Posts

Diam, Tak Bisa Melawan

Oleh Nurafni

Orangtua kemungkinan besar akan bangga ketika mengetahui anaknya dapat bersekolah di sekolah favorit. Tak cuma orangtuanya, anaknya pun tentulah merasa bangga. Itulah perasaanku ketika aku diterima di sekolah favorit sewaktu SMP. Ketika teman-teman SD-ku beserta orangtua mereka meremehkan dan berkata bahwa mustahil aku dapat bersekolah di sana, tetapi Tuhan Yesus berkehendak lain dan melunturkan stigma mereka tentangku.

Perasaan bahagia dan berharap besar akan kehidupan SMP-ku untuk berjalan lancar terus mengelilingiku, karena aku satu-satunya murid dari SD-ku dan lingkunganku yang dapat masuk ke sekolah tersebut. Awalnya aku berpikir bahwa aku dapat menjalani masa-masa remajaku ini dengan baik dan penuh tawa. Saat kelas VII, aku ditempatkan Tuhan di kelas yang seru dan nyaman dengan teman-teman yang kocak. Bisa dibilang aku sangat bahagia sewaktu kelas VII ini.

Tetapi keadaan kemudian berbanding terbalik ketika aku menginjak kelas VIII. Di mana setiap pergantian kelas setiap siswa akan diacak sehingga aku mempunyai teman dan lingkungan baru dalam suasana kelas yang baru juga. Kali ini, aku ditempatkan Tuhan dengan orang-orang yang suka mengolok orang lain untuk menjadi bahan hiburannya. Aku termasuk ke dalam bahan hiburan dan tawaan mereka karena warna kulitku yang lebih gelap. Hampir setiap hari dalam kelas itu aku selalu diolok-olok. Bahkan di saat jam pelajaran pun saat guru sedang menjelaskan, mereka berbisik-bisik sambil menatapku dan sambil melontarkan kata-kata hinaan. Mereka memandangku seolah-olah aku adalah sebuah ‘barang’ yang buluk dan telah usang. Bahkan lebih dari itu, aku seakan-akan seperti monster di hadapan mereka. Kata-kata mereka yang menyakitkan terus terngiang bahkan membuatku menangis seketika itu juga. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya tertunduk dan mengambil earphone dan mendengarkan lagu “Hanya dekat kasih-Mu Bapa”. Dalam penggalan lirik tersebut terdapat kalimat. “walau dunia melihat rupa, namun Kau memandangku, sampai kedalaman hatiku”. Aku pun merasa tenang dan dikuatkan walaupun hatiku menangis. Aku menyadari bahwa cara Allah memandangku berbeda dari cara dunia. Mengetahui Allah tidak memandang fisikku memberiku kekuatan untuk menjalani kehidupan masa remajaku.

Meskipun aku sempat kecewa pada diri sendiri dan kepada Tuhan yang membiarkan hal ini terjadi padaku, namun hal itu tidak membuat Tuhan menunda pekerjaan tangan-Nya. Aku pun diberi kekuatan untuk mulai membiasakan diri dengan hinaan serta olokan mereka yang melukai perasaanku hampir tiap hari sepanjang kehidupan SMP-ku. Tetapi aku lantas tidak bersedih lagi karena hal-hal itu. Rasa sakitku diganti dengan perasaan kagum kepada Tuhan atas penyertaan-Nya melalui orangtua yang baik, menghiburku dan mendukungku. Ketika aku kembali berpikir saat ini, kenapa sewaktu aku mengalami perundungan aku tidak melawan dan menghajar mereka? Kenapa aku lemah sekali? Kenapa aku malah menyiksa diriku sendiri karena perkataan mereka? Oh mungkin karena aku merasa tidak dapat melawan mereka, temanku tidak ada yang membelaku.

Tetapi setelah berpikir sampai saat ini aku menemukan jawaban yang Tuhan berikan padaku. Bahwa penderitaan yang Tuhan izinkan terjadi atasku tidak melebihi kekuatanku. Bahkan lebih daripada itu, penderitaan yang aku alami tidaklah seberapa besar dari apa yang telah Tuhan Yesus alami. Dia dihina, dicaci, diludahi bahkan disalibkan. Yesus yang tidak mengenal dosa menerima perlakuan tidak manusiawi itu dan tidak melawan. Yesus taat sampai mati bahkan sampai mati di kayu salib. Mengapa aku bersungut-sungut? Mengapa aku merasa menyesal karena tidak melawan?

Aku pun menyadari bahwa melalui penderitaan yang kualami tersebut, Tuhan Yesus ingin supaya aku lebih mengenal Dia satu-satunya pribadi yang tidak pernah meninggalkanku. Tuhan Yesus ingin menunjukkan bahwa manusia dapat mengecewakan, tetapi Dia tidak. Bahkan sekalipun aku merasa ditinggalkan namun Dia tak pernah jauh dariku. Hal ini dibuktikan dengan aku bisa melewati kehidupan SMP-ku dan Tuhan Yesus menunjukkan kasih-Nya dengan memberikanku kepandaian dan nilai yang cukup memuaskan. Memang aku tidak diterima di kehidupan teman-temanku. Tetapi Tuhan Yesus menerimaku apa adanya dan Dia mengizinkanku untuk membuat orangtuaku bangga.

Dari pergumulan ini aku belajar bahwa lebih baik berlindung kepada Tuhan daripada percaya kepada manusia (Mazmur 108:8). Sedekat atau seakrab apa pun kita dengan teman kita, mereka belum tentu dapat menolong kita. Hanya Tuhan yang dapat menolong dan menjadi sandaran kita. Namun bukan berarti kita menjadi membenci teman kita. Aku sekalipun tidak membenci teman-temanku yang tidak beraksi menolongku saat aku diperolok. Aku menyadari bahwa mereka hanyalah manusia terbatas dan mungkin saat itu mereka juga sedang merasakan pergumulan atau penderitaan tersendiri. Dengan begitu pula, aku mulai menjadi akrab dengan Kristus dan merasakan ketenangan sejati hanya dari pada-Nya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menemukan Passion: Kombinasi Sukacita dan Derita

Passion biasanya identik dengan apa yang kita senangi. Tapi, seiring proses ketika kita dihadapkan dengan tantangan dan rintangan, apakah kita tetap setia melakukan passion tersebut?

Mengalami Kehadiran Allah Ketika Menghadapi Bullying

Oleh Meysinta Sitompul* Semarang

Boss Wadulan” (Wadulan yang berarti tukang ngadu dalam bahasa jawa)

Dua kata itu dipakai teman-temanku untuk menjulukiku sewaktu masih duduk di bangku SMP. “Wadulan” berasal dari bahasa Jawa, artinya “tukang ngadu”. Aku masih ingat betul rasanya ketika kata “Boss Wadulan” itu diucapkan teman-temanku ketika aku lewat. Entah mau menuju kelas, kantin, atau ruang manapun setiap bertemu teman-teman aku selalu diteriakkan dengan dua kata tersebut.

Aku pernah menjadi korban bullying sewaktu aku masih duduk di bangku SMP. Sekolahku adalah sekolah swasta yang memiliki peraturan ketat dan menanamkan prinsip kedisiplinan bagi seluruh siswanya. Salah satu aturannya adalah setiap siswanya dilarang membawa hand-phone (HP) ke sekolah. Namun, banyak siswa yang melanggar. Mereka membawa HP dan menyembunyikannya di laci-laci tas mereka. Berawal dari kesalahpahaman teman-temanku, mereka semua menuduhku telah “mewadulkan” teman-temanku yang membawa HP ke pihak BK. Padahal sejujurnya mereka tidak mengerti kisah yang sesungguhnya.

Kisah ini berawal pada saat aku tak bisa berbohong kepada guru yang bertanya kepadaku. “Non, teman sekelasmu ndak yo ada yang bawa HP ke sekolah?”

Pada saat itu aku ingat betul aku sempat terdiam dan berpikir cepat. Jika aku membela temanku berarti aku telah berbohong kepada guru yang menjadi orang tuaku di sekolah. Namun, jika aku jujur, sebetulnya aku sudah mengira bahwa aku akan mendapat respons tidak menyenangkan dari temanku.

Pada saat itu aku tak menyangka akan di-bully habis-habisan secara mental, perkataan, bahkan fisik sampai aku lulus SMP. Aku ingat betul ketika satu kelas bahkan satu angkatan mulai merundungku. Aku tidak memiliki teman di kelas, setiap ada tugas kelompok tidak ada satu pun yang mau menerimaku. Bahkan bagi mereka adalah hal yang “sial” ketika harus sekelompok denganku. Selain dirundung lewat perkataan, mereka juga pernah merundungku secara fisik. Aku masih ingat betul nama, wajah, dan ekspresi mereka ketika merundungku. Di kelas aku dihempas menggunakan pintu saat aku hendak masuk ke kelas. Sakit betul rasanya karena pintu itu mengenai hidungku walaupun aku langsung refleks mengelak ke belakang.

Pernah juga sewaktu aku duduk di bangku kelas 9, kelasku ada di koridor bawah, aku disiram air oleh teman-temanku yang kelasnya di koridor atas. Sakit rasanya ketika tidak ada satu pun teman yang mau mengerti bahkan semua menyalahkanku yang dikira “wadulan”. Aku yang biasanya ceria dan mudah tertawa menjadi siswa pendiam dan banyak menahan beban sendiri karena tidak ada satu pun yang mau mengerti dan mau menjadi seorang pendengar. Setiap hari aku ke sekolah dengan perasaan takut.

Sewaktu aku SMP, aku belum mengerti banyak tentang peran Tuhan di tengah pergumulan. Sifatku yang labil membuatku kemudian menjauh dari Tuhan. Aku merasa, “Ah mereka yang membullyku juga percaya Yesus tapi buktinya Tuhan gak negor dia… katanya Tuhan baik mana buktinya?…” Namun seiring berjalannya waktu aku sadar ada banyak bukti bahwa Tuhan tetap menyertaiku hingga aku lulus dan masuk ke SMA favorit di kotaku.

Meskipun teman-teman sekolahku merundungku, Tuhan menganugerahiku dengan kedua orang tua yang selalu menyemangatiku saat aku takut. Dan, meskipun saat itu aku belum mengerti tentang peranan Tuhan dalam pergumulanku, Tuhan nyatanya tidak meninggalkanku. Saat hatiku disakiti, Roh Kudus memberiku penghiburan dan kekuatan agar hatiku dapat berkata, “Ampuni mereka”. Roh Kuduslah yang memampukanku.

Lukas 17:4 berkata, “Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.” Mengampuni orang lain memang berat, namun janganlah berhenti untuk mengampuni orang lain.

Aku bersyukur telah dimampukan-Nya melalui masalah tersebut sehingga aku bisa lebih dewasa sekarang. Jika ada di antara kamu yang mengalami perundungan atau penolakan dari rekan-rekanmu, tetaplah semangat. Ingat kita tidak berjalan sendiri, namun ada Tuhan yang melindungi kita dari berbagai pencobaan. Jika hatimu berduka, kiranya Roh Kudus menghibur dan menguatkanmu sehingga kamu mampu untuk mengampuni mereka dan beroleh damai sejahtera dari Allah.

Tuhan Yesus memberkati.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Kedamaian di Tengah Ketidakpastian

Penelitian tugas akhirku sedianya akan dilakukan di rumah sakit. Tapi, karena pandemi ini, aku tidak bisa melakukan penelitian dan terancam tak lulus tepat waktu. Namun, di masa-masa inilah aku belajar menikmati kedamaian dari Tuhan.