Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya
Habel adalah seorang anak remaja yang sangat aktif melayani di gereja. Hampir setiap harinya dia berada di gereja. Selalu saja ada alasannya, entah itu rapat pengurus komisi remaja, latihan untuk ibadah remaja, membantu membuatkan slide power point untuk ibadah umum hari Minggu, ataupun bermain badminton bersama teman-temannya di gereja.
Kesibukan Habel di gereja membuat dia sering disambut omelan oleh ibunya ketika dia tiba di rumah. Bagaimana tidak, dia yang masih sekolah tapi sibuknya bukan main, sampai-sampai setiap hari baru sampai di rumah ketika langit sudah gelap. Tidak heran ibunya jadi sering mengomel, tapi meskipun dia sering diomeli, Habel tidak mengubah rutinitasnya itu karena menurutnya dia sedang mengisi waktunya dengan kegiatan yang positif. Hingga suatu hari rutinitas yang disukainya itu terpaksa harus berhenti.
Akibat dari banyaknya tugas sekolah dan pelayanan yang ia lakukan, Habel pun kelelahan. Kondisi fisik yang tidak prima inilah yang menjadi gerbang dari sakit tifus. Alhasil karena sakit ini dia tidak bisa bersekolah dan tidak bisa juga mengambil pelayanan di gereja.
Beberapa hari setelah ia sakit, pembina remajanya datang untuk menanyakan kabar sekaligus mendoakannya. Ketika ditanya kabarnya, Habel dengan wajah mengerut menjawab sedih karena saat ini dia tidak bisa produktif melayani Tuhan. Habel juga merasa bersalah karena seperti tidak mengerjakan panggilannya sebagai orang Kristen yaitu melayani Tuhan dan sesama.
Mendengar hal itu, pembina remajanya tersenyum geli lalu membuka Alkitab yang dibawanya dan membacakan kepada Habel. 1 Korintus 10:31 “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan segala sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”
Ia kemudian memberi nasihat kepada Habel bahwa menjaga kesehatan penting dalam melayani Tuhan. Menjaga kesehatan juga merupakan bentuk pelayanan kepada Tuhan, karena memuliakan Allah tidak hanya dengan melayani Tuhan saja tetapi semua hal yang Habel lakukan termasuk menjaga kesehatannya semuanya itu juga untuk memuliakan Allah. Jadi, tidak harus selalu mengambil banyak pelayanan di gereja untuk bisa memuliakan nama Tuhan, melainkan dengan menjalani kehidupan sebagai seorang pengikut Kristus yang berani menolak godaan dosa itu juga merupakan bentuk memuliakan nama Tuhan. Tapi, nasihat itu terasa membingungkan buat Habel.
“Jadi, aku harus gimana kak? Kan pelayanan itu perlu?” Pertanyaan ini dilontarkan Habel karena dia tidak ingin menolak tiap kesempatan pelayanan yang diberikan buatnya. Tapi, kalau diterima semuanya, ujung-ujungnya bisa sakit lagi seperti ini.
“Mungkin kamu bisa delegasikan tugasmu buat orang lain, kan pelayanan itu bicara juga soal teamwork,” jawab kakak pembina.
Pelan-pelan Habel mencerna solusi ini. Memang rasanya tidak enak jika kita menolak kesempatan pelayanan dari orang yang mempercayai kita. Bagi sebagian orang menolak ini seperti merusak kepercayaan. Juga, mungkin ada rasa tidak enak kalau bukan kita sendiri yang mengerjakan pelayanan itu. Namun, sesekali kita perlu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk juga melayani Tuhan karena setiap orang punya kesempatan yang sama, dan Bapa Surgawi juga berkenan menerima pelayanan dari orang lain.
Solusi tersebut secara tidak langsung menegur Habel karena terkadang dia sebenarnya mengambil banyak pelayanan di gereja untuk mengisi waktu kosongnya dan bukan dengan sungguh-sungguh melayani Tuhan. Dia senang jika orang-orang mengandalkan dia. Habel juga terkadang merasa dirinya hebat sehingga tidak suka jika ada orang lain yang menawarkan bantuan kepadanya. Sekarang dia mengerti. Merasa diandalkan dan hebat membuat Habel tidak mempedulikan kesehatannya tetapi justru memuaskan keinginannya, sehingga hal itu membuat dia jatuh sakit.
Obrolan hangat antara Habel dan kakak pembinanya menuntun Habel pada sebuah pemahaman baru antara iman, pelayanan, dan tanggung jawabnya kepada Tuhan. Habel kemudian mengakui dosa dan kelemahannya itu kepada pembinanya. Mendengar pengakuan Habel, pembinanya kemudian tersenyum, menepuk pundaknya, dan kemudian mendoakan dia.
“Habel, dosa-dosa kita sudah diampuni Tuhan. Tapi, itu bukan berarti kita terus-terusan mengulangi kesalahan yang sama, ya,” sahut kakak pembina.
Kalimat penutup ini disambut Habel dengan senyuman hangat dan semangat bahwa setelah sembuh dari tifus, dia akan memperbaiki prioritasnya.
***
Teman-teman, sebagai seorang Kristen yang sudah menerima keselamatan dari Kristus, pelayanan yang kita lakukan memang salah satu wujud syukur kita. Melayani Tuhan dan sesama tentunya berkenan bagi Allah. Akan tetapi, jika kita overload dalam mengambil pelayanan entah di gereja atau di organisasi Kristen, kecenderungannya adalah kita akan kehilangan sukacita karena energi kita terkuras habis. Belum lagi jika akhirnya pelayanan itu tercampur dengan motivasi pribadi, alih-alih menyenangkan Tuhan.
Seperti cerita Habel di atas, mungkin ada di antara kita yang seperti itu. Kelelahan yang tidak diatasi akan membuat fisik kita pun ikut sakit. Maksud hati ingin jor-joran melayani, ujung-ujungnya malah tidak produktif.
Teman-teman dalam surat 1 Korintus 10:31, Paulus mengatakan bahwa apa pun yang kita lakukan, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah. Oleh karena itu, mari kita ubah konsep berpikir kita. Berikanlah kesempatan pelayanan kepada teman atau adik tingkat kita yang kita rasa mampu dan bisa dipercaya, dan ambilah waktu istirahat sejenak dari kesibukan pelayanan dengan tidak merasa bersalah. Menjaga kesehatan secara fisik maupun secara rohani menolong kita untuk terus merasakan sukacita dalam melayani Tuhan maupun dalam berelasi dengan Tuhan. Kiranya nama Tuhan dimuliakan tidak hanya melalui pelayanan kita tetapi juga dalam seluruh hidup kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu