Posts

Paskah dalam Masa-masa Sulit

Oleh Robert Solomon, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Plagues, Quarantines, and Lent

Banyak orang saat ini tak bisa beraktivitas dengan leluasa dan dianjurkan untuk menghabiskan waktu dan bekerja dari rumah saja. Ada lebih banyak waktu yang dapat dipergunakan untuk membaca dan berelasi dengan orang-orang terkasih. Alih-alih menghabiskan waktu untuk menghibur diri sendiri, alangkah baiknya jika kita mempergunakan waktu kita untuk membaca, berdoa, dan melayani dengan berbagai cara yang Tuhan ingin kita lakukan.

Waktu aku masih muda dulu, aku membaca buku berjudul “The Plague” (wabah) karya Albert Camus. Camus adalah pemikir eksistensialis dan seorang ateis. Dia menulis novel ini pada 1947, dua tahun setelah Perang Dunia II usai. The Plague bercerita tentang wabah di Oran, sebuah kota di Algeria. Kota itu menutup perbatasan dan berjuang mati-matian untuk mengentaskan wabah.

Kisah perjuangan melawan wabah itu menunjukkan beragam perilaku dan motivasi manusia kala menghadapi krisis. Bagi Camus, ketiadaan makna dari kehidupan memaksa orang-orang untuk mencarinya—dan baginya, makna itu didapat dalam solidaritas antar manusia.

Sosok yang menjadi pahlawan bagi Camus adalah seorang dokter yang menggulung lengan bajunya untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa, meskipun sang dokter tahu bahwa situasi yang dihadapinya suram. Para rohaniawan digambarkan Camus sebagai sosok yang tidak berguna, mereka hanya bisa menyuarakan kata-kata yang tak bisa menyembuhkan atau menolong orang dalam wabah ini.

Camus adalah seorang ateis dan dia tidak menyadari bahwa selama masa wabah pes di Eropa abad ke-14, tingkat kematian di kalangan rohaniawan gereja 20% lebih tinggi daripada populasi pada umumnya. Akibat wabah ini, sepertiga populasi Eropa musnah.

Kematian para rohaniawan bukanlah hukuman tambahan bagi mereka, tapi karena merekalah yang melayani orang-orang yang terinfeksi dan sekarat. Para rohaniawan bukannya “tidak berguna” seperti yang digambarkan masyarakat sekuler. Faktanya, iman Kristen mewartakan pesan yang berisi harapan terbesar bagi umat manusia di tengah suasana paling suram, sebagaimana C.S Lewis mengingatkan kita.

Dalam artikelnya yang berjudul, “On Living in an Atomic Age”, Hidup dalam Era Atom, ketika ketakutan akan bahaya senjata nuklir mengancam umat manusia, Lewis menuliskan kata-katanya. Secara sederhana, kita bisa mengubah kata “bom” yang ditulis Lewis dengan “virus corona”, dan kebenarannya tetaplah sama.

“Di satu sisi, kita terlalu banyak memikirkan bom atom. ‘Bagaimana kita bisa hidup di era nuklir seperti ini?’ Aku tergerak untuk menjawab: ‘Mengapa gelisah? Bayangkan, kamu bisa saja hidup di abad 16 ketika wabah menjangkiti kota London hampir setiap tahun, atau kamu hidup di masa Viking ketika orang-orang dari Skandinavia mendarat di tanahmu dan menyembelihmu kala malam; atau, kamu hidup di masa-masa penyakit kanker, sifilis, kelumpuhan, serangan udara, kecelakaan kereta api, juga kecelakaan lalu lintas seringkali terjadi’

Dengan kata lain, janganlah kita membesar-besarkan kesusahan yang kita hadapi saat ini. Percayalah kepadaku, wahai ibu dan bapak, kamu dan semua yang kamu kasihi telah dihukum menghadapi kematian bahkan sebelum bom atom ditemukan; dan banyak dari kita menghadapi kematian dengan cara yang mengenaskan. Memang, sekarang generasi kita mengenal sesuatu yang lebih baik daripada leluhur kita—anestesi; tapi kematian tetaplah tak terhindarkan. Sangat konyol untuk merintih dan bersedih hanya karena para ilmuwan menambah daftar kesakitan dan kematian yang lebih dini kepada dunia yang sejatinya telah dipenuhi oleh kengerian dan derita, di mana kematian itu sendiri bukanlah sebuah kesempatan, tapi kepastian.

“Inilah hal pertama yang harus kita lakukan: dan langkah pertama yang harus diambil adalah kita perlu menenangkan diri kita. Jika bom atom yang akan membinasakan kita, biarkanlah hal itu terjadi di saat kita melakukan kegiatan kita sehari-hari seperti biasa—berdoa, bekerja, mengajar, membaca, mendengarkan musik, memandikan anak-anak, bermain tenis, mengobrol dengan rekan kita sambil minum dan bermain—bukannya bersembunyi seperti kawanan domba yang ketakutan dan selalu memikirkan tentang bom. Bom-bom itu mungkin menghancurkan tubuh kita (bakteri pun bisa melakukannya), tetapi mereka tidak mampu mengatur pikiran kita.”

Bagi Camus, virus itu melambangkan kejahatan manusia—sama seperti yang terjadi saat perang dunia berlangsung. Virus itu hidup dan menjangkiti hati manusia dan masyarakat, serta menyebar seperti infeksi endemik. Camus tak punya solusi nyata atau pun harapan.

Namun, orang Kristen punya pandangan berbeda. Kita menantikan hari ketika Kristus akan datang kembali untuk menghapus setiap tetes air mata dan mengakhiri kejahatan serta penderitaan (Wahyu 21:4).

Yesus Kristuslah harapan kita yang sesungguhnya. Dialah yang telah mengalahkan maut serta dosa yang menjangkiti umat manusia—dengan mengalahkannya di kayu salib dan bangkit dari maut. Marilah kita memandang kepada Kristus dan menguatkan hati di kala badai menerpa. Kristus telah mengalahkan dunia (Yohanes 16:33).

Kata “quarantine” atau “karantina” digunakan pertama kali pada abad 14 di Venezia, mengingatkan kita akan keadaan menyeramkan yang saat ini juga dihadapi di Italia. Kala itu, Venezia adalah sebuah pusat perdagangan dengan pelabuhan yang sangat sibuk. Untuk mencegah masuknya wabah, pemerintah saat itu mewajibkan semua kapal tetap di laut selama 40 hari sebelum bisa berlabuh.

Kata asli yang digunakan adalah “Quaranta giorni” yang artinya periode selama 40 hari. Kata ini diadaptasi menjadi “quarantine” dalam bahasa Prancis dan Inggris, dan juga diasosiasikan dengan 40 hari pencobaan Kristus di padang gurun (Markus 12-13), juga 40 hari masa pra-Paskah.

Kita tidak menampik, hari ini pun kita menjalani masa pra-Paskah dalam situasi yang tidak seperti biasanya. Setiap hari kita mendengar berita tentang karantina dan lockdown. Pikiran kita secara alami berkutat tentang COVID-19 yang merebak di banyak negara. Tapi, adalah penting untuk juga memfokuskan pikiran kita kepada Kristus, sebab masa pra-Paskah adalah masa-masa untuk mengingat kembali penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya.

Namun, banyak orang Kristen mungkin telah lupa bahwa saat ini kita ada dalam masa-masa pra-Paskah! Pikiran tentang virus membuyarkan perhatian kita, seperti Petrus yang berfokus pada gelombang laut daripada Yesus, hingga akhirnya dia tenggelam (Matius 14:29-30).

Jadi, marilah kita menghormati Tuhan dengan memfokuskan kembali pikiran kita kepada-Nya, mempercayai-Nya, menaati-Nya, dan melayani dalam nama-Nya. Janganlah kita kehilangan kebiasaan kita untuk menyembah-Nya secara pribadi dan bersama-sama, meskipun kita menghadapi tantangan saat ini.

Marilah kita “bersukacita dalam pengharapan, sabar dalam kesesakan, dan bertekun dalam doa!” (Roma 12:12). Seiring kita mengisi hari-hari dalam karantina, marilah kita menghayati pra-Paskah dengan mengingat apa yang biasanya kita lakukan pada masa ini (berdoa, berpuasa, berbalik pada Tuhan, menguduskan diri kita sepenuhnya untuk Tuhan dan melakukan apa yang baik).

Dalam kesunyian dan keheningan, marilah kita menghadap hadirat-Nya. Meskipun kita mendengar kata “social distancing”, atau pun kita merasa kesepian dan terkurung, kiranya kita dapat senantiasa menemukan keintiman rohani bersama Allah dan dalam tubuh Kristus.

Benarlah apa yang Alkitab katakan: “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya” (Yesaya 26:3).

Baca Juga:

Di Tengah Kegelapan, Aku Melihat Terang

Yehuda, di bawah kepemimpinan Raja Ahas memilih berpaling dari Allah dan jatuh ke dalam kegelapan. Berkaca dari peristiwa itu, manakah yang mau kita pilih: merangkul, atau menjauhi Terang?

Tips untuk Berhasil Menjalani Puasa

Subtitle oleh Dwiliandi Omega

Ketika seseorang berkomitmen untuk berpuasa atau pantang, godaan demi godaan akan datang menghampirinya. Bagaimana caranya supaya komitmen kita untuk berpuasa atau berpantang bisa berhasil?

Yuk temukan jawabannya. Simak video rekaman Instagram Live WarungSaTeKaMu bersama Kak Alex Nanlohy.

Lihat video series lainnya:
Bagaimana Caranya Agar Saat Teduh Bisa Konsisten?
Cara Mengatasi Jenuh Bersaat Teduh
Puasa Orang Kristen

Mengapa Aku Memutuskan Berpuasa untuk Pertama Kalinya

Mengapa-aku-memutuskan-berpuasa-untuk-pertama-kalinya

Oleh Wendy W., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why I’m Fasting For The First Time

“Apakah kamu mencintai Tuhan lebih daripada kamu mencintai gula?” Suara lirih itu berbisik di kepalaku.

Aku gemetar, tertampar oleh fakta yang aku enggan akui.

Setiap kita memiliki cara masing-masing untuk mengatasi stres dan tekanan hidup. Untuk beberapa orang, cara itu mungkin berupa minum sekaleng bir atau berolahraga yang memeras keringat setelah menjalani sebuah hari yang panjang. Bagi beberapa yang lain, cara itu mungkin berupa menonton beberapa episode film drama berurutan atau menghabiskan waktu dengan menjelajah internet. Untukku, yang selalu dapat mengatasi stres yang aku alami adalah gula.

Aku mulai menyukai makanan-makanan yang manis ketika tahun pertama kuliahku yang penuh dengan tekanan. Makanan-makanan manis itu menjadi semacam terapi bagiku. Aku mulai menyukai segala hal yang mengandung gula, mulai dari biskuit isi selai sampai es krim coklat. Setelah seharian berkuliah, yang aku inginkan hanyalah memanjakan diriku dengan kue-kue yang manis. Itu menjadi caraku untuk melupakan tekanan hidup yang kualami sehari-hari, mengurangi stres—dan juga menjadi alasan untuk menunda mengerjakan tugas-tugas. Itu juga membuatku lupa berdoa dan membaca Alkitab.

Tanpa kusadari, makanan-makanan manis itu telah menjadi berhalaku. Berhala yang selalu aku cari di masa-masa aku membutuhkannya; berhala yang memberikanku kenyamanan sementara; berhala yang telah menggantikan posisi Tuhan yang sebenarnya. Saat itulah, ketika aku menyadari bahwa aku tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana tentang apakah aku mencintai Tuhan lebih daripada gula, aku tahu bahwa aku perlu berpuasa.

Aku mulai berpuasa makanan manis saat itu juga selama sebulan. Selama masa itu, aku menghindari makanan-makanan manis, terutama makanan-makanan yang sangat menggoda bagiku seperti es krim dengan waffle (makanan favoritku), kue, biskuit, roti, coklat, dan lain-lain.

Hari demi hari, aku belajar apa artinya berpegang pada Kristus, dan hanya karena kekuatan dan anugerah-Nya aku mampu untuk menjalankan komitmenku untuk berpuasa (Filipi 2:12-13). Aku menghindari pojokan dessert di restoran, aku menolak dengan halus akan tawaran camilan manis, dan juga menolak kue yang akan disediakan bagiku.

1. Berpuasa mengingatkanku bahwa aku perlu bertobat

Berpuasa berarti berpantang makan untuk sebuah periode waktu tertentu. Dalam zaman Alkitab ditulis, pertobatan seringkali dikaitkan dengan berpuasa. Alkitab mencatat berbagai tipe berpuasa, dan beberapa orang di Perjanjian Lama dan Baru yang berpuasa, seperti Musa, Daud, Paulus, dan Yesus (tapi bukan karena Dia perlu bertobat).

Aku memutuskan untuk berpuasa karena aku perlu bertobat dari cara hidupku yang menyembah berhala (atau tuhan yang lain): makanan-makanan manisku (Filipi 3:19). Berpuasa adalah caraku menunjukkan pertobatan yang terjadi di dalam diriku. Itu adalah caraku merendahkan diri dan berfokus kepada Tuhan. Itu bukan hanya mengakui pada Tuhan bahwa aku telah berdosa—seperti yang sudah sering kulakukan sebelumnya—tapi juga melakukan sebuah tindakan melalui berpantang selama sebuah periode waktu tertentu.

2. Berpuasa adalah cara menyangkal diriku dari keinginan duniawi yang menggantikan Tuhan dalam hidupku

Awalnya, aku mulai berpuasa untuk menunjukkan pada Tuhan dan diriku bahwa aku benar-benar ingin mencari Dia lebih daripada makanan-makanan manis. Namun sekarang, masa-masa aku berpuasa telah menjadi sebuah waktu bagiku belajar apa arti dari berserah sepenuhnya kepada Tuhan dalam setiap kebutuhanku. Aku tidak lagi menghampiri makanan-makanan manis yang biasanya memuaskanku.

Jangan salah, makan itu bukanlah dosa, tapi akan berubah cerita jika makanan itu menjadi candu dan berhala kita. Meskipun Tuhan memberikan makanan untuk kita nikmati dan memenuhi nutrisi, makanan juga dapat mengambil posisi-Nya ketika kita menginginkan itu lebih dari Sang Pemberi itu sendiri.

Dalam tiga minggu terakhir ini, aku menyadari bahwa berpuasa dari makanan-makanan manis telah menolongku untuk mendekat kepada Kristus.

3. Berpuasa adalah sebuah cara untuk “mengecap dan melihat betapa baiknya Tuhan itu” (Mazmur 34:8)

Seorang teolog Amerika bernama John Piper pernah mengatakan bahwa berpuasa bukanlah pengganti iman kita kepada Yesus, tetapi sarana untuk menyatakan iman kita kepada Yesus. Berpuasa adalah sebuah cara menyatakan dengan tubuh kita betapa kita memerlukan, menginginkan, dan mempercayai Yesus. Itu adalah cara kita menolak diperbudak oleh makanan sebagai sumber kepuasan kita. Kita berpuasa dari waktu ke waktu untuk menunjukkan bahwa Yesus lebih baik daripada makanan.

Bagiku, berpuasa adalah sebuah cara untuk menumbuhkan kerinduan akan firman Tuhan. Itu adalah cara untuk menggantikan nutrisi jasmaniku yang berlebihan dengan nutrisi rohani. Dengan berpuasa, aku berseru kepada Tuhan, “Aku menginginkan-Mu, Tuhan—lebih dari segala makanan manis di hadapanku, lebih dari kepuasan sementara yang kurasakan, lebih dari terpenuhinya keinginan emosionalku.”

Periksalah motivasimu

Jika kamu bergumul akan sebuah dosa yang kamu lakukan berulang-ulang, aku mendorongmu untuk berdoa dan mempertimbangkan untuk berpuasa. Pada saat yang sama, berhati-hatilah akan motivasimu berpuasa. Alkitab mengatakan kepada kita bahwa hati kita lebih licik daripada segala sesuatu (Yeremia 17:9), jadi jika kita tidak memeriksanya dengan hati-hati, berpuasa sebagai sebuah disiplin rohani bisa berubah menjadi sebuah usaha kedagingan yang kita banggakan.

Berpuasa bukanlah bertujuan untuk memamerkan kekuatanmu, atau untuk membenarkan dosa-dosa di masa depan. Itu juga bukan untuk menghukummu—aku sendiri juga terus mengingatkan diriku akan itu. Berpuasa dengan hati yang murni dan tulus adalah sebuah ekspresi yang tulus dari pertobatan kita, dan melaluinya Tuhan dihormati dan dimuliakan.

Baca Juga:

Aku Tidak Puas dengan Gerejaku, Haruskah Aku Bertahan?

Ada begitu banyak perubahaan di gerejaku yang tidak pernah diduga sebelumnya, jumlah jemaat kami semakin berkurang. Tak ada lagi jemaat lain yang seusiaku saat ini, dan aku tidak lagi merasa nyaman berjemaat di gereja itu. Namun, Tuhan menolongku untuk terus belajar memahami gereja sebagai kesatuan tubuh Kristus.