Posts

Bagaimana Menemukan Kepuasan?

Oleh Sarah Calen

Aku menyebut diriku sebagai workaholic, si pecandu kerja. Aku punya kecenderungan untuk bekerja, dan bekerja, lalu bekerja lagi. Aku senang mencapai tujuan dan menyelesaikan tugas-tugasku. Selalu ada buku, bisnis, atau ide kreatif baru yang ingin aku selesaikan. Aku terus berusaha supaya progress-ku maju, kucoba menyelesaikan semua yang aku bisa. 

Tapi, akhir-akhir ini, aku merasa Tuhan mengajakku untuk berlatih merasa puas. Alih-alih bekerja keras untuk mencapai lebih banyak hal, aku merasa tertarik untuk menikmati saat-saat ini, menghargai musim kehidupan yang sekarang sedang terjadi atasku.

Kepuasan dalam masa-masa sulit

Undangan untuk melatih kepuasan diri ini pertama kali datang di tengah-tengah waktu yang tidak nyaman buatku, yang sedang dalam masa pemulihan dari kecanduan kerja. Aku tidak memiliki project dari client (mimpi buruk setiap freelancer) dan tidak ada tanda-tanda akan datangnya tawaran baru. Biasanya, aku akan menghubungi beberapa kontak yang hampir selalu memiliki pekerjaan untukku kerjakan, namun aku merasa Tuhan berkata ‘tidak’ pada ide ini.  

Saat itu aku sungguh tidak puas. Dan, karena aku tidak memiliki pekerjaan untuk mengisi waktu, hari-hariku pun dipenuhi pergumulan. Aku harus mengatasi apa yang membuatku merasa tidak puas. Aku tahu aku punya Tuhan yang mencukupkan segala sesuatu, tapi aku masih ingin lebih!

Aku merasa terjebak di tempat yang tidak aku inginkan, tetapi aku tahu dan yakin bahwa aku berada di tempat yang Tuhan inginkan. Pemahaman ini menolongku untuk berhenti sejenak dan mengevaluasi situasiku. Aku sadar bahwa aku telah menghabiskan begitu banyak waktu untuk bekerja dan berjuang. Aku lupa untuk menghargai semua yang aku miliki—kesehatanku, komunitas yang mendukung, kendaraan, tempat tinggal, teman sekamar yang baik—semuanya merupakan jawaban atas doa-doaku di masa lalu. Ketika aku terobsesi untuk selalu meraih lebih, aku sedang mengabaikan berkat-berkat yang ada di depanku.

Ketika aku berlatih untuk merasa puas, bahkan di musim kehidupan yang jauh dari nyaman, aku mulai menjadi lebih bersyukur. Meskipun aku tidak berada di tempat yang aku inginkan, ketika aku lebih fokus pada kebaikan Tuhan daripada apa yang kurang, rasa syukur pun hadir di dalam diriku. Aku pun mulai menghayati Mazmur 34:1, yang berbunyi,

“Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku.” 

Aku tidak pernah mengira bahwa melatih rasa puas akan menghasilkan rasa syukur yang sejati dalam hatiku, tetapi justru inilah cara yang tepat.

Jika kamu sedang merasa kurang, tidak puas, terlepas apa pun kondisimu, aku mendorongmu untuk cobalah melambatkan ritme hidupmu. Ambillah waktu khusus untuk mencari Tuhan dan mintalah Dia untuk menyatakan apa yang sedang Dia lakukan dalam hidupmu saat ini. Mintalah Dia untuk menunjukkan bagaimana Dia telah memberkatimu, bahkan di tengah-tengah kesulitan sekalipun. 

Meskipun merasa puas dan bersyukur tidak akan secara ajaib mengubah semua kesusahan kita, namun hal ini dapat membantu kita menemukan sukacita, damai sejahtera, dan pengharapan di tengah-tengah masa-masa sulit tersebut.

Kepuasan dalam kelimpahan

Sekarang, aku berada di fase yang sama sekali berbeda. Rasanya, setelah berbulan-bulan menunggu kepastian, seluruh hidupku berubah dalam waktu satu minggu. Sekarang aku punya lebih banyak pekerjaan, lebih banyak daripada ekspektasiku dulu. Aku membantu teman A mengembangkan bisnis kecilnya yang sedang naik daun, lalu membantu teman B untuk memulai perusahaannya, dan juga bekerjasama dengan teman C untuk merintis usaha yang benar-benar baru. Aku kagum bahwa aku dapat berkontribusi mengubah kehidupan orang lain, tetapi aku sangat sadar akan godaan untuk aku kembali ke gaya hidup yang workaholic.

Berlatih merasa puas tetap jadi tujuanku meskipun aku tidak lagi ada dalam masa-masa sulit. 

Aku tidak menyadari bahwa belajar untuk mempraktikkan rasa puas di saat kekurangan akan mempersiapkanku juga untuk merasa puas di saat kelimpahan. Karena, bahkan ketika segala sesuatunya baik-baik saja, ketidakpuasan masih bisa muncul. Ada daya tarik yang sangat nyata untuk menginginkan lebih; bahkan saat ini, ketika segala sesuatunya baik-baik saja, aku masih bisa menemukan diriku terdorong ke arah ketidakpuasan. 

Pada masa-masa yang nyaman dan tidak kekurangan, aku berpegang kembali ke 1 Timotius 6:6, yang mengatakan, “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar.” 

Aku belajar bahwa di masa kelimpahan ini, pekerjaan, penghasilan, dan kesempatan yang aku peroleh tidak harus menjadi fokusku. Sebaliknya, aku dapat memilih untuk tetap bersyukur dan puas, bahkan dengan segala sesuatu yang saat ini terjadi di sekitarku, tanpa keinginan untuk melakukan atau memiliki lebih banyak lagi. 

Jika kamu sekarang sedang mengalami masa-masa kelimpahan, entah apa pun profesi atau statusmu, aku mendorongmu untuk ‘berjalan’ lebih lambat . Alih-alih berfokus untuk mendapatkan semua yang kamu inginkan atau impikan, mintalah kepada Tuhan untuk menunjukkan kepadamu apa yang Dia ingin kamu lakukan saat-saat ini. Mintalah Dia untuk menunjukkan kepadamu bagaimana kamu bisa lebih bersyukur dan puas. 

Rasa puas dibutuhkan di setiap musim kehidupan. Ketika kita melambatkan ritme hidup kita, kita akan melihat lebih jelas semua yang sedang dan telah Tuhan lakukan untuk kita. Kita dapat memilih untuk bersyukur, baik ketika segala sesuatunya berantakan, atau ketika segala sesuatunya sempurna. Kepuasan bukanlah sesuatu yang kita latih untuk mendapatkan sesuatu yang lain, tetapi merupakan suatu keuntungan yang besar bagi diri kita sendiri.

Aku tahu bahwa melatih diri merasa puas tidak sekadar berhenti mengingini sesuatu, bisa jadi ini akan jadi topik bahasan yang lebih luas. Jadi inilah beberapa hal praktis yang telah membantuku merasa puas:

a. Aku mencatat doa-doaku

Tindakan sederhana berupa menuliskan doa-doaku, termasuk apa yang aku syukuri, adalah pengingat nyata akan pemeliharaan Tuhan yang dapat aku lakukan secara teratur.

b. Menghabiskan waktu di alam

Bagiku, berjalan-jalan setiap hari di alam membantuku mengingat betapa agungnya Tuhan dan betapa kerdilnya aku. Keindahan alam mengingatkanku akan kebaikan Tuhan.

d. Mengurangi penggunaan media sosial

Meskipun media sosial dapat menjadi alat yang luar biasa untuk terhubung dengan orang lain, aku tahu bahwa medsos juga bisa meniupkan bara ketidakpuasan dalam diriku. Bijaksana menggunakan medsos menolongku untuk tetap fokus pada hal yang paling penting.

e. Berbagi cerita secara jujur dengan orang-orang yang dipercaya

Segera setelah aku tahu bahwa kepuasan adalah kata yang tepat untukku saat ini, aku menceritakannya kepada beberapa teman. Pada saat-saat ketika ketidakpuasan mulai muncul lagi, aku bisa menghubungi mereka dan mengobrol tentang ini

Artikel ini diterjemahkan dari Reclaim Today

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Hidup Tanpa Roti

Rabu, 9 Oktober 2013

Hidup Tanpa Roti

Baca: Yohanes 6:25-35

Akulah roti hidup. —Yohanes 6:48

Di dalam budaya-budaya yang berlimpah dengan pilihan makanan, roti tidak lagi menjadi unsur penting dari menu makanan. Jadi karena berbagai alasan, ada sebagian orang yang memilih untuk tidak mengkonsumsi roti. Namun di abad pertama, roti dipandang sebagai bahan makanan pokok yang sangat penting. Makan tanpa roti adalah sesuatu yang tidak lazim.

Suatu hari sekelompok orang mencari Yesus karena Dia telah melakukan mukjizat dengan melipatgandakan roti (Yoh. 6:11,26). Mereka meminta-Nya untuk mempertunjukkan suatu tanda mukjizat seperti manna dari surga yang disediakan Allah bagi umat-Nya di padang gurun (6:30-31; Kel. 16:4). Ketika Yesus berkata bahwa Dia adalah “roti yang benar dari sorga” (Yoh. 6:32), orang-orang itu tidak memahami perkataan-Nya. Yang mereka inginkan adalah roti jasmani untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Namun Yesus berkata bahwa Dia telah diutus untuk menjadi roti rohani mereka; Dia akan menyediakan kebutuhan jiwa mereka hari demi hari. Jika dengan iman, mereka sungguh-sungguh menerima dan mempercayai firman dan hidup-Nya di dalam jiwa mereka, mereka akan mengalami kepuasan yang kekal (ay.35).

Yesus tidak ingin menjadi semacam bahan makanan alternatif dalam menu hidup kita; Dia ingin menjadi bahan pokok yang utama dalam kehidupan kita, makanan kita yang “terpenting”. Seperti halnya orang-orang Yahudi di abad pertama yang tidak bisa membayangkan hidup tanpa roti jasmani, janganlah kita berusaha menjalani hidup tanpa Yesus, roti rohani kita! —MLW

Untuk Direnungkan Lebih Lanjut
Apa sajakah yang bisa Anda lakukan untuk
mengizinkan Yesus, Sang Roti Hidup, dan firman-Nya
memuaskan kelaparan jiwa Anda hari ini?

Hanya roti rohani yang mengenyangkan kelaparan jiwa.

Iman Setengah Hati

Kamis, 7 Maret 2013

Iman Setengah Hati

Baca: Filipi 4:10-20

Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus. —Filipi 4:19

Ketika sekawanan kupu-kupu menetas di Frederik Meijer Gardens di Grand Rapids, Michigan, mereka menetas di dalam suatu taman tropis yang telah disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Suhunya sempurna. Kelembabannya sempurna. Makanannya mengandung komposisi kalori dan gizi yang seimbang untuk menjaga mereka tetap sehat. Mereka tak perlu terbang ke tempat lain. Namun tetap saja ada sejumlah kupu-kupu yang melihat indahnya langit biru di luar ruang kaca, kemudian menghabiskan hari-harinya dengan terbang mendekat ke langit-langit kaca dan menjauh dari persediaan makanan yang berlimpah.

Saya ingin berkata pada kawanan kupu-kupu itu, “Tidakkah kalian tahu bahwa segala yang kalian perlukan ada di dalam ruang kaca? Keadaan di luar itu dingin dan keras. Kalian akan mati dalam hitungan menit jika kalian mendapatkan yang kalian inginkan.”

Saya bertanya-tanya apakah itu merupakan pesan Allah bagi saya. Jadi saya pun bertanya kepada diri sendiri: Apakah aku begitu menginginkan hal-hal yang akan merusak hidupku? Apakah aku menggunakan tenagaku untuk meraih apa yang tidak aku butuhkan dan perlukan? Apakah aku mengabaikan pemeliharaan Allah yang melimpah karena aku membayangkan sesuatu yang tak dapat kucapai itu jauh lebih baik? Apakah selama ini aku menjalani imanku dengan setengah hati?

Allah memenuhi segala keperluan kita menurut kekayaan-Nya (Flp. 4:19). Alih-alih mengejar sesuatu yang tidak kita miliki, marilah kita membuka hati untuk menerima semua yang telah diberikan-Nya kepada kita dengan penuh syukur. —JAL

Semua yang kuperlu ada dalam Yesus;
Dia puaskan, sukacita Dia berikan;
Hidupku takkan berarti tanpa-Nya,
Semua kutemukan dalam Yesus. —Loes

Pemeliharaan Allah selalu mencukupkan kebutuhan kita.

Cara Hidup Yang “Mudah”

Sabtu, 9 Juni 2012

Cara Hidup Yang

Baca: 1 Tesalonika 3

Supaya jangan ada orang yang goyang imannya krena kesusahan-kesusahan ini. Kamu sendiri tahu, bahwa kita ditentukan untuk itu. —1 Tesalonika 3:3

Apakah banyak orangtua berusaha terlalu keras utuk membahagiakan anak-anaknya? Apakah sikap itu justru membawa hasil yang tak membahagiakan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mula-mula diajukan kepada Lori Gottlieb, penulis suatu artikel yang membahas tentang hidup kaum dewasa muda yang tak bahagia. Kesimpulannya: Ya. Para orangtua yang tidak membiarkan anak-anaknya mengalami kegagalan atau kesedihan telah memberi anak-anak itu pandangan yang keliru tentang dunia dan tidak mempersiapkan mereka untuk menghadapi kerasnya kenyataan hidup sebagai orang dewasa. Akibatnya, mereka kini merasa hampa dan gelisah.

Sejumlah orang Kristen mengharapkan Tuhan menjadi seperti orangtua yang akan menghindarkan mereka dari segala kesedihan dan kekecewaan. Akan tetapi, Tuhan bukanlah Bapa yang seperti itu. Dengan penuh kasih, Dia mengizinkan anak-anak-Nya mengalami penderitaan (Yes. 43:2; 1 Tes. 3:3).

Ketika perjalanan kita didasari pada keyakinan yang keliru bahwa hidup yang mudah akan membawa kebahagiaan, kita akan jatuh kelelahan dalam usaha menghidupi keyakinan kita yang keliru itu. Namun ketika menghadapi kenyataan bahwa hidup memang sulit, kita dapat mencurahkan hidup kita untuk membangun suatu hidup yang baik dan saleh. Hidup yang demikian menguatkan kita pada masa-masa ketika kesulitan melanda hidup.

Allah menghendaki supaya kita kudus, bukan hanya bahagia (1 Tes. 3:13). Dan ketika kita kudus, kemungkinan besar kita akan sungguh merasa bahagia dan puas. —JAL

Haruskah aku terangkat ke langit
Didukung oleh beragam kemudahan,
Sementara yang lain berjuang demi upah,
Dan berlayar melalui lautan darah? —Watts

Seseorang yang puas telah belajar untuk menerima pengalaman yang pahit dengan yang manis.