Desir Pasir di Padang Tandus, Bolehkah Saya Pinjam Seratus?
Oleh Joshua Effendy, Semarang
Akhir-akhir ini sering beredar pantun-pantun tentang pinjam-meminjam yang berujung tidak dikembalikan. Mungkin beberapa di antara kamu juga pernah merasakan pengalaman yang sama ‘kan?
Pandemi Covid-19 menghantam banyak sisi, salah satunya adalah perekonomian. Sebagian besar dari kita merasakan secara langsung dampak tersebut. Namun, setelah pandemi usai pun, mengembalikan kondisi ekonomi seperti sedia kala jadi upaya yang sulit. Kondisi perang antar negara, persaingan dagang, embargo, dan sebagainya membuat inflasi meroket dan mempersulit upaya pemulihan ekonomi. Alhasil, banyak orang yang mengalami krisis keuangan.
Terus, apa dong jalan keluar dari krisis keuangan? Teori sederhana ya cari uangnya. Tapi, cari uang itu sulit kan? Maka muncullah cara-cara ‘mudah’ yang belakangan ini populer di masyarakat kita: pinjol dan judi slot!
Ironisnya, generasi muda yang lebih melek teknologi pun tidak sedikit yang ikut terlilit di dua masalah ini. Dari kasus ini, kita bisa mengambil perenungan: menjadi anak muda yang percaya kepada Yesus memang tidak melepaskan kita dari keuangan yang seret. Tapi, apakah kita juga diperbolehkan pinjam-meminjam uang?
Firman Tuhan tidak secara tegas melarang meminjam uang, tetapi mencatat bahwa utang harus dikelola dengan bijak. Mazmur 37:21 (TB2), “Orang fasik meminjam dan tidak membayar kembali, tetapi orang benar selalu berbelas kasih dan murah hati.” Ini menggarisbawahi pentingnya menghormati kewajiban untuk mengembalikan utang dan senantiasa bermurah hati kepada orang lain. Orang percaya juga diajarkan untuk menghindari utang yang tidak perlu, Roma 13:8 (TB2) “Janganlah kamu berutang apa-apa kepada siapa pun, kecuali kasih kepada satu sama lain. Sebab, siapa saja yang mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat.” Utang karena memenuhi tuntutan gaya hidup, keinginan hati yang berfoya-foya, dan yang tidak membawa kepada pengembangan diri sudah seharusnya dihindari.
Oleh sebab itu, sebagai orang percaya seharusnya kita berhikmat sebelum berutang. Bahkan, jika kita mampu mengelola keuangan kita dengan hikmat dan benar, kita tidak perlu berutang kepada sesama kita! Prinsip manajemen keuangan yang bijak, seperti membuat anggaran, menabung untuk masa depan, dan menghormati kewajiban keuangan, adalah nilai yang terdapat dalam Firman Tuhan. Ayo, kita bedah satu persatu.
Pentingnya membuat anggaran
Lukas 14:28-30 (TB2) “Sebab, siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, apakah uangnya cukup untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Jangan sampai, setelah ia meletakkan dasarnya namun tidak mampu menyelesaikannya, semua orang yang melihatnya, mengejek dia dan berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak mampu menyelesaikannya.”
Ketika banyak orang berduyun-duyun datang, Yesus menyampaikan kepada mereka tentang hal-hal yang perlu dilepaskan untuk mengikut-Nya. Salah satunya adalah keteledoran dalam hal finansial. Yesus menggunakan perumpamaan tentang seseorang yang ingin membangun sebuah menara untuk menggarisbawahi pentingnya perencanaan yang bijak dalam kehidupan. Yesus bukan hanya bicara soal perencanaan rohani dalam mengikut-Nya yang memerlukan perhitungan dan ketekunan, tetapi juga bicara soal perencanaan fisik, yakni soal finansial. Konsekuensi bagi orang-orang yang tidak bijak dalam finansial akan berdampak kepada diri mereka sendiri dan orang lain, yakni reputasi buruk dan kehidupan yang tidak menjadi berkat.
Membuat anggaran menjadi sangat penting di dalam upaya kita untuk bijak finansial di hadapan Tuhan. Anggaran akan menolong kita untuk merencanakan dengan rinci akan digunakan untuk apa dan bagaimana setiap rupiah yang ada pada kita—apa tujuan keuangan kita? Berapa banyak yang hendak ditabung? Apakah surplus atau defisit? Membuat anggaran sebenarnya tidak ribet. Kita tidak dituntut untuk membuat anggaran super detail dan kompleks seperti anggaran negara. Secara sederhana, kita bisa memaksa diri kita untuk belajar disiplin. Mulailah untuk tekun mencatat pengeluaran, membatasi pembelian yang tidak perlu, menabung dan menyisihkan uang, serta terus-menerus mengevaluasi anggaran keuangan.
Aku pun tidak terbiasa membuat anggaran keuangan, sehingga setiap kali mau membayar makanan dan minumanku di kasir, aku harus memindahkan uang dari rekening tabungan menuju rekening jajan. Kesulitan menabung terjadi karena kita tidak terbiasa membuat anggaran dan berdisiplin di dalam pengeluaran kita. Godaan promosi, mudahnya pembayaran non-tunai, dan belanja digital membuat kita tidak lagi mengontrol pengeluaran kita. Sehingga setiap bulan kita hanya menantikan gajian atau jatah jajan bulan depan kembali. Ini adalah sebuah siklus tanpa akhir dan membuat kita tidak bisa menyelesaikan ‘menara keuangan’ kita. Parahnya, kita terlilit oleh hutang demi memenuhi keinginan diri.
Menabung untuk masa depan
Amsal 21:20 (TB2) “Harta yang indah dan minyak ada di kediaman orang bijak, tetapi orang bebal memboroskannya.”
Amsal menyatakan bahwa di dalam kediaman orang bijak akan senantiasa tersedia harta yang indah dan minyak—yang pada zaman itu merupakan perlambang kebutuhan utama. Sedangkan orang bebal akan memboroskan apa yang ia miliki.
Riset membuktikan bahwa 69 persen generasi milenial (artinya aku dan kamu di dalamnya), cenderung lebih boros, sulit untuk menabung dan tidak mempedulikan kebutuhan investasi atau menabung untuk hari depan. Dampaknya, generasi milenial akan menghadapi risiko finansial lebih besar di masa depan akibat gaya pengelolaan keuangan yang kurang sehat.
Selain tidak adanya disiplin anggaran, pola pikir YOLO dan FOMO menjadi penyebab utama sulit menabung. Banyak orang muda menghabiskan uangnya hanya untuk memenuhi keinginan diri dengan membeli kopi, boba, es krim, atau hal-hal yang sedang viral saat ini. Tidak jarang juga orang-orang muda yang berpikiran ‘usia tidak ada yang tahu’, sehingga lebih baik tidak pelit terhadap diri sendiri, dan berusaha menikmati selagi masih bisa.
Firman Tuhan banyak menunjukkan pentingnya mengatur keuangan dengan bijak, salah satunya merencanakan bagi masa depan. Perumpamaan semut yang mempersiapkan bagi musim dingin (Amsal 6:6-8), Kisah Yusuf di Mesir dan menabung gandum bagi masa paceklik (Kejadian 41:34-36), dan banyak lainnya. Disiplin dan penguasaan diri untuk memilah pengeluaran yang tidak perlu dan mengikuti anggaran yang telah disiapkan menjadi cara utama agar kita disiplin menabung. Bahkan, beberapa tips menabung yang lebih ketat adalah dengan menginvestasikannya, sehingga kita tidak asal ambil untuk menghamburkan uang tersebut.
Menghormati kewajiban keuangan
Roma 13:7-8 (TB2) “Bayarlah kepada semua orang apa yang wajib kamu bayar: Pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat. Janganlah kamu berutang apa-apa kepada siapa pun, kecuali kasih kepada satu sama lain. Sebab, siapa saja yang mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat.”
Firman ini mengajarkan tentang pentingnya menghormati kewajiban finansial kita. Membayar tagihan, pajak, memberikan persembahan dan persepuluhan, menyediakan dana darurat dan sosial merupakan wujud kewajiban finansial kita. Melakukan kewajiban finansial akan mencerminkan hidup kita yang berintegritas, sehingga penting untuk menjalankan kewajiban finansial dengan hati yang tulus dan sukacita. Menghormati kewajiban finansial adalah cara bagi orang percaya untuk mencerminkan nilai-nilai iman mereka dalam pengelolaan keuangan sehari-hari mereka.
Firman ini juga menekankan agar kita tidak memiliki utang yang tidak diperlukan, kecuali utang kasih. Konsep “utang kasih” menekankan pada pentingnya memberi kasih, baik dalam bentuk bantuan finansial ataupun lainnya kepada sesama yang membutuhkan. Ini menggarisbawahi tanggung jawab orang Kristen untuk saling mendukung dan membantu sesama dengan sukacita dan tanpa paksaan. Daripada berutang, kita diajari untuk menolong sesama kita dengan sukacita dan tulus.
Untuk bisa menghormati kewajiban finansial, maka kita perlu penguasaan diri dan ketekunan. Penguasaan diri agar tidak mengikuti keinginan mata dan ketekunan untuk belajar menahan keinginan yang mengikat kita dan menjauhkan dari Tuhan.
—
Sebagai orang percaya kita dituntut untuk senantiasa berhikmat di dalam mengelola finansial kita, sebab dari situlah tercermin nilai-nilai iman dan integritas diri kita. Situasi ekonomi yang semakin sulit memang tidak bisa kita kendalikan, satu-satunya hal yang dapat kita kendalikan adalah diri kita sendiri. Ingatlah bahwa gaji, uang, pendapatan yang kamu miliki saat ini juga merupakan berkat dari Tuhan yang perlu dikelola dengan baik. Ketika kita tidak berhikmat dalam mengelola berkat yang kita miliki saat ini, maka konsekuensinya adalah terjerat dengan berbagai hal yang sia-sia. Teruslah memohon hikmat dari Roh Kudus yang menolongmu untuk bijak dalam finansial. Jiayou… Hwaiting!
– Soli Deo Gloria!
Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu