Posts

Jatuh Hingga ke Titik Nadir, Perjalananku Melepas Keangkuhan

Oleh Prillia Setiarini

Dikenal, disanjung, dikagumi. Kurasa tak akan ada orang yang menolak diperlakukan demikian. Dipandang secara positif oleh orang lain tentulah membawa rasa bangga bagi diri kita sendiri juga keluarga.

Aku ingat betul, saat SMA dulu aku ikut banyak kegiatan di sekolah. Tak cuma aktif, prestasiku juga cukup membanggakan. Aku diterima masuk ke salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Tapi, tanpa kusadari, rasa banggaku inilah yang membentuk fondasi hidupku. Kuletakkan identitasku pada pencapaian-pencapaianku dan aku menjadi semakin haus untuk mengejarnya.

Di awal masa-masa kuliahku, banyak orang bertanya. “Sekarang sudah kuliah ya? Di mana kuliahnya?” Kujawab dengan penuh percaya diri, “Di situ, di institut terbaik bangsa.” Reaksi decak kagum pun muncul. Tidak sedikit dari mereka yang menimpali dengan, “Wah! Kamu pasti pintar banget! Orang yang lulus ujian masuk ke sekolah itu kan persentasenya sangat kecil!” Ada juga yang menunjukkan raut muka yang begitu kagum, walaupun tidak melontarkannya dengan kalimat.

Sesudah itu ego yang aku miliki pun naik jadi begitu tinggi. Aku menganggap diriku termasuk orang yang sangat pintar, aku mahasiswa dari sekolah yang bergengsi, aku, aku, dan aku. Aku pun berubah menjadi orang yang sangat sombong. Aku menaruh ekspektasi yang sangat tinggi dalam hidupku, sampai aku tidak melibatkan Tuhan dalam rencana hidupku. Aku begitu perfeksionis dan hampir semua ekspektasiku, yang kurasa ada di luar jangkauan, rupanya dapat aku raih. Aku pun jatuh dalam dosa yang begitu Tuhan benci: kesombongan.

Namun, Tuhan tidak membiarkanku terjatuh terlalu jauh. Seiring waktu, ego yang aku miliki mulai terkikis. Aku benar-benar merasa Tuhan membimbing dan mendewasakan aku melalui relasi dengan teman kuliah, teman gereja, teman persekutuan kampus (PMK), teman komunitas, keluarga, saudara, dan semua yang ada di sekitarku. Tidak hanya itu, aku juga mendapatkan teguran yang cukup keras melalui kesehatanku. Ekspektasi yang aku sebutkan sebelumnya membuat pikiran, jiwa, hati, dan mentalku menjadi ambisius. Pada tahun 2012 kesehatan mentalku terganggu yang salah satu penyebabnya adalah sikap perfeksionis dan ambisiku tersebut.

Kejadian yang paling mengubah pikiranku adalah saat aku berada di rumah pemulihan untuk orang-orang yang bermasalah karena mentalnya terganggu dan pecandu narkoba. Aku mendapat perlakuan yang begitu buruk di sana. Makanan yang diberikan tidak enak sama sekali, kasur yang disediakan sangat berbeda dengan kasur di kamarku, dan pasien-pasien di sana membuatku berpikir, “Apakah aku sebegitu rendahnya sehingga tempat yang membantuku pulih yaitu tempat yang seperti ini?”.

Rumah pemulihan tersebut menjadikan harga diriku begitu rendah. Aku merasa aku seperti orang buangan. Di rumah tersebut banyak orang yang sengaja dititipkan oleh keluarganya. Padahal keluarga dari orang tersebut memang tidak mau mengurusnya lagi. Hampir 40% dari pasien-pasien di sana tidak pernah dijenguk lagi oleh keluarganya. Bahkan ada yang tidak tahu lagi bagaimana kabar keluarganya. Mungkin sedikit gambaran, di sana ada pasien wanita berumur paruh baya yang ditemukan di pinggir jalan. Pemilik rumah pemulihan tersebut berniat untuk membantu hidup dari seorang wanita ini. Ya, seperti itulah keadaan pasien-pasien di sana.

Kesombongan memang tidak pernah membawa kebaikan. Pada suatu masa di Perjanjian Lama, kerajaan Edom yang terkenal hebat dan tidak terkalahkan menerima penghukuman karena kesombongannya. Dalam Obaja 1:3 tertulis bahwa kerajaan Edom terletak di pegunungan yang curam, sehingga musuh akan sulit menyerang. Edom pun adalah bangsa yang kaya. Mereka dilimpahi dengan tembaga dan posisi geografis yang strategis karena berada di pusat rute perdagangan. Namun, dari segala kebaikan yang memenuhi mereka, Edom dipenuhi keangkuhan. Mereka yakin tidak akan terkalahkan sehingga mereka pun menindas umat Allah (Obaja 1:10-14).

Seperti yang terjadi pada bangsa Edom yang yakin betul bahwa tak ada satu pun kuasa yang akan mengalahkan mereka hingga mereka bertindak semena-mena, kesombongan dapat menipudaya pikiran kita. Kita berpikir kita dapat hidup tanpa Allah, yang kemudian akan membuat kita merasa kebal dari otoritas, teguran, dan kelemahan.

Namun, terpujilah Tuhan yang tak pernah menolak siapa pun yang berbalik datang pada-Nya. Allah memanggil kita untuk merendahkan diri di hadapan-Nya (1 Petrus 5:6) dan Dia membimbing kita untuk percaya bahwa Dialah satu-satunya Pribadi yang harus kita andalkan.

Dengan tuntunan dan anugerah-Nya, harga diriku yang hancur itu perlahan-perlahan membaik. Perjalananku untuk pulih dimulai dengan membuka kembali Alkitabku. Dikatakan pada Mazmur 139:13 bahwa Tuhan yang menenun aku (dan kita semua) dalam kandungan ibuku. Dalam bayanganku, itu berarti Tuhan sudah memerhatikan aku dari sebelum aku lahir. Sebelum aku menjadi aku, Dia sudah merencanakan hidupku. Hal itu sangat-sangat menguatkan aku. Aku juga melihat orang tuaku dan sikap teman-teman terhadap aku. Ternyata mereka menghargai aku. Kombinasi itu semua membuatku sadar bahwa harga diriku sebenarnya tidak pernah rusak. Aku sedang dibentuk oleh Tuhan dan serangkaian kejadian tersebut menyadarkan betapa Tuhan benar-benar sayang aku dan aku dijadikan murid oleh-Nya.

Pengalamanku ini telah menyadarkanku bahwa identitas berupa pencapaian, harta benda, atau jabatan bukanlah fondasi yang kokoh. Dasar yang teguh hanya bisa dibangun di atas iman percaya pada Kristus. Walaupun aku masih bisa jatuh, tetapi aku percaya bahwa Allah Bapa melalui pertolongan Roh Kudus akan terus membimbing hidup aku dan kamu hari ini, seterusnya, sampai pada maranatha!

Sekarang, kalau aku mendapatkan pujian, aku akan berkata, “Makasih ya. Itu semua hanya anugerah dari Tuhan”. Karena jika Tuhan tidak memberikan perkenanan-Nya, aku memang tidak mungkin bisa melakukan dan melewati semua itu. Semua pencapaian yang pernah aku raih dan yang akan aku raih, aku mau menyerahkan semuanya hanya untuk kemuliaan Tuhan.

Soli Deo gloria.

Melalui Depresi, Aku Mengalami Anugerah Tuhan

Oleh Prillia Setiarini, Jakarta

Kira-kira sudah sepuluh tahun aku menjalani hari-hariku sebagai penyintas gangguan emosi manik-depresif. Aku ingat beberapa bulan sebelum psikiater mengeluarkan vonis tersebut, aku seringkali tercetus pemikiran untuk mengakhiri hidup. Saat itu aku masih menjalani rutinitasku sebagai mahasiswa. Namun, pemikiran-pemikiran yang negatif terus menghantuiku. Aku berpikir seakan tidak ada harapan buat masa depanku, dan aku juga kehilangan semua minat terhadap hobi-hobiku. Bahkan pada saat itu, aku merasa untuk bangun dari tempat tidur merupakan hal yang sangat berat.

Aku banyak berdiskusi dengan psikiaterku. Tentu saja aku ingin mengetahui mengapa aku mengalami hal seperti ini—mengapa pikiranku cenderung negatif dan aku seolah-olah tidak memiliki energi untuk bangun dari tidur. Psikiaterku menjelaskan dengan sabar. Gejala yang kualami mengindikasikan aku mengalami Bipolar, yang terdiri dari dua kata: “bi” yang berarti dua; dan “polar” yang berarti kutub. Ini bukan berarti penyintas bipolar memiliki dua kepribadian. Penyintas bipolar memiliki dua ‘kutub’ emosi yang berpindah sangat cepat atau bahkan mungkin mengalami dua ‘kutub’ emosi tersebut di saat yang bersamaan.

Secara sains apa yang aku alami disebabkan oleh genetik yang berarti keturunan, lingkungan yang mungkin membuat ada pencetusnya, atau lain sebagainya. Pada kasusku, penyebabnya merupakan kombinasi dari semuanya. Hanya saja, aku teringat satu hal yang benar-benar membuatku menjadi orang yang perfeksionis. Secara tidak langsung, sikap itu memengaruhiku dan menjadi alasan yang kuat mengapa aku begitu hilang harapan saat aku mengalami kegagalan.

Dari aku kecil, aku termasuk orang yang berprestasi. Aku dapat membuat daftar apa-apa saja yang sudah aku capai semenjak aku menginjak pra-sekolah. Hal ini terus memberi ‘makan’ ego yang aku miliki. Hingga suatu ketika, aku belajar Biologi di salah satu institut terbaik di Indonesia. Aku benar-benar merasa seperti ‘orang biasa’ tanpa prestasi saat bersekolah di sana. Aku mengalami yang aku maksud sebagai kegagalan. Aku dibawa ke psikiater pada saat pergantian semester dari semester 6 ke semester 7. Pada saat itu keluarga, teman-teman, dan rekan-rekan semuanya tidak mengerti mengapa aku bisa sampai divonis mengalami bipolar. Memang dari luar aku terlihat tidak apa-apa. Namun, di dalam hati aku merasa aku adalah orang gagal.

Psikiater memberikanku terapi, yang salah satunya menggunakan metode medisinal alias pemberian obat. Aku diberikan beberapa obat seperti anti-depresan, anti-cemas, obat tidur, dan obat-obat lainnya yang mendukung aku agar bisa beraktifitas seperti semula. Aku juga pergi ke konselor di gereja untuk meminta bantuan. Dukungan doa sangat membantuku untuk pulih. Selain itu aku juga melakukan terapi mindfulness, meditasi Firman Tuhan, memperbaiki pola tidurku dan pola makanku. Semenjak itu aku menjalani pola hidup sehat baik secara fisik maupun rohani.

Perjalananku untuk pulih tidak seratus persen mulus. Ada satu hal yang membuatku sakit hati saat itu, yaitu ketika aku diharuskan untuk mengambil cuti kuliah. Tidak pernah terbayang olehku sebelumnya untuk mengundur kelulusanku hanya karena riwayat kesehatanku ini. Namun, aku benar-benar diingatkan melalui renungan akan Firman bahwa Tuhan tidak membiarkanku jauh dari-Nya dan bahwa aku tidak boleh memprioritaskan pencapaian-pencapaianku di atas segalanya. Ayat yang terus aku ingat pada saat aku menyadari akan hal ini diambil dari Keluaran 20:3: “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.”

Setelah apa yang aku alami, aku sadar bahwa aku dulu orang yang begitu sombong. Dulu aku menjadikan pencapaian-pencapaianku sebagai pijakan; tempat di mana aku dapat menyandarkan identitas, latar belakang aku, dan harga diri, sehingga saat aku merasa gagal, aku merasa harga diriku sangat rendah. Padahal Tuhan tidak menginginkan hal-hal tersebut dialami oleh aku dan oleh kamu. Aku yakin Tuhan ingin kita menjadikan Dia sebagai batu penjuru dan prioritas utama di hidup kita.

Sampai sekarang aku masih belajar untuk menyerahkan hidupku sepenuhnya untuk Tuhan. Aku menyerahkan identitasku, pencapaian-pencapaian, masa lalu, masa kini, masa depan, harga diri, semuanya aku serahkan kepada Allah Bapa.

Aku yakin Ia akan menjamin semuanya. Aku juga yakin Ia akan menjamin hidup teman-teman juga. Apakah kamu juga mau menyerahkan hidupmu seutuhnya kepada Allah Bapa, sang Juruselamat?