Posts

Pinjam Teropongnya!

Kamis, 12 Maret 2015

KomikStrip-WarungSaTeKaMu-20150312-Pekerjaan-Tangan-Nya

Baca: Mazmur 19:2-7

19:2 Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya;

19:3 hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam.

19:4 Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar;

19:5 tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. Ia memasang kemah di langit untuk matahari,

19:6 yang keluar bagaikan pengantin laki-laki yang keluar dari kamarnya, girang bagaikan pahlawan yang hendak melakukan perjalanannya.

19:7 Dari ujung langit ia terbit, dan ia beredar sampai ke ujung yang lain; tidak ada yang terlindung dari panas sinarnya.

Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya. —Mazmur 19:2

Pinjam Teropongnya!

Waktu saya masih di sekolah dasar, saya dan teman saya, Kent, sering memandangi langit di malam hari dengan sebuah teropong buatan Jerman. Kami sangat kagum melihat bintang-bintang di langit dan gunung-gunung di bulan. Sepanjang malam kami bergantian berkata, “Pinjam teropongnya!”

Berabad-abad sebelumnya, seorang gembala muda Ibrani juga merasa kagum saat melihat langit di malam hari. Ia tidak memiliki teropong atau teleskop sebagai alat bantu, tetapi ia memiliki sesuatu yang jauh lebih penting, yaitu hubungan pribadi dengan Allah yang hidup. Saya membayangkan Daud memandang ke langit, dengan latar belakang embikan domba yang terdengar sayup-sayup. Lalu Daud menuliskan kalimat yang diilhami oleh Allah: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam” (Mzm. 19:2-3).

Di tengah hari-hari kita yang sibuk, kita dapat dengan mudahnya lupa untuk mengagumi keindahan langit yang telah diciptakan Allah untuk kita nikmati dan untuk kemuliaan-Nya. Bila kita menyediakan waktu untuk memandangi langit di malam hari dan mengagumi segala isinya yang indah, kita akan semakin mengenal Allah dan kuasa serta kemuliaan-Nya yang kekal. —Dennis Fisher

Kami percaya bahwa dunia ini milik-Mu, ya Tuhan. Saat melihat langit dan dunia di sekitar kami, kami kagum akan Engkau dan daya cipta-Mu. Engkau, dan karya ciptaan-Mu benar-benar luar biasa! Kami kagum dan hormat kepada-Mu.

Melalui keajaiban dari karya ciptaan Allah, kita dapat melihat keagungan dan karakter-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 17-19; Markus 13:1-20

CerpenKaMu: Penyembahan Puja

Oleh: Yohana P.D.Utami

penyembahan-puja

Kacau! Kacau sekali jalannya ibadah pagi itu. Penyanyi dan pemusik kejar-kejaran nada. Jemaat pun sangat tidak antusias dalam melantunkan puji-pujian. Tidak ada suasana penyembahan yang syahdu menghanyutkan kalbu. Yang ada hanyalah gerutuan dalam hati yang memuncak menjadi nyanyian sumbang. Mana mungkin ada damai sejahtera yang melegakan kalau begini caranya! Duh, Tuhan, ampunilah kami.

Persiapanku menjadi sia-sia, acara ibadah terasa sangat berantakan. Padahal aku dan rekan-rekan sudah latihan dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Alat-alat musik dan sound system sudah dicek semua. Demikian juga perlengkapan multi media, semua sudah siap, rapi jali. Kurang apa lagi? Apakah memang jemaat di tempat kami ini tidak bisa mengekspresikan pujian dan penyembahan dengan segenap keberadaan? Bukankah Tuhan merindukan umat-Nya untuk menyembah-Nya dengan segenap kekuatan, akal budi, dan jiwa?

Letih sekali rasanya memimpin pujian dan penyembahan di mana tidak ada keselarasan antara tim ibadah dengan jemaat. Bayangkan saja bagaimana kita sudah bersemangat mengajak jemaat untuk menyanyikan gita nada bagi Tuhan tapi jemaat sepertinya adem ayem saja. Atau mereka bertepuk tangan, tetapi lirak-lirik samping kiri kanan karena tidak percaya diri dan malah sibuk melihat orang lain yang juga sama-sama tidak antusias. Apalagi saat masuk ke dalam musik lembut yang dimaksudkan sebagai pengantar doa. Semestinya, semua dapat masuk ke dalam suasana doa sembari menyanyi. Tapi kenyataannya? Garing! Pujian yang diulang-ulang terasa sangat lama dan membosankan. Salah siapa ini?

Namaku Puja Rahayuningtyas. Setengah tahun sudah aku memimpin tim ibadah ekspresif di tempat pemujaan ini. Tantangannya banyak sekali. Mulai dari kebiasaan dan tata cara ibadah yang terkesan monoton dan kurang bergairah, sampai ke gegar budaya antara generasi senior dan junior yang berbeda selera musik dan pemahaman teologisnya. Aku yang berada di antara gap generasi itu, dalam usiaku yang menginjak kepala tiga ini, harus menjadi mediator untuk menjaga komunikasi dan menyampaikan aspirasi. Meskipun gereja tempat aku berjemaat termasuk yang cukup dinamis bagi denominasinya, tetap saja ada semacam penghalang bagiku untuk mengajak jemaat mencoba lebih ekspresif dalam ibadahnya, khususnya dalam melantunkan pujian sembahyang.

Mbak Puja,” kata Bapak Pendeta suatu ketika, ”Mungkin ada baiknya Mbak Puja istirahat dulu dari pelayanan pujian di depan.”

Maksud Bapak? Apakah saya sudah tidak layak lagi?” ada sudut hati yang mendadak terasa perih.

Bukan, bukan begitu. Saya melihat Mbak Puja sepertinya terlalu letih. Itu saja.

Jadi?”

Ambillah waktu untuk retret pribadi, Mbak. Biar mbak Puja mendapat penyegaran dari Tuhan. Untuk ibadah Natal dan Tahun Baru kali ini, biar diserahkan ke anak-anak pemuda dan remaja saja.”

Maka, di sinilah aku pada malam tahun baru kali ini. Tidak turut serta dalam hingar-bingar persiapan ibadah Natal dan tahun baru di gereja. Aku lebih banyak berdiam diri di rumah, mengurus acara Natal kecil keluargaku. Acaranya pun bukan aku yang menyusun. Aku hanya membantu mengiringi musiknya (ya, aku bisa bermain piano atau kibor sekadarnya). Dan, waktu-waktu luang yang ada lebih banyak kugunakan untuk mencari wajah Tuhan—istilah umum untuk bermeditasi menurut imanku—di kamar atau di tempat aku bisa berdua saja dengan-Nya. Waktu-waktu yang sering hilang di tengah kesibukan pelayananku.

Kudapati memang aku letih, lesu, dan berbeban berat. Hatiku jauh dari hening, apalagi bening. Perasaan gagal dan marah membuatnya kian keruh. Aku terlalu terobsesi untuk membawa jemaat bisa ikut “memuji dan menyembah Tuhan” menurut versi yang aku harapkan, meskipun tentunya tetap dalam pakem tata liturgi yang menjadi ciri khas gerejaku. Begitu terobsesinya aku sehingga aku melupakan esensi dari penyembahan dan pujian itu sendiri. Ya, memuji dan menyembah Tuhan itu bukanlah sesuatu yang bisa direka-reka dari luar. Bahkan dengan musik yang paling indah sekalipun. Penyembahan adalah respons yang keluar dari hati. Respons itu akan mengalir dengan sendirinya secara alamiah tanpa dibuat-buat, ketika jemaat dibawa untuk mengingat siapa Pribadi Tuhan yang mereka sembah. Tiap jemaat mungkin datang dengan beragam pergumulan. Bila tiap orang berfokus pada dirinya masing-masing, termasuk pemimpin ibadahnya, bagaimana mungkin tercipta harmoni dalam memuja? Hanya ketika tiap hati bersentuhan dengan hati Tuhan, tiap pikiran dipenuhi kebenaran tentang Dia, barulah suasana penyembahan yang indah dapat tercipta sebagai respons atas kehadiran-Nya.

Malam tahun baru di rumah keluarga besarku, kami sekeluarga duduk melingkar di atas tikar pandan yang hangat. Setelah mendengarkan renungan dari seorang saudaraku, tibalah saatnya tiap-tiap orang melakukan perenungan pribadi. Hanya ada piano tua yang tersedia di hadapanku. Tanpa alat musik lainnya, tanpa perlengkapan multimedia dan sound system yang canggih.

Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku
Dia membaringkan aku di padang yang berumput hijau

Jemariku mulai menari di atas piano, melantunkan kebenaran tentang Tuhan yang dinyatakan dalam Mazmur 23. Setelah satu bait, hatiku tak tahan untuk tidak menyenandungkan liriknya perlahan. Sungguh Tuhan adalah gembalaku! Betapa sering aku menyimpang, tetapi Sang Gembala selalu membawaku pulang. Terima kasih Tuhan, untuk penyertaan-Mu di sepanjang tahun yang telah lewat! Hatiku membuncah dengan rasa syukur. Tak berapa lama kemudian kudengar satu per satu anggota keluargaku turut bersenandung. Hatiku bergetar. Suara-suara sederhana. Lagu lama tanpa aransemen istimewa. Namun, kami sama-sama mengangkat pujian dari hati kami. Sukacita dan damai surgawi rasanya melingkupi segenap ruangan, ketika kami melantunkan puja dalam balutan kesederhanaan. Aku percaya, malaikat-malaikat pun ikut bersenandung memuja Sang Raja.

Maka jiwaku pun memuji-Mu, sungguh besar Kau Allah-ku
Maka jiwaku pun memuji-Mu, sungguh besar Kau Allah-ku

Pujian demi pujian mengalun hingga malam usai. Kesegaran baru mengaliri jiwaku seiring dengan tahun yang berganti. Aku yakin tak satu pun kerabat yang pulang dengan sia-sia hari itu. Semua mendapatkan berkat dan rahmat yang tiada terhingga. Wajah-wajah penuh syukur dan pengagungan menghiasi ruangan, saat kami saling berjabat tangan, menyemangati satu sama lain di tahun yang baru. Terima kasih Tuhan yang Maha Agung, Engkau sudah berkenan menerima ungkapan syukur, doa, dan pujian kami. Sungguh aku bersyukur atas segala yang ada dalam hidupku. Tolong aku ‘tuk selalu menghidupi namaku, Puja – Rahayu – Ning Tyas. Pujian, damai sejahtera, di dalam hati yang bening. ***

Pelajaran Dalam Pujian

Kamis, 27 November 2014

Pelajaran Dalam Pujian

Baca: Mazmur 150

150:1 Haleluya! Pujilah Allah dalam tempat kudus-Nya! Pujilah Dia dalam cakrawala-Nya yang kuat!

150:2 Pujilah Dia karena segala keperkasaan-Nya, pujilah Dia sesuai dengan kebesaran-Nya yang hebat!

150:3 Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan kecapi!

150:4 Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian, pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling!

150:5 Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang!

150:6 Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!

Haleluya! Pujilah Allah dalam tempat kudus-Nya! —Mazmur 150:1

Pelajaran Dalam Pujian

Mazmur 150 tidak hanya menjadi suatu ungkapan pujian yang indah, melainkan juga merupakan pelajaran dalam memuji Tuhan. Mazmur 150 mengajarkan kepada kita tentang di mana kita patut memuji, mengapa kita memuji, bagaimana kita memuji, dan siapa yang seharusnya memberi pujian kepada Allah.

Di mana kita patut memuji? Kita memuji Allah dalam “tempat kudus-Nya” dan “cakrawala-Nya yang kuat” (ay.1). Di mana pun kita berada di dunia, kita berada di tempat yang pantas untuk menaikkan pujian kepada Allah yang telah menciptakan segala sesuatu.

Mengapa kita memuji? Pertama, karena apa yang telah dilakukan Allah. Dia melakukan “perbuatan-Nya yang perkasa” (BIS). Kedua, karena diri Allah itu sendiri. Pemazmur memuji Allah karena “kebesaran-Nya yang hebat” (ay.2). Sang Pencipta yang Mahakuasa adalah Penopang alam semesta ini.

Bagaimana kita seharusnya memuji? Dengan lantang. Dengan lembut. Dengan tenang. Dengan antusias. Dengan berirama. Dengan berani. Tanpa basa-basi. Tanpa rasa takut. Dengan kata lain, kita dapat memuji Tuhan dalam berbagai cara dan beragam kesempatan (ay.3-5).

Siapa yang seharusnya memuji? “Segala yang bernafas” (ay.6). Tua-muda. Kaya-miskin. Lemah-kuat. Semua makhluk hidup. Allah menghendaki agar setiap orang yang diberi-Nya napas kehidupan akan menggunakan napas itu untuk mengagungkan kuasa dan kebesaran-Nya.

Pujian adalah ungkapan syukur kita yang penuh semangat kepada Allah yang bertakhta dalam kemuliaan selamanya. —JAL

Makhluk semua, bangkitlah
Memuji Raja semesta!
Malaikat pun bernyanyilah
Dan bumi ikut bergema. —Watts
(Kidung Jemaat, No. 248b)

Pujian akan meluap dari sebuah hati yang bersukacita.

Tenaga Kuda

Kamis, 6 November 2014

Tenaga Kuda

Baca: Ayub 39:22-28

39:22 Engkaukah yang memberi tenaga kepada kuda? Engkaukah yang mengenakan surai pada tengkuknya?

39:23 Engkaukah yang membuat dia melompat seperti belalang? Ringkiknya yang dahsyat mengerikan.

39:24 Ia menggaruk tanah lembah dengan gembira, dengan kekuatan ia maju menghadapi senjata.

39:25 Kedahsyatan ditertawakannya, ia tidak pernah kecut hati, dan ia pantang mundur menghadapi pedang.

39:26 Di atas dia tabung panah gemerencing, tombak dan lembing gemerlapan;

39:27 dengan garang dan galak dilulurnya tanah, dan ia meronta-ronta kalau kedengaran bunyi sangkakala;

39:28 ia meringkik setiap kali sangkakala ditiup; dan dari jauh sudah diciumnya perang, gertak para panglima dan pekik.

Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib. —Mazmur 139:14

Tenaga Kuda

Bayangkanlah sejenak tentang kekuatan, keindahan, dan keanggunan dari seekor kuda yang sedang berderap. Bayangkanlah kepala sang kuda yang terangkat tinggi, surai pada tengkuknya yang melambai tertiup angin, dan kaki-kaki yang bergerak serentak untuk memberikan kecepatan, tenaga, dan kebebasan.

Kuda merupakan contoh yang menakjubkan dari makhluk ciptaan Allah yang luar biasa! Allah menciptakan kuda bukan hanya untuk kita kagumi dan nikmati, tetapi juga untuk menjadi pelengkap hidup umat manusia (Ayb. 39). Kuda yang terlatih dengan sangat baik tidak akan mengenal rasa takut, sehingga sangat berguna pada saat kita membutuhkan pendamping yang berani. Kuda digunakan sebagai sarana yang handal untuk membawa seorang prajurit maju ke medan perang dengan semangat menyala-nyala (ay.27) dan penuh kesigapan (ay.28).

Walaupun Allah menggunakan makhluk ciptaan-Nya untuk mengajar Ayub mengenai kedaulatan-Nya, melalui bagian Alkitab tersebut kita juga diingatkan tentang nilai diri kita sebagai manusia di dalam dunia milik Allah ini. Kita diciptakan tidak hanya sebagai makhluk indah yang menyandang mandat ilahi, namun juga sebagai makhluk yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah. Tenaga seekor kuda memang menakjubkan, tetapi nilai diri setiap manusia melampaui segala makhluk ciptaan Allah lainnya.

Allah menciptakan kita secara unik untuk menjalin hubungan dengan-Nya dan untuk tinggal bersama Dia selamanya. Ketika kita memuji Allah atas keindahan segala makhluk ciptaan-Nya, kita juga dibuat terkagum karena “kejadian [kita] dahsyat dan ajaib”. —JDB

Ya Allah dan Bapa kami yang Mahabesar, terima kasih atas karya
ciptaan-Mu. Engkau telah menyediakan begitu banyak makhluk luar
biasa untuk kami nikmati, tetapi tolonglah kami untuk menyadari
keunikan kami di antara semua ciptaan dengan ucapan syukur.

Dari segala makhluk ciptaan Allah, hanya manusia yang dapat mengalami kelahiran baru.

Semuanya Bersama

Minggu, 26 Oktober 2014

Semuanya Bersama

Baca: Mazmur 98:1-9

98:1 Mazmur. Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN, sebab Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib; keselamatan telah dikerjakan kepada-Nya oleh tangan kanan-Nya, oleh lengan-Nya yang kudus.

98:2 TUHAN telah memperkenalkan keselamatan yang dari pada-Nya, telah menyatakan keadilan-Nya di depan mata bangsa-bangsa.

98:3 Ia mengingat kasih setia dan kesetiaan-Nya terhadap kaum Israel, segala ujung bumi telah melihat keselamatan yang dari pada Allah kita.

98:4 Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi, bergembiralah, bersorak-sorailah dan bermazmurlah!

98:5 Bermazmurlah bagi TUHAN dengan kecapi, dengan kecapi dan lagu yang nyaring,

98:6 dengan nafiri dan sangkakala yang nyaring bersorak-soraklah di hadapan Raja, yakni TUHAN!

98:7 Biarlah gemuruh laut serta isinya, dunia serta yang diam di dalamnya!

98:8 Biarlah sungai-sungai bertepuk tangan, dan gunung-gunung bersorak-sorai bersama-sama

98:9 di hadapan TUHAN, sebab Ia datang untuk menghakimi bumi. Ia akan menghakimi dunia dengan keadilan, dan bangsa-bangsa dengan kebenaran.

Bersorak-sorailah bagi TUHAN, hai seluruh bumi! Pujilah TUHAN dengan nyanyian dan sorak gembira. —Mazmur 98:4 (BIS)

Semuanya Bersama

Selama bertahun-tahun piano milik istri saya dan gitar banyo milik saya sudah jarang bahkan nyaris tidak pernah dimainkan bersama. Suatu hari, setelah Janet membelikan saya sebuah gitar baru sebagai hadiah ulang tahun, ia menyatakan keinginannya untuk belajar memainkan gitar lama saya. Janet adalah seorang musisi yang sangat piawai, dan dengan segera kami memainkan lagu-lagu pujian dengan kedua gitar kami bersama-sama. Saya langsung merasakan adanya suatu suasana baru berupa “perpaduan pujian” yang telah memenuhi rumah kami.

Ketika sang pemazmur diilhami untuk menuliskan pujian penyembahannya kepada Allah, ia mengawalinya dengan seruan: “Bersorak-sorailah bagi TUHAN, hai seluruh bumi! Pujilah TUHAN dengan nyanyian dan sorak gembira” (Mzm. 98:4 BIS). Pemazmur mengajak kita untuk menyanyikan “pujian bagi TUHAN” dengan beragam alat musik seperti kecapi, trompet, dan sangkakala (ay.5-6 BIS). Ia memerintahkan seluruh bumi untuk “bersorak-sorai bagi TUHAN” (ay.4 BIS). Dalam paduan puji-pujian yang megah tersebut, laut bergemuruh dengan sukacita, sungai-sungai bertepuk tangan, dan bukit-bukit pun bersorak-sorai dengan riang gembira. Seluruh umat manusia dan karya ciptaan bersama-sama dipanggil untuk memuji Tuhan dengan menyanyikan nyanyian baru, “sebab Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib” (ay.1).

Hari ini, kiranya hatimu berpadu dengan hati sesama dan karya ciptaan Allah untuk menyanyikan puji-pujian bagi Dia, Pencipta dan Penebus yang Mahakuasa. —HDF

Mari kita bersama bersukacita,
Mengangkat pujian dengan satu suara,
Menyanyikan anugerah dan belas kasih-Nya,
Dan segala kebaikan yang Tuhan limpahkan. —Sper

Allah dapat menggunakan alat-alat biasa dan sederhana untuk menghasilkan suatu pujian yang membahana.

Izinkan Saya Bernyanyi

Sabtu, 6 September 2014

Izinkan Saya Bernyanyi

Baca: Mazmur 150

150:1 Haleluya! Pujilah Allah dalam tempat kudus-Nya! Pujilah Dia dalam cakrawala-Nya yang kuat!

150:2 Pujilah Dia karena segala keperkasaan-Nya, pujilah Dia sesuai dengan kebesaran-Nya yang hebat!

150:3 Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan kecapi!

150:4 Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian, pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling!

150:5 Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang!

150:6 Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!

Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya! —Mazmur 150:6

Izinkan Saya Bernyanyi

Ketika saya bertanya kepada seorang teman mengenai keadaan ibunya, ia menjelaskan bahwa demensia (menurunnya fungsi otak yang mempengaruhi daya pikir) telah merampas kemampuan ibunya untuk mengingat banyak nama dan peristiwa yang terjadi di masa lalu. “Walaupun demikian,” ia menambahkan, “Ibu masih dapat duduk dan memainkan piano tanpa melihat lembaran not musik. Ia dapat memainkan himne-himne indah yang ada di memorinya.”

Sekitar 2500 tahun yang lalu, Plato dan Aristoteles menulis tentang kekuatan musik dalam membantu dan menyembuhkan orang. Namun, berabad-abad sebelumnya, catatan-catatan dalam Alkitab telah dipenuhi dengan nyanyian.

Dimulai dengan Yubal, “bapa semua orang yang memainkan kecapi dan suling (Kej. 4:21), sampai kepada orang-orang yang “menyanyikan nyanyian Musa, hamba Allah, dan nyanyian Anak Domba” (Why. 15:3), musik menggema dalam halaman demi halaman Alkitab. Kitab Mazmur, yang sering disebut sebagai “buku lagu dalam Alkitab”, mengarahkan kita pada kasih dan kesetiaan Allah. Kitab itu ditutup dengan sebuah ajakan untuk terus-menerus memuji Tuhan, “Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!” (Mzm. 150:6).

Saat ini kita begitu membutuhkan Allah untuk melawat hati kita dengan puji-pujian dari-Nya. Tidak peduli apa pun yang terjadi dari hari ke hari, kiranya di penghujung hari kita tetap rindu untuk menyanyikan, “Ya kekuatanku, bagi-Mu aku mau bermazmur; sebab Allah adalah kota bentengku, Allahku dengan kasih setia-Nya” (Mzm. 59:18). —DCM

Tuhan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini atau apa
yang akan terjadi jauh di masa depan. Namun aku bersyukur
karena Engkau berada di sisiku. Beriku semangat untuk memuji dan
bersyukur atas apa pun yang akan kuhadapi di masa mendatang.

Puji-pujian kepada Allah akan muncul secara alami saat kamu menghitung berkat-berkat dalam hidupmu.

Adakah Yang Bernyanyi?

Minggu, 17 Agustus 2014

Adakah Yang Bernyanyi?

Baca: Yohanes 17:20-26

17:20 Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka;

17:21 supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.

17:22 Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu:

17:23 Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.

17:24 Ya Bapa, Aku mau supaya, di manapun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang telah Engkau berikan kepada-Ku, agar mereka memandang kemuliaan-Ku yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan.

17:25 Ya Bapa yang adil, memang dunia tidak mengenal Engkau, tetapi Aku mengenal Engkau, dan mereka ini tahu, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku;

17:26 dan Aku telah memberitahukan nama-Mu kepada mereka dan Aku akan memberitahukannya, supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka."

Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera. —Efesus 4:2-3

Adakah Yang Bernyanyi?

Dari sekitar 320 km di atas bumi, Chris Hadfield, seorang astronot asal Kanada dan komandan dari Stasiun Luar Angkasa Internasional, ikut bernyanyi bersama sekelompok murid yang berada dalam sebuah studio di bumi. Bersama-sama mereka menyanyikan lagu Is Somebody Singing (Adakah Yang Bernyanyi), yang ditulis oleh Hadfield dan Ed Robertson.

Salah satu frasa dari lagu itu menarik perhatian saya, “Tak ada pembatas yang terlihat dari luar angkasa ini.” Meskipun sebagai manusia kita membuat banyak pembatas untuk memisahkan diri kita dari satu sama lain—menurut kebangsaan, suku, ideologi—lagu itu mengingatkan saya bahwa Allah tidak melihat batasan-batasan tersebut. Yang penting bagi Allah adalah bahwa kita mengasihi Dia dan sesama (Mrk. 12:30-31).

Bagaikan seorang bapa yang penuh kasih, Allah menginginkan umat-Nya bersatu. Kita tidak dapat menggenapi apa yang Allah kehendaki untuk kita lakukan apabila kita enggan hidup dalam perdamaian. Dalam doa-Nya yang amat mendalam, pada malam sebelum Dia disalibkan, Yesus memohon kepada Bapa demi kesatuan dari para pengikut-Nya, “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita” (Yoh. 17:21).

Bernyanyi merupakan suatu bentuk kesatuan karena kita menaikkan lirik, nada, dan irama lagu yang sama. Bernyanyi juga mempererat kesatuan karena nyanyian itu menyatukan kita bersama dalam perdamaian, mengumandangkan kuasa Allah melalui pujian, dan menunjukkan kemuliaan Allah kepada dunia ini. —JAL

Beribu lidah patutlah
Memuji Tuhanku,
Dan mewartakan kuasa-Nya,
Dengan kidung merdu. —Wesley
(Kidung Jemaat, No. 294)

Menyanyikan pujian bagi Allah takkan pernah ketinggalan zaman.

Kudus, Kudus, Kudus

Minggu, 10 Agustus 2014

Kudus, Kudus, Kudus

Baca: Wahyu 4

4:1 Kemudian dari pada itu aku melihat: Sesungguhnya, sebuah pintu terbuka di sorga dan suara yang dahulu yang telah kudengar, berkata kepadaku seperti bunyi sangkakala, katanya: Naiklah ke mari dan Aku akan menunjukkan kepadamu apa yang harus terjadi sesudah ini.

4:2 Segera aku dikuasai oleh Roh dan lihatlah, sebuah takhta terdiri di sorga, dan di takhta itu duduk Seorang.

4:3 Dan Dia yang duduk di takhta itu nampaknya bagaikan permata yaspis dan permata sardis; dan suatu pelangi melingkungi takhta itu gilang-gemilang bagaikan zamrud rupanya.

4:4 Dan sekeliling takhta itu ada dua puluh empat takhta, dan di takhta-takhta itu duduk dua puluh empat tua-tua, yang memakai pakaian putih dan mahkota emas di kepala mereka.

4:5 Dan dari takhta itu keluar kilat dan bunyi guruh yang menderu, dan tujuh obor menyala-nyala di hadapan takhta itu: itulah ketujuh Roh Allah.

4:6 Dan di hadapan takhta itu ada lautan kaca bagaikan kristal; di tengah-tengah takhta itu dan di sekelilingnya ada empat makhluk penuh dengan mata, di sebelah muka dan di sebelah belakang.

4:7 Adapun makhluk yang pertama sama seperti singa, dan makhluk yang kedua sama seperti anak lembu, dan makhluk yang ketiga mempunyai muka seperti muka manusia, dan makhluk yang keempat sama seperti burung nasar yang sedang terbang.

4:8 Dan keempat makhluk itu masing-masing bersayap enam, sekelilingnya dan di sebelah dalamnya penuh dengan mata, dan dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam: "Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang."

4:9 Dan setiap kali makhluk-makhluk itu mempersembahkan puji-pujian, dan hormat dan ucapan syukur kepada Dia, yang duduk di atas takhta itu dan yang hidup sampai selama-lamanya,

4:10 maka tersungkurlah kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Dia yang duduk di atas takhta itu, dan mereka menyembah Dia yang hidup sampai selama-lamanya. Dan mereka melemparkan mahkotanya di hadapan takhta itu, sambil berkata:

4:11 "Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan."

Dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang.” —Wahyu 4:8

Kudus, Kudus, Kudus

Waktu begitu cepat berlalu ketika kita bersenang-senang.” Walaupun waktu sebenarnya tidak berjalan lebih cepat, tetapi begitulah perasaan yang sering kita alami.

Ketika kita sedang bergembira, waktu terasa berlalu begitu cepat. Mengerjakan apa yang saya senangi, atau menemani orang yang saya sukai bisa membuat saya lupa waktu.

Mengalami “kenyataan” itu memberi saya pemahaman baru tentang peristiwa yang terlukiskan dalam Wahyu 4. Dahulu, saat membayangkan keempat mahkluk hidup yang duduk di sekeliling takhta Allah itu terus mengulangi kata-kata yang sama, saya berpikir, Alangkah membosankannya!

Sekarang saya tak lagi berpikir demikian. Saya berpikir tentang peristiwa-peristiwa yang telah mereka saksikan dengan mata mereka yang banyak (ay.8). Saya membayangkan pemandangan yang mereka lihat dari tempat mereka di sekeliling takhta Allah (ay.6). Saya berpikir, pastilah mereka menyaksikan dengan kagum bagaimana Allah yang bijaksana dan penuh kasih mau berurusan dengan umat manusia yang berdosa. Lalu saya berpikir, Mungkinkah ada respons yang lebih baik? Adakah yang bisa dikatakan selain, “Kudus, kudus, kudus”?

Apakah mengatakan kata-kata yang sama berulang kali itu membosankan? Tidak, apabila kamu bersama orang yang kamu kasihi. Tidak, apabila kamu sedang menggenapi maksudmu diciptakan.

Seperti keempat makhluk itu, kita diciptakan untuk memuliakan Allah. Hidup kita takkan pernah terasa membosankan jika kita memusatkan perhatian pada Allah dan memuliakan nama-Nya. —JAL

Suci, suci, suci, Tuhan Mahakuasa
Dikau kami puji di pagi yang teduh.
Suci, suci, suci, murah dan perkasa,
Allah Tritunggal, agung nama-Mu! —Heber
(Kidung Jemaat, No. 2)

Hati yang selaras dengan Allah, tidak mungkin tidak, pasti akan menaikkan pujian bagi-Nya.

Teori Atas Segala Sesuatu

Rabu, 22 Agustus 2012

Teori Atas Segala Sesuatu

Baca: Yohanes 1:1-13

Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. —Kolose 1:16

Para ilmuwan berusaha mencari “Teori Atas Segala Sesuatu”. Brian Greene, seorang ahli fisika, mengaku telah menemukannya. Ia menulis buku The Elegant Universe: Superstrings, Hidden Dimensions and the Quest for the Ultimate Theory (Alam Semesta yang Elegan: Adidawai, Dimensi Tersembunyi dan Pencarian Teori Terunggul). String Theory (Teori Dawai) yang diperkenalkan Greene adalah suatu konsep canggih yang menyatakan bahwa pada tingkatnya yang terkecil, segala sesuatu yang ada itu terdiri atas serangkaian kombinasi helai atau dawai yang bergetar. Ia menjelaskan teorinya sebagai “suatu kerangka yang mampu menerangkan setiap unsur penting yang mendasari terbentuknya alam semesta.”

Dari masa ke masa, para pemikir mulai dari Newton, Einstein, Hawking hingga Greene telah menghabiskan sebagian besar hidup mereka dengan berusaha untuk memahami bagaimana alam semesta bekerja—dan mereka telah mengajukan berbagai teori yang mengagumkan.

Pada kenyataannya, teori mana pun yang hendak menjelaskan segala sesuatu yang ada di alam semesta haruslah dimulai dan diakhiri dengan Allah. “Segala sesuatu . . . yang kelihatan dan yang tidak kelihatan” (Kol. 1:16) berasal dari Dia dan ada untuk memuji-Nya (Mzm. 72:19). Ayat-ayat pembuka dari Injil Yohanes memberi tahu kita bahwa Tuhan kitalah yang menciptakan alam semesta dan tanpa kreasi tangan-Nya, tidak akan ada apa pun.

Itulah alasannya mengapa ketika berpikir tentang dunia dan segala isinya, kita dapat berseru bersama Nabi Yesaya: “Seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” (6:3). Puji nama-Nya yang kudus! —DCE

Allah kita menciptakan langit dan bumi,
Matahari, bulan, dan bintang tiada bandingnya;
Karya tangan-Nya tak bisa disangkal—
Sidik jari-Nya ada di mana saja. —Seals

Seluruh ciptaan mengarahkan kita kepada Allah.