dapat memakai hal-hal tersebut untuk membawa kebaikan dalam kehidupan kita.

Setiap hari, kita memiliki kesempatan untuk bertumbuh dalam pengenalan kita akan Allah sembari kita menikmati kasih-Nya dan mensyukuri segala sesuatu yang telah diberikan-Nya dalam hidup kita. Di dalam Dia, ada kepenuhan hidup yang takkan kita peroleh tanpa Dia (3:19). Kita pun memiliki janji bahwa hubungan ini bersifat abadi. Yesus adalah tempat kita bernaung, alasan kita mensyukuri hidup, dan pengharapan kita dari kini sampai selama-lamanya.—Anne Cetas

WAWASAN
Karena Paulus sendiri yang membawa orang-orang percaya di Efesus kepada iman yang benar (Kisah Para Rasul 19:1-10), ia menganggap mereka anak-anak rohaninya dan dengan teguh berkomitmen untuk rajin mendoakan pertumbuhan rohani mereka (lihat Filipi 1:3-6; 2 Tesalonika 1:11-12). Efesus 3:14-21 adalah salah satu dari doa Paulus yang tertulis dalam Perjanjian Baru (lihat juga Filipi 1:9-11; Kolose 1:9-12), dan merupakan doa keduanya di kitab Efesus (lihat juga Efesus 1:15-23). Dalam doa-doa ini, Paulus tidak mendoakan kesejahteraan jasmani mereka, tetapi berfokus pada pertumbuhan dan kedewasaan rohani. Dalam doa yang pertama, yang menekankan pada pengenalan, Paulus berdoa agar mereka memiliki “Roh hikmat dan wahyu” supaya mereka dapat “mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan [Allah]” (Efesus 1:17-18). Dalam doanya yang kedua (3:14-21), ia berfokus pada kasih dan mendoakan mereka yang telah “berakar serta berdasar di dalam kasih” supaya dapat “memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus” (ay.17-18).—K. T. Sim

Dalam hal apa saja Yesus telah mengubah hidupmu? Bagi kamu, apa artinya hidupmu menjadi milik kepunyaan Yesus?

Aku bersyukur karena aku miIik-Mu, Tuhan Yesus. Terima kasih atas hidup penuh pengharapan dari kini sampai selama-lamanya.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 1-3; Markus 3

Handlettering oleh Vivi Lio

Berhenti Melarikan Diri

Selasa, 9 Juli 2019

Berhenti Melarikan Diri

Baca: Yunus 2:1-10

2:1 Berdoalah Yunus kepada TUHAN, Allahnya, dari dalam perut ikan itu,

2:2 katanya: “Dalam kesusahanku aku berseru kepada TUHAN, dan Ia menjawab aku, dari tengah-tengah dunia orang mati aku berteriak, dan Kaudengarkan suaraku.

2:3 Telah Kaulemparkan aku ke tempat yang dalam, ke pusat lautan, lalu aku terangkum oleh arus air; segala gelora dan gelombang-Mu melingkupi aku.

2:4 Dan aku berkata: telah terusir aku dari hadapan mata-Mu. Mungkinkah aku memandang lagi bait-Mu yang kudus?

2:5 Segala air telah mengepung aku, mengancam nyawaku; samudera raya merangkum aku; lumut lautan membelit kepalaku

2:6 di dasar gunung-gunung. Aku tenggelam ke dasar bumi; pintunya terpalang di belakangku untuk selama-lamanya. Ketika itulah Engkau naikkan nyawaku dari dalam liang kubur, ya TUHAN, Allahku.

2:7 Ketika jiwaku letih lesu di dalam aku, teringatlah aku kepada TUHAN, dan sampailah doaku kepada-Mu, ke dalam bait-Mu yang kudus.

2:8 Mereka yang berpegang teguh pada berhala kesia-siaan, merekalah yang meninggalkan Dia, yang mengasihi mereka dengan setia.

2:9 Tetapi aku, dengan ucapan syukur akan kupersembahkan korban kepada-Mu; apa yang kunazarkan akan kubayar. Keselamatan adalah dari TUHAN!”

2:10 Lalu berfirmanlah TUHAN kepada ikan itu, dan ikan itupun memuntahkan Yunus ke darat.

Dalam kesusahanku aku berseru kepada Tuhan, dan Ia menjawab aku, dari tengah-tengah dunia orang mati aku berteriak, dan Kaudengarkan suaraku. —Yunus 2:2

Berhenti Melarikan Diri

Pada tanggal 18 Juli 1983, seorang kapten Angkatan Udara Amerika Serikat menghilang tanpa jejak dari kota Albuquerque di negara bagian New Mexico. Tiga puluh lima tahun kemudian, pihak berwenang menemukannya di California. Surat kabar The New York Times melaporkan bahwa orang tersebut mengalami “depresi dengan pekerjaannya” dan memutuskan untuk melarikan diri begitu saja.

Tiga puluh lima tahun dalam pelarian! Setengah dari masa hidupnya dihabiskan dalam kondisi tidak tenang. Pastilah kekhawatiran dan paranoia selalu membayangi dirinya.

Namun, harus diakui saya juga tahu sedikit banyak apa rasanya menjadi seorang “pelarian”. Memang saya tidak pernah melarikan diri dari sesuatu dalam hidup saya . . . secara fisik. Namun, adakalanya saya tahu ada sesuatu yang Tuhan mau saya lakukan, atau sesuatu yang harus saya hadapi atau akui. Akan tetapi, saya tidak ingin melakukannya, dan itu sama saja dengan melarikan diri dari-Nya.

Nabi Yunus dikenal karena pernah melarikan diri dari tugas yang diberikan Allah untuk berkhotbah ke kota Niniwe (lihat Yun. 1:1-3). Tentu saja Yunus tidak mungkin bisa melarikan diri dari Allah. Kamu mungkin sudah mengetahui kisah selanjutnya (ay.4,17): Badai besar. Ikan besar. Ditelan ikan. Lalu, di dalam perut makhluk yang menakutkan itu, Yunus dihadapkan pada perbuatannya, dan ia pun berseru meminta tolong kepada Allah (2:2).

Yunus bukanlah nabi yang sempurna. Namun, saya terhibur oleh kisahnya, karena Allah tidak pernah melepaskan Yunus walaupun ia sangat keras kepala. Tuhan masih menjawab doa yang dinaikkan Yunus dalam kepasrahan dan dengan kemurahan-Nya memulihkan kembali sang hamba yang enggan (ay.2). Tuhan juga sanggup melakukan hal yang sama terhadap kita. —Adam Holz

WAWASAN
Semula, Yunus diutus untuk melayani kerajaan Israel utara pada masa pemerintahan raja Yerobeam II (2 Raja-raja 14:23-28). Allah kemudian mengutusnya untuk bernubuat kepada Ninewe, ibukota Asyur, guna memperingatkan mereka agar bertobat atau menghadapi penghakiman Allah (Yunus 1:1). Setelah Yunus menolak melakukan misi baru ini dan melarikan diri ke arah yang berlawanan (ay. 3), Allah mendisiplinkannya dengan memerintahkan seekor ikan besar untuk menelannya (ay. 4, 17). Dalam Yunus 2, diceritakan doa pertobatan nabi Yunus selama berada di dalam perut ikan. Yesus memakai peristiwa ini untuk memberikan tanda tentang kematian dan kebangkitan-Nya. “Karena sama seperti Yunus yang berada dalam perut ikan besar selama tiga hari dan tiga malam, demikian juga Anak Manusia akan berada di dalam bumi selama tiga hari dan tiga malam” (Matius 12:40; Yunus 1:17). —K.T. Sim

Perkara apa yang membuatmu ingin melarikan diri dalam hidup ini? Bagaimana kamu dapat semakin mempercayakan segala pergumulan hidupmu kepada Allah?

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 38-40; Kisah Para Rasul 16:1-21

Handlettering oleh Tora Tobing

Belajar Menerima Hal Buruk, Sebagaimana Aku Menerima Hal Baik dari Tuhan

Oleh Debora Asima Rohayani, Jakarta

17 September 2015, tanggal yang tidak bisa aku lupakan sampai saat ini. Hari itu rumah uwak, kakak dari mamaku mengalami musibah kebakaran. Rumah kami bersebelahan sehingga sebagian rumahku pun terkena kobaran api. Ketika menerima telepon tentang kejadian ini, aku sedang bekerja di kantor. Dengan segera aku pun pulang ke rumah.

Aku tidak melihat ada satu pun yang tersisa dari rumah uwakku, semuanya rata dengan tanah. Keponakan kembarku yang berusia dua tahun meninggal dalam musibah tersebut, kedua-duanya! Hatiku hancur, kakiku sudah tak kuat untuk berdiri rasanya. Aku melihat mamaku duduk tanpa ekspresi apa pun di depan rumah. Aku memeluknya, membisikkannya, “semua pasti baik-baik saja, Ma”. Tapi, kondisi saat itu jelas tidak sedang baik-baik saja. Aku berusaha menguatkan semua anggota keluargaku dengan membendung air mataku.

Aku lalu masuk ke dalam rumahku sendiri dan melihat semuanya hancur tak berbentuk. Aku tak dapat menahan lagi sesaknya hati ini. Aku menangis dalam kesendirianku. Semua peristiwa ini seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Dalam hatiku, aku bertanya, “Tuhan, apa dosa yang aku perbuat?” Tanpa kusadari, pikiranku terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan lainnya. “Apakah ini hasil aku melayani-Mu di gereja, berdoa, membaca firman-Mu? Adik-adikku juga melayani-Mu”. Saat itu, hanya pertanyaan demi pertanyaan yang terlintas di benakku, pertanyaan yang lebih mengacu kepada protesku pada Tuhan.

Namun, aku teringat tentang bagaimana Ayub yang di dalam kesalehan hidupnya mengalami hal yang sangat buruk, sangat tidak adil. Dan, ayat ini kemudian muncul di kepalaku:

“Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut” (Ayub 1:22).

Ayub berusaha memakai sudut pandang Allah dalam menjalani apa yang terjadi di hidupnya. Aku tahu, apa yang dialami Ayub adalah sesuatu yang rasanya begitu berat untuk ditanggung seorang manusia. Dan kupikir, musibah yang kualami mungkin tidak lebih berat daripada yang Ayub alami.

Tapi, hidup ini rasanya tidak mudah bagiku. Kami harus tidur tanpa lampu penerangan karena semua aliran listrik dipadamkan. Sempat ada tetangga yang memberikan sambungan listrik, tapi tiba-tiba mereka mencabutnya kembali tanpa aku tahu alasannya. Dan, untuk pertama kalinya aku harus tidur di bawah langit malam secara langsung, ya tanpa atap. Saat hujan, kami berteduh di rumah tetangga yang lain. Bayangan canda tawaku dengan dua keponakanku selalu muncul di kepalaku. Tak sekali-kali air mataku pun mengalir.

Beberapa hari setelah musibah itu menjadi titik terendah dalam hidupku. Fase di mana aku bingung apakah aku mau tetap percaya kepada-Nya, atau berhenti berharap. Jelas sangat sulit, apalagi setelah aku mengetahui bahwa biaya untuk merenovasi total rumahku harus menggunakan uang tabungan mama yang awalnya ditujukan untuk membiayai kuliah adik pertamaku. Adikku bersedia merendahkan hatinya dan merelakan kesempatannya berkuliah. Adikku yang kedua akan masuk SMP tahun depan. Dan sebagai anak pertama yang baru bekerja dan kuliah di semester awal, aku bisa apa? Aku merasa semuanya tidak ada harapan lagi.

Tapi, ada satu kalimat yang muncul dalam hatiku. “Apakah kamu hanya mau menerima yang baik, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Kalimat ini menyentakku. Dari sudut pandangku sebagai manusia, jelas apa yang kualami rasanya begitu buruk dan tak mampu kutanggung. Tapi, maukah aku melihat musibah ini dari sudut pandang-Nya?

Aku menyesali segala pikiranku yang hanya menuntut Tuhan untuk mengerti perasaan dan mauku. Aku percaya bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi yang luput dari pengawasan-Nya. Alih-alih menyerah, aku berusaha menguatkan kepercayaanku kepada Tuhan Yesus, dan belajar seperti Abraham yang sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, Abraham tetap memilih untuk berharap dan percaya (Roma 4:18).

Bulan demi bulan kami lalui, yang aku rasakan Tuhan memeliharaku dan keluargaku, walau ada tangisan dan pengorbanan dalam perjalanan yang kami lalui. Aku sempat merasa tidak mampu lagi, tetapi Tuhan menghiburku. Tuhan mengingatkanku kembali bahwa Tuhan Yesus selalu ada bagi aku dan keluargaku. Mama sudah 15 tahun menjadi single fighter bagiku dan adik-adikku karena Papa sudah meninggal sejak aku kelas 2 SD. Dan, Tuhan selalu mencukupkan segala keperluan kami. Bahkan adik-adikku tetap dapat berkuliah dan membayar kebutuhan masuk SMP tepat waktu. Aku merasakan kekuatan tangan Tuhan Yesus yang perkasa, yang memampukan mamaku untuk menghidupi ketiga anaknya.

Aku mungkin tidak dapat menyelami apa rencana Tuhan dari awal sampai akhir. Tapi Allah turut bekerja di dalam segala sesuatu, bahkan di dalam kesengsaraanku, untuk mendatangkan kebaikan. Yang aku rasakan adalah Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkanku, Dia selalu ada. Kalau Yesus terasa jauh, mungkin akulah yang mulai menjauh dari kasih-Nya.

Kalau saat ini kita merasa beban hidup sangat berat, seolah tidak ada hasil yang baik, tidak ada perubahan atas keluarga, pasangan, atau apapun itu, tetaplah percaya kepada-Nya. Tuhan Yesus, Dia sudah membuktikan menang atas maut di kayu salib. Dia juga sanggup menjadikan kita menang atas masalah apapun yang sedang kita alami saat ini, asalkan kita tidak menyerah. Karena Tuhan Yesus juga tidak pernah menyerah untuk tetap mengasihi kita dengan segala ketidaklayakan kita.

Di masa-masa yang lalu, kita mungkin pernah mengalami kesulitan. Tapi, sekarang kita telah tiba di titik ini meskipun mungkin kita mencapainya dengan tertatih-tatih. Kita berhasil melewatinya karena Yesus menyertai di setiap musim hidup kita. Mungkin kita terjatuh, tapi Dia tidak akan membiarkan kita tergeletak. Dan, pergumulan yang kita alami saat ini akan membuat kita melihat segala perkara besar yang Yesus sanggup lakukan, selama kita menaruh pengharapan kita kepada-Nya. Pengharapan di dalam Tuhan tidak pernah mengecewakan dan salib-Nya yang ada di depan kita akan membawa kita kepada kemenangan.

“Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang” (Amsal 23:18).

Tetap bertahan, kawanku.

Tuhan memberkati.

Baca Juga:

Benang Merah Kehidupan

Dalam hidupku, ada suatu hal yang awalnya kuanggap kurang penting. Tapi, inilah yang kemudian dipakai Tuhan sebagai sarana untukku memuliakan-Nya.

Kepada Temanku yang Berpikir untuk Menyerah

Oleh Rebecca Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: A Letter To The Friend Who Feels Like Giving Up On God

Temanku,

Aku terkejut dan tak menyangka ketika kamu berkata bahwa kamu ingin “menyerah”.

Tapi, jika aku memutar kembali memoriku, kupikir keputusan itu seharusnya tidaklah mengejutkanku.

Untuk waktu yang lama, kamu bergumul dengan rasa sakit, konflik yang tak kunjung selesai, dan beban emosi yang menunggangimu. Kami melihat rasa sakitmu sebagai tanda seolah Tuhan telah meninggalkan dan mengabaikanmu di tengah belantara sendiran.

Mungkin saat ini kamu menyangkali perasaanmu, tapi aku ingin kamu tahu akan suatu kebenaran.

Terkadang, sulit rasanya untuk melihat kembali perjalanan kita di belakang, terutama ketika perjalanan itu seolah tidak tampak ujungnya. Dan, aku pun tahu betapa kerasnya kamu sudah berusaha untuk mencari Tuhan di tengah banyak pencobaan yang kamu lalui selama beberapa tahun belakangan. Aku tahu kamu berusaha menggenggam erat tangan Tuhan terlepas situasi yang tak dapat kamu pahami. Aku tahu betapa susah payahnya kamu berjuang untuk menemukan jawaban.

Kamu mengorbankan banyak bagian dari masa mudamu untuk melayani-Nya. Kamu menukarkan tawaran pekerjaan yang menguntungkan untuk pekerjaan misi Tuhan—merelakan kenyamanan materialmu, keuanganmu, dan bahkan relasi dengan keluargamu—untuk hidup di antara orang miskin dan membangun kerajaan-Nya di sana. Kamu merasa hancur ketika segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang kamu harapkan, dan kamu malah diminta untuk pergi meninggalkan pekerjaanmu setelah banyak perselisihan dengan rekan sekerjamu. Kamu pun pulang ke rumah dengan hati yang hancur, letih, dan kecewa.

Tapi, kamu masih belum mau menyerah, kamu masih berjuang untuk memberikan hidupmu untuk Tuhan. Kamu ingin hidupmu berkenan pada-Nya, jadi kamu melibatkan dirimu lebih banyak ke dalam kesempatan pelayanan, mengikuti studi teologi, dan meluangkan lebih banyak waktumu bersama Tuhan.

Aku ingat percakapan panjang yang pernah kita lakukan. Mengapa Tuhan mengizinkan semua ini terjadi? Mengapa Tuhan tidak memberimu jalan keluar? Mengapa Tuhan membuat segalanya lebih mudah supaya kita bisa melihat bahwa Dia bekerja di balik layar? Waktu itu kuharap aku bisa menolongmu menemukan jawaban-jawaban yang baik, yang memberi penghiburan, dan juga kedamaian.

Hingga saat ini, aku masih belum memiliki jawabannya.

Namun, inilah yang kuingin kamu tahu: Di momen terendah dalam hidupku sekalipun, Tuhan tidak pernah meninggalkanku.

Ingatkah kamu suatu masa ketika aku merasa seperti ada di puncak dunia—aku merasa seolah aku mendapatkan pekerjaan impianku hingga kemudian semuanya hancur hanya dalam satu hari? Hari itu, aku tidak hanya kehilangan pekerjaan, aku kehilangan visi dan semangat hidupku, semua rencana yang telah kususun berubah jadi butiran debu.

Butuh waktu yang lama untukku pulih dan mulai percaya lagi kepada Tuhan, bahwa Tuhan sedang melakukan sesuatu dalam hidupku. Tapi, di masa itu, kamu ada bersamaku ketika aku memutuskan untuk mengambil jeda sejenak dan pergi ke suatu tempat selama enam bulan, berharap dari perjalanan itu aku bisa mendapatkan visi yang lebih jelas akan apa yang harus kulakukan kelak.

Ingatkah kamu selama sembilan bulan setelahnya aku berjuang untuk mendapatkan pekerjaan? Aku lelah, tiap aplikasi lamaran kerjaku tidak berbalas. Aku pun harus mengahadapi banyak pertanyaan tentang mengapa aku masih menganggur. Kamu tahu betapa aku enggan ke luar dari rumah, aku takut menghadapi lebih banyak lagi pertanyaan yang tak mampu kujawab. Dan, kamu ada bersamaku hingga akhirnya ada tawaran kerja datang padaku.

Kamu ada bersamaku untuk mendengarkanku ketika aku terjebak dalam lingkungan kerja yang beracun, hingga aku bertanya-tanya apakah aku mendengarkan kata Tuhan untuk mengambil pekerjaan ini? Adalah perjuangan yang berat untuk bangun dari tidur setiap harinya, dan tiba di rumah setiap malam dengan tubuh lelah dan jiwa tertekan, bertanya-tanya bagaimana bisa aku mengumpulkan energi untuk bisa kembali bekerja besok.

Kamu melihatku tumbuh dalam keputusasaan ketika satu-satunya temanku di tempat kerja pindah ke tempat lain. Aku heran, mengapa Tuhan memberi jalan keluar bagi orang lain dengan mudahnya, sedangkan aku terjebak di sana dan harus memperjuangkan hidupku sendiri. Aku merasa pahit dan marah pada Tuhan, aku tidak bisa mengerti apa baiknya untukku jika aku tetap berada di tempat itu.

Lebih dari satu tahun aku bergumul demikian hingga akhirnya aku menemukan jalan keluar.

Sekarang, beragam rasa sakit dan kebingungan yang kualami dulu datang bersamaan. Dan, aku mulai melihat gambar yang Tuhan maksudkan untuk hidupku.

Aku mungkin bertanya-tanya apakah segala rasa sakit yang kualami itu sia-sia atau tidak, tapi yang kutahu adalah rasa sakit itu memberiku sedikit pemahaman akan apa yang ingin kubagikan dalam persekutanku bersama Tuhan Yesus.

Aku membagikan ceritaku bukan supaya kamu meremehkan apa yang sedang kamu alami, atau membubuhi garam dalam lukamu. Aku menulis ini untuk mengingatkanmu betapa aku menghargai kebersamaan denganmu, ketika kamu duduk bersamaku dalam dia, meratap bersamaku di dalam pergumulanku, dan bersukacita ketika aku mendapatkan jalan keluar. Dan, yang kuingin kamu tahu adalah aku ada di sini untuk melakukan yang sama untukmu.

Selama beberapa tahun, aku mendengar Paulus berkata dalam 2 Korintus 1:3-7. Aku bersukacita untuk kesempatan berjalan bersamamu, menghiburmu dengan penghiburan yang telah kuterima dari Tuhan (ayat 4).

Hari ini, salah satu lagu favoritmu terputar di playlist-ku, dan itu mengingatkanku akan api yang dulu pernah membara dalam dirimu, kerinduanmu untuk melihat kebaikan Tuhan dalam hidupku dan hidup orang-orang di sekitarmu (Mazmur 27:13).

Mungkin kata-kataku ini rasanya tak berarti buatmu sekarang.

Tapi, seperti pertemanan dan pertolongan doa darimu menolongku untuk melihat kembali pada Tuhan, aku mau tetap berdoa dan percaya bersamamu, bahwa kita akan bersama-sama melihat kebaikan Tuhan. Suatu hari, kamu akan memahami alasan di balik apa yang kamu alami, dan waktu-waktu yang telah kamu luangkan tidaklah berakhir sia-sia.

Dan di lain kesempatan ketika kamu menyanyikan lagu “Engkau baik”, akan ada api semangat yang berbeda. Api itu akan menjadi api kepercayaan seperti yang diucapkan oleh pemazmur yang berkata, “TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut?” (Mazmur 27:1). Tuhan tahu jalan hidup kita, dan ketika Dia menguji kita, kita akan timbul seperti emas (Ayub 23:10). Kita akan mengalami itu sebagai buah dari kelembutan hati yang bersedia mencicipi dan melihat kebaikan Tuhan, bahkan ketika kita telah memutuskan untuk melepaskan tangan-Nya.

Sampai tiba masa itu, aku akan terus berdoa untukmu, berjalan bersamamu, dan menunggu bersamamu.

Dengan kasih,

Temanmu.

Baca Juga:

Kecelakaan Hebat Menghancurkan Hidupku, Namun Kisahku Tidak Berakhir di Situ

Ketika aku berusia 16 tahun, segala sesuatu dalam hidupku berjalan dengan baik. Aku unggul di bidang akademis dan olahraga Judo, masa depanku tampak menjanjikan. Namun, hari-hari kejayaanku itu berakhir secara tragis dan mendadak pada 20 April 2010. Aku mengalami cedera otak traumatik (traumatic brain injury; TBI).

Sia-Siakah Kita Bersabar?

Hari ke-27 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Sia-Siakah Kita Bersabar?

Baca: Yakobus 5:7-11

5:7 Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi.

5:8 Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!

5:9 Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu.

5:10 Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan.

5:11 Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.

Sia-Siakah Kita Bersabar?

Aku merasa cukup sudah. Hatiku sangat berat memikirkan hal-hal yang menyakitkan ini. Untuk apa terus membawa rasa sakitku dalam doa jika tidak ada yang akan segera berubah?

Tuhan telah memintaku membawa rasa sakitku kepada-Nya daripada menekannya atau berusaha mengatasinya sendiri dengan cara yang tidak sehat. Saat aku melakukannya, kehadiran Tuhan yang memberi ketenangan terkadang bisa kurasakan begitu nyata. Adakalanya Tuhan juga menunjukkan cara pandang atau pemikiran baru terhadap situasi yang aku hadapi.

Namun malam itu, tidak ada yang terjadi. Aku merasa diliputi oleh kesia-siaan. Rasa sakit itu masih di sana. Aku masih merasa terluka.

Di tengah rasa putus asa dan frustrasi, Tuhan mengingatkanku pada Yakobus 5:7-8 yang berkata, “Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi. Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!

Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa ketika para petani menabur, hujan tidak langsung datang. Si petani harus menanti turunnya hujan untuk menyirami tanah itu. Hujan musim gugur dan hujan musim semi hanya akan datang pada waktu tertentu, tidak setiap saat.

Pada intinya, kesabaran adalah salah satu karakter yang dibentuk dalam proses menantikan Tuhan dan mempercayai waktu-Nya. Kita belajar untuk tidak menjadi gelisah karena hasil yang tidak segera terlihat.

Yakobus mengingatkan bahwa kita tidak perlu menanti dalam ketidakpastian. Titik akhirnya jelas adalah “kedatangan Tuhan” (ayat 7-8) yang “sudah dekat” (ayat 8). Ada dua pengertian yang aku dapatkan dari ayat ini. Pertama, dalam kedaulatan-Nya, Tuhan berkuasa untuk datang melakukan sesuatu dalam situasi yang sedang kita hadapi di dunia ini. Kedua, bila Tuhan memilih tidak melakukannya, sudah pasti, di akhir sejarah dunia ini Dia akan “menghapus segala air mata” dari mata kita (Wahyu 21:4a). Sebagai orang-orang Kristen, kita semua sangat menantikan waktunya “tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Wahyu 21:4b).

Apa yang kita tabur sekarang dengan air mata itu ibarat benih-benih kecil, tidak ada artinya dibandingkan dengan panen sukacita yang melimpah—karena “hasil yang berharga” dari tanah yang ditabur (ayat 7) Tuhan akan membuat kita menuai hasilnya. Karena di dalam Kristus, Dia akan membawa kita menuai hasil. Di dalam Kristus, “penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Korintus 4:17-18).

Bagian Alkitab ini mengakui bahwa menanti-nantikan Tuhan untuk menyembuhkan rasa sakit kita dapat membuat kita gelisah dan tidak bahagia. Namun, bagian ini juga mengingatkan kita: “Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu” (ayat 9).

Ketika diri kita merasa gelisah, takut, atau bergumul dengan cara lain saat menghadapi masalah yang sulit untuk waktu yang lama, kita bisa saja melampiaskan rasa sakit kita dan meluapkan rasa frustrasi kita kepada orang lain. Perasaan itu bisa keluar sebagai rasa iri atau cemburu kepada orang-orang yang menurut kita memiliki hidup lebih baik dari kita. Mungkin juga kita akan tergoda untuk menjadi tidak sabaran atau mudah tersinggung oleh orang lain saat kita berusaha mengatasi perasaan dalam batin kita.

Kita harus menjaga agar cara kita menghadapi situasi sulit tidak menyebabkan kita menaburkan pertikaian dalam hubungan-hubungan kita. Sikap yang “bersungut-sungut” dan menyalahkan saudara-saudara kita, tidaklah menyenangkan Tuhan.

Sebaliknya, kita harus bertekun dalam perjalanan kita sama seperti para nabi Perjanjian Lama. Yakobus mengajar kita, “Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan. Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun” (ayat 10-11a). Bisa bertekun melewati penderitaan adalah sebuah berkat, karena pada akhirnya ketekunan itu akan menghasilkan pengharapan yang tahan uji dalam kasih Tuhan kepada kita (Roma 5:3-5).

Terakhir, Yakobus juga memberitahu kita betapa pentingnya mengingat kehadiran Tuhan yang menyertai kita saat kita bertekun. Ia mengingatkan bagaimana Tuhan datang untuk Ayub, dan bahwa Tuhan itu ada di pihak kita: “Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan” (ayat 11).

Karena Tuhan itu penuh belas kasihan dan rahmat, kita dapat sepenuhnya percaya bahwa Dia berkuasa untuk campur tangan dalam kesulitan yang harus kita hadapi dengan cara yang akan membawa kita menuai sukacita.

Yang perlu kita lakukan adalah bertekun mempercayai hati-Nya untuk kita, dan menantikan Dia menolong kita. —Raphael Zhang, Singapura

Handlettering oleh Robby Kurniawan
Photo credit: Ian Tan

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dalam bidang kehidupan mana saja kamu mengalami kesulitan? Apa yang telah menolongmu untuk lebih sabar menantikan Tuhan dalam bidang-bidang kehidupan tersebut?

2. Apakah cara kamu menantikan Tuhan memunculkan ketegangan atau gesekan dalam hubunganmu dengan orang lain? Jika ya, apa saja yang bisa kamu lakukan secara berbeda?

3. Dalam menghadapi penderitaan, apakah kamu percaya bahwa Tuhan itu ada di pihakmu dan Dia akan datang untuk menolong, sama seperti yang dilakukan-Nya untuk Ayub? Jika kamu ragu, apa yang menurutmu dapat menolongmu untuk memahami karakter Tuhan sebagaimana yang diajarkan Kitab Suci?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Raphael Zhang, Singapura | Raphael suka membaca dan menulis, dan dua aktivitas ini dia gunakan sebagai sarana untuk terhubung dengan firman Tuhan. Sejak Raphael dipulihkan oleh Tuhan dari kehancurannya, Raphael bersemangat untuk menolong orang lain agar dapat dipulihkan juga oleh Tuhan yang begitu mengasihi manusia. Raphael juga tergila-gila pada keju, tetapi cinta terbesarnya tetaplah Yesus.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus