Posts

Prison Playbook: Dua Hal yang Kupelajari Tentang Komunitas

Oleh Fernando Chandra

Aku bukanlah penggemar drama Korea karena menurutku untuk menghabiskan satu season-nya butuh waktu cukup lama sedangkan aku bukan tipe orang yang suka menonton serial secara putus-putus. Namun, karena melihat cuplikan-cuplikan di media sosial, aku memutuskan untuk menonton satu serial drakor berjudul Prison Playbook atau Wise Person Life.

Serial ini dirilis pada tahun 2017 dan mendapatkan tanggapan positif. Cerita utama yang diangkat adalah tentang Kim Je Hyeok, seorang atlet bisbol berprestasi yang hendak dikontrak oleh tim bisbol profesional dari Amerika. Tapi, sebelum kontrak ditandatangani, Je Hyeok malah tersandung kasus hukum saat hendak membela adiknya yang terancam pelecehan seksual oleh seorang pria. Selama berada di penjara, Je Hyeok beradaptasi dan berbagi hidup dengan para narapidana lain dari berbagai kasus.

Jika biasanya drama korea berkutat seputar romantisme, Prison Playbook banyak diisi dengan komedi. Namun, setelah menontonnya, kupikir film ini lebih dari sekadar komedi. Ada beberapa hal yang kudapatkan dan kurasa perlu kita renungkan lebih jauh.

Pertama, prasangka terhadap orang lain. Adegan penyiar radio mungkin jadi salah satu adegan yang kurang mendapat perhatian. Bahkan sampai episode terakhir, wajah dari penyiar radio tak juga diperlihatkan. Ada sepenggal perkataan dari si penyiar yang menarik perhatianku. Dia berkata bahwa hal yang tidak disukai orang-orang, termasuk para narapidana adalah prasangka. Ada narapidana yang kelihatannya melakukan kejahatan besar, tapi sebenarnya dia telah berubah. Sebaliknya, ada narapidana yang terlihat baik di awal, tetapi justru menjadi tokoh antagonis di akhir film ini.

Tidak semua orang hidup berdasarkan cerita yang kita dengar dari orang lain. Ada alasan (bukan pembenaran) mengapa seseorang melakukan suatu tindakan. Ketidaktahuan kita akan alasan inilah yang dapat mendorong kita untuk terjebak dalam prasangka, alias melabeli seseorang dengan asumsi kita sendiri yang belum tentu akurat. Sebelum memutuskan untuk menjauhi seseorang, kita dapat belajar untuk memahami dan mendengar lebih dulu kisahnya. Setiap orang perlu untuk dipahami dan didengar, tidak hanya dihakimi berdasarkan rumor yang tersebar di komunitas.

Kedua, tentang orang-orang yang ada di sekitar kita. Kehidupan Kim Je Hyeok selama di penjara mempertemukannya dengan berbagai macam karakter orang. Tidak semua orang bersikap baik. Ada yang berusaha melukai dan berbuat jahat, tetapi ada juga orang-orang yang membantu, mendukungnya ketika dia ada dalam kondisi terpuruk. Mereka yang membantu bukanlah orang-orang sempurna. Status narapidana mereka adalah salah satu bukti dari fakta ini. Namun, bagian favoritku dalam film ini adalah ketika para orang tak sempurna ini rela saling tolong-menolong dalam kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki.

Aku percaya, setiap orang yang kita temui dalam kehidupan kita bukanlah sebuah pertemuan yang hanya sekadar lalu. Mereka adalah orang-orang yang Tuhan letakkan dalam hidup kita. Mungkin mereka orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan. Mungkin juga mereka adalah orang-orang yang kelak akan membantu kita. Ada yang akan menolong kita dalam waktu yang lama, tetapi ada juga yang hanya sementara. Kita tidak tahu berapa lama waktu yang Tuhan berikan bagi kita untuk menikmati kebersamaan yang ada. Pun kita bisa saja pernah mendengar hal buruk, namun sebelum menghakimi kita dapat memilih untuk mendengar dan memahami lebih dulu.

Komunitas ada bukan untuk menghakimi, tetapi membentuk seseorang. Penerimaan terhadap orang lain bukan berarti pembenaran atas sikap yang salah, melainkan jadi kesempatan bagi kita untuk membantu menyadari apa yang perlu diperbaiki.

Bersediakah kita membuka diri untuk orang lain?

Prasangka—”Parasite” yang Menghinggapi Kita Semua

Oleh Glen Wong, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Prejudice—The Parasite That Plagues Us All
Gambar diambil dari: Official trailer

Piala Oscar 2020 membuktikan bahwa orang Asia tak cuma sukses sebagai dokter, pengacara, insinyur, atau ahli matematika. Parasite, film dari Korea Selatan besutan Boon Joon Ho menorehkan sejarah sebagai film terbaik non bahasa Inggris yang memenangkan empat kategori sekaligus: Best Picture, Best Director, Best International Feature Film, dan Best Writing. Media-media mengomentari bahwa Boon Joon Ho tak cuma membuat film, tetapi membuka jalan bagi film-film Asia untuk mendapatkan pengakuan internasional.

Parasite adalah film bergenre dark comedy yang berfokus pada kehidupan Kim, keluarga dari kalangan ekonomi bawah dan Park, keluarga dari kalangan elit. Ketika anak lelaki Kim, Ki Woo, mendapatkan pekerjaan sebagai guru les bahasa Inggris untuk Da Hye (anak perempuan Park), keluarga Kim mencari kesempatan untuk masuk lebih dalam ke kehidupan keluarga Park. Penonton Parasite diajak menaiki roller-coaster, dari adegan gembira ke adegan menegangkan seiring kebohongan keluarga Kim hampir terbongkar karena hal yang tak terduga.

Sebagai seorang lulusan Sosiologi dari Universitas Yonsei di Seoul, Boon Joon Ho mengemas Parasite sebagai film yang menunjukkan kesenjangan sosial antara kelas ekonomi dalam masyarakat Korea Selatan. Dengan memfokuskan pada stereotipe negatif pada kelas bawah dan kelas elit, Parasite menegaskan ketimpangan sosial yang secara nyata hadir dalam kehidupan masyarakat hari ini.

Seiring aku menonton interaksi antara keluarga Kim dan Park, aku jadi merenungkan bagaimana sikap dan pandanganku terhadap mereka yang kurang beruntung secara finansial. Apakah aku memandang orang-orang dari kelas sosial ekonomi berbeda dengan negatif? Apakah aku tidak mau tahu dengan perjuangan orang miskin memenuhi kebutuhan hidup mereka? Apakah aku punya prasangka terhadap orang miskin?

Inilah tiga prasangka terhadap orang miskin dalam film Parasite yang mendorongku untuk menyelidiki hidupku lebih dalam:

1. Orang miskin itu “jahat”

Penipuan jadi motif utama yang disorot dalam film ini—yang menggambarkan seolah orang miskin pasti melakukannya untuk menyambung hidup. Stereotipenya: orang miskin pasti penjahat atau penipu.

Aku teringat momen ketika keluarga dan temanku menasihatiku untuk tidak meninggalkan benda-benda berharga di hotel, atau ketika mereka bilang “jangan pergi ke luar di atas jam 10 malam” karena bisa saja aku diincar oleh jambret atau begal.

Namun, Alkitab memberitahu kita bahwa dosa menipu itu tidak mengenal kelas sosial ekonomi, tetapi persoalan hati. Yeremia 17:9 berkata, “Betap liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Menelisik hidupku sendiri, ada momen-momen ketika aku menipu untuk mendapatkan apa yang kumau. Ketika aku masih sekolah, kelompok band sekolahku menang kompetisi karena kami memvoting kelompok kami sendiri. Tindakan menipu, bahkan dalam bentuk yang sederhana sekalipun mengingatkanku untuk berhenti berprasangka dan mulai menyadari dosa dalam diriku sendiri terlebih dulu sebelum aku menunjuk pada orang lain.

2. Orang miskin itu “kotor”

Ada beberapa adegan dalam Parasite ketika keluarga Park berkomentar: orang miskin “gampang sakit”, atau “bau”. Park bahkan bilang kalau dia tidak naik kereta api karena itu.

Seperti Park, kadang aku pun merasa bersalah karena berpikir demikian terhadap orang “miskin”. Aku pernah mengunjungi satu daerah di dekat gerejaku yang memiliki angka kemiskinan paling tinggi dan banyak dihuni orang-orang dengan gangguan mental. Karena aku punya sakit eksim yang cukup parah, aku takut kalau bakteri dan kutu dari mereka akan pindah menempel di bajuku dan mulai menginfeksi kulitku. Hingga akhirnya aku berinteraksi dengan orang-orang di sana, Tuhan menolongku untuk melihat mereka terlepas dari kondisi fisik mereka karena di mata Tuhan semua manusia diciptakan setara.

Kita perlu mengakui bahwa kita semua adalah pendosa dan kotor di hadapan Allah, dan tidak seorang pun dari antara kita yang berbeda. Namun, Allah mengasihi kita dengan kasih yang besar. Sebagai respons atas kasih-Nya, kiranya kita senantiasa membaharui pikiran kita (Roma 12:2) supaya saat kita melihat orang lain, kita melihat mereka seperti Tuhan melihat kita.

3. Orang miskin itu “urakan”

Lewat film Parasite, keluarga Kim sering mengucapkan sumpah serapah dan melakukan tindakan tidak disiplin. Di salah satu adegan, keluarga Kim masuk ke rumah Park untuk mabuk-mabukan, memecahkan botol bir, dan mengotori seisi ruangan. Adegan ini seolah menegaskan sterotipe bahwa orang “miskin” itu urakan (bertingkah laku seenaknya).

Tapi, Alkitab memberitahu kita bahwa bukan apa yang terlihat dari luar yang penting. Kenyataannya, kita semua pendosa yang kotor dan buruk dalam cara kita berpikir, dan tidak ada seorang pun yang dapat hidup benar tanpa pertolongan Roh Kudus. Rasul Paulus menyebutkan dalam Galatia 5:16 bahwa orang yang hidup oleh Roh tidak akan mengikuti keinginan daging.

Meskipun mudah untuk menyerah pada keinginan daging tak peduli seberapa keras upaya kita berjuang, marilah kita memilih untuk melangkap bersama Roh Kudus supaya hidup kita mencerminkan kemuliaan Tuhan.

Obat bagi prasangka kita

Film Parasite diakhiri dengan catatan yang menegurku betapa kesenjangan kelas sosial itu nyata. Aku berpikir: adakah harapan bagi orang-orang seperti mereka? Apakah kita mengizinkan prasangka-prasangka dalam diri kita menjadi parasit yang pelan-pelan melahap belas kasih dan kemanusiaan kita?

Aku berpikir bagaimana Injil membentuk kita sebagai orang Kristen untuk melihat diri kita dan orang lain terlepas dari status sosial kita. Mengetahui siapa diri kita dapat menyingkirkan prasangka yang kita sematkan pada orang lain, dan menolong kita pula untuk menghargai orang lain sebagai sesama manusia yang diciptakan segambar dengan Allah. Sebagai orang percaya kita harus bersedia beriteraksi dan melayani mereka yang miskin, membagikan pada mereka Kabar Baik tentang Kristus yang tak cuma berisi tentang keselamatan setelah kematian, tetapi juga damai sejahtera yang diberikan-Nya.

Mungkin tindakannya sederhana, tapi langkah sederhana ini mungkin bisa mengentaskan rantai parasit yang menjerat kita.

Baca Juga:

Dalam Peliknya Masalah Kemiskinan, Kita Bisa Berbuat Apa?

Masih jelas tergambar dalam pikiranku kondisi pemukiman di kolong jembatan di daerah Ancol, Jakarta Utara yang kukunjungi sebulan lalu. Mayoritas warganya bekerja sebagai pemulung. Rumah-rumah mereka didirikan seadanya, bukan tergolong rumah yang sehat. Anak-anak berkerumun dan mengenakan pakaian yang lusuh berdebu. Apakah mereka sekolah? Kebanyakan tidak. Apakah mereka mendapatkan akses kesehatan? Tidak juga.

Menyingkirkan Penghalang

Minggu, 17 September 2017

Menyingkirkan Penghalang

Baca: Filemon 1:8-16

1:8 Karena itu, sekalipun di dalam Kristus aku mempunyai kebebasan penuh untuk memerintahkan kepadamu apa yang harus engkau lakukan,

1:9 tetapi mengingat kasihmu itu, lebih baik aku memintanya dari padamu. Aku, Paulus, yang sudah menjadi tua, lagipula sekarang dipenjarakan karena Kristus Yesus,

1:10 mengajukan permintaan kepadamu mengenai anakku yang kudapat selagi aku dalam penjara, yakni Onesimus

1:11 —dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna baik bagimu maupun bagiku.

1:12 Dia kusuruh kembali kepadamu—dia, yaitu buah hatiku—.

1:13 Sebenarnya aku mau menahan dia di sini sebagai gantimu untuk melayani aku selama aku dipenjarakan karena Injil,

1:14 tetapi tanpa persetujuanmu, aku tidak mau berbuat sesuatu, supaya yang baik itu jangan engkau lakukan seolah-olah dengan paksa, melainkan dengan sukarela.

1:15 Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya,

1:16 bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan.

[Ia] bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan. —Filemon 1:16

Menyingkirkan Penghalang

Saya bertemu Mary tiap hari Selasa ketika saya mengunjungi “Balai”—rumah rehabilitasi yang membantu mantan narapidana berbaur kembali dengan masyarakat. Keadaan hidup saya berbeda jauh dari hidup Mary: ia baru saja keluar dari penjara, masih bergumul dengan kecanduan, dan hidup terpisah dari anaknya. Bisa dibilang Mary tersisih dari pergaulan.

Seperti Mary, Onesimus tahu artinya terpinggirkan dari pergaulan. Sebagai budak, Onesimus pernah berbuat salah kepada Filemon, tuannya yang juga seorang Kristen. Sekarang, Onesimus dipenjara. Di penjara, Onesimus bertemu Paulus dan percaya kepada Kristus (Fil. 1:10). Meskipun hidup Onesimus telah berubah, ia tetaplah budak. Paulus mengirimnya kembali kepada Filemon dengan membawa surat yang mendesak Filemon untuk menerima Onesimus “bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih” (ay.16).

Filemon memiliki pilihan: Ia dapat tetap memperlakukan Onesimus sebagai budak atau menyambutnya sebagai saudara di dalam Kristus. Saya memiliki pilihan juga. Apakah saya melihat Mary sebagai mantan narapidana dan pecandu yang sedang berusaha pulih—atau sebagai wanita yang hidupnya sedang diubah oleh kuasa Kristus? Mary adalah saudara saya di dalam Tuhan, dan kami bersyukur dapat menempuh perjalanan iman kami bersama-sama.

Kita mudah terjebak dengan menjadikan status sosial, ekonomi, golongan masyarakat, atau perbedaan budaya sebagai pemisah di antara kita. Injil Kristus menyingkirkan segala penghalang itu dan selamanya mengubah hidup kita serta hubungan di antara kita. —Karen Wolfe

Ya Allah, terima kasih karena Injil Yesus Kristus mengubah hidup manusia dan hubungan di antara kami. Terima kasih karena Engkau telah menyingkirkan penghalang di antara kami dan menjadikan kami semua anggota keluarga-Mu.

Injil mengubah hidup manusia dan hubungan di antara mereka.

Bacaan Alkitab Setahun: Amsal 27-29 dan 2 Korintus 10

Jangan Lagi Berprasangka

Selasa, 4 Maret 2014

Jangan Lagi Berprasangka

Baca: Yakobus 2:1-10

2:1 Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.

2:2 Sebab, jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk,

2:3 dan kamu menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya: “Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!”, sedang kepada orang yang miskin itu kamu berkata: “Berdirilah di sana!” atau: “Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!”,

2:4 bukankah kamu telah membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat?

2:5 Dengarkanlah, hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?

2:6 Tetapi kamu telah menghinakan orang-orang miskin. Bukankah justru orang-orang kaya yang menindas kamu dan yang menyeret kamu ke pengadilan?

2:7 Bukankah mereka yang menghujat Nama yang mulia, yang oleh-Nya kamu menjadi milik Allah?

2:8 Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, kamu berbuat baik.

2:9 Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran.

2:10 Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya.

Saudara-saudaraku! Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan Yang Mahamulia, janganlah kalian membeda-bedakan orang berdasarkan hal-hal lahir. —Yakobus 2:1 BIS

Jangan Lagi Berprasangka

Sebuah survei oleh Newsweek pada tahun 2010 menunjukkan statistik yang mengejutkan: 57 persen dari para manajer yang menerima surat lamaran kerja meyakini bahwa pelamar kerja yang berpenampilan kurang menarik (sekalipun memenuhi persyaratan) akan lebih sulit mendapatkan pekerjaan; 84 persen berkata bahwa atasan mereka enggan merekrut seseorang yang lebih tua meski ia memenuhi persyaratan; 64 persen meyakini bahwa perusahaan seharusnya boleh merekrut orang berdasarkan penampilannya. Semua itu merupakan contoh nyata dari sikap prasangka yang tidak dapat diterima.

Prasangka bukanlah hal yang baru. Sikap itu telah menjalar di tengah gereja mula-mula, dan Yakobus menentangnya secara terang-terangan. Dengan keteguhan bak seorang nabi dan hati seorang gembala ia menulis, “Saudara-saudaraku! Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan Yang Mahamulia, janganlah kalian membeda-bedakan orang berdasarkan hal-hal lahir” (Yak. 2:1 BIS). Yakobus menyebut sikap lebih menghormati yang kaya dan tidak mengindahkan yang miskin (ay.2-4) sebagai contoh dari sikap membeda-bedakan orang yang ia maksud. Hal itu tidak sejalan dengan iman kepada Yesus yang tidak membeda-bedakan orang (ay.1), menghina anugerah Allah (ay.5-7), melanggar hukum kasih (ay.8), dan merupakan perbuatan dosa (ay.9). Untuk melawan sikap membeda-bedakan orang, kita patut mengikuti teladan Yesus: mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.

Kita berperang melawan sikap prasangka yang berdosa saat kita menerapkan kasih Allah secara nyata lewat sikap kita dalam mengasihi dan memperlakukan sesama. —MLW

UNTUK DIRENUNGKAN
Faktor apakah yang mendorongmu untuk memperlakukan orang
lain secara layak? Apakah itu didasarkan pada hal-hal lahiriah? Apa
saja caramu dalam mengasihi sesama seperti yang Yesus lakukan?

Memandang kepada Yesus menghindarkan kita dari memandang rendah sesama.

Tim Yesus

Jumat, 8 Maret 2013

Tim Yesus

Baca: Lukas 5:27-35

Ia melihat seorang pemungut cukai, yang bernama Lewi . . . Yesus berkata kepadanya: “Ikutlah Aku!” —Lukas 5:27

Di tahun 2002, klub bisbol Oakland Athletics memperkuat tim mereka dengan cara di luar kebiasaan. Mereka telah kehilangan tiga pemain terbaik setelah tahun 2001 dan tak punya uang untuk merekrut pemain bintang lainnya. Jadi Billy Beane sebagai manajer umum memanfaatkan sejumlah statistik yang biasanya terabaikan untuk membentuk satu tim yang terdiri dari para pemain yang kurang dikenal, baik yang sudah melewati masa kejayaan atau yang dinilai tidak cukup bagus oleh tim lain. Tim serabutan ini berhasil meraih kemenangan 20 kali berturut-turut hingga memenangi 103 pertandingan dan menjuarai divisi mereka.

Ini mengingatkan tentang cara Yesus membentuk “tim” yang berisi para murid-Nya. Dia merekrut nelayan kasar dari Galilea, penganut Yahudi fanatik, bahkan pemungut cukai yang dipandang rendah, bernama Lewi (Matius). Ini mengingatkan saya bahwa, “apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat” (1Kor. 1:27). Allah memakai orang yang penuh pengabdian (kecuali Yudas) untuk memulai pergerakan yang memberi pengaruh dahsyat pada dunia sehingga sejak saat itu segalanya berubah sama sekali.

Ada yang bisa kita pelajari dari hal ini. Terkadang kita hanya menghormati mereka yang kaya, terkenal, dan berpengaruh. Dan kita cenderung mengabaikan orang-orang dengan status yang rendah atau mereka yang punya keterbatasan fisik.

Yesus menempatkan sejumlah orang yang terpinggirkan oleh masyarakat ke dalam tim-Nya, dan Dia tidak membeda-bedakan orang. Dengan kuasa dan tuntunan Roh Kudus, kita pun dapat menghormati semua orang dengan tidak membeda-bedakan mereka. —DCE

Dalam Yesus Kristus kita semua setara,
Karena Roh Allah menyatukan kita;
Ketika kita saling memberi hormat,
Kita memuliakan nama Putra-Nya. —Fitzhugh

Tak ada anggota yang tak berarti dalam tubuh Kristus.

Keangkuhan Dan Prasangka

Selasa, 29 Mei 2012

Keangkuhan Dan Prasangka

Baca: Kisah Para Rasul 17:22-31

Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi. —Kisah Para Rasul 17:26

Pada dekade 1930-an, rumah tempat saya tinggal semasa kanak-kanak dipenuhi dengan kasih sayang dan kegembiraan, tetapi orangtua saya sering tidak di rumah. Ketika mereka tidak di rumah, sumber kehangatan di rumah kami adalah ruang dapur dan Annie—pengurus rumah kami yang bertubuh mungil dan selalu ceria.

Saya banyak menghabiskan waktu bersama Annie, duduk di meja dapur sambil membaca buku atau bermain mainan dan mendengarnya bersenandung atau menyanyikan lagu-lagu rohani. Dari hatinya, terus-menerus terpancar hikmat, keceriaan, dan nyanyian.

Suatu pagi, dalam luapan kegembiraan seorang anak, saya mengucapkan ejekan rasial yang pernah saya dengar. “Ya ampun, jangan!” seru Annie. Ia pun mencurahkan isi hatinya dengan nasihat yang lemah lembut tentang bahaya dan luka yang disebabkan oleh ejekan tersebut, disertai dengan kesedihan mendalam di matanya. Sejak saat itu, saya tidak pernah mengucapkan kata itu lagi.

Saya belajar bahwa kita dapat menyebabkan kesedihan yang begitu mendalam ketika kita mengambil sikap tidak mau menghargai dan juga merendahkan orang lain dengan sikap kita yang tidak toleran. Setiap manusia diciptakan segambar dengan Allah—lebih serupa dengan Allah melebihi ciptaan lainnya dan layak dihargai. Menganggap rendah gambaran itu berarti melukai jati diri orang lain.

Hanya ada satu ras, yaitu umat manusia. Allah “telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dari satu orang saja” (Kis. 17:26). Kita semua adalah satu keluarga, diciptakan untuk saling menghargai dan menghormati. —DHR

Dari semua ciptaan yang berharga,
Tiada yang sepadan dengan manusia,
Segambar dengan Allah diciptakannya
Untuk genapi rencana agung-Nya. —D. De Haan

Allah ingin agar kita menghormati semua orang, karena setiap orang diciptakan menurut gambar-Nya.