Posts

Aku Melakukan Kesalahan Besar, Akankah Tuhan Mengampuniku?

aku-melakukan-kesalahan-besar

Oleh Ruth Lawrence, Inggris
Artikel asli dalam bahasa Inggris: We are Not the Sum of our Bad Choices

Kamu mungkin menemui mereka di jalanan. Orang-orang yang kesepian, tidak memiliki tempat tinggal, dan kecanduan. Dahulu, mereka mungkin sama seperti kita, tapi di suatu waktu dalam kehidupan mereka, satu atau lebih pilihan yang salah telah menghancurkan kehidupan mereka. Kini, mereka berpikir sudah terlambat untuk mencoba memperbaiki kesalahan mereka. Mereka berpikir Tuhan juga tidak ingin berelasi dengan mereka lagi.

Atau mungkin kamu mempunyai seorang teman atau mendengar seseorang yang berjuang untuk membesarkan bayinya seorang diri setelah beberapa pilihan yang buruk yang dibuatnya. Hidup menjadi sulit dan sepi baginya. “Bahkan jika Tuhan itu ada, Dia juga tidak tahu atau tidak peduli dengan kesulitanmu,” katanya.

Di sekitar kita, ada begitu banyak orang-orang yang seperti itu. Bahkan, beberapa tetanggaku juga memiliki pemikiran yang serupa dengan para tunawisma jalanan yang aku ceritakan di atas. Aku merasa sedih karena mereka membiarkan pilihan-pilihan mereka di masa lalu menjebak mereka ke dalam kehidupan yang hancur—karena sebenarnya mereka tidak seharusnya seperti itu.

Itulah yang aku pelajari ketika aku mendalami Nehemia 9. Di titik ini, orang Israel sedang melakukan perjalanan kembali ke Israel, setelah menghabiskan 70 tahun di pembuangan di Babel. Nehemia telah membangun kembali tembok Yerusalem meskipun ada banyak tentangan. Kini, mereka yang telah kembali lalu dikumpulkan bersama dan mereka dihadapkan pada sebuah pilihan: Akankah mereka mengikut Tuhan?

Jawabannya adalah ya—mereka ingin mengikut Tuhan. Kita dapat melihat doa pertobatan mereka di Nehemia 9. Itu adalah sebuah doa yang panjang dan berisi apa yang telah Tuhan lakukan bagi mereka sebagai sebuah bangsa dan juga semua kesalahan mereka. Sama seperti orang-orang yang kita lihat di sekitar kita, bangsa Israel membuat beberapa pilihan yang sangat buruk. Mereka menolak Tuhan dan melakukan apa yang mereka inginkan, bahkan setelah melihat Tuhan melakukan hal-hal yang luar biasa bagi mereka—seperti melepaskan mereka dari perbudakan.

Mereka tentunya dipenuhi rasa sesal dan rasa malu ketika mereka melihat kembali kesalahan-kesalahan mereka di masa lalu. Tapi apa yang mengagetkan saya tentang doa mereka bukanlah tentang dosa-dosa mereka, tapi bagaimana Tuhan merespons mereka ketika mereka jatuh. Di dalam Nehemia 9 ada banyak kata-kata yang indah seperti berikut:

“Tetapi Engkaulah Allah yang sudi mengampuni, yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya. Engkau tidak meninggalkan mereka.” (Neh. 9:17)

“Engkau tidak meninggalkan mereka di padang gurun karena kasih sayang-Mu yang besar.” (Neh. 9:19)

“Dan pada waktu kesusahan mereka berteriak kepada-Mu, lalu Engkau mendengar dari langit dan karena kasih sayang-Mu yang besar Kauberikan kepada mereka orang-orang yang menyelamatkan mereka dari tangan lawan mereka.” (Neh. 9:27)

“Kembali mereka berteriak kepada-Mu, dan Engkau mendengar dari langit, lalu menolong mereka berulang kali, karena kasih sayang-Mu.” (Neh. 9:28)

“Tetapi karena kasih sayang-Mu yang besar Engkau tidak membinasakan mereka sama sekali dan tidak meninggalkan mereka, karena Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang.” (Neh. 9:31)

Wow! Betapa luar biasanya Tuhan kita, yang penuh kasih sayang dan masih mengasihi kita meskipun ketika kita mengabaikan Dia. Dalam hidupku sendiri, aku juga telah gagal menjalankan perintah-perintah Tuhan seperti yang dilakukan oleh bangsa Israel. Dan salah satu yang begitu mengena untukku adalah ketika aku memilih untuk tidak menceritakan tentang Yesus kepada seseorang, karena aku takut dengan tanggapan yang mungkin diberikan oleh orang itu.

Di Inggris, orang-orang biasanya tidak mengenal atau tidak berbicara dengan tetangga-tetangga mereka. Di lingkunganku, kami mungkin mengucapkan salam kepada orang-orang ketika kami meninggalkan rumah pada waktu yang bersamaan, tapi percakapan kami tidak pernah lebih dari seputar cuaca. Jadi meskipun aku tahu tetangga-tetanggaku membutuhkan Yesus, aku tidak berkata lebih dari “halo” ketika aku melihat mereka, karena aku takut mereka akan berpikir bahwa aku gila.

Ketika aku memikirkan semua kesempatan yang telah aku lewatkan, aku merasa begitu bersalah. Aku tahu aku telah mengabaikan apa yang Tuhan perintahkan untuk aku lakukan: mengabarkan tentang Yesus kepada orang-orang. Dan itu membuatku berpikir bahwa Dia pastilah sangat marah denganku.

Jadi membaca ayat-ayat ini membuatku menjadi sangat lega. Itu terasa seperti seseorang mengangkat beban yang berat dari punggungku. Dan itulah yang Tuhan janjikan jika kita mengambil waktu untuk berdoa, mengaku dosa kita, dan meminta pengampunan-Nya; Dia akan membebaskan kita dari segala rasa bersalah dan membersihkan kita dari dosa-dosa kita. Tentu aku masih perlu bertanggung jawab untuk mengabarkan tentang Yesus kepada orang-orang, tapi aku dapat melakukan itu karena aku ingin taat kepada Tuhan dan bukan karena rasa bersalahku.

Jadi, inilah pesan yang ingin aku sampaikan. Mungkin kamu telah membuat beberapa pilihan yang buruk di masa lalu. Mungkin kamu pergi dengan teman-teman yang salah atau kamu melakukan hal yang seharusnya tidak kamu lakukan ketika pacaran dan kamu tahu bahwa tindakanmu tidak menyenangkan Tuhan. Atau mungkin pilihan-pilihan yang kamu buat membuatmu merasa kosong dan bersalah. Jika kamu merasa begitu hancur dan merasa Tuhan tidak mungkin mengampunimu, bacalah apa yang Tuhan katakan di dalam Alkitab. Ketahuilah tentang pribadi-Nya dan apa yang telah Dia lakukan bagimu di atas kayu salib. Akuilah dosamu dan mintalah pengampunan-Nya.

Kembalilah kepada Tuhan yang “pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya.” Dia takkan mengabaikanmu. Jangan terjebak dalam kesalahan yang kita buat di masa lalu. Bersama-Nya, kamu dapat menjadi pribadi yang lebih baik.

Baca Juga:

Ketika Aku Menyadari Bahwa Kerja Keras Bukanlah Segalanya

Dahulu, aku adalah seorang pekerja yang bekerja setiap hari tanpa mengenal waktu dan memberikan hati dan jiwaku bagi pekerjaan yang ada padaku. Tapi beberapa percakapan dengan temanku mengubah segalanya.

Allah di Balik Kabut Asap

Penulis: Markus Boone

kabut-asap-2015
Sumber foto: daerah.sindonews.com, 22 Oktober 2015

Kemarau panjang beberapa bulan kemarin mungkin membuat hati kecil kita bertanya-tanya, mengapa Allah tidak kunjung mendatangkan hujan; mengapa Dia membiarkan bencana asap melanda dan menyebabkan jutaan orang menderita sakit karena asap yang begitu pekat masuk dalam hidung, tenggorokan dan paru-paru mereka. Pertanyaan senada mungkin pernah (dan akan) terbersit di benak kita ketika hujan terus turun dan bencana banjir menyapa. Mengapa Allah membiarkan bencana datang? Apakah Allah kurang berkuasa? Ataukah mungkin Dia kurang peduli?

Setidaknya ada beberapa hal yang menurutku bisa kita renungkan tentang pribadi Allah di balik bencana kabut asap yang hampir setiap tahun terjadi.

1. Allah konsisten dengan hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya

Bayangkanlah seorang guru yang membuat peraturan dalam kelas, tetapi sangat sering mengubah-ubah peraturan yang dibuatnya sendiri. “Hari ini peraturan nomor satu tidak berlaku ya, besok saja berlakunya.” Lalu seminggu kemudian ia berkata, “Minggu ini peraturan yang kemarin saya umumkan tidak jadi berlaku karena ada murid-murid yang tidak setuju.” Apa kesan kita terhadap guru yang demikian?

Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika setiap kali kita berdoa Allah mengubah hukum-hukum alam yang dirancang-Nya sendiri. Kekacauan! Begitu gereja berdoa, Allah langsung memadamkan api di hutan. Orang-orang yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan tidak jadi dihukum. Pemerintah tidak merasa perlu berusaha keras memperbaiki sistem pengawasan dan pelestarian lingkungan. Penduduk tidak akan sadar betapa pentingnya menjaga alam yang dikaruniakan Allah. Apapun yang dilakukan orang dengan hutan setiap tahunnya, semua akan baik-baik saja. Tidak ada panggilan pertobatan.

Di balik kabut asap kita melihat Allah yang konsisten dengan apa yang sudah dirancang-Nya. Dia bukan Allah yang kebingungan dalam menegakkan aturan untuk alam ciptaan-Nya sendiri (Mazmur 119:89-91). Bencana kabut asap, sebagaimana halnya masalah lubang ozon dan pemanasan global, terjadi karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Tidak bisa dibereskan hanya dengan mengeluh dalam doa dan menuntut Allah melakukan “hal-hal ajaib”. Perlu ada refleksi sekaligus reformasi dalam kehidupan setiap kita, bagaimana kita menyikapi alam yang dikaruniakan Tuhan. Polisi, jaksa, dan hakim harus menegakkan keadilan bagi orang-orang yang merusak alam. Pemerintah harus membuat peraturan yang lebih jelas serta menciptakan infrastrukur yang dapat mencegah terulangnya kebakaran hutan dalam skala masif.

2. Allah baik dan panjang sabar terhadap umat manusia

Mengapa kita dan jutaan orang lainnya merasa prihatin sekaligus marah dengan munculnya kabut asap? Pertama-tama tentunya karena kabut asap membawa dampak yang buruk. Tiba-tiba kita merasa sangat terganggu karena ada begitu banyak hal baik yang direnggut dari kehidupan kita (atau sesama kita) oleh asap. Kebebasan beraktivitas, jarak pandang yang jauh ke depan, udara yang bersih dan segar, kesehatan, keindahan alam, bahkan nyawa orang-orang yang kita kasihi. Anugerah yang mungkin kerap kurang kita sadari dan syukuri ketika semua baik-baik saja.

Kedua, kita prihatin dan marah karena tahu bahwa bencana asap tidak tidak terjadi dengan sendirinya. Pepatah lama berkata, “di mana ada asap di situ ada api”. Memang ada faktor cuaca yang membuat bencana ini berkepanjangan. Namun, penyebab utamanya adalah ulah pihak-pihak tertentu yang sengaja merusak dan membakar hutan untuk kepentingan mereka.

Kalau kita saja prihatin dan marah, tidakkah Allah, Pemilik alam ini jauh lebih berhak untuk prihatin dan marah? Tidak hanya kepada para pembakar hutan, tetapi kepada setiap manusia yang tidak menghargai dan memelihara alam ciptaan-Nya dengan baik. Bencana asap terjadi bukan karena Allah mengabaikan manusia, melainkan karena manusia mengabaikan Allah dan tidak peduli kepada alam semesta yang dipercayakan-Nya kepada manusia.

Di balik kabut asap kita melihat Allah yang sesungguhnya telah mencurahkan banyak hal baik dalam hidup manusia, sekaligus yang sabar terhadap manusia yang tidak menghargai segala pemberian baik-Nya. Allah bukannya menutup mata terhadap dosa. Ada hari yang telah ditetapkan-Nya untuk menghakimi dan menghukum semua orang yang melawan Dia (Kisah Para Rasul 17:31). Namun, saat ini, Dia masih memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk bertobat (2 Petrus 3:9).

3. Allah menyediakan pilihan bagi manusia dan pemulihan bagi seluruh ciptaan-Nya

Menyadari bahwa banyak bencana yang terjadi—termasuk bencana kabut asap—bersumber dari pilihan-pilihan yang diambil manusia sendiri, pertanyaan yang mungkin timbul adalah: mengapa sejak awal Allah memberikan manusia kebebasan untuk memilih? Bukankah Allah tahu kalau manusia kerap salah memilih? Tidakkah lebih baik bila manusia tidak diberi pilihan?

Bayangkanlah sebuah dunia tanpa pilihan. Mungkin tidak ada bencana kabut asap di sana. Tetapi tidak ada pula kegairahan mengeksplorasi alam dan mengembangkannya. Berbagai pengembangan varietas tanaman baru yang tahan hama dan kaya nutrisi kini bisa dinikmati dan mencukupkan kebutuhan pangan banyak orang di dunia. Hal-hal luar biasa ini terjadi ketika manusia memilih untuk menjadi rekan dan bukan musuh alam. Allah menciptakan manusia untuk menyatakan kehadiran, pemeliharaan, dan kebijakan-Nya kepada segenap ciptaan lainnya (Kejadian 1:26-28). Sebab itu kita diciptakan berbeda, punya akal budi, bisa memilih.

Benar bahwa pilihan-pilihan manusia yang telah jatuh dalam dosa tidak lagi mencerminkan tujuan Sang Pencipta, dan justru kerap membawa bencana (seperti bencana kabut asap). Namun, Alkitab memberitahukan kita sebuah kabar baik. Allah menyediakan pemulihan bagi setiap orang yang mau bertobat (2 Tawarikh 7:14). Dan, pertobatan manusia akan membawa pemulihan juga bagi segenap alam, karena manusia yang bertobat kini kembali akan menjalankan perannya sebagai pengelola yang baik dari alam ciptaan Allah. Bahkan suatu hari kelak, ketika Kristus datang kembali, kita akan hidup bersama-Nya dalam langit dan bumi yang baru (Wahyu 21). Sebuah pemulihan total!

Di balik kabut asap, kita melihat Allah yang menciptakan kita secara istimewa di antara segenap ciptaan-Nya. Dia memberi kita kemampuan untuk berpikir, memilih, berkreasi, menyatakan kehebatan dan kebijaksanaan-Nya di tengah alam semesta. Kita juga melihat Allah yang pemurah, yang menyediakan pemulihan bagi setiap manusia yang mau bertobat, dan bagi segenap ciptaan-Nya.

Bagaimanakah kita akan menanggapi Allah di balik kabut asap?

 

Walau banyak mulut yang meratap
Karena siksaan dari serbuan asap
Janganlah berpikir Allah tidak mendekap
Oleh karena Dia tetap Allah yang mantap

Manusia jangan hanya meratap
Tapi pikir baik-baik kenapa ada asap
Yang tak bertobat jangan merasa mantap
Oleh karena penghukuman datang berderap

Mencari Kambing Hitam

Senin, 15 September 2014

Mencari Kambing Hitam

Baca: Kejadian 16:1-6; 21:8-13

16:1 Adapun Sarai, isteri Abram itu, tidak beranak. Ia mempunyai seorang hamba perempuan, orang Mesir, Hagar namanya.

16:2 Berkatalah Sarai kepada Abram: "Engkau tahu, TUHAN tidak memberi aku melahirkan anak. Karena itu baiklah hampiri hambaku itu; mungkin oleh dialah aku dapat memperoleh seorang anak." Dan Abram mendengarkan perkataan Sarai.

16:3 Jadi Sarai, isteri Abram itu, mengambil Hagar, hambanya, orang Mesir itu, –yakni ketika Abram telah sepuluh tahun tinggal di tanah Kanaan–,lalu memberikannya kepada Abram, suaminya, untuk menjadi isterinya.

16:4 Abram menghampiri Hagar, lalu mengandunglah perempuan itu. Ketika Hagar tahu, bahwa ia mengandung, maka ia memandang rendah akan nyonyanya itu.

16:5 Lalu berkatalah Sarai kepada Abram: "Penghinaan yang kuderita ini adalah tanggung jawabmu; akulah yang memberikan hambaku ke pangkuanmu, tetapi baru saja ia tahu, bahwa ia mengandung, ia memandang rendah akan aku; TUHAN kiranya yang menjadi Hakim antara aku dan engkau."

16:6 Kata Abram kepada Sarai: "Hambamu itu di bawah kekuasaanmu; perbuatlah kepadanya apa yang kaupandang baik." Lalu Sarai menindas Hagar, sehingga ia lari meninggalkannya.

Kejadian 21:8 Bertambah besarlah anak itu dan ia disapih, lalu Abraham mengadakan perjamuan besar pada hari Ishak disapih itu.

21:9 Pada waktu itu Sara melihat, bahwa anak yang dilahirkan Hagar, perempuan Mesir itu bagi Abraham, sedang main dengan Ishak, anaknya sendiri.

21:10 Berkatalah Sara kepada Abraham: "Usirlah hamba perempuan itu beserta anaknya, sebab anak hamba ini tidak akan menjadi ahli waris bersama-sama dengan anakku Ishak."

21:11 Hal ini sangat menyebalkan Abraham oleh karena anaknya itu.

21:12 Tetapi Allah berfirman kepada Abraham: "Janganlah sebal hatimu karena hal anak dan budakmu itu; dalam segala yang dikatakan Sara kepadamu, haruslah engkau mendengarkannya, sebab yang akan disebut keturunanmu ialah yang berasal dari Ishak.

21:13 Tetapi keturunan dari hambamu itu juga akan Kubuat menjadi suatu bangsa, karena iapun anakmu."

Penghinaan yang kuderita ini adalah tanggung jawabmu . . . TUHAN kiranya yang menjadi Hakim antara aku dan engkau. —Kejadian 16:5

Mencari Kambing Hitam

Saat suami Jenny pergi meninggalkannya demi wanita lain, Jenny pun bersumpah tidak akan pernah menemui istri baru dari suaminya itu. Namun saat menyadari bahwa kepahitannya akan merusak relasi anak-anak dengan ayahnya, ia pun berdoa meminta Allah untuk memampukannya mengatasi kepahitan hati di tengah suatu keadaan yang tidak dapat diubahnya itu.

Dalam Kejadian 16, kita membaca kisah sepasang suami-istri yang dijanjikan Allah akan menerima seorang bayi. Ketika Sarai menyarankan suaminya, Abram, untuk menghampiri Hagar agar dapat mempunyai anak, sebenarnya ia tidak betul-betul percaya bahwa Allah akan memberikan seorang anak seperti yang dijanjikan-Nya. Saat bayi Hagar lahir, Hagar memandang rendah Sarai (Kej. 16:3-4) dan membuat Sarai sakit hati (ay.5-6).

Semula Hagar adalah seorang budak yang tidak punya hak dan tiba-tiba sekarang ia menerima perhatian khusus. Bagaimana reaksi Sarai? Ia menyalahkan orang lain, termasuk Abram (ay.5). Janji Allah lalu dipenuhi 14 tahun kemudian dengan kelahiran Ishak. Namun, acara perjamuan besar pada hari Ishak disapih juga dirusak oleh sikap Sarai (21:8-10).

Mungkin Sarai tidak pernah benar-benar menerima keadaan hidupnya yang harus menanggung akibat-akibat dari keputusan dirinya dan Abram untuk mendahului kehendak Allah. Diperlukan anugerah Allah untuk mengubah sikap Sarai yang pada akhirnya akan dapat mengubah seluruh hidupnya. Memang Sarai tidak dapat menarik kembali keputusannya dahulu, tetapi oleh kekuatan Allah, ia dimungkinkan untuk menjalani hidup dengan sikap yang berbeda dan memberikan kemuliaan kepada Allah. —MS

Terima kasih, Tuhan, walaupun keadaan kami mungkin tidak
berubah, anugerah-Mu cukup kuat untuk mengubah kami di tengah
keadaan yang kami hadapi. Tolong kami ketika kami bergumul
di sana-sini untuk menjalani hidup di dunia yang penuh dosa ini.

Oleh anugerah Allah, kita dapat memancarkan terang-Nya di tengah zaman yang gelap.

Masa Panen

Minggu, 21 Oktober 2012

Masa Panen

Baca: Galatia 6:1-10

Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. —Galatia 6:7

Pada suatu sore di musim gugur, saya berkendara melintasi sebidang ladang di mana seorang petani memarkir suatu mesin besar di tepi jalan. Dari sebuah papan peringatan berwarna kuning terbaca: “Panen sedang Berlangsung.” Saat melihat sepintas ke ladang, saya langsung mengetahui apa yang ditanam petani tersebut beberapa bulan yang lalu, yaitu benih-benih jagung yang kecil. Saya mengetahuinya karena ia sedang bersiap-siap mengendarai alat pemanennya melalui berhektar-hektar ladang jagung yang telah matang untuk dituai.

Meski terlihat jelas bahwa menanam jagung pasti akan menghasilkan panenan jagung, terkadang kita menyangkali hubungan antara menabur dan menuai dalam kehidupan rohani kita. Rasul Paulus menulis, “Jangan sesat! . . . ; karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Gal. 6:7). Menjalani hidup untuk memuaskan keinginan daging kita akan menghasilkan kebusukan dalam rupa keinginan untuk memiliki apa yang bukan milik kita, sikap mementingkan diri sendiri, dan bahkan kemabukan (5:19-21). Hidup oleh Roh Kudus akan menghasilkan damai sejahtera, kebaikan, dan penguasaan diri (5:22-23). Oleh anugerah Allah, kita dapat memilih untuk “menabur dalam Roh” dan menuai hidup yang kekal (6:8).

Seandainya Yesus menyatakan hari ini sebagai “hari panen” dalam kehidupan kita, dan Dia meminta kita untuk mengumpulkan hasil dari pilihan-pilihan kita sehari-hari selama setahun yang lalu, buah apa yang akan kita perlihatkan kepada-Nya? —JBS

Hal-hal dalam dunia ini sering memikat hatiku,
Tuhan, tolong aku melihat tujuan akhir sejak dari awal;
Bukalah mataku untuk tahu ke mana arah hidupku,
Apa yang akan kutuai dari yang telah kutaburkan. —K. De Haan

Benih yang kita tabur hari ini menentukan jenis buah yang akan kita tuai esok hari.

Menarik Dari Luar; Busuk Di Dalam

Kamis, 21 Juni 2012

Menarik Dari Luar; Busuk Di Dalam

Baca: Amsal 2:6-20

Maka engkau akan mengerti tentang kebenaran, keadilan, dan kejujuran, bahkan setiap jalan yang baik. —Amsal 2:9

Sebuah riset di Australia menyimpulkan bahwa bungkus rokok yang dibuat kurang menarik akan mengurangi ketertarikan para remaja untuk merokok. Oleh karena itu, pemerintah Australia menetapkan undang-undang yang mengharuskan perusahaan rokok mengganti warna, logo dan teks promosi pada bungkus rokok dengan pesan peringatan kesehatan dan foto paru-paru yang rusak akibat penyakit. Alhasil, gambar tokoh koboi gagah akan diganti dengan sesosok malaikat maut dalam upaya menekan jumlah kematian karena merokok. Namun, bungkus rokok bukan satu-satunya hal yang mungkin tampak menarik dari luar, tetapi busuk di dalam.

Kitab Amsal di Perjanjian Lama mendesak kita untuk sungguh-sungguh mempertimbangkan akibat jangka panjang dari semua keputusan kita. Istilah “akhirnya” yang berulang (Ams. 5:4; 25:8; 29:21) menjadi suatu peringatan bagi diri sendiri untuk memandang ujung jalan yang kita tempuh dan bertanya apakah halhal yang menarik bagi kita pada akhirnya akan membawa kita kepada sukacita atau sebaliknya dukacita, kemuliaan atau aib, kehidupan atau kematian. “Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian. Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya” (2:6-7).

Kunci untuk menghindari suatu akhir yang tragis dari keputusan yang bodoh adalah dengan menerima hikmat Allah sebagai pedoman dalam menjalani hidup. “Maka [kita] akan mengerti tentang kebenaran, keadilan, dan kejujuran, bahkan setiap jalan yang baik” (ay.9). —DCM

Begitu banyak hikmat yang perlu dipelajari,
Begitu banyak jalan untukku bertumbuh,
Tuhan, aku akan mendengar seperti seorang anak,
Dan belajar yang Kau mau kuketahui. —K. De Haan

Hikmat berarti mengerti apa yang benar-benar penting.