Posts

Memenangkan Pertempuran Melawan Diri Sendiri

Oleh Dorkas Febria Krisprianugraha

Beberapa waktu lalu, berbagai media ramai memberitakan pembunuhan berencana yang melibatkan seorang perwira dan para ajudannya. Sang perwira memerintahkan salah satu ajudannya untuk menembak rekan kerjanya sendiri. Serangkaian proses hukum disiarkan dan publik antusias menunggu kelanjutannya, bahkan tak jarang menimbulkan situasi yang tidak kondusif. 

Dalam persidangan, ajudan yang menerima perintah untuk membunuh temannya pun menjadi saksi kunci. Dia bertutur bahwa dia merasakan ketakutan luar biasa, bahkan sempat berdoa saat hendak membunuh. Terdengar kontradiksi, tapi penuturan tersangka menunjukkan bahwa sebenarnya dia tahu apa yang dia lakukan adalah hal yang keji sekalipun dia hanya menjalankan tugas dan dalam hatinya sendiri tidak ada niatan untuk membunuh. Namun, karena intimidasi akhirnya keyakinan hatinya runtuh dan dia memilih menjalankan perintah atasannya. 

Kisah di atas menunjukkan pada kita bahwa menyeleraskan keinginan hati terhadap suatu kebenaran dengan perkataan dan tindakan seringkali jadi sulit karena berbagai faktor dan alasan. Hal ini bukan saja terjadi pada zaman modern, tapi dalam Alkitab pun ada banyak tokoh yang dihadapkan dengan pilihan sulit, bagaimana mereka bergumul menjaga keselarasan pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan. Ada yang pada akhinrya berhasil, namun banyak pula yang pada akhirnya terjatuh. 

Mari kita lihat tantangan apa saja yang seringkali muncul saat kita berusaha menjaga keselarasan hati, pikiran, dan perbuatan.

1. Pontius Pilatus, ingin memuaskan banyak orang 

Dalam kisah penyaliban Yesus, ada satu tokoh yang terlibat di dalam cerita tersebut. Ia adalah Pilatus, seorang wali negeri yang pada saat itu diperhadapkan dengan situasi sulit. Ketika para imam kepala menyerahkan Yesus untuk diadili, Pontius Pilatus mengatakan bahwa dia tidak mendapati kesalahan apapun pada diri Yesus, namun Pilatus tetap mengabulkan tuntutan imam kepala dan orang banyak dengan tetap menyerahkan Yesus dan membebaskan Barabas. Di tengah dilema yang dihadapinya, Pilatus akhirnya menyerah pada tuntutan massa dan memilih untuk memuaskan mereka (Markus 15:15).

Kita pun mungkin pernah berada disituasi yang mirip dengan peristiwa itu. Memilih untuk menafikan keyakinan hati kita agar kita bisa menyenangkan orang-orang disekitar kita. Kita seringkali mengingkari kebenaran untuk bisa diterima oleh banyak orang.

2. Petrus, tidak berani menerima konsekuensi

“Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak.”

Ini adalah kalimat yang diucapkan Petrus dengan penuh kepercayaan diri dihadapan Yesus, namun siapa menyangka kalimat heroik itu gugur ketika orang banyak melihat Petrus dan menanyakan apakah dia murid Yesus. Petrus menyangkal Yesus sesaat sebelum Yesus disiksa (Matius 26:69-75). Di tengah situasi yang mengancam keadaannya, Petrus tidak lagi mampu membuktikan apa yang sempat dia ucapkan dengan lugas, bahkan seolah tidak mengingat kebenaran yang dia yakini. 

Apa yang dialami Petrus pun mungkin pernah terjadi dalam kehidupan kita, saat kita sudah yakin pada suatu kebenaran namun kita memilih untuk menanggalkannya karena situasi yang mengancam atau mengintimidasi kita. Yang kita pikirkan hanya mencari cara bagaimana selamat dari situasi tersebut.

3. Tomas, terlalu menggunakan logika

Alkitab mencatat Tomas sebagai salah satu dari kedua belas murid Yesus. Kisah yang terkenal dari Tomas adalah ketika dia tidak mempercayai kebangkitan Yesus sebelum dia melihat sendiri dan mencucukkan jarinya pada bekas paku di tangan Yesus (Yohanes 20:24-29). Sebagai seorang murid Yesus, tentu Tomas sudah mendapatkan pengajaran tentang bagaimana Yesus akan disalibkan dan bangkit pada hari ketiga namun pada saat hal itu terjadi Tomas masih ragu dan mengabaikan apa yang telah ia imani selama mengikuti perjalanan Yesus.

Keraguan Tomas sekilas tampak buruk, tetapi yang perlu kita lihat lebih jelas adalah bagaimana respons Tomas setelahnya. “Ya Tuhanku dan Allahku!”, ucap Tomas dengan takjub. 

Situasi seperti ini mungkin juga pernah kita alami, saat kita meyakini kebenaran tetapi kita hanya mengandalkan logika dan pengertian sendiri. Mencerna segala sesuatu secara logis dan menuntut adanya bukti empiris adalah baik, tetapi kita perlu memahami bahwa pada perjalanan hidup, terkadang ada hal-hal yang sulit dicerna oleh pikiran, tetapi sangat bisa dicerna dan diserap oleh hati. Oleh sebab itu, Yesus pun menanggapi Thomas dengan berkata, “Karena engkau telah melihat aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (Yohanes 20:29).

Menjaga keselarasan pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan memang bukanlah hal yang mudah, namun bukan berarti tidak bisa diusahakan. Selain ketiga tokoh diatas, kita juga dapat belajar dari tiga tokoh Alkitab dari Perjanjian Lama yang berhasil menang atas dirinya sendiri dalam mempertahankan keselarasan itu, mereka adalah Sadrakh, Mesakh, Abednego. Mereka adalah orang Yehuda yang bekerja untuk Nebukadnezar Raja Babel. Bagaimana mereka dapat menang?

– Berani menerima konsekuensi dari mempertahankan kebenaran

Mempertahankan kebenaran memang bukan hal yang mudah dan terkadang mendatangkan konsekuesi yang harus kita tanggung. Sadrakh, Mesakh, dan Abednego bisa menjadi teladan. Mereka bisa saja memilih untuk mengikuti tawaran Raja Nebukadnezar untuk menyembah berhala dan mereka akan selamat dari hukuman, namun mereka memilih untuk tetap memegang kebenaran yang mereka yakini meskipun diperhadapkan dengan situasi yang mengancam keselamatan mereka. Bahkan keteguhan mereka nampak dalam perkataan mereka ketika menjawab setiap desakan dari Raja Nebukadnezar. Apa yang mereka yakini mereka buktikan dengan perkataan dan tindakan.

“Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu” (Daniel 3:17-18).

– Berharap dan tetap percaya kepada pertolongan Allah meskipun mereka belum melihat

Di tengah situasi yang mencekam, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego tetap berpegang pada keyakinannya, bahwa Allah yang mereka sembah sanggup menolongnya. Namun apakah keyakinan mereka timbul karena melihat tanda-tanda pertolongan Allah pada saat mereka dicecar oleh Nebukadnezar? Tidak. Bahkan dalam perikop tersebut diceritakan bagaimana mereka tetap tidak akan menduakan Allah sekalipun mungkin Allah tidak menyelamatkan mereka. Keyakinan mereka karena mereka mengenal Siapa yang mereka sembah. 

Membaca kisahnya mungkin di antara kita ada yang berpikir mengapa Allah tidak menyelamatkan mereka dengan melunakkan hati Nebukadnezar atau membalikkan keinginan hati Nebukadnezar agar tidak jadi melempar Sadrakh, Mesakh, Abednego ke perapian? Mengapa Allah tetap membiarkan mereka masuk ke perapian yang tujuh kali lebih panas dari biasanya? 

Jawabannya adalah karena Allah ingin Sadrakh, Mesakh, dan Abednego menjadi sarana untuk menyatakan kuasa dan kemuliaan-Nya. 

Di zaman sekarang, mungkin kita tidak lagi diancam dengan perapian yang menyala-nyala seperti yang dialami oleh Sadrakh, Mesakh dan Abednego tetapi perapian yang menyala-nyala itu bisa jadi berwujud hal-hal yang bisa saja menggoyahkan integritas kita seperti tuntutan sosial, iming-iming jabatan atau popularitas, dilema menentukan pasangan hidup, dan lain sebagainya.

Melihat kisah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, kita dapat belajar bagaimana menjaga keselarasan anatara pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan adalah bagian dari perjuangan memenangkan diri sendiri dan lebih dari itu melalui kesemuanya itu ada Kuasa dan Kemuliaan Allah yang sedang dinyatakan melalui diri kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

3 Tokoh Alkitab yang Berbuat Kesalahan, tetapi Dipulihkan

Seperti 3 tokoh Alkitab di atas yang pernah membuat kesalahan, kita pun pasti juga pernah membuat kesalahan.

Namun, terlepas dari kesalahan yang pernah kita lakukan, Tuhan tetap mengasihi kita. Dia senantiasa menyatakan kesetiaan-Nya ketika kita mengakui kesalahan kita dan kembali kepada-Nya. Dia juga senantiasa memulihkan kita menjadi baru.

Sobat Muda, apapun kesalahan yang telah kita perbuat, yuk mengakuinya di hadapan Tuhan. Percayalah, Dia terus mengasihimu dan Dia mampu membaharui kehidupanmu.

Artspace ini dibuat oleh @ya_mi_org dan @ymi_today

Apa yang Tuhan Lakukan Saat Aku Menantang-Nya?

Oleh Gabrielle Meiscova

“Ya Bapa, tolong.. Jika kau mengizinkan aku untuk menjadi seorang copywriter di sana, aku akan menulis kesaksian tentang kebaikan-Mu dalam hidupku.”

Itulah permintaanku pada Tuhan, alias aku menantang-Nya dengan sebuah jaminan. Menulis untuk Tuhan. Itulah intinya. Sesuatu yang sekarang ini menjadi tujuan hidupku.

Sudah hampir setahun aku berusaha keras mencari pekerjaan. Ratusan CV yang kutebarkan via email atau website tak kunjung mendapatkan jawaban. Segala harapan yang tertulis di dalam CV tersebut biasanya hanya diakhiri dengan balasan rejection letter. Seketika aku menyetujui ungkapan dunia yang mengatakan bahwa hidup itu keras. Boleh dibilang, aku berada di posisi terendah dalam hidup, alias depresi.

Saat itu, aku berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan permintaanku agar dapat diterima kerja di salah satu perusahaan digital agency. Mengapa aku memohon pada Bapaku seperti itu? Karena aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku menyerahkan tubuh, jiwa, raga, dan impianku ke dalam tangan-Nya. Aku tidak sanggup mengerjakan semua ini seorang diri. Saat aku berserah pada-Nya, Ia mendengar keluh kesahku. Sang Bapa berbisik lewat pikiranku, dan tiba-tiba aku mengingat ayat emas dari Alkitab, yang menjadi pedomanku saat katekisasi.

“Karena itu Aku berkata kepadamu: Apa saja yang kau minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Markus 11 : 24).

Iman! Itulah yang menjadi permasalahanku selama ini. Sebelum Markus 11:24 menegurku, jujur saja, aku ragu akan karya Bapa yang akan digenapkan dalam hidupku. Aku sering mengatur Tuhan agar Ia memberikan pekerjaan sesuai dengan apa yang aku inginkan, tanpa mempercayai dan mengimani kalau Tuhan akan memberikannya padaku di saat yang tepat, di waktu yang tepat. Saat itu, aku tidak ingat kalau keimananku pupus ditelan kebisingan dunia, karena terlalu banyak menghabiskan waktu di sosial media. Aku dibutakan oleh Iblis lewat quotes di media sosial, kalau hidup ini adalah milikku sendiri dan akulah yang harus mengatur hidupku akan berjalan ke arah mana. Aku tidak sadar kalau Tuhan yang rela mati di kayu salib untuk menebus dosaku adalah pemilik kehidupanku selama ini. Ia pun tidak akan meninggalkan anak-Nya berjalan sendirian.

Ada sebuah gambar yang kutemukan di explore Instagram, di mana ada seorang anak kecil yang sedang melukis sebuah tulisan PLAN bersama dengan Tuhan di sampingnya. Gambar itu memberikan kesadaran dalam diriku, kalau selama ini Tuhan bekerja dalam hidupku, dan aku sendiri memiliki tugas untuk membangun masa depanku bersama dengan-Nya. Selama ini, aku tidak melibatkan Tuhan dalam setiap rencana yang kubuat untukku dan masa depanku. Aku sungguh egois dan berpikiran sempit kala itu. Saat aku sadar akan kesalahanku selama ini, aku meminta pengampunan dari Tuhan, lalu Ia menjawabnya lewat sebuah ingatan dari kalimat yang pernah kubaca dalam sebuah buku, sebagai berikut. “Saat pertama kali main sepeda, kita pasti pernah terjatuh sehingga pengalaman saat terjatuh itulah yang membuat kita ingin terus mencoba mengayuh sepeda sampai berhasil mengendarainya.”

Tuhan mengampuni aku yang tidak beriman pada-Nya, dengan memberikan pemahaman bahwa tak apa jika kita terjatuh, sebab Ia sendiri yang akan menolong. Saat jatuh pun, Tuhan akan selalu mengulurkan tangan-Nya untuk kita. Kadang manusia memang harus terjatuh, agar ia bisa menyadari kalau tangan Tuhan senantiasa terulur untuk orang yang meminta pertolongan-Nya.

Dalam Matius 14:22-33, diceritakan bahwa Petrus yang adalah salah satu dari ke-12 murid Yesus, pernah menantang-Nya agar ia bisa berjalan di atas air, saat para murid mengira bahwa Ia adalah hantu. Pada ayat 28 tertulis, “Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia : Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” Tak disangka-sangka, Tuhan Yesus malah menyuruh Petrus untuk berjalan di atas air, walaupun pada akhirnya sang murid menjadi takut dan mulai tenggelam, hingga akhirnya Tuhan Yesus mengulurkan tangan-Nya untuk menolong Petrus. Kisah ini mengingatkan aku pada diriku sendiri, saat aku menantang Tuhan untuk memberikan pekerjaan sebagai copywriter itu padaku.

Saat aku mengerti apa yang diinginkan Tuhan dalam hidupku, segalanya terasa lebih mudah. Aku jadi banyak mengucap syukur atas berkat yang Ia berikan, dan saat aku mempertaruhkan masa depan pekerjaanku kepada-Nya dengan jaminan akan menulis kesaksian tentang kebaikan-Nya, Ia memberikan pekerjaan itu padaku. Tuhan mengizinkan aku untuk melayani-Nya lewat tulisanku.

Aku masih harus banyak belajar, khususnya dalam menulis, tapi aku sudah sadar kalau pekerjaan yang kulakukan bersama dengan Tuhan akan berjalan secara maksimal, saat aku melibatkan-Nya dalam tiap tulisanku.

“Allah sanggup melakukan segala perkara. Dulu, sekarang, dan selamanya kuasa-Nya tidak berubah.”

Ya Tuhan, ajar aku memiliki kepekaan untuk mengerti apa yang Kau kehendaki dalam hidupku. Tetaplah bimbing anak-Mu ini untuk terus menjalani hidup ini sampai menuju kekekalan bersama dengan Engkau, ya Bapa.

Belajar Penginjilan dari Petrus (Pengajaran dari 1 Petrus 3:15-16)

Oleh Yakub Tri Handoko, Surabaya

“Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepda tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetpai haruslah dengan lemah lembut dan hormat,
dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu.”

1 Petrus 3:15-16

Sebagian orang berpikir bahwa membela kebenaran itu cuma melibatkan aspek substansi dan strategi. Materi dikuasai dan metode diikuti. Yang dipentingkan hanya pengetahuan yang mendalam dan pendekatan yang relevan.

Tanpa bermaksud meremehkan penguasaan materi dan manfaat suatu metode, kita perlu menegaskan bawa membela kebenaran membutuhkan lebih daripada dua hal itu. Seorang pemberita kebenaran seyogyanya menghidupi kebenaran. Kebenaran tersebut juga seyogyanya disampaikan dengan cara yang benar. Seluruh kehidupan pemberita kebenaran harus dikuasai oleh kebenaran itu. Kita dipanggil bukan hanya untuk memberitakan, tetapi juga menghidupi kebenaran.

Itulah yang akan diajarkan daam teks kita hari ini. Hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk menjadi seorang pekabar Injil yang baik?

1. Menguduskan Kristus dalam hati kita (ayat 15a)

Penginjilan dimulai dengan hati kita. Yang terpenting bukan seberapa banyak pengetahuan kita tentang kebenaran. Bukan pula seberapa besar pengalaman kita dalam penginjilan atau pengenalan kita terhadap orang lain. Bagaimana kondisi hati kita jauh lebih penting daripada perkataan yang kita ucapkan.

Rasul Petrus menasihati penerima suratnya untuk menguduskan Kristus sebagai Tuhan di dalam hati mereka (3:15a). Menguduskan di sini jelas bukan berarti membuat Kristus menjadi kudus secara moral. Menguduskan berarti mengkhususkan. Menguduskan berarti menghargai keunikan Kristus, memberi tempat yang sepantasnya bagi Dia. Dengan kata lain, menguduskan Kristus berarti menghormati Kristus lebih daripada yang lain.

Makna di atas didasarkan pada perbandingan antara 1 Petrus 3:14-15 dan Yesaya 8:12-13. Ada beberapa kemiripan yang signifikan di antara dua teks ini, sehingga para penafsir Alkitab menduga Petrus memang sedang memikirkan Yesaya 8:12-13.

– Yesaya 8:12-13, “Jangan sebut persepakatan dengan segala apa yang disebut bangsa ini persepakatan, dan apa yang mereka takuti janganlah kamu takuti dan janganlah gentar melihatnya. Tetapi TUHAN semesta alam, Dialah yang harus kamu akui sebagai Yang Kudus; kepada-Nyalah harus kamu takut dan terhadap Dialah harus kamu gentar.

– 1 Petrus 3:14b-15a, “Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar. Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan!”

Jika Yesaya 8:12-13 memang berada di balik 1 Petrus 3:14-15, maka kita sebaiknya menafsirkan “menguduskan Kristus” dengan “mempertimbangkan Kristus sebagai objek rasa hormat kita”. Dia adalah Tuhan yang kudus. Dia harus mendapatkan tempat yang terutama dalam hati kita (NIV, “But in your hearts set apart Christ as Lord”)

2. Meyakini pengharapan kita (ayat 15b)

Di ayat ini Rasul Petrus mengantisipasi suatu keadaan: orang-orang luar menanyakan pengharapan yang ada pada orang-orang Kristen. Ini bukan sekadar tentang pengharapan yang abstrak. Bukan hanya sebuah konsep yang belum tentu terwujud atau terbukti. Ini adalah tentang pengharapan yang ada pada mereka. Bukan yang tidak ada pada diri mereka.

Pembicaraan tentang pengharapan merupakan topik yang sangat relevan bagi penerima surat 1 Petrus. Mereka adalah orang-orang Kristen yang berada di perantauan (1:1). Mereka adalah para pendatang dan perantau (2:11). Mereka adalah orang-orang asing. Keterasingan ini bukan cuma secara rasial atau sosial, tetapi juga spiritual. Dalam dunia yang sementara ini mereka hanya menumpang (1:17). Dunia bukan rumah mereka. Mereka mengarahkan pandangan ke depan.

Sebagai kelompok minoritas, mereka juga menghadapi berbagai tekanan. Fitnah seringkali ditujukan kepada mereka (2:12, 3:16). Beberapa bahkan menderita karena kebenaran atau kebaikan (2:19-21). Jika hanya memperhatikan apa yang terjadi pada saat itu, mereka pasti akan kehilangan semangat dan sukacita. Mereka sangat memerlukan jaminan untuk masa depan. Bukan di dunia ini, melainkan di dunia selanjutnya. Itulah yang disebut pengharapan.

Yang sedang dibicarakan di sini adalah pengharapan, bukan tindakan berharap. Ini bukan tentang apa yang dilakukan oleh orang-orang Kristen. Ini tentang apa yang ada pada mereka (3:15b “tentang pengharapan yang ada padamu”). Ada unsur kepastian di dalamnya. Semua yang dihidupkan melalui kuasa kebangkitan Kristus pasti memiliki “suatu hidup yang penuh dengan pengharapan” (1:3). Iman dan pengharapan kita tertuju pada Allah yang membangkitkan Kristus dari kematian dan yang memuliakan Dia di surga (1:21).

Mempunyai pengharapan di tengah dunia yang penuh tantangan dan penderitaan merupakan sebuah kebutuhan. Pengharapan ini membuat orang-orang Kristen memiliki gaya hidup dan semangat yang berbeda dengan dunia. Kita tidak mudah mengeluh, selalu optimis, senantiasa bersukacita. Dengan demikian, orang-orang lain akan tertarik dengan kehidupan yang seperti ini. Mereka akan terdorong untuk menanyakan rahasia di balik kehidupan itu. Di baliknya, ada pengharapan.

3. Siap memberikan pembelaan (ayat 15b)

Memiliki pengharapan adalah satu hal. Memberikan penjelasan tentang pengharapan itu adalah hal yang berbeda. Kita dituntut bukan hanya untuk menunjukkan kehidupan yang berpengharapan, melainkan juga memberikan “pertanggungjawaban” (LAI:TB).

Dalam teks Yunani, kata yang digunakan di bagian ini adalah apologia. Secara hurufiah kata ini berarti pembelaan, bukan pertanggungjawaban. Paulus beberapa kali memberikan pembelaan terhadap dirinya maupun Injil yang dia sampaikan (Kis 22:1; 1 Kor 9:3). Tidak jarang pembelaan ini dilakukan dalam konteks tuntutan legal atau pemenjaraan (Filipi 1:7, 16), sehingga tidak semua orang mau melibatkan diri dalam pembelaan tersebut (2 Tes 4:16).

Dalam teks kita hari ini Petrus memerintahkan penerima surat untuk selalu siap (hetoimoi aei) memberikan pembelaan. Kesiapan ini bukan hanya dalam konteks waktu (selalu siap), tetapi juga orang. Siapa saja yang menanyakan. Tidak peduli kapan dan kepada siapa, kita harus senantiasa siap memberitakan pembelaan.

Pembelaan yang kita berikan harus rasional. Yang mereka tanyakan bukan hanya pengharapan, tetapi alasan di balik pengharapan itu. Dalam teks Yunani, ayat 15b berbunyi: “senantiasa siap memberikan pembelaan kepada siapa saja yang menanyakan alasan tentang pengharapan yang ada pada diri kalian”. Ada kata “alasan” (logos) di bagian tadi (lihat mayoritas versi Inggris “who asks you for a reason for the hope that is in you”).

Apakah kita tahu apa yang kita percayai? Apakah kita tahu mengapa kita memercayai hal itu?

4. Memberikan pembelaan dengan sikap yang benar (ayat 15b-16)

Pembelaan bukan hanya harus rasional. Pembelaan juga harus disertai dengan kesalehan. Kekuatan intelektual bukan substitusi bagi kematangan spiritual, emosional, dan sosial.

Petrus menasihati orang-orang Kristen di perantauan untuk menunjukkan sikap lemah lembut dan hormat serta hati nurani yang baik. Tiga hal ini sebenarnya lebih berkaitan dengan hati daripada tindakan. Namun, apa yang ada dalam hati seseorang akan terlihat dari tindakan orang itu. Hati yang dikuasai oleh kekudusan Kristus (ayat 15a) adalah hati yang memunculkan sikap lemah lembut, hormat, dan tulus kepada orang lain.

Dengan demikian Petrus sedang mengerjakan tentang keseimbangan antara kebenaran suatu ajaran (ortodoksi) dan tindakan yang benar (ortopraksi). Apa yang kita percayai harus selaras dengan apa yang kita hidupi. Apa yang kita ucapkan sama pentingnya dengan bagaimana kita mengucapkannya.

Sebagian orang sukar diyakinkan oleh kebenaran, bukan karena kebenaran itu kurang rasional. Yang menjadi persoalannya seringkali adalah orang yang menyampaikannya. Adalah ironis apabila banyak orang yang sagat gigih memperjuangkan kebenaran ternyata adalah orang-orang yang hidupnya tidak diubahkan oleh kebenaran yang mereka perjuangkan.

Di mata Petrus, kesalehan memegang peranan cukup sentra. Allah bisa membawa seseorang kepada diri-Nya melalui kesalehan orang Kristen. Dia memerintahkan orang-orang Kristen untuk memiliki gaya hidup yang baik “supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka” (2:12b). Kepada para isteri yang bersuamikan orang non-Kristen, Petrus menasihati mereka untuk menunjukkan kesalehan dengan tujuan “supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya, jika mereka melihat bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu” (3:1b-2).

Sudahkah kamu memiliki pengharapan di dalam Kristus? Sudahkah kamu menunjukkan hal itu melalui kehidupan yang penuh semangat dan sukacita? Mampukah kamu memberikan alasan rasional bagi pengharapan itu? Maukah kamu membagikan hal itu kepada orang lain dengan sikap yang benar?

Soli Deo Gloria.

* * *

Tentang Penulis:
Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M adalah gembala di Reformed Exodus Community Surabaya. Tulisan ini sebelumnya sudah ditayangkan di sini.

Baca Juga:

Belajar Penginjilan dari Yesus (Pengajaran dari Yohanes 4:3-26)

Orang-orang Kristen tidak hanya dihidupkan oleh Injil dan dipanggil untuk menghidupi Injil, melainkan juga untuk hidup bagi Injil. Memberitakan Injil adalah salah satu wujud kehidupan yang dipersembahkan bagi Injil. Sayangnya, tidak semua orang Kristen bergairah dalam membagikan Injil.