Posts

Jawaban buat Pertanyaan yang Menggantung di Pikiranmu

Pikiran kita sering mendikte kita, seperti yang terjadi ketika para murid Yesus terombang-ambing di tengah badai. Ketika mereka melihat Yesus berjalan di atas air, ketakutanlah mereka semua. Namun, Yesus berseru, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”

Pikiran-pikiran buruk dalam diri kita tidaklah sepenuhnya mendefinisikan diri kita. Peganglah firman Tuhan dan temukan damai sejahtera di dalamnya.

Art space ini diterjemahkan dari @ymi_today dan didesain oleh @yelloizmello

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengapa Kita Harus Melaraskan Hati dan Pikiran Kita

Oleh Raphael Zhang

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris: Why We Must Engage Both Mind and Heart

Ketika baru percaya Tuhan, aku diajari bahwa kita tidak bisa mengandalkan perasaan. Aku belajar bahwa Tuhan tetap mengasihiku bahkan ketika aku tidak merasakan kasih-Nya—seperti halnya kursi yang sebenarnya menopang berat badanku meskipun aku tidak merasa seperti itu.

Aku diingatkan bahwa perasaanku tidaklah menentukan suatu kenyataan, dan perasaan juga tidak boleh mengatur apa yang harus kulakukan. Untuk berdoa, aku tidak perlu menunggu sampai aku merasa ingin berdoa untuk melakukannya; aku harus berdoa karena itu seturut dengan kehendak Tuhan.

Meski aku mencoba untuk selalu mengingat hal ini, tapi ternyata sulit untuk melawan perasaanku sendiri. Ada saat-saat ketika aku harus pergi ke gereja atau kelompok kecil, tapi hati kecilku merasa enggan, bahkan berkeluh-kesah kepada Tuhan. Meskipun secara lahiriah aku patuh, tapi aku tidak merasakan sukacita dalam hati.

Dari sanalah aku menyadari bahwa: selalu bertindak sesuai dengan pikiran tanpa melibatkan perasaan bukanlah kebiasaan yang sehat.

Yesus pun memanggil kita untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, pikiran, jiwa, dan kekuatan kita (Lukas 10:27). Hati dan pikiran kita harus sama-sama dilibatkan dalam mengasihi-Nya. Melibatkan salah satu tanpa yang lainnya adalah tindakan yang kurang bijaksana.

Tapi, bagaimana jika hati dan pikiran kita tidak sejalan? Tuhan mengajarkanku beberapa hal yang membantuku melihat bahwa hati dan pikiran tidak harus selalu menjadi sebuah pertarungan terus menerus, tetapi keduanya bisa senantiasa saling mempengaruhi.

Dengarkanlah perasaan kita

Tuhan menunjukkan bahwa meskipun perasaanku tidak selalu dapat diandalkan, bukan berarti aku mengabaikannya. Meskipun perasaanku mungkin tidak selalu mengatakan yang sebenarnya, tapi perasaan itu memberi tahu sesuatu tentang diriku sendiri.

Jadi, jika aku merasakan adanya penolakan bahkan ketika aku berada di tengah keluarga dan teman-teman yang penuh kasih, aku tidak akan langsung berpikir bahwa mereka benar-benar menolakku. Aku justru akan bertanya pada diriku sendiri, “Mengapa aku merasa seperti ini?” Aku akan mencari pertolongan Tuhan untuk mengungkap lebih dalam penyebab yang membuatku merasa seperti itu. Setelah aku mengenali beberapa hal yang mungkin menyebabkan perasaan itu, aku akan meminta Tuhan untuk menghibur dan menyembuhkanku, dan untuk menunjukkan kebenaran-Nya tentang diriku dan juga keadaan tersebut. Dia mungkin akan mengingatkanku, seperti yang pernah Dia lakukan di masa lalu, bahwa Dia telah menerimaku (Roma 15:7) sebagai anak yang dikasihi-Nya (1 Yohanes 3:1). Dan Dia mungkin menunjukkan kepadaku bahwa aku salah memahami situasi atau maksud orang lain.

Mengolah perasaanku bersama Tuhan dapat membantuku untuk menerapkan kebenaran-Nya pada diri sendiri. Jika aku terluka oleh sesuatu, Tuhan dapat membalut lukaku (Mazmur 147:3). Jika dasar masalahnya adalah perilaku yang berdosa, Dia dapat menunjukkan kesalahanku, sehingga aku dapat mengakui dosaku kepada-Nya dan bertobat.

Dengan menggali lebih dalam tentang apa yang kita rasakan, kita dapat menerima penghiburan dari Tuhan atau penyucian dari dosa. Pikiran kita dapat menggunakan kebenaran yang diungkapkan oleh Tuhan untuk menyelaraskan perasaan kita lebih dekat kepada-Nya dan kebenaran-Nya.

Menghargai Apa yang Benar

Meski perasaan itu penting, bukan berarti kita harus dikendalikan olehnya. Ketika aku masih muda, aku berpikir bahwa perasaanku akan selalu menguasai tindakanku. Jika aku merasa ingin melakukan sesuatu, akan sangat sulit bagiku untuk tidak melakukannya. Aku bahkan percaya bahwa tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengubah perasaanku itu.

Hingga suatu hari Tuhan berbicara kepadaku melalui Matius 6:21: “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Dia mengingatkanku bahwa ayat tersebut tidak mengatakan, “Di mana hatimu berada, di situ juga hartamu berada”—yang berarti apa yang aku cintai bergantung pada apa yang aku rasakan—dan jika aku tidak merasa seperti itu, maka aku tidak bisa mencintainya.

Namun, yang sebenarnya Tuhan katakan dalam ayat tersebut adalah: apa yang sengaja kupilih untuk kuhargai pada akhirnya akan dihargai juga oleh hatiku. Hal ini sangat menguatkanku karena berarti aku tidak harus menyerah begitu saja pada perasaanku!

Sebagai contoh, dulu aku tidak suka berdoa atau membaca Firman. Lalu aku meminta Tuhan menolongku agar mau menghargai apa pun yang menjadi kerinduan hati-Nya. Jadi, dengan pertolongan Tuhan, aku mulai berdoa dan membaca Firman sebagai caraku menghargai hal-hal tersebut, terlepas dari apakah aku ingin melakukannya atau tidak. Seiring waktu, hatiku mulai mengikutinya. Saat ini, aku lebih suka berdoa dan membaca Firman Tuhan daripada sebelumnya. Melalui hal ini, aku belajar bahwa apa yang kupilih untuk kuhargai dengan tindakanku dapat memengaruhi apa yang kuhargai dalam perasaan hatiku.

Ada hal yang sering dikatakan oleh pendetaku yang juga kualami sendiri: “Ketika kamu melihat apa yang Allah lihat, kamu akan melakukan seperti yang Allah lakukan. Namun terkadang, kamu harus melakukan apa yang Allah katakan sebelum kamu dapat melihat apa yang Dia lihat.”

Ketika hatiku tidak selaras dengan isi hati Tuhan, aku sangat bersyukur karena Dia telah memberiku pikiran yang dapat menggerakkan hatiku untuk lebih memilih jalan-Nya. Aku tidak harus lebih dulu merasa setuju atau menghargai apa yang Dia katakan sebelum aku dapat mematuhi-Nya. Sebaliknya, Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa—terlepas dari apa yang aku rasakan—ketika aku memilih untuk melakukan apa yang Dia katakan dan menghargai apa yang Dia mau kuhargai, aku ditolong untuk melihat apa yang Dia lihat, sehingga aku dapat menghargai apa yang Dia taruh di dalam hatiku.

Milikilah Pikiran yang Benar untuk Mempengaruhi Perasaan

Pada akhirnya, kita juga dapat mempengaruhi emosi kita dengan memiliki pikiran yang benar. Aku pernah mendengar sebuah kutipan yang berbunyi, “Kamu bukanlah seperti yang kamu pikirkan, tetapi kamu akan menjadi seperti yang kamu pikirkan.”  Pepatah lain menjelaskannya seperti ini:

Perhatikan pikiranmu, karena akan terwujud dalam perkataan.

Perhatikan perkataanmu, karena akan terbukti dalam perbuatan.

Perhatikan perbuatanmu, karena akan terbentuk menjadi kebiasaan.

Perhatikan kebiasaanmu, karena akan terpatri dalam karakter.

Perhatikan karaktermu, karena itulah yang membentuk masa depanmu.

Hal ini, bagiku, mendasari kebenaran tentang bagaimana pikiran kita memainkan peran utama dalam menentukan jati diri yang kita miliki dan corak kehidupan yang kita jalani. Inilah sebabnya mengapa Alkitab memerintahkan kita untuk “menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus” (2 Korintus 10:5).

Hal ini membantuku untuk lebih menghargai mengapa Firman Tuhan menasihati kita untuk memikirkan segala yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, baik, dan patut dipuji (Filipi 4:8)—dan tidak ada yang lebih baik dan lebih patut dipuji daripada Tuhan dan Firman, kehendak, dan jalan-Nya. Jika hal-hal ini yang lebih sering kita pikirkan, otak kita tidak hanya akan menyimpannya, tetapi pikiran-pikiran itu juga akan mempengaruhi hati kita, dan pada akhirnya, hidup kita.

Dalam keinginanku untuk mengasihi Allah, aku ingin mengasihi Dia dengan hati sekaligus pikiranku. Pendeta dan teolog Amerika, Timothy Keller, berkata, “Hati kita sungguh telah dimurnikan ketika apa yang harus Anda lakukan dan apa yang ingin Anda lakukan itu sama—kesenangan dan kewajiban menjadi hal yang sama.” 

Dalam perjalanan kita untuk membiarkan Tuhan semakin memurnikan hati kita, aku senang Tuhan memberi kita berbagai cara agar hati dan pikiran kita dapat terus saling mempengaruhi, sehingga kita dapat mengasihi Tuhan sepenuhnya. Dia benar-benar layak untuk kita cintai dengan segenap keberadaan kita—karena Dialah yang pertama kali mengasihi kita dengan segenap hati, pikiran, jiwa, dan kekuatan-Nya.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Apa yang Mengendalikan Pikiranmu?

Hari ke-25 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:8-9

4:8 Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.

4:9 Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.

Semua berawal dari hal yang sepele. Aku melihat deretan jadwal pekerjaan paruh waktuku untuk seminggu ke depan dan aku merasa lelah. Lalu untuk yang keseribu kalinya aku berharap untuk memperoleh pekerjaan tetap seperti kebanyakan teman-temanku. Aku mengkhawatirkan kondisi keuanganku yang berada di ujung tanduk. Bagaimana jika suatu saat aku kehilangan pekerjaanku? Bagaimana aku bisa membayar biaya sewa dan membeli keperluan sehari-hari?

Aku semakin menderita karena merasa belum bekerja keras sehingga aku mulai memikirkan cara untuk mendapatkan pekerjaan tambahan. TIdak berhenti sampai di situ, aku pun iri melihat teman-temanku yang memiliki jenjang karier bagus, yang memberikan mereka penghargaan dan kesempatan untuk naik jabatan setiap mereka menunjukkan performa yang baik di tempat kerjanya.

Sebelum aku menyadarinya, pola pikirku yang buruk ini membuatku terjebak dalam pemahaman bahwa aku harus berjuang untuk diriku sendiri. Pada akhirnya, aku jadi kepahitan dan menganggap bahwa Allah tidak bersedia menolongku, yang kemudian memengaruhi bagaimana aku bersikap pada-Nya.

Yang awalnya hanya sekadar pemikiran, ketika diimani dan diladeni dalam cara yang negatif dapat berlanjut menjadi tindakan nyata. Pada akhirnya, pikiran tersebut berkuasa untuk menentukan tindakanku. Jika kebiasaan berpikir negatif ini terus kupelihara seperti yang pernah kualami sebelumnya, karakterku dapat berubah secara total dan hubunganku dengan Allah pun memburuk.

Paulus menyadari pentingnya menjaga pikiran. Ia mengetahui bahwa setiap pikiran yang kita hasilkan dapat menjadi faktor penentu, apakah kita ‘berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus’ (Filipi 3:14). Pikiran kita memiliki peran yang besar dalam membentuk realitas kita.

Dalam pasal terakhir kitab Filipi, Paulus memberikan nasihat tentang bagaimana kita dapat mengembangkan suatu cara berpikir yang dapat menuntun kita pada hidup yang berkemenangan. Daripada berlarut-larut dalam ketakutan dan frustrasi, Paulus mendorong kita untuk memikirkan “semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji” (Filipi 4:8). Hal-hal yang disebutkan di atas berakar pada kebaikan Tuhan yang tidak terelakkan.

Sederhananya, selama kita mengembangkan pola pikir yang berdasar pada karakter Allah, kita mampu membedakan mana yang kehendak Allah, dan mana yang tidak! Kita akan mengetahui jalur yang mengarahkan kita pada kehidupan, dan kita akan memilih untuk berjalan di dalamnya.

Bahkan hal-hal terkecil sekalipun—jikalau memang nyata, mulia, dan benar—dapat menjadi sumber anugerah Tuhan yang melimpah. Apakah seseorang pernah membuat harimu menjadi lebih baik hanya dengan melakukan sesuatu yang sederhana? Apakah kita pernah melakukan sesuatu untuk seseorang dan mendatangkan sukacita bagi kita? Ketika kita pernah mengalami hal-hal ini, maka perlu kita sadari bahwa Tuhan bekerja di balik hal-hal tersebut.

Paulus kemudian menasihati kita untuk melatih diri agar menjadi semakin serupa dengan Kristus, yang telah kita “pelajari, terima, atau dengar” dari orang lain (Filipi 4:9). Kita tidak hanya memikirkan kebaikan-kebaikan yang telah Allah lakukan, tetapi juga meneladaninya dalam kehidupan sehari-hari kita. Setiap kita menghidupi firman-Nya, kita akan selalu teringat bagaimana Ia benar-benar hadir dalam hidup kita. Hal ini menyelaraskan realita hidup kita dengan firman-Nya dan membantu kita untuk senantiasa menyadari sebuah fakta bahwa Ia selalu bekerja.

Dengan berfokus pada kebaikan Tuhan, pandanganku terhadap hidup kini berubah. Hal ini memberanikanku untuk tetap memfokuskan diri pada kebenaran sejati kala kecemasan dan kekhawatiran melingkupiku: Aku tidak dilupakan. Aku tetap tenang.

Lewat kepercayaan dan keyakinan ini, kita dapat hidup dalam cara yang mencerminkan kebaikan Allah. Melalui cara ini kita juga dapat mengungkapkan kebaikan Allah pada orang-orang di sekitar kita.—Nelle Lim, Singapura

Handlettering oleh Novia Jonatan

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Pikiran apa yang meliputi benakmu? Apakah pikiran-pikiran itu sejalan dengan kebenaran firman Tuhan? Tuliskan dan doakanlah pada Allah dalam doamu!

2. Bagian hidup manakah yang kamu rasa belum terjamah damai sejahtera Allah? Mintalah Allah untuk membantumu menyerahkannya kepada Dia.

3. Apa sajakah pemikiran-pemikiran yang benar, mulia, dan manis yang dapat menggantikan pikiran-pikiran negatif?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Nelle Lim, Singapura | Nelle suka menonton siaran klasik di TV. Dia percaya cerita yang baik dapat menolong kita menemukan kepercayaan diri kita. Nelle mungkin saja jadi orang yang terhilang jika tidak ada Yesus, sang Pengarang Cerita Hidup.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Pikiran Yang Menggertak, Menggeram

Kamis, 1 Agustus 2013

Pikiran Yang Menggertak, Menggeram

Baca: Mazmur 59

Engkau telah menjadi kota bentengku, tempat pelarianku pada waktu kesesakanku. —Mazmur 59:17

Bertahun-tahun yang lalu, saya dan Ayah berjalan lintas alam melalui Big Bend di Texas. Saat ini tempat tersebut sudah dijadikan taman nasional, tetapi pada waktu itu masih merupakan daerah yang belum terawat.

Suatu malam, ketika sedang menggelar kantung tidur, muncul sepasang suami-istri dengan seekor anjing dan meminta izin untuk berkemah di dekat kami. Kami menyambut mereka lalu beranjak tidur. Mereka mengikat anjingnya di tonggak di samping tenda.

Beberapa jam kemudian Ayah membangunkan saya sambil mengarahkan lampu senter ke arah kegelapan. Kami dapat melihat berpasang-pasang bola mata berwarna kuning mengintip dari dalam gelap. Sekelompok anjing hutan mengepung anjing tetangga kami sambil menggertak dan menggeram. Meski kami berhasil mengusirnya dan tetangga kami memasukkan anjing itu ke dalam tendanya, kami tak bisa tidur nyenyak malam itu.

Saya teringat pada peristiwa malam itu saat membaca Mazmur 59 dan penggambaran Daud yang diulang sebanyak dua kali: “Pada waktu senja mereka datang kembali, mereka melolong seperti anjing” (ay.7,15). Daud sedang membayangkan tentang tentara Saul yang mengepungnya, namun saya berpikir tentang beragam pemikiran yang terus kembali untuk merongrong kita. Pemikiran itu datang pada malam hari, sambil menggertak dan menggeram: “Kamu bodoh.” “Kamu pecundang.” “Kamu tak berguna.” “Siapa yang butuh kamu?”

Ketika dirongrong oleh pemikiran seperti itu, kiranya kita bisa bersukacita dengan mengingat kasih Allah yang tanpa syarat dan tak berkesudahan. Kesetiaan-Nya yang teguh menjadi tempat perlindungan kita dari kelamnya rasa ragu dan takut (ay.17). —DHR

Ya Tuhan, aku bersyukur karena Engkau mengasihiku tanpa syarat.
Jauhkanlah pikiran merusak yang selalu kembali untuk merampas
keyakinanku terhadap Engkau dan karya-Mu dalam diriku.
Aku ingin bersandar kepada-Mu dan di dalam kasih setia-Mu.

Kesadaran bahwa Allah mengasihi kita bisa menepis segala keraguan hati kita.

Ulat Telinga

Sabtu, 20 Juli 2013

Ulat Telinga

Baca: Filipi 4:4-9

Semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji—pikirkanlah semuanya itu. —Filipi 4:8

Mereka menggali. Mereka menggali semakin dalam. Mereka melekatkan dirinya di dalam kepala Anda. Earworms (ulat telinga) adalah sebuah istilah yang awalnya digunakan untuk serangga saja, tetapi yang sekarang menjadi sebutan bagi nada-nada lagu tertentu yang tidak bisa Anda lupakan. Lagu-lagu seperti The Lion Sleeps Tonight, lagu Barney, atau lagu yang menjadi mimpi buruk bagi saya: It’s a Small World After All.

Ada yang mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk menghilangkan pengaruh yang merasuki pikiran ini adalah menggantikannya dengan nada lagu lainnya—suatu lagu yang “lebih bersih”. Lirik dan nada lagu yang baru itu dapat mengenyahkan lirik dan nada lagu yang lama.

Mungkin kita perlu memakai lagu yang lebih bersih untuk pikiran kita juga. Ketika pikiran-pikiran yang penuh hawa nafsu dan niat balas dendam mulai merasuki benak kita, kita dapat membersihkan pikiran kita dengan jalan membaca dan merenungkan firman Allah.

Alkitab mengajar kita untuk mengasihi Tuhan “dengan segenap hati [kita] dan dengan segenap jiwa [kita] dan dengan segenap akal budi [kita]” (Mat. 22:37) serta tidak “menjadi serupa dengan dunia ini” tetapi “berubahlah oleh pembaharuan budi [kita]” (Rm. 12:2). Alkitab menasihati kita untuk memikirkan hal-hal yang mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji (Flp. 4:8).

Ketika pikiran kita mulai mengembara dan dikotori dosa, “alat pembersih” yang paling mujarab adalah dengan membiarkan hikmat Alkitab meresap ke dalam pikiran dan hati kita (2Tim. 3:16). —CHK

Ya Tuhan, kami rindu menyediakan waktu untuk membaca firman-Mu.
Kami tahu bahwa merenungkan firman-Mu bisa mengisi pikiran kami
akan Engkau dan menolong kami untuk waspada agar kami tidak
memikirkan hal yang berdosa. Tolonglah kami untuk melakukannya.

Karakter diri dibentuk oleh perpaduan seluruh pikiran, perkataan, dan perbuatan kita.