Posts

Kekuatan Kita Sendiri Tidak Akan Mampu Mengubah Kita

Oleh Sofia Dorkas Pakpahan, Medan

“New year, new me.”

Istilah ini banyak disebut orang dalam menyambut tahun baru, biasanya muncul berbagai postingan media sosial. Begitu pun aku, rasanya kurang afdol kalau tidak ikutan tren juga. Kuperhatikan foto yang ingin kuposting. Tanda “kirim” belum juga aku klik. Entah mengapa, aku merasa kalau postingan itu kukirim, aku seakan membohongi diriku sendiri.

Sembari jariku masih memegang HP, aku menatap lekat foto itu dan bertanya dalam hati, “Apakah aku benar-benar sudah menjadi new me di tahun ini?”

Sulitnya menjadi “New Me”

Banyak orang berlomba-lomba menyebutkan berbagai resolusinya di awal tahun untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar ingin menjadi pribadi yang baru, namun resolusi tersebut tampak semakin hilang di bulan-bulan berikutnya dan akhirnya resolusi yang direncanakan sedemikian rupa di awal tahun pun gagal dilakukan. Tak dapat ditampik, namun kebanyakan orang Kristen juga mengalami hal yang sama. Ketika mengawali tahun yang baru dengan semangat resolusi yang menggebu-gebu namun akhirnya gagal untuk dilakukan. Mengapa? Kurasa alasan terbesarnya adalah karena kita tidak memiliki kekuatan untuk menggenapinya.

Tidak berbeda denganku yang juga mengalami hal yang sama. Salah satu resolusi yang ingin kulakukan bahkan dari tahun-tahun yang lalu yaitu ingin bisa menyelesaikan membaca seluruh pasal di Alkitab. Harusnya ini bisa dilakukan dengan mudah, hanya membaca tidak butuh waktu yang lama bukan? Namun, mengapa rasanya sangat sulit untuk dilakukan? Bahkan hingga sekarang aku sudah menginjak tahun yang baru, aku belum juga bisa menyelesaikan hingga Kitab Wahyu. Bagaimana mungkin aku bisa mengirim postingan dengan caption, “New Year New Me?

Cara menjadi “New Me”

Jika ditanya apakah aku tidak berkomitmen sehingga aku gagal menyelesaikan resolusiku, tentu aku memiliki komitmen. Bahkan komitmen itu sudah kubangun sejak aku menetapkan resolusiku. Tetapi benar kata orang, mengucapkan memang mudah, tetapi bertahan untuk melakukan komitmen itulah yang sulit.

Saat pertama kali menetapkan resolusi, aku selalu membuat notes kecil untuk mengingatkanku setiap hari untuk membaca satu per satu ayat di Alkitab. Namun, kesibukan kuliah membuatku perlahan melupakan resolusiku dan tidak lagi melakukannya. Ini menunjukkan bahwa ternyata komitmen saja belum tentu membuat kita berhasil melaksanakan resolusi kita. Satu hal yang akhirnya kusadari, selama ini aku hanya mengandalkan kekuatanku sendiri dan melupakan bahwa sesungguhnya hanya Tuhanlah yang mampu membantu dan memberi kekuatan pada kita. Mungkin terlihat sederhana, namun hal yang kita pikir kecil itu pun akan sulit kita lakukan seandainya kita tidak bersandar dan menyerahkannya kepada Tuhan.

Kisah perubahan hidup yang dialami Daud adalah contoh yang baik untuk kita terapkan. Kita tahu bahwa Daud pernah berdosa di hadapan Tuhan dengan melakukan zinah. Atas perbuatannya itu, Daud pun lantas menyesal. Dalam Mazmur 51:12 dia berseru, “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!”.

Ada sesuatu yang menarik yang bisa kita gali dari seruan Daud. Perhatikan, dalam seruan itu Daud tidak mengucap janji untuk menjadi lebih baik di masa depan. Yang Daud lakukan adalah berbalik pada Tuhan dan belas kasih-Nya. Daud secara lugas meminta Tuhan untuk memperbaharui hatinya, menjadikannya pribadi yang baru. Tuhan tak hanya mampu mengampuni, tetapi Dia juga mengubahkan hati seseorang menjadi murni. Daud mungkin akan terus gagal dalam upayanya berbalik dari dosa jika dia hanya bersandar hanya pada kekuatannya sendiri.

Lebih lanjut, Filipi 4:13 yang ditulis oleh Paulus pun meneguhkan kita bahwa segala perkara dapat kita tanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan pada kita.

Kekuatan untuk menjadi “New Me” hanya didapat dari Allah saja. Resolusi kita bisa berhasil hanya jika kita mengandalkan Allah dan berkomitmen total untuk melakukannya.

Aku sangat menyesali tindakanku yang karena kesibukan kuliah akhirnya aku mengabaikan apa yang sudah aku tekadkan dari awal, bahkan aku melupakan untuk meminta pertolongan dari Tuhan dan terus mengandalkan diri sendiri sehingga resolusi yang kubangun sejak awal berakhir gagal.

Namun sekarang, setelah sekian menit berlalu dengan memandangi handphone yang saat ini kupegang, akhirnya dengan penuh berani aku menekan tombol “kirim” dan postinganku dengan caption “New Year New Me” pun terunggah. Aku memutuskan, jika di tahun 2022 aku belum berhasil menyelesaikan membaca Alkitab hingga akhir, maka di tahun 2023 ini aku akan menyelesaikannya. Begitu pun dengan resolusiku yang lainnya. Tidak lupa aku juga menyerahkan keputusanku ini kepada Tuhan, memohon agar Dia memperbaharui hatiku. Aku percaya, Tuhan pasti akan membantuku. Walaupun akan ada hambatan menanti yang kita tidak tahu itu apa, namun selagi kita selalu bersandar pada Tuhan, maka Tuhan akan membantu menggapai apa yang kita inginkan.

Bagaimana denganmu? Apa resolusimu tahun ini? Apapun itu, mulailah tahun ini dengan kebiasaan baru sebagai “Pribadi yang baru” di dalam Tuhan. Hanya dalam Tuhan sajalah kita mampu mewujudkan segala resolusi yang kita inginkan dan menjadi seseorang yang baru, seperti istilah “New year new me”.

Belajar Berserah pada Tuhan lewat Perubahan yang Terjadi di Luar Kendali

Oleh Elvira Sihotang, Balikpapan

Rifa menghitung jumlah partisipan yang sudah dikontaknya.

“Yes, ada 5!” Artinya dia sudah berhasil mencapai target harian dalam mencari partisipan penelitian untuk riset yang sedang dikerjakan kantornya.

Dialihkan lagi pandangannya pada list partisipan yang belum di kontaknya.

“1, 2, 5, 7, ini kontak besok aja, ini besoknya lagi. Aman berarti.”

Ia kemudian meneguk teh yang ada di depannya, sambil memperhatikan mobil berseliweran dari kaca yang membatasi.

Nanti profiling dari komunitas di media sosial ah, bisa banyak nih partisipan sampai riset selanjutnya,” pikir Rifa saat itu. Ia mulai mencoret-coret bukunya, dengan berbagai perhitungan yang hanya ia sendiri yang mengerti.

Namun, baru saja ia ingin terhanyut dalam rasa tenang bahwa partisipan penelitiannya sudah aman, ia dibangunkan oleh notifikasi yang kurang menyenangkan.

“Kak, maaf, jadwal saya boleh dipindah minggu depan gak ya? Saya lupa ada kuliah sore di jam 4.”

Seolah belum cukup, notifikasi lain muncul di layar ponselnya.

“Hi Rifa, sebenarnya aku ada rencana untuk keluar kota besok, jadi mau prepare dari sore ini. Kalau aku ikutnya di hari Jumat boleh?”

Rifa mendadak pusing. 5 partisipan hari ini berkurang drastis menjadi 3. Ia harus mencoba menghubungi daftar partisipan cadangan.

Kring!

Sorry mendadak Mba Rifa, hari ini kan jam 4 ya, tapi saya masih di jalan. Ban saya bocor dan ini masih di bengkel. Kemungkinan saya telat mba, mungkin baru nyampe jam 5 kurang 15 menit. Bisa gak Mba?”

Astaga! Apa-apaan nih, kok mereka seperti janjian? Walau partisipan terakhir tidak memindahkan hari, Rifa tetap saja pening dan perlu melakukan penyesuaian.

Ya Tuhan, tadi baru aja ngerasa aman, kok sekarang tiba-tiba hilang 3?

Cerita di atas adalah modifikasi dari apa yang sedang kurasakan akhir-akhir ini dalam pekerjaan. Perasaan yang cepat sekali berubah. Baru saja aku merasa senang karena mencapai target, tapi perasaan itu harus digantikan oleh rasa gelisah karena perubahan yang datang mendadak. Harusnya A jadi C, harusnya B jadi X. Lebih menyebalkannya, perubahan itu bahkan kadang terjadi dalam kurun waktu kurang dari 1 jam, sehingga aku harus cepat mempersiapkan alternatif lain.

Namun, perubahan yang terjadi cukup berulang ini dalam beberapa minggu memaksaku untuk belajar satu hal: perubahan adalah hal yang nyata, pergerakan adalah hal yang pasti.

Manusia selalu mengusahakan kestabilan dan tidak ada hal yang salah dengan itu, namun aku belajar, perubahan—yang di luar kontrol kita—bisa terjadi kapan saja, suka atau tidak suka.

Aku juga belajar untuk tidak berpuas diri pada usaha menstabilkan target, pekerjaan, atau apapun itu. Bergantung pada rasa nyaman atas usaha kita adalah hal yang sia-sia, karena kita tahu bahwa keberhasilan usaha kita pun adalah dengan seizin Tuhan.

Perasaan bangga yang melingkupiku karena merasa usahaku keren, dengan cepat berganti menjadi keluhan karena perubahan itu. Aku kembali tersadar bahwa keberhasilan mencapai target harusnya disambut dengan rendah hati karena Tuhan telah menyanggupkan kita, terlepas bahwa kita bekerja keras. Bukan berarti bangga tidak diperbolehkan, namun alangkah baiknya jika rasa bangga tersebut dilanjutkan dengan ucapan syukur.

Cerita itu bukan satu-satunya yang menjadi bahan refleksi bahwa Tuhan memegang kendali akan hidupku. Ada juga beberapa cerita lain.

Tahun lalu menjelang Desember, aku mengira bahwa 2022 akan semakin normal dengan pembatasan sana-sini yang lebih minimal, namun tiba-tiba varian baru Omicron muncul dan membuat kepusingan baru. Pembatasan sana sini tetap dilanjutkan. Munculnya varian baru ini seolah-olah menentang harapan kumpul-kumpulnya manusia pasca pandemi. Mungkin ada pelajaran lain yang tetap harus kita cari.

Di cerita lain lagi, seorang jemaat di gerejaku tiba-tiba meninggal beberapa jam sebelum ia berangkat ke luar kota. Aku tidak mengetahui jelas kronologinya, namun ia ditemukan tidak sadarkan diri di kamarnya tanpa bukti yang jelas sebelum meninggal. Padahal berdasarkan keterangan, ia tidak memiliki riwayat penyakit jantung atau penyakit lain yang berpotensi mengalami serangan mendadak. Hampir semua jemaat kaget mendengar berita kepergian seorang jemaat ini. Ia adalah seorang pelayan Tuhan di gereja, memiliki keteladanan yang baik lewat keluarganya yang harmonis dan sifat suka membantu jemaat yang sedang dalam kesulitan.

Peristiwa ini masih membuatku suka menggumam “Kok bisa ya?” ketika aku sedang merenung. Aku tidak bisa menemukan jawabannya melainkan meyakini bahwa perubahan itu dekat dengan kita, dan mengajarkanku lagi bahwa kejadian-kejadian ini telah diatur oleh Tuhan dan kehidupan ini dikendalikan Tuhan. Jika sehelai rambut jatuh saja terjadi dengan seizin Tuhan, apalagi perkara besar tentang keinginan dan anganmu? Tentu Tuhan akan memperhatikannya satu per satu.

Hampir melewati 2 bulan di 2022, aku hanya ingin mengatakan bahwa apapun bisa terjadi jika Tuhan menginginkan dan semoga kita bisa sebaik-baiknya mengerti bahwa kita bisa mengusahakan yang terbaik dan berdoa agar Tuhan pun berkenan atas usaha kita.

Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana (Amsal 19:21).

Saat Hidup Tidak Terasa Wah

Oleh Antonius Martono

Aku menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat sejak SMA. Sekarang sudah 10 tahun berlalu sejak kejadian itu. Aku merasa dalam waktu 10 tahun itu pribadiku telah diubahkan oleh Tuhan. Aku yakin akan hal itu. Sampai suatu hari, aku datang ke sebuah pertemuan dengan teman-teman SMA-ku dan mulai meragukannya.

Sebenarnya aku datang dengan sebuah antusiasme, berharap pribadiku yang telah diubahkan akan memberkati teman-temanku. Aku datang ke dalam pertemuan itu dan mulai berinteraksi dengan mereka. Aku senang, dan ternyata mereka masih teman-temanku yang lama. Gaya mereka berbicara, cara mereka bercanda, sikap serta karakter mereka, semua persis seperti yang terakhir kali kukenal.

Namun, melihat semua hal ini membuatku merenung. Jika teman-temanku sama seperti yang terakhir kali kukenal, apakah aku sendiri juga adalah orang yang sama dengan yang terakhir mereka kenal? Mungkin pengetahuan, pengalaman, kemampuan, pemikiranku telah berubah tapi, apakah aku adalah pribadi yang baru? Jangan-jangan aku hanya merasa telah berubah tapi, sebenarnya masih memiliki hati yang sama seperti yang terakhir kali aku SMA? Aku pulang dan pertanyaan ini membekas di dalam hatiku.

Selama beberapa hari aku menggumulkannya. Aku semakin meragukan perubahan hatiku ketika aku melihat kondisi hidupku. Ternyata banyak sekali yang belum berubah dalam diriku. Aku masih berjuang lepas dari beberapa dosa pribadi. Masih kesulitan membangun relasi dengan keluarga besar. Masih memiliki kebiasaan-kebiasaan lama yang merusak. Masih dalam status kehidupan yang sama juga. Meskipun telah berjuang masih jatuh lagi dan rasa sulitnya masih sama. Jadi apakah aku sebenarnya memiliki pribadi yang baru atau selama ini aku hanya memodifikasi kebiasaan saja? Jangan-jangan hatiku masih hati yang lama. Hanya saja bentuk dosa atau kebiasaan lamanya saja yang berubah.

Hal ini menggelisahkanku. Terlebih jika aku mengingat pesan Injil bahwa Tuhan telah memberikan hidup yang baru, hati yang baru, pribadi yang baru kepada anak-anak-Nya. Apakah pesan itu benar? Bagaimana aku bisa yakin bahwa aku telah lahir baru?

Akhirnya aku bercerita tentang kegelisahanku ini kepada seorang abang rohani. Dia mengatakan bahwa pertanyaan mengenai: apakah aku diselamatkan, apakah aku memiliki hati yang baru, bagaimana aku bisa hidup dengan benar sesuai yang Alkitab ajarkan adalah salah satu pertanyaan orang benar. Sebelum lahir baru, hati seseorang tidak gelisah saat melakukan dosa. Namun, berbeda ketika dia sudah lahir baru. Sedikit saja ketidaksesuaian antara realita hidup dengan kehidupan yang diajarkan Injil, maka hatinya akan gelisah. Peka akan dosa, gelisah karenanya, berkeinginan membuangnya adalah ciri hati yang baru.

Abang tersebut juga menambahkan, “Dalam sebuah peperangan pasti ada pertempuran-pertempuran kecil di dalamnya. Mungkin kamu tidak akan mampu memenangkan semua pertempuran melawan dosa dan kebiasaan lama. Namun, Kristus telah memenangkan peperangan dan memberikan kemenangan kepada kita. Kalah dalam satu pertempuran bukan berarti kalah perang. Bangkit lagi, tempur kembali, tidak menyerah, kita sudah menang perang!” Perkataan ini kemudian meredakan badai konflik batinku.

Dalam waktu-waktu diamku, aku juga diingatkan bagian khotbah dari seorang apologet. Dia berkata bahwa waktu adalah kuas bagi Allah, melukiskan mahakarya-Nya pada kanvas hati manusia. Tuhan tidak bekerja seperti slot machine yang segera mengeluarkan solusi sesaat setelah koin dimasukan. Tuhan bekerja dalam waktu seperti seorang seniman yang melukis mahakarya-Nya pada kanvas hati manusia.

Memang betul saat ini masih banyak pergumulan-pergumulanku yang sepertinya tidak memiliki kemajuan. Namun, jika aku mengingat ulang hidupku 10 tahun ke belakang dengan saksama, ternyata ada banyak sekali hal yang Tuhan ubahkan. Cara pandangku melihat beberapa hal dalam dunia ini sudah berubah. Aku yakin ini adalah pekerjaan Sang Seniman Agung. Melukis lewat kegiatan rutinku sehari-hari, bekerja diam-diam dalam waktu sekalipun aku tidak merasakannya.

Aku bersyukur dapat merenungkan perubahan hidupku di akhir tahun seperti ini. Mempersiapkanku untuk semakin mantap melangkahkan kaki memasuki tahun baru. Meyakinkanku bahwa Tuhan tetap bekerja dan peduli terhadapku. Sekalipun aku gagal bukan berarti aku kalah. Kegagalanku hari ini bukanlah akhir dari peperangan sebab kemenangan sudah diperoleh dalam nama Yesus Kristus.

Benarlah firman yang disampaikan nabi Yehezkiel, yang juga menjadi doaku selama ini:

“Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya” (Yehezkiel36:26-27)

Daripada aku, Tuhan jauh lebih merindukan perubahan terjadi di dalam hatiku.



Baca Juga:

Menemukan Kepuasan di Tengah Rutinitas Sehari-hari

Kita mendamba hidup yang menyenangkan, tapi kebanyakan dari kita malah hidup terjebak dalam rutinitas yang mungkin menjemukan. Bagaimana caranya agar kita bisa puas?

Belajar dari Daud: Bukan Kekuatan Kita Sendiri yang Mampu Mengubah Kita

Oleh Christine Emmert
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Learned The Secret To Time Management

Hari sudah terlampau siang. Aku masih duduk di depan komputerku, mengedit sebuah artikel yang harus segera ditayangkan. Anak lelakiku duduk di lantai dan bermain mobil-mobilan dengan berisik—sebuah pengingat bagiku kalau siang itu aku tidak punya waktu untuk bermain dengannya. Selain itu, aku pun masih harus memasak makan malam sebelum suami dan saudariku pulang ke rumah.

Tapi, bukannya memperhatikan kata-kata dan tanda baca di artikel, atau mengerjakan aktivitas lain yang harus segera kukerjakan, aku malah mencari tahu buku-buku apa yang baru temanku baca di postingannya di media sosial.

Itu terjadi ketika sebuah notifikasi muncul di layarku, memberitahuku kalau setahun lalu aku telah membaca 19 buku.

Sebagai seorang kutu buku, angka itu membuatku merasa tidak percaya. Biasanya aku bisa membaca buku dua kali lipat dari angka itu. Mengapa sangat sedikit buku yang kubaca saat ini?

Selama beberapa minggu setelahnya, pertanyaan ini menggantung di benakku. Aku mulai memerhatikan bagaimana caraku meluangkan waktuku. Tidak butuh lama untuku menyadari bahwa pekerjaanku mengambil jatah waktu lebih lama daripada seharusnya. Bukan karena beban kerja yang meningkat tajam, tapi karena aku sering mengambil waktu “break” untuk scrolling media sosial atau situs berita daripada berfokus ke pekerjaanku. Waktu-waktu jeda ini seringkali memakan waktu lebih lama dari yang kurencanakan, dan membuatku jadi lupa akan pekerjaan utamaku.

Menanggapi fakta yang baru kutemukan ini, aku memutuskan untuk membuat pagi hariku lebih bermakna. Aku pergi ke kedai kopi yang mahal di kotaku, dan memikirkan cara terbaik apa yang bisa kulakukan untuk ‘menyelamatkan’ waktu-waktuku di masa depan. Aku merasa senang dengan langkah-langkah praktis yang telah kupikirkan. Lalu, untuk mengingatkan diriku tentang langkah-langkah yang bisa ditindaklanjuti ini, aku menuliskannya di sticky notes, dan menempelnya di komputer.

Hari pertama, strategi ini berhasil. Aku bisa menggunakan waktuku dengan maksimal. Tapi, seminggu berselang, aku kembali berjuang melawan kebiasaan lamaku. Aku lupa untuk mengendalikan waktuku atau menggunakan waktu jedaku jauh dari komputer. Aku tergoda dan mulai menjelajahi Internet ketika seharusnya aku mengerjakan beberapa riset untuk pekerjaanku. Ada beberapa hari yang kurasa aku bisa kembali menjalankan manajemen waktuku, tapi di hari-hari lainnya, kupikir aku tidak jauh lebih baik dari sebelumnya.

Tak peduli seberapa keras aku berjuang, rasanya aku masih menjadi hamba dari tiap-tiap distraksi yang muncul. Dan segala perenungan dan langkah-langkah praktis yang sudah kususun tidak banyak membuatku berubah.

Hingga akhirnya, ketika aku membaca Alkitabku, aku membuka Mazmur 51. Pasal ini bercerita tentang mazmur pertobatan Daud setelah dia berbuat zinah dan membunuh (2 Samuel 11-12). Ada satu ayat yang menyentakku:

“Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” (Mazmur 51:12).

Apa yang menegurku adalah ketika menyesali perbuatannya dan memperbaiki diri, Daud tidak fokus kepada bagaimana memperbaiki dirinya sendiri yang berdosa. Dia tidak mengucap janji untuk menjadi lebih baik di masa depan. Daud berbalik kepada Tuhan dan belas kasihan-Nya, dan meminta Tuhan untuk memperbarui hatinya.

Dalam perjuanganku mengatur manajemen waktu yang baik, aku telah menuliskan tujuan-tujuan dan langkah-langkah yang bisa kulakukan—mempercayai kekuatanku sendiri untuk membuat perubahan dan menjadikan pekerjaanku berhasil. Tapi, tak ada satupun yang berhasil! Aku melupakan apa yang Daud ketahui dengan sangat baik—Tuhan tidak hanya mampu mengampuni, tetapi Dia juga mampu untuk menjadikan hati kita murni dan memperbaruinya dengan roh yang teguh!

Siang itu, aku menempelkan sticky notes yang baru di depan komputerku. Bukan catatan tentang langkah-langkah praktis yang kupikir sendiri, aku hanya menuliskan ayat Mazmur 51:12, dan menjadikan ayat itu sebagai doa pribadiku. Ketika aku duduk untuk bekerja, ketika aku menikmati waktu jeda, dan bahkan ketika aku tergoda untuk terlarut dalam Internet, aku memandang kepada catatan kecil itu dan berdoa, “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!”

Kamu tahu bagaimana dampaknya? Siang itu pun terasa luar biasa. Aku bisa bekerja dengan fokus, sesuatu yang jarang terjadi di tahun-tahun belakangan. Dan, bukan hanya aku bisa mengerjakan pekerjaanku secara cepat, tapi juga dengan baik. Aku bahkan punya waktu lebih untuk mencuci baju, merapikan rumah lebih rapi daripada biasanya, dan mengajak anakku bermain—semua itu kulakukan sebelum aku memasak makan malam untuk keluargaku.

Dua minggu pun berlalu setelah hari itu. Ada hari-hari di mana aku merasa kurang fokus dan bekerja lebih lama dari waktu yang seharusnya. Kadang pula makan malam kusajikan sedikit terlambat. Tapi, secara keseluruhan, aku merasa punya waktu lebih dan pekerjaan yang kulakukan hasilnya jauh lebih baik.

Yang menjadi inti adalah, aku telah mencoba mengatur waktuku dengan kekuatanku sendiri, dan aku gagal. Ketika aku menyadari bahwa aku tidak bisa melakukannya sendiri, aku memohon pertolongan Tuhan. Aku berdoa agar Dia mengubah hatiku supaya aku tidak dengan mudah terdistraksi, dan bisa lebih fokus pada pekerjaanku. Aku memohon Tuhan untuk memampukanku melakukan apa yang kuanggap sebagai kemustahilan untuk kucapai.

Dan, Tuhan dengan murah hati menjawab doaku. Dengan anugerah-Nya saja, aku dimampukan-Nya untuk bekerja dengan baik dan bertanggung jawab atas waktu-waktuku.

Pengalamanku ini adalah sebuah pengingat bahwa Tuhan mampu mengubah hati. Dia menciptakan hati yang murni untuk Daud. Dia telah memperbarui hatiku di masa lalu, dan melakukannya kembali secara ajaib di dalam dua minggu yang lalu. Dan aku tahu, Tuhan akan terus memperbarui hatiku di masa depan, menolongku untuk mengalahkan dosa-dosa dan kesalahanku ketika aku tak dapat melakukannya. Hingga suatu hari, aku kelak akan menghadap-Nya dengan penuh kegembiraan dan tak bernoda di hadapan kemuliaan-Nya (Yudas 1:24).

Temanku, saat ini adakah suatu hal yang sedang kamu gumulkan dalam hidupmu? Adakah tujuanmu yang ingin kamu capai namun kamu belum mampu mewujudkannya? Mohonlah supaya Tuhan memberimu hati yang baru.

Perubahan mungkin tidak terjadi dalam semalam. Beberapa doaku ada yang dijawab Tuhan setelah bertahun-tahun. Tapi, meskipun di dalam masa kita menanti, ktia dapat memohon Tuhan untuk menolong kita mempercayai-Nya dan bersandar pada kekuatan-Nya. Bahkan ketika kita tersandung dan jatuh lagi, kita tahu bahwa Tuhan terus membentuk dan menguduskan kita. Ketika kita terus berdoa dan percaya, Tuhan memperbarui kita dari hari ke hari. Tuhan sedang bekerja untuk mengubah hati. Tuhan ingin memberikan kita hati yang baru dan Dia pun memperbarui roh kita; yang perlu kita lakukan adalah meminta kepada-Nya.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengizinkanku untuk Menunggu dalam Masa Mencari Pekerjaan

Aku melamar kerja ke banyak perusahaan, menanti, dan berharap hingga akhirna mendapatkan pekerjaan. Mungkin kisah seperti ini terdengar klise, tapi ada pelajaran berharga yang Tuhan ajarkan kepadaku.

Satu Perubahan yang Perlu Dilakukan Sebelum Menjalankan Resolusi

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Setiap awal tahun, banyak dari kita yang membuat resolusi untuk dijalankan di tahun berikutnya. Ada resolusi yang berupa rencana, komitmen, serta harapan-harapan yang ingin dicapai. Aku adalah salah satu orang yang membuat resolusi itu. Setiap tahun, aku mendoakan dan menyerahkan tiap resolusi yang kubuat agar dapat terjadi sesuai dengan kehendak-Nya.

Beberapa tahun lalu, aku punya resolusi yang rencananya akan kulakukan di sepanjang tahun. Namun, aku malah merasa ragu dan bertanya kepada diriku sendiri: apakah resolusiku itu benar-benar akan memberi dampak untuk hidupku di masa depan? Apakah aku dapat serius menjalani resolusi itu?

Aku ingat pengalamanku setahun sebelumnya. Waktu itu salah satu resolusiku adalah rajin berolahraga. Beberapa kali aku menyempatkan diri untuk lari pagi, jalan-jalan berkeliling kompleks perumahan, dan bersepeda. Tapi, seiring waktu berlalu, bahkan hingga akhir tahun, aku mulai absen berolahraga sampai akhirnya berhenti melakukannya sama sekali. Aku telah gagal menjalankan resolusiku.

Namun, di tahun setelahnya, aku tetap mencanangkan olahraga sebagai resolusiku. Bersyukur ada temanku yang mengajakku berolahraga di gym. Di sana, seorang trainer menjelaskan padaku tentang pentingnya berolahraga. Katanya, jika jumlah lemak jahat terlalu banyak dalam tubuhku, itu bisa menyebabkan berbagai macam penyakit seperti jantung koroner, stroke, kolesterol, dan sebagainya. Olahraga merupakan salah satu cara untuk mengurangi risiko terkena penyakit seperti itu. Aku tersentak dan merasa ditegur. Awalnya, kupikir kalau olahraga itu hanyalah aktivitas sampingan agar tubuhku terlihat lebih sehat dan segar. Itu saja. Aku tak terpikirkan akan banyak penyakit yang bisa saja menyerangku jika aku tidak rutin berolahraga dan bergaya hidup sehat. Sejak saat itu, aku pun jadi lebih rutin berolahraga.

Resolusiku berolahraga itu pada akhirnya baru benar-benar terwujud ketika pikiranku berubah, ketika aku menyadari bahwa olahraga adalah salah satu cara yang bisa kulakukan untuk hidup sehat, bukan sekadar aktivitas sampingan. Dan, hal inilah yang kemudian mendorongku untuk memikirkan kembali semua resolusi yang kubuat setiap tahunnya. Tanpa pembaharuan pikiran, resolusi yang kulakukan akan terasa berat untuk kulakukan. Dalam setiap resolusi yang kubuat, aku perlu memikirkan: apakah resolusi tahun baruku menyentuh masalah-masalah yang mendasar dalam hidupku? Atau, apakah resolusiku hanya sekadar untaian kata yang pada akhirnya akan sulit kupraktikkan?

Saat ini, aku sedang berusaha mewujudkan resolusiku. Dan inilah yang mengajariku untuk menghargai komitmenku, dan menolongku untuk hidup lebih terarah sepanjang tahun. Aku tidak pernah tahu kapan waktuku akan berakhir. Namun yang bisa aku lakukan adalah menggunakan kesempatan yang ada dengan sebaik mungkin.

Resolusi dan perubahan apakah yang ingin kamu lakukan di tahun ini?

Baca Juga:

Interupsi dari Allah

Di tengah kesibukan yang menjadi rutinitas sehari-hari, ada kalanya jadwal yang sudah kita buat tidak berjalan semestinya. Pernahkah kita menyadari bahwa mungkin itu adalah interupsi yang dilakukan Allah?

Sharing: Perubahan Apa yang Kamu Inginkan Tahun Ini?

WarungSaTeKaMu-Sharing-201601

Perubahan apa saja kamu rindukan terjadi pada dirimu di tahun yang baru ini? Ayo bagikan pada kolom komentar di bawah ini…

Jangan Remehkan Kemajuan Kecil

Penulis: J-Wood, Hindia Barat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Don’t Take Small Improvements for Granted

Dont-take-Small-Improvements-for-Granted

Kita sering mendambakan perubahan besar terjadi dalam hidup kita, namun seringkali perubahan besar baru dapat terwujud ketika kita bergerak selangkah demi selangkah melakukan perubahan kecil.

Sebagai contoh, seorang pemusik dapat memainkan alat musiknya dengan baik dengan berlatih setiap hari. Sedikit demi sedikit ia memperbaiki teknik bermainnya setiap kali berlatih. Seorang pemilik rumah dapat mengubah rumahnya dengan membuat perubahan-perubahan kecil secara bertahap, seperti memasang hiasan gantung pada dinding yang kosong, mengganti perabot lama, atau mengubah tata letak salah satu ruangan yang ada. Perbaikan-perbaikan kecil ini menjadi makin banyak seiring berjalannya waktu, dan pada akhirnya menghasilkan sebuah perubahan besar. Aku sendiri baru benar-benar memahami hal ini setelah melewati operasi besar di bulan Desember 2014.

Proses pemulihanku diperkirakan akan berlangsung selama 6-8 minggu, dan selama kurun waktu tersebut aku tidak boleh melakukan aktivitas reguler seperti menyetir mobil, berolahraga, mengangkat barang berat, dan sebagainya. Lupakan semua itu. Tubuhku sangat lemah dan mudah cedera. Aku merasa benar-benar tidak berdaya. Pada empat minggu pertama, aku bahkan tidak dapat bangkit dari tempat tidur tanpa bantuan orangtuaku. Orang-orang yang membesuk aku di rumah sakit banyak yang bertanya, “Rasanya bagaimana sekarang?” Aku menghargai perhatian mereka, tetapi aku sebenarnya berharap mereka menanyakan sesuatu yang lain. Jelas sekali aku sedang merasa tidak enak badan. Lebih baik jika mereka menanyakan, “Kamu sudah ada kemajuan apa hari ini?”

Meski awalnya kondisiku sangat lemah, sedikit demi sedikit aku mengalami kemajuan. Pada minggu keenam, aku sudah tidak lagi kesulitan untuk bangkit sendiri dari tempat tidurku.

Pengalaman ini mengajarku untuk tidak lagi menganggap remeh kemajuan-kemajuan kecil. Dalam 1 Raja-Raja 19, kita membaca kisah nabi Elia yang melarikan diri dari Izebel dan Ahab setelah ia mengalahkan nabi-nabi Baal di gunung Karmel (1 Raja-Raja 18). Masuk ke padang gurun, Elia merasa begitu putus asa hingga ia minta Allah mencabut nyawanya (1 Raja-Raja 19:4). Tetapi, Allah memulihkan Elia setahap demi setahap. Pertama-tama Dia mengirimkan makanan dan minuman untuk Elia, agar nabi itu dapat pulih kekuatannya. Beberapa saat kemudian, seorang malaikat kembali diutus Allah untuk menguatkannya sebelum berangkat ke Gunung Horeb. Kemudian, di Gunung Horeb, Allah menyatakan diri kepada Elia, bukan melalui angin besar, gempa, atau api yang mengguncang gunung itu, melainkan melalui “angin sepoi-sepoi” yang akhirnya memantapkan Elia untuk kembali pada tugasnya.

Seringkali, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan kita. Meski demikian sebagai seorang pengikut Kristus, Allah akan memimpin kita di sepanjang perjalanan. Kita dapat percaya bahwa Dia selalu siap, mau, dan sanggup membangun iman kita, melalui segala macam peristiwa, besar maupun kecil. Sebab itu, ayo rayakan kemajuan-kemajuan kecil yang terlihat dalam hidup kita, sama seperti saat kita merayakan perubahan-perubahan besar. Terpujilah nama Tuhan!

Untuk direnungkan lebih lanjut
Perubahan besar apa yang kamu dambakan terjadi dalam hidupmu? Langkah-langkah perubahan kecil apa saja yang dapat kamu ambil untuk menuju ke sana?