Posts

3 Cara Menyadari Blind Spot Dosa

Oleh Toar Taufik Inref Luwuk, Minahasa

Tidak ada manusia atau pun tempat di dunia ini yang kebal terhadap dosa. Orang yang kita anggap teladan iman seperti pendeta atau pemimpin pun bisa saja jatuh dalam dosa seperti kesombongan, cinta uang, dan hawa nafsu. Menjadi seorang Kristen pun tidak menjamin seseorang tidak akan berbuat dosa lagi. Tetapi, fakta yang paling penting yang harus kita ketahui ialah: dosa yang paling mematikan adalah ketidaksadaran adanya dosa. 

Aku pernah mengalami momen ketika aku sendiri tidak menyadari dosaku. Aku adalah mahasiswa semester akhir yang terlibat juga dalam pelayanan mahasiswa Kristen (PMK) di kampus. Pada suatu kesempatan, kami para pengurus PMK sedang mempersiapkan pelayanan yang menargetkan mahasiswa baru. Kami melakukan rapat, pencarian dana, dan latihan untuk memastikan acara berjalan baik. Ada satu temanku di kepanitiaan itu, sebut saja namanya Mawar. Karena suatu kondisi tertentu dia kedapatan melakukan kesalahan dan berbohong. Sebagai teman yang bertanggung jawab, dan juga sebagai orang Kristen aku sadar bahwa aku harus mengingatkan dia. Jadi, di rapat selanjutnya aku pun menegur dia dan tampaknya dia sadar akan kesalahannya. 

Namun, setelah peristiwa itu dia menunjukkan respons yang tak terduga. Dia seakan tidak mau bicara denganku. Saat aku bicara dia menunjukkan bahasa tubuh yang seolah tidak senang dengan kehadiranku. “Udah ditegur baik-baik kok malah gini responsnya,” dalam hatiku merasa jengkel. Karena aku menganggap diriku benar dalam masalah ini maka kuputuskan untuk membenci dan tidak bicara lagi jika bertemu dengannya.

Hari lewat hari, dalam refleksi pribadi yang kulakukan aku merasa sikapku itu janggal. Aku sadar bahwa aku pun berdosa dan tindakanku ini sering kulakukan tanpa sadar. Hatiku telah berdosa dengan membiarkan rasa jengkel menjalar menjadi benci. Aku mengaku dosa dan memohon Tuhan memperbaharui hatiku. 

Ceritaku ini menegaskan bahwa dalam upaya kita memperjuangkan kebenaran  sekalipun tidak membuat seseorang luput dari melakukan dosa. Tidak ada manusia yang kebal dari dosa. Setiap orang memiliki blind spot-nya masing-masing. 

Bagaimana kita mau bertobat sedangkan kita tidak sadar bahwa kita telah berbuat dosa? Ada 3 cara yang pernah kulakukan untuk menyadari blind spot atau dosa yang ada dalam diri kita.

1. Cari tahu kehendak-Nya dari firman-Nya

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Timotius 3:16). 

Dengan mempelajari firman maka kita bisa makin mengetahui mana yang kehendak Allah dan mana yang bukan. Mempelajari firman bisa dilakukan dengan menggunakan materi-materi pendamping seperti artikel-artikel renungan atau mendengar podcast dari lembaga atau pribadi yang kredibel.

2. Latihlah diri untuk terbiasa berefleksi

Aku melatih kebiasaan ini dengan menyediakan waktu sekitar dua hingga empat jam tanpa distraksi apa pun. Aku pribadi menyebutnya sebagai momen AWG alias Alone with God.

Dalam masa-masa perenungan itu aku mengajukan pertanyaan buat diriku sendiri. Misalnya: “Apa setiap perkataan dan perbuatanku sudah mencerminkan Kristus?” Atau, setiap kali aku akan melakukan sesuatu aku akan bertanya, “Apakah ini yang Tuhan ingin untuk aku lakukan?”

3. Dengarkan pendapat dari teman

Manusia tidak diciptakan untuk hidup sendiri-sendiri, tetapi berinteraksi untuk saling membentuk dan menumbuhkan. Karena aku tergabung dalam KTB, di situlah aku mendapat tempat bertumbuh, belajar, dan saling terbuka atas kekurangan dan kelebihan masing-masing anggota. 

Mendengarkan masukan dari teman memberi kita kesempatan untuk melihat diri kita sendiri dari sudut pandang orang lain. 

Pertobatan adalah perjalanan seumur hidup seorang Kristen, dan dalam pertobatan kita menerima anugerah yaitu pengampunan dari Allah.  Kita akan terus diperhadapkan dengan dosa dan mati-matian berjuang untuk tidak berdosa. Roh Kudus akan menolong kita supaya kita peka terhadap dosa.

“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1 Yohanes 1:9).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Dosa Apa yang Paling Kamu Sesali?

Dari 11 orang yang kami ajak ngobrol soal dosa, tiap mereka punya cerita sendiri tentang dosa apa yang paling mereka sesalin. Ada yang inget banget sama kepahitan, pernah nyolong, atau karena merasa sudah sering banget bikin dosa, jadi bingung dosa apa yang memang bener-bener disesalin.

Namun, gak peduli seberapa dalam kita jatuh ke dalam kubangan dosa, Tuhan selalu membuka tangan-Nya untuk memberi pengampunan.

Hari ini, pada momen yang diperingati sebagai Rabu Abu, kita diajak untuk kembali hidup dalam pertobatan. Apa pun dosa yang mencengkeram hidupmu, anugerah-Nya selalu tersedia untuk memerdekakanmu. Dia senantiasa menantimu untuk kembali kepada-Nya.

Namun, maukah kamu datang kepada-Nya?

WarungSaTeKaMu © 2023

Masa Prapaskah: 5 Alasan Kamu Perlu Bertobat Lagi dan Lagi

Sobat muda, siapa di sini yang masih suka menganggap enteng pertobatan?

Pertobatan bukan hanya sekadar bilang “Tuhan ampuni aku!”. Pertobatan juga sering dianggap sebagai hal yang tidak menyenangkan, tapi kenyataannya sebaliknya: pertobatan adalah hadiah indah dari Tuhan untuk umat-Nya.

Di masa pra-paskah ini, pada momen Rabu Abu, yuk kita bangun kembali komitmen untuk kembali lebih dekat dengan Tuhan.

Selamat memasuki masa-masa pra-paskah, sobat muda!

Pendonor yang Memberi Lebih dari Sekantong Darah

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Ada sebuah kisah haru yang pernah diceritakan Max Lucado dalam bukunya. Pada musim semi 2010, terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa Taylor, puteri dari seorang wanita bernama Tara Storch. Kehilangan anak yang saat itu masih berusia 13 tahun tentu bukanlah hal yang mudah. Tara dan suaminya mengambil keputusan berani untuk menyumbangkan organ-organ tubuh Taylor kepada para pasien yang membutuhkannya. Patricia Winters adalah salah satu pasien yang sangat membutuhkan donor organ. Sehari-harinya dia cuma bisa berbaring tempat tidur karena mengalami gagal jantung dalam waktu yang cukup lama. Jantung itu pun diberikan. Dari Taylor untuk Patricia.

Tara Storch punya satu permintaan. Setelah jantung ditransplantasi, dia mau mendengarkan detak jantung sang putri dalam tubuh yang lain. Dia dan suaminya pun terbang dari Dallas menuju Phoenix untuk bertemu keluarga Winters. Saat tiba di sana, kedua ibu itu saling berpelukan. Kemudian Patricia memberikan sebuah stetoskop kepada Tara dan suaminya. Meskipun ada dalam tubuh orang lain, mereka kemudian mendengarkan detak jantung Taylor, putri yang tercinta.

Siapa yang dapat menahan air mata jika berada di sana menyaksikan keindahan itu?

Mari merenungkan kisah itu dan melihat apa hubungannya dengan kita. Apa yang dapat dilakukan Patricia sebelum dia “memiliki” jantung barunya? Kuyakin dia tidak diperbolehkan dokter untuk menikmati banyak kebersaman bersama rekan-rekannya. Dia tidak diizinkan berlari-larian, menyucurkan banyak keringat, sambil tertawa lepas berebut bola basket bersama sahabat-sahabatnya di atas lapangan yang disinari mentari sore. Dengan penyakit gagal jantung yang dideritanya, sebagian orang mungkin akan menganggapnya tidak berdaya, terbatas, tak berguna, beban, dan sekarat.

Namun sayang sekali, sebagian orang yang sama, tidak bisa melihat dirinya dalam kondisi yang jauh lebih mengerikan dari Patricia. Jika Patricia sedang sekarat karena jantungnya yang gagal berfungsi normal, maka kamu dan aku secara rohani sudah lama mati dan membusuk bersama dosa-dosa kita (Efesus 2:1). Kita tahu konsekuensi dosa adalah maut (Roma 6:23) tetapi, ingatkah kita berapa sering kita melawan Allah? Kita memandang kematian tubuh dengan ngeri, tetapi di satu sisi lainnya kita lupa bahwa tanpa Allah, rohani kita akan mati.

Kematian rohani hanya bisa diatasi apabila kita menemukan “pendonor” yang rela memberikan kita hidup. Kita butuh seorang seperti Tara Stroch, yang memiliki kebesaran hati. Beruntungnya, kita punya Sosok yang jauh lebih besar dari Tara, yaitu Bapa di surga.

Kita tidak hidup karena kekuatan kita. Kita hidup karena belas kasih dan kemurahan. Apa yang bisa kita sombongkan? Jabatan yang akan berakhir di masa pensiun? Kecantikan yang memudar seiring bertambah usia? Kekayaan yang tidak bisa dibawa mati? Sekali lagi, semua itu tidak memberikan bagi kita kepuasan sejati.

Tetapi, Anak yang dicintai oleh Bapa diberikan untuk orang seperti aku? Sang Anak itu dilecehkan. Senyum direbut dari wajah-Nya saat Dia disiksa dengan kasar. Dia menangis, menjerit kesakitan, tapi tidak melawan, padahal Dia bisa. Dia seperti domba yang dibawa ke tempat pembantaian.

Seorang penjahat menderita penyakit aneh yang mematikan dan dia butuh pendonor dan dokter spesialis. Semua dokter sudah angkat tangan dan berkata, “tidak ada harapan lagi, kami tidak punya spesialis untuk penyakit ini”. Dari pihak Palang Merah mengaku, ”kami punya banyak stok darah dengan berbagai macam golongan, tapi pasien membutuhkan jenis darah yang berbeda”.

Siapakah yang rela memberi nyawanya untuk seorang penjahat yang sepantasnya dihukum?

Ketika semua terdiam karena tidak ada satu pun yang mampu dan tidak ada satu pun yang mau, Yesus Kristus menembus keheningan. Dia mengangkat tangan-Nya, mengacungkan telunjuk-Nya, dan berkata “Aku bersedia!”

Yang amat mengagumkan, Dialah dokter ahli dalam menangani hati yang hancur dan masa lalu yang kelam. Dialah spesialis menyucikan kita dari dosa.

Dia juga Pendonornya, Dia menyodorkan bukan hanya satu atau dua kantong. Dia berkata “seluruh darah akan ditumpahkan”. Supaya penjahat itu hidup, tidak akan pernah mati, dan berjuang untuk jadi lebih baik.

Penjahat itu adalah kita.

Jika mau sembuh, jika mau hidup itu, terimalah tanda tangan berkas itu. Kuasa penebusan dari Tuhan, Sang Ilahi, akan terjadi seketika, saat ini juga.

Bolehkah Aku Mengakui Sesuatu?

Oleh Jane Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Can I Confess Something?

Sekitar lima tahun lalu, aku akhirnya menemukan kelompok studi Alkitab wanita di satu gereja. Sudah sekian lama memang aku tidak tergabung dengan komunitas rohani seperti itu. Di salah satu pertemuanku bersama mereka, sesi pembahasan Alkitab sudah selesai dan kami hendak membagikan pokok doa masing-masing. Seorang temanku lalu berkata:

“Tolong doakan aku, aku seperti kecanduan belanja. Rasanya aku menghabiskan terlalu banyak uang buat beli barang-barang yang sebenarnya nggak dibutuhin.”

Ketika mendengar itu, aku tercenung. Bukan karena ada yang salah dari pokok doa itu, tapi aku merasa aku tidak bisa sejujur itu mengakui dosaku sendiri. Bagaimana caranya beralih dari “tolong doakan aku, aku kecanduan belanja” ke “tolong doakan aku karena… aku kecanduan pornografi dan masturbasi”?

Dosa terhormat vs dosa yang tidak terhormat

Ada sebuah buku berjudul “Respectable Sins” yang ditulis oleh Jerry Bridges. Aku belum membaca bukunya, tapi aku selalu ingat judulnya karena rasanya itu sangat cocok untuk sebagian besar dosa-dosa yang kita akui—tidak sabar, membicarakan orang lain, menikmati software bajakan, kerja berlebihan—pada dasarnya adalah dosa-dosa yang dilakukan setiap orang.

Namun, ada hal lain yang terkait dengan mengakui dosa ‘terhormat’. Ketika aku merenungkan bagaimana mengaku dosa kepada orang lain, yang pasti aku lakukan adalah bagaimana menyusun kata-kata supaya pengakuan itu tidak membuatku tampak jelek. Jadi, alih-alih mengatakan, “Aku membentak mamaku tadi pagi”, aku akan berkata, “Aku sedikit bertengkar dengan mama.” Alih-alih berkata, “Kemarin malam aku nonton film porno”, aku berkata, “Aku bergumul dengan pikiran yang tidak murni.” Atau, kalaupun aku tidak menemukan kata-kata yang terasa pas, aku akan memilih dosa yang lebih ‘ringan’ untuk diakui. Atau, lebih baik tidak berkata apa-apa.

Terkadang, keengganan kita untuk jujur dalam pengakuan dosa kita merupakan tanda dari hal-hal berikut ini:

  • Kita terlalu bangga untuk mengakui kalau kita sungguh bercela dan sangat membutuhkan anugerah;
  • Kita lebih takut akan apa yang orang lain pikirkan daripada apa yang Allah pikirkan; atau,
  • Kita tidak sungguh-sungguh ingin mengakui kesalahan kita pada Allah, sehingga kita enggan mengakuinya pada sesama. Kita takut apabila tidak terlihat penyesalan atau rasa takut yang nyata dalam ucapan kita, sehingga kita pikir cukuplah ‘memberi tahu’ Tuhan saja.

Semua ini kukatakan bukan supaya kita mengakui dosa tanpa pandang bulu kepada siapa pun, tentang apa pun; hanya saja, ketika kita memikirkan dosa-dosa dan kita merasa butuh untuk mengakuinya, kita harus kembali kepada apa yang Alkitab katakan dan menguji hati kita. Apakah kita sedang mencoba merasionalisasi dosa-dosa kita dan berupaya menjaga muka kita agar tetap terlihat baik, atau kita sedang merendahkan diri untuk melihat apa yang sungguh jadi kebutuhan kita di hadapan Allah?

Manfaat mengakui dosa

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk hidup sebagai ‘anak-anak terang’ agar segala sesuatu yang telah ditelanjangi oleh terang itu menjadi nampak (Efesus 5:8-13).

Namun, bagi sebagian dari kita yang bergumul dengan dosa-dosa rahasia dan memalukan, kita tahu betapa sulitnya mengumpulkan keberanian untuk mengakuinya—meskipun kita tahu dampak buruk dari menyembunyikan dosa seperti tertulis dalam Mazmur 32:3-4:

Selama aku berdiam diri,
tulang-tulangku menjadi lesu
karena aku mengeluh sepanjang hari;
sebab siang malam
tangan-Mu menekan aku dengan berat,
sumsumku menjadi kering,
seperti oleh teriknya musim panas.

Ketika aku bergumul dengan kecanduanku akan pornografi, itu sungguh menguras energiku dan membuatku enggan melakukan hal lain, terkhusus melakukan hal-hal yang akan menusuk hatiku seperti membaca Alkitab, berdoa, mendengar khotbah.

Hari-hari yang kulalui kulakukan dengan upaya paling minimum—kerja, makan, dan mandi—lalu naik ke atas kasur bercengkrama dengan laptop, berharap aku bisa merasa lega. Tapi, tak peduli seberapa banyak upaya yang kulakukan untuk melegakan diri, aku selalu capek. Semakin lama kebiasaan buruk ini dipelihara, semakin susah ia dilepaskan. Semakin lama aku menjadikannya rahasia, semakin dosa itu berkuasa mengendalikanku.

Firman Tuhan berkata bahwa dalam pengakuan dosa yang sejati, kita mengakui dosa yang adalah tindakan melawan Allah dan konsekuensi dari menyembunyikannya, sehingga kita tidak menganggap enteng dosa itu. Kita menerima keburukan dalam diri kita, dan kita berhenti berusaha untuk membuat sikap atau diri kita tampak lebih baik daripada yang sebenarnya, karena kita tahu Tuhan melihat dan mengetahui segalanya. Lebih lagi, kita percaya bahwa hanya Tuhan sajalah yang bisa mengangkat kita dari jurang kelam dosa.

Selain mengakui dosa kepada Allah, Alkitab juga menunjukkan pada kita pentingnya mengakui dosa pada sesama. Sebagai anggota dari satu tubuh, itu menunjukkan kebergantungan satu sama lain. Ketika satu bagian tubuh sakit, sakit pulalah seluruh tubuh itu (1 Korintus 12:26). Yakobus 5:16 mengatakan. “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh.”

1 Tesalonika 5:12-14 dan Galatia 6:1 mengingatkan kita bahwa saling mengakui dosa menolong kita membangun gereja, saling mengingatkan dan menuntun seseorang kembali ke jalan yang benar.

Bagaimana mengakui dosamu

Lalu, bagaimana kita bisa membentuk kebiasaan akan pengakuan dosa yang sehat dalam komunitas kita?

Pertama, kita perlu menemukan orang percaya yang dewasa dalam iman dan pengertiannya akan firman Tuhan, yang bisa menyampaikan kebenaran dalam kasih dan bertanggung jawab atas pengakuan kita.

Kedua, kita juga perlu berupaya untuk menjadi orang percaya yang dewasa, untuk menciptakan ruang aman dalam gereja kita, tempat bagi orang lain untuk juga mengakui dosanya. Kadang, itu berarti kita menjadi orang pertama yang berani untuk menjadi rentan. Di lain kesempatan, itu bisa berarti kita berhati-hati akan apa yang kita ucapkan atau penghakiman yang kita berikan pada orang lain. Dan yang paling pasti ialah kita menjadi rendah hati dan bersyukur, mengetahui bahwa kita telah diampuni dengan sangat besar.

Terakhir, pengakuan dosa yang alkitabiah tidak cuma berakhir di mengakui kesalahan, tapi bergerak menuju pertobatan. Satu bahaya dari tidak memahami pengakuan dosa yang alkitabiah adalah kita bisa berakhir jatuh ke dalam ritme yang tidak sehat: bersimpati dan berempati tanpa benar-benar mengupayakan pengampunan, penyembuhan, dan pemulihan.

Ketika kita mengakui dosa, kita harus menyiapkan diri kita ditegur. Kita harus berjuang melawan naluri untuk mempertahankan atau merasionalisasi dosa kita. Dalam prosesnya, kita juga perlu mengundang orang lain yang dipimpin Roh Kudus untuk menanyakan pada kita pertanyaan-pertanyaan sulit, untuk berdoa bersama kita dan menegur kita dengan firman Tuhan, untuk memantau kita sesuai kapasitas mereka.

Membuka diri untuk mengakui dosa

Kembali ke cerita di awal tulisan ini, aku memutuskan sejak aku bergabung dengan kelompok itu, rasanya kurang tepat membagikan pergumulan dosaku pada mereka. Namun, Roh Kudus terus mendorongku untuk mengakuinya kepada seseorang, membuatku memahami bahwa aku tak bisa melawan dosa ini sendirian secara diam-diam.

Jadi, aku melakukan dua hal:

Pertama, aku mengakuinya kepada sahabatku yang juga seorang percaya, yang mengerti pergumulanku. Aku bertanya apakah dia bisa menyimpan dan bertanggung jawab atas pengakuanku, dan dia bersedia. Sejak saat itu, kami lebih sering berkontak. Dia akan bertanya bagaimana prosesku, atau aku akan memberi tahu dia bilamana aku tergoda, dan dia segera juga berdoa buatku.

Kedua, aku mengikuti kelas tentang doa yang memulihkan di gerejaku, dan setelah beberapa sesi, aku menyadari kalau perjuanganku untuk pulih membutuhkan doa yang khusus. Setiap minggu, ketua dari kelompok doa itu mengundang orang-orang untuk membuat janji pertemuan jika memang mereka sungguh butuh didoakan. Aku memutuskan untuk ikut. Para fasilitator di pertemuan doa itu sungguh terlatih, mereka punya pengukuran yang pas untuk menciptakan zona aman bagi pengakuan dosa dan doa. Sesi-sesi itu menjadi sungguh berguna dan memulihkan buatku.

Mengakui dosa kepada sesama orang percaya menolongku melihat bahwa perjuangan melawan dosa bukanlah perjuangan seorang diri, atau perjuangan yang sia-sia. Meskipun masih ada hari-hari di mana aku jatuh dalam pencobaan dan berupaya menyembunyikan apa yang kulakukan, masa-masa rahasia itu menjadi lebih singkat seiring waktu karena aku tahu aku tak bisa menyembunyikannya lama-lama. Semakin segera aku mengakui dosa, semakin lekas pula aku didoakan dan ditarik kembali ke dalam terang.

Tidak semua cerita pengakuan dosa dan perjuangan lepas darinya memiliki proses yang sama, tapi kebutuhan akan pengakuan dosa yang sesuai Alkitab tetap menjadi dasar kita. Sebagai gereja, marilah kita berdoa untuk keberanian dan kerendahan hati agar kita bersedia mengakui dosa-dosa kita. Carilah juga kebijaksanaan dan kepekaan untuk memilah dan memilih, agar kita menjadi orang-orang percaya yang dewasa yang bisa menerima pengakuan dosa orang lain dan saling membangun satu sama lain dalam iman.

Baca Juga:

Berhasil atau Gagal, Ingatlah Bahwa Tuhanlah yang Menulis Cerita Hidupmu

Cepat atau lambat, sengaja atau tidak, hidup akan mengantar kita untuk menjumpai kegagalan dalam aneka bentuk. Tetapi, sekali lagi, ingatlah bahwa dalam berhasil atau gagal, Tuhanlah yang menulis cerita hidup kita.

Berhentilah Membanding-bandingkan Dosa Kita dengan Dosa Orang Lain

Oleh Fandri Entiman Nae, Manado

Ketika menonton televisi atau menjelajahi media sosial, informasi tentang tindakan kejahatan rasanya bukanlah hal yang jarang kita simak. Menghitung berapa jumlah kasus-kasus itu tentu tak akan ada habisnya. Dunia seakan telah berteman dengan kejahatan, dan fakta yang mungkin membuatmu tercengang: kita semua adalah bagiannya.

Pernyataanku mungkin mengherankan dan membuatmu bertanya mengapa kita menjadi berada di posisi tertuduh? Melalui tulisan ini, aku mengajakmu untuk menyelidiki diri kita lebih jauh. Kita semua sejatinya memiliki status yang sama, yaitu para pendosa. “Ah tapi kan aku tidak melakukan ini, atau itu?”, dalam hati kita berkelit. Ketika kita melihat ada orang yang kedapatan mencuri dan kita “tidak mencuri”, atau kita melihat orang lain kedapatan “berzinah” dan kita merasa tidak melakukannya, kita lantas merasa diri kita lebih baik dari orang lain. Atau, bisa saja kita merespons dengan lebih kesal, “Aku tidak akan begitu! Tidak akan jatuh ke dalam dosa seperti itu!”

Sebagai manusia, kita sering membandingkan diri kita dengan orang lain, termasuk ketika itu bicara mengenai dosa. Namun, terlepas dari siapa yang tampak ‘lebih baik’ dari perbanding-bandingan itu, fakta yang pasti ialah kita semua sejatinya adalah pendosa, apa pun jenis dosa yang kita lakukan. Jika kita membaca apa yang dikatakan oleh Yesus tentang perzinahan (Matius 5:27-30), kita akan segera mengerti bahwa dosa bukan hanya tentang apa yang nampak melainkan apa yang tersembunyi di dalam hati kita. Mungkin kita belum pernah menampar atau melakukan kekerasan terhadap orang lain, tetapi berapa kalikah kita berniat melakukannya untuk melampiaskan amarah kita?

Dalam pekerjaan dan pelayananku sebagai hamba Tuhan, setiap kali aku berkhotbah kepada teman-teman yang ada di dalam penjara di beberapa kota, aku selalu berkata kepada mereka bahwa jika polisi kita, jaksa kita, dan hakim kita adalah Allah sendiri, maka aku, yang merupakan seorang penginjil ini tidaklah lebih suci dibandingkan teman-teman di dalam penjara ini. Mungkin aku pun akan dijerat dengan pasal berlapis dan divonis dengan hukuman terberat.

Beberapa tahun yang lalu seorang dosen pernah mengajukan pertanyaan ‘menjebak’ kepada kami semua dalam sebuah kelas. Pertanyaannya adalah “Siapa yang membunuh Yesus? Apakah orang Yahudi atau orang Romawi?” Tentu jawabannya bisa berbeda-beda tergantung sudut pandangnya. Ketika kelas kami terbagi menjadi dua kelompok besar yang membela pilihannya bagai debat capres dan cawapres, aku satu-satunya yang punya jawaban berbeda. Aku tidak memilih Romawi maupun Yahudi. Tentu saja bukan karena jawaban itu salah, tetapi karena aku tahu apa yang sedang ingin dicapai oleh dosen itu. Pada saat dia membuat survei dan tiba pada giliranku, aku menjawab, “Saya dan bapaklah yang membunuh Yesus”.

Mari jujur dengan identitas kita. Kita adalah “pembunuh”. Dosa kita telah “memaksa” Dia yang Maha Tinggi dibantai dan dipermalukan di bawah matahari Palestina. Kita adalah pezinah. Kita terpikat oleh senyuman dunia yang beracun dan bercumbu dengannya untuk memuaskan hasrat kedagingan kita, hingga kita lupa pada Kekasih hati kita yang datang jauh-jauh dari surga untuk memeluk kita.

Berhentilah saling menyalahkan dan menganggap diri lebih baik dari orang lain. Jangan pernah memegahkan diri kita, terlebih di hadapan Allah. Kita semua tidak ada bedanya. Bukankah kita sering sekali berteriak menuntut keadilan hanya jika kita ada dalam posisi sebagai korban yang benar? Bukankah ketika kita didakwa sebagai tersangka yang bersalah, kita malah mengemis meminta pengampunan? Atau tragisnya lagi, berapa banyak dari kita yang senang menjadi penjilat demi mendapatkan kenyamanan diri kita sendiri?

Tetapi terlepas dari dosa-dosa kita yang begitu menjijikkan, di sini keunikan iman kita terletak, yaitu Allah kita mencintai kita sebagaimana adanya. Tentu itu bukan berarti bahwa Allah sama sekali tidak peduli, apalagi senang dengan dosa kita. Di mata Allah, dosa bagai kanker yang hidup di dalam tubuh orang yang kita cintai. Kita membenci kankernya, tetapi mencintai orangnya. Bukan kita yang mencari-Nya, Dialah yang mencari dan menemukan kita. Ia kemudian mengikat kita yang menerima-Nya dengan pelukan kasih karunia. Tapi sedihnya, kita sering menari-nari bahagia di atas kasih karunia itu namun lupa pada Sang Sumber. Kita tersenyum ketika tahu bahwa kita telah diangkat menjadi anak-anak-Nya tetapi kita mempermalukan Bapa kita. Benar bahwa Allah kita telah memerdekakan kita sama seperti yang dikatakan Paulus kepada jemaat Galatia, namun itu bukan kesempatan untuk hidup dalam dosa (Galatia 5:13). Seorang teolog sekaligus pengkhotbah terkenal pernah berkata, “Jika kita berpikir bahwa kasih karunia adalah tempat untuk bersantai saja, maka kita akan melihat kehancuran”.

Kasih karunia adalah tempat bersukacita, menyesali diri, dan berjuang habis-habisan. Kita bersukacita atas kebaikan Allah yang telah menyelamatkan kita dari “kengerian terdalam” melalui penyaliban Kristus yang telah bangkit dari kematian. Kita menyesali diri atas semua kegagalan-kegagalan kita yang telah melukai hati Allah. Kita berjuang habis-habisan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan kita dan dengan gigih menceritakan kepada dunia tentang Dia, Allah yang mengasihi kita, para pendosa.

Hari ini, dalam momen yang diperingati oleh beberapa gereja sebagai Rabu Abu, akuilah dosa kita di hadapan Allah dan perbaharuilah komitmen kita untuk hidup kudus bagi-Nya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Teguran: Tidak Semanis Pujian, Tapi Kita Butuhkan

Kita mungkin sepakat kalau teguran ditujukan untuk kebaikan kita. Tapi, seringkali penyampaian dan pesannya membuat kita tidak nyaman. Bagaimana kita dapat merespons teguran secara positif?

Nafsu dalam Pacaran: Dosa Terselubung yang Tidak Kita Bicarakan

Oleh Wendy Wong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Lust in Dating: The Secret Sin We Don’t Talk About

Aku dan suamiku sudah menikah selama setengah tahun. Sebelum menikah, kami pacaran selama dua tahun lebih.

Selama masa-masa pacaran, kami bergumul dengan dosa yang amat kami sesali. Hanya teman yang paling dekat dan pemimpin di gereja kami yang tahu akan dosa itu: hawa nafsu.

Dari berpegangan tangan hingga peluk-pelukan, godaan untuk semakin dekat secara fisik semakin kuat saat relasi kami menjadi lebih erat.

Kami coba lawan godaan ini sebisa mungkin. Kami berdoa memohon pengendalian diri, menundukkan diri kami dalam firman Tuhan tentang kekudusan, membaca dan membaca lagi artikel dan renungan Kristen tentang mengalahkan nafsu, menetapkan batasan-batasan fisik, menangis dan merasa malu setiap kali kami melanggar kesepakatan, berusaha bertanggung jawab dan jujur berbicara ke pembimbing kami, dan datang ke konselor Kristen bersama-sama.

Namun, seringkali rasanya semua usaha itu sia-sia. Kami ‘melakukan’ semuanya dengan benar, iya kan?

Lucunya, meskipun kami pikir kami tahu apa yang Alkitab, buku, dan pasangan yang sudah menikah katakan tentang dosa hawa nafsu, kami tidak cukup mengerti. Sebatas pengetahuan tentang apa yang benar tidak cukup untuk menghindarkan kami dari melakukan hal yang salah. Jauh lebih mudah untuk memuaskan keinginan daging yang menggebu-gebu daripada mendengarkan bisikan Roh Kudus untuk menahan nafsu kami.

Hanya ketika kami mengalami konsekuensi dosa, kami akhirnya mengerti alasan di balik aturan-aturan yang dibuat. Tatkala memuaskan nafsu terasa menyenangkan saat itu, dampak setelahnya yang muncul bisa berupa perasaan malu, bersalah, dan sakit yang bertengger berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Kami menyadari bahwa ketika kami menyerah pada nafsu, kami sedang menyakiti satu sama lain dan mendukakan Tuhan yang telah menyucikan, menebus, dan membayar lunas kita dari dosa dengan pengorbanan Kristus di kayu salib.

Karena hawa nafsu adalah dosa terselubung, pasangan Kristen yang merasa dirinya baik cenderung tidak membahasnya karena berpikir mereka mungkin tidak akan jatuh di dalamnya. Namun, ketika kita terjatuh ke dalamnya, kita merasa sendiri dan terasing, bahkan juga merasa gagal dalam membina hubungan. Kita membangun pemahaman bahwa pasangan Kristen haruslah pasangan yang terlihat “rohani”, sehingga kita jadi ragu atau bahkan merasa kurang “rohani” jika kita membahas hal-hal yang berkaitan dengan pengendalian diri dari hawa nafsu.

Ketika kubilang kita bergumul dengan hawa nafsu, kita sungguh bergumul dengannya.

Menemukan harapan di tengah peperangan kita

Aku telah melihat Tuhan memiliki tujuan untuk setiap masa yang terjadi dalam hidup kita, tak peduli betapa remeh atau susahnya itu. Tuhan menggunakan masa-masa di mana aku bergumul dengan kekudusan agar aku juga mengalami apa yang dirasakan Daud saat dia menyerukan pertobatannya dalam Mazmur 51.

Mazmur itu telah kubaca sebelumnya, sebagai doa pertobatan dan memohon ampun ketika aku berdosa terhadap Tuhan. Tapi, mazmur itu terasa lebih menyentuh sebagai ratapan pribadiku ketika aku benar-benar terjerat dengan dosa seksual.

Mazmur 51 menunjukkan suasana hati Daud ketika dia berada di titik terendah setelah dia berzinah dengan Batsyeba dan membunuh Uria.

Daud menyerukan penyesalannya pada Tuhan, mengakui dia telah amat berdosa terhadap Tuhan. Bukan Batsyeba, wanita bersuami yang diambil paksa oleh Daud. Bukan Uria, suami Batsyeba yang dibunuh oleh Daud. Bukan juga nabi Natan yang menentang kebohongan Daud.

Daud menyadari dia telah berdosa terhadap Tuhan saja: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu.” (Mazmur 51:4).

Mungkin kamu bisa merasakan betapa hancurnya perasaan Daud saat dia menyadari dosa terberatnya. Namun, seruan penyesalannya juga menyiratkan secercah harapan—suatu harapan bahwa dosa pribadinya akan membawanya kepada keselamatan dan pemulihan, baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk bangsanya (Mazmur 51:7-15).

Di manakah harapan Daud berakar? Di mana dia mendapatkan harapan di tengah situasi nan gelap yang diakibatkan dosanya sendiri?

David tahu bahwa dosanya—perzinahan dan pembunuhan—bukanlah segalanya dan bukan pula akhir dari hidupnya. Dia tahu Tuhan tidak cuma kudus dan hakim yang adil terhadap segala dosa kita, tetapi juga Tuhan yang menunjukkan belas kasihan, kasih, dan keselamatan. Daud tahu Tuhan tidak hanya berkenan kepada persembahan secara fisik, tetapi juga “hati yang hancur” yang diberikan kepada-Nya dalam penyerahan diri dan pertobatan (Mazmur 51:17). Daud tahu tak peduli betapa jahat pelanggarannya, Tuhan sanggup menyapu bersih setiap titik dosa-dosanya (Mazmur 51:7-9, 14).

Tak hanya itu, Daud tahu pula bahwa Tuhan dapat menciptakan hati yang murni, membaharui dan meneguhkan jiwanya, serta memulihkannya agar dia bisa bersukacita atas keselamatan yang datang dari pada-Nya (Mazmur 51:10-12).

Memegang firman Tuhan dekat dengan hati kita

Aku tidak ingat berapa kali aku mendoakan mazmur ini dengan berlinangan air mata. Mazmur ini kupegang erat, sebagai janji dan penghiburan, melalui setiap halangan dan rintangan, di lembah gelap dan setiap sudut yang memalukanku.

Mazmur 51 mengingatkanku lagi dan lagi: bahwa meski aku telah berdosa terhadap Tuhan, dosa itu bukanlah akhir dari kisah hidup kami. Aku bisa berpaling pada Tuhan dan menemukan belas kasih dan pengampunan yang amat besar, jika aku menghampiri-Nya dengan pertobatan dan kerendahan hati—bukan karena hal-hal baik yang telah kulakukan, tapi murni karena kebesaran dan kebaikan-Nya.

Firman-Nya memberiku harapan dan kekuatan untuk berseru kepada-Nya setiap kali aku jatuh dan gagal, untuk menemukan pengampunan dan kekuatan dalam perjalananku, dan bahkan untuk menuliskan kisah ini.

Selama dua tahun lebih menjalin relasi, firman-Nya dan Roh-Nya menempa kami untuk menjadi pasangan yang setia kepada-Nya dalam kehidupan spiritual, emosional, dan fisik kami. Kami belajar bahwa senjata terpenting melawan hawa nafsu bukan cuma memusingkan diri dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, tapi dengan duduk diam di kaki Yesus setiap hari, mendengarkan firman-Nya, dan memilih bagian yang terbaik: Tuhan dan Juruselamat kita sendiri (Lukas 10:38-42).

Seperti Daud yang mengubah pelanggarannya menjadi kesaksian bagi Tuhan, aku juga berdoa kiranya pergumulan kami dapat menguatkanmu untuk berani melawan dosa-dosamu, sesuai dengan apa yang tertulis dalam Alkitab:

Bangkitkanlah kembali padaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu,
Dan lengkapilah aku dengan roh yang rela!
Maka aku akan mengajarkan jalan-Mu kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran,
Supaya orang-orang berdosa berbalik kepada-Mu.
Lepaskanlah aku dari hutang darah, ya Allah, Allah keselamatanku,
Maka lidahku akan bersorak-sorai memberitakan keadilan-Mu!
Ya Tuhan, bukalah bibirku, supaya mulutku memberitakan puji-pujian kepada-Mu!

Mazmur 51:14-17

Baca Juga:

Ketika Kisah Cinta Kami Berjalan Keliru

Adalah hal yang sangat menakutkan ketika aku memilih untuk menghabiskan malamku dengan tunanganku dibandingkan meluangkan waktu menyendiri dengan Tuhan, ketika hatiku lebih mendapat kepuasan di dalamnya dibanding di dalam Tuhan, ketika aku lebih mengkhususkan perhatianku untuk kebutuhan dan keinginannya, bukan untuk mengenal dan mematuhi Tuhan.

Kasih-Nya Merobohkan dan Membangun

Oleh Erick Mangapul Gultom, Jakarta

Aku memiliki seorang teman yang waktu SMA sering menyendiri. Pernah sekali waktu aku bersama teman-teman lainnya melihat dia menangis sendirian, kami pun menghiburnya supaya dia tidak sedih lagi. Setelah sekian lama tidak berjumpa dan berkomunikasi, tak disangka dia menemukan media sosialku dan mengirimiku pesan. Akhirnya pada suatu kesempatan kami pun berbicara lewat telepon.

Sekian lama mengobrol, dia pun mulai bercerita tentang kondisi kehidupan pribadi dan keluarganya. Dia sangat sulit untuk mengampuni, bahkan sering mendendam. Sanak saudaranya sering bertengkar dan dia tidak tahan dengan semuanya itu. Kudengarkan semua cerita kehidupannya dan tentang dirinya sendiri yang belum yakin akan imannya, terutama perihal keselamatan.

Aku tahu temanku membutuhkan Kristus, dalam hati aku berdoa memohon supaya Tuhan memimpinku untuk mewartakan Kabar Baik kepadanya. Aku mulai bercerita bahwa hal yang dia alami pernah juga menjadi bagian dalam hidupku. Keberdosaan membuat kita melihat segala hal dengan pola pikir kita sendiri dan kita sulit untuk menemukan hal baik dari segala yang terjadi.

Kuceritakan padanya tentang Tuhan Yesus yang meninggalkan takhta-Nya di surga. Dia yang mencipta segala yang ada, telah datang ke dalam dunia. Dia dilahirkan di kandang domba, difitnah, disiksa, dan mati di kayu salib. Dia ditolak karena keberdosaan kita yang lebih menyukai kegelapan daripada terang. Namun, di dalam keadaan sebagai seteru, Dia mengampuni kita. Kita yang sepantasnya dihukum karena dosa, namun karena kasih-Nya, Tuhan Yesus memberikan anugerah yang tidak terbayarkan itu secara cuma-cuma kepada kita.

Temanku mulai bertanya mengapa Yesus mau melakukan-Nya. Aku mengatakan karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, Dia ingin kita kembali bersekutu dengan-Nya di dalam kekudusan. Siapa yang mau datang kepada-Nya diberi-Nya kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Aku menjelaskan pada temanku itu ada dua hal yang akan terjadi ketika kita mengalami kasih Tuhan.

Kasih-Nya merobohkan

Ya, kasih-Nya telah merobohkan segala benteng yang memisahkan kita dari-Nya, segala kuasa dosa yang membelenggu yang membuat kita sangat sulit mengampuni seseorang dan pola pikir kita yang berpusat kepada diri sendiri.

“Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh” (1 Petrus 2:24).

Kasih-Nya membangun

Selanjutnya, Dia membuat jalan bahkan menjadi jalan yang baru dan yang memberikan kehidupan, bukan untuk sementara, tetapi selamanya.

“Karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri” (Ibrani 10:20).

Sebelumnya kita berdosa dan menjadi musuh Allah. Tetapi, ketika Tuhan menerima kita kembali, kita bukan lagi musuh, tetapi anak-anak-Nya. Perdamaian kita melalui Yesus Kristus membuat kita memiliki hidup yang melimpah di dalam anugerah, sehingga kita dapat berdamai dengan diri sendiri dan melihat setiap orang dengan kasih. Kita dimampukan mengampuni orang ang bersalah kepada kita, bahkan mengasihi mereka dan mengambil kebaikan dari segala sesuatu yang terjadi di dalam hidup kita, terus diproses setiap hari semakin serupa dengan-Nya. Di akhir telepon, aku mengajak dia untuk menyerahkan diri kepada Yesus Kristus, agar dia dipulihkan-Nya dan mengalami anugerah kasih-Nya.

* * *

Di kemudian hari, aku mendapat kabar dari temanku bahwa dia mulai rutin membaca Alkitab. Walaupun masih agak sulit untuk membaca di rumah, dia tetap berjuang dan memintaku untuk berbagi firman Tuhan lewat ponsel. Aku memberinya satu lagu karya John Newton, Amazing Grace. Lagu ini menjadi pujian dan ucapan syukur kepada Tuhan atas anugerah-Nya yang menyelamatkan siapa pun yang mau datang dan berserah kepada-Nya. Aku sangat bersyukur Tuhan menyentuh hati temanku untuk dia kembali pada-Nya. Kukatakan pada temanku untuk membagikan kembali apa yang sudah di dapatkan dan terus belajar menerapkan firman Tuhan dalam hidupnya, dimulai dari hal-hal yang paling sederhana.

Barangkali pengalaman yang sama pernah teman-teman alami, sulit mengampuni seseorang yang telah menyakiti kita. Ingatlah kembali bahwa Kristus telah mati bagi kita dan kita telah diubahkan menjadi manusia baru. Hanya kasih-Nya yang mampu merobohkan sekaligus membangun. Merobohkan manusia lama kita yang masih terbelenggu di dalam keberdosaan sehinga kita kembali dibangun di dalam kebenaran dan kasih Kristus.

Janganlah kasih itu hanya tinggal pada kita, beritakanlah perbuatan-Nya yan ajaib kepada setiap orang.

Soli Deo Gloria!

Amazing grace! How sweet the sound,
That saved a wretch like me
I once was lost, but now am found
Was blind but now I see.

Baca Juga:

Belajar Penginjilan dari Paulus (Pengajaran dari Kisah Para Rasul 17:16-34)

Bagaimana Paulus memberitakan Injil kepada orang-orang di Athena? Apa yang kita bisa adopsi dan adaptasi ke dalam keadaan kita sekarang?

Bertobat dari Kemalasan

Oleh Michael*

Dua tahun lalu setelah lulus S-1, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halamanku. Aku tidak bekerja ke kota besar seperti yang teman-temanku lakukan, sebab sepeninggal papaku, mamaku tinggal seorang diri di rumah sementara kakak-kakakku sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota.

Aku dan mamaku menjalankan usaha toko kelontong yang sekarang kami kelola berdua. Karena usia mama semakin lanjut, dia memintaku untuk mengelola toko ini. Tapi, aku menolaknya dengan alasan aku belum siap, toh mamaku masih sanggup untuk mengelolanya sendiri.

Aktivitas yang kulakukan sehari-hari adalah bermalas-malasan. Pagi dan siang aku bermain game dan nonton YouTube, sore-sore aku bersepeda, dan malamnya kuhabiskan menonton tv. Tak ada satu pun kegiatanku membantu mamaku di toko.

Teguran

Pada tanggal 28 Oktober 2019, ketika mamaku sedang menjaga toko, dia merasakan sakit di dada. Tubuhnya lemas, wajahnya pucat, dan dia pun muntah. Aku panik dan segera membawa mamaku ke rumah sakit dan memberitahu kakak-kakakku.

Di rumah sakit, mamaku segera mendapat pertolongan pertama dan harus dirawat inap. Kakakku yang pertama segera menyusul ke rumah sakit. Sesampainya di sana, dia memintaku untuk pulang saja ke rumah dan membuka toko sementara dia yang akan mendampingi mama sampai diperbolehkan pulang. Aku berdalih, kupikir biarkan saja tokoku tutup yang penting aku bisa menjaga mamaku. Namun, kemudian aku teringat, bagaimana pun juga pengobatan di rumah sakit membutuhkan biaya. Dari mana lagi kami mendapatkan uang jika tidak menjalankan usaha toko kelontong.

Pikiranku kalut. Aku seperti menghadapi dua dilema. Aku pun merasa ini seperti teguran dari Tuhan atas kemalasan yang selama ini kupelihara. Aku ingat petikan ayat Alkitab yang berkata, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah” (Wahyu 3:19).

Aku masih belum beranjak dari ranjang yang disediakan rumah sakit. Tiba-tiba, ada semut yang menggigit lenganku. Aku tak tahu dari mana datangnya semut itu, tapi seketika itu juga aku ingat lagi petikan ayat Alkitab, “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen. Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu?” (Amsal 6:6-9).

Dua ayat yang terlintas di benakku membuatku merasa malu pada diriku sendiri, bersalah kepada mamaku, dan aku menyesal. Tetapi, aku juga seperti diteguhkan bahwa ini dapat menjadi titik balik hidupku.

Buah teguran adalah perubahan

Aku mulai membenahi hidupku. Aku tidak lagi bangun dengan malas-malasan. Aku bangun di pagi hari dan segera menyiapkan tokoku untuk melayani pembeli. Siang hari yang biasanya kuisi dengan main game atau menonton YouTube, sekarang kugunakan untuk mencatat stok-stok barang, menghitung penghasilan, juga menolong pelayanan publikasi di gerejaku. Sore hari yang biasanya kugunakan untuk bersepeda, kini kugunakan untuk menemani mamaku seraya aku melayani pembeli di toko. Dan, malam hari yang biasanya kuisi menonton tv, kini menjadi waktu pribadiku untuk bersaat teduh.

Aku percaya, peristiwa mamaku jatuh sakit bukan karena Tuhan ingin menghukumku, tetapi Tuhan mengasihi mamaku. Tuhan mengizinkan sakit itu terjadi agar aku dan mamaku dapat melihat kasih dan penyertaan-Nya yang sempurna, dan peristiwa ini juga jadi momen untukku menyadari bahwa cara hidupku yang bermalas-malasan adalah cara hidup yang tidak berkenan kepada Tuhan.

Tuhan mampu menolong kita keluar dari jerat kemalasan, tetapi kita sendirilah yang memutuskan untuk keluar dari jerat itu atau berkubang di dalamnya. Segala dorongan dari luar tidak akan banyak menolong bila kita tidak punya niatan yang sungguh.

Teman-teman yang terkasih yang membaca tulisan ini, apabila kalian sedang terjerat oleh rupa-rupa kemalasan, aku berdoa kiranya kamu punya tekad yang kuat untuk melepaskannya. Aku juga memohon doa darimu juga untuk kesembuhan mamaku.

“Hai anak-Ku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya. Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi” (Amsal 3:11-12).

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Menyikapi Fenomena Public Figure yang Mendadak Kristen

Ketika seorang tokoh publik menjadi Kristen, bagaimana seharusnya kita merespons? Apakah dia sungguh menjadi orang Kristen? Apakah dia sungguh-sungguh mengalami transformasi spiritual terlepas dari caranya menjalani hidup? Atau, apakah itu hanya akal-akalan dia saja untuk mendongkrak popularitas?