Posts

Dilema Circle Pertemanan: Antara yang Menyenangkan dan yang Membangun

Oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Hei!” Elva berteriak pelan sambil menepuk kedua tangannya di depan wajahku. Aku yang sedang terkantuk-kantuk langsung terkejut setengah mati.

“Udah ngantuk aja, neng, pagi-pagi gini! Tadi datang hampir telat pula.”

Aku hanya menguap menanggapinya, kemudian kembali berusaha konsentrasi dengan layar laptopku.

Elva geleng-geleng lalu berjalan melewati meja kerjaku. Beberapa saat kemudian dia kembali membawa dua gelas kopi dan meletakkan salah satunya di sebelah laptopku. Ia pun duduk di bangkunya. Tidak perlu waktu lama, aku langsung meraih gelas kopi itu.

“Aku cuma tidur dua jam tadi,” kataku dengan nada malas.

“Kok bisa? Emang semalam ngapain?”

“Ngerjain deadline.”

“Emang weekend ngapain? Kenapa baru kerjain tadi malam?”

Aku menghela napas. Enggan memberitahu, karena aku sudah tahu apa respons Elva nanti, namun akhirnya kujawab juga pertanyaannya.

“Sabtu kemarin aku staycation sama teman-teman. Baru pulang tadi malam.” Kujawab dengan nada yang kuusahakan santai.

“Sama circle-mu itu? Bukannya minggu lalu juga habis glamping bareng mereka?”

Aku tidak mengangguk atau menggeleng karena Elva pasti sudah tahu jelas jawabannya. Ya, aku memang pergi dengan mereka minggu lalu, dan minggu lalunya lagi. Namun aku memilih diam, enggan menjawab pertanyaannya.

“Bukannya kamu bilang ada jadwal pelayanan hari Minggu?” Elva menembakku pertanyaan lagi.

“Aku minta tolong tukeran sama yang lain.”

Elva diam mengamatiku yang menjawab pertanyaannya dengan santai. Sebenarnya, aku hanya berusaha untuk terlihat tidak terlalu merasa bersalah, sih. Namun, jawabanku itu malah membuat Elva tak berhenti menatapku. Lama-lama tak tahan juga aku dengan tatapannya.

Akhirnya kuhadapkan tubuhku ke depannya. “Ya gimana.. Kamu tahu aku segan banget buat nolak.” Elva masih dalam mode diamnya mengamatiku. “Mereka selalu pesan tempat duluan untuk aku, jadi nggak mungkin kan aku nggak ikutan?”

“Nad, seriously! Kamu benar-benar merasa tepat ada di circle itu?” Lagi-lagi pertanyaan itu yang keluar dari Elva. Pertanyaan yang entah sudah berapa kali kudengar darinya. Huft..

“Udahlah, Va. Kita udah berulang kali membahas hal ini.”

Absolutely! Kita udah berulang kali membahas hal ini, tapi kamu tidak pernah menjawab pertanyaanku itu kan?”

Aku hanya diam. Entah harus menjawab apa.

“Nad, aku memang bukan orang yang punya hak untuk melarangmu bergaul dengan siapa atau melakukan apapun.” Sekarang Elva sudah terlihat lebih tenang. Dia mulai menasihatiku dengan nada lembut. “Tapi, sebagai orang yang bertemu kamu setiap hari selama 5 tahun ini, dan yang menganggapmu sebagai sahabat, aku cuma pengen kamu pikirin ulang circle pertemananmu itu. Tanpa sama sekali bermaksud negatif, aku melihat sendiri apa saja hal yang selama ini sudah kamu abaikan dan kamu kesampingkan untuk menghabiskan waktu bersama mereka. Kita berdua tahu ini bukan soal pergi staycation atau pergi healing setiap Minggu atau bahkan setiap hari… Tapi Nad, kalau circle pertemananmu seperti itu dan malah membuatmu mengabaikan hal-hal penting lainnya, bahkan perasaanmu sendiri, bukankah seharusnya kita perlu memikirkan ulang tentang hal itu?”

Aku tercenung mencerna ucapan Elva. Samar-samar, kudengar seseorang memanggil Elva. Sebelum ia beranjak, ia menyempatkan diri berkata, “Aku tahu hal ini sudah sangat sering aku katakan, tapi tolong kamu pikirkan ulang ya..” Lalu Elva menyentuk bahuku dengan pelan dan memberi ucapan terakhir yang semakin menjadi perenunganku. “Apakah circle pertemananmu itu membuatmu merasa menjadi pribadi yang lebih baik, atau sebaliknya?”

Setelah kepergiannya, aku menghembuskan napas kasar. Pandanganku masih lurus ke layar laptop, tapi pikiranku bekerja keras. Ucapan Elva benar-benar membuatku tak bisa berkutik.

Sejujurnya, walau aku sering mengingkari ucapan Elva, aku tahu ucapannya benar. Elva berkali-kali memintaku untuk memikirkan ulang gaya pertemanan dalam circle itu, tapi aku selalu berusaha mencari pembenaran atau pembelaan karena aku suka berada di antara mereka. Menghabiskan waktu bersama mereka terasa menyenangkan, seolah hanya ada tawa dan kesenangan saat bersama mereka. Kami melakukan banyak hal seru, bahkan sampai sering menghabiskan uang dalam jumlah banyak. Ya, kami tidak memikirkan apa-apa, seolah-olah kami hidup hanya untuk hari ini.

Namun tidak kupungkiri, bersama mereka rasanya aku tidak melangkah kemana-mana. Aku sudah menyadari hal ini sejak beberapa waktu lalu, tapi rasanya sulit untuk keluar. Aku seperti terjebak dalam hubungan pertemanan kami yang terasa menyenangkan.

Kami saling menerima satu sama lain, namun kami tidak saling mendorong untuk maju. Kami saling mengabaikan kesalahan masing-masing, sehingga tidak berusaha memperbaiki kesalahan atau mengubah kebiasaan buruk kami. Kami juga jarang membicarakan masalah yang sedang dialami, sehingga kami tidak belajar untuk mencari jalan keluar.

Intinya, kami hanya fokus pada pertemuan dan obrolan yang menyenangkan, dan berusaha menjaga keutuhan kelompok ini dengan menghindari kemungkinan adanya konflik. Padahal aku tahu, konflik dalam hubungan pertemanan merupakan salah satu aspek yang dapat membangun satu dengan lainnya. Namun selama ini, aku dan circle pertemananku itu tidak pernah menyelesaikan konflik, justru cenderung menghindarinya. Dan aku sadar, selama 6 tahun berteman dengan mereka, ternyata kami tidak melangkah kemana-mana.

Sekali lagi aku menghela napas kasar. Kali ini sambil kupijat keningku.

“Keras amat helaan napasnya, kayak mau dipaksa nikah buat lunasin hutang aja.” Elva meledekku sambil terkekeh. Sejak kapan dia kembali ke mejanya?

Aku pura-pura melotot, namun hal itu membuat Elva semakin tertawa. Lalu kupasang wajah serius dan kutatap matanya, seolah dari sana aku bisa mendapatkan kepercayaan diri untuk mengambil keputusan yang sekarang ada di benakku.

“Va, kamu bantu aku ya…” Aku memulai dengan penuh harap. Elva mulai memfokuskan dirinya padaku dengan serius. “Aku rasa ucapanmu benar. Aku tidak merasa menjadi lebih baik dalam circle pertemananku itu, justru aku merasa apa yang sudah baik dalam diriku menjadi kendor… Aku mau coba untuk menjaga batas pertemanan dengan mereka. Aku mau belajar lebih tegas terhadap diriku sendiri. Kamu mau kan bantu dan ingetin aku?”

Setelah beberapa detik hanya menatapku, Elva tersenyum. “Tentu, Nadya. Tentu. Pelan-pelan aja.. Toh kamu bukan menghilang dan memutuskan hubungan dengan mereka, kan.. Kamu tetap berteman, hanya saja kali ini kamu akan belajar tegas dalam hubungan itu.” Lalu Elva menepuk bahuku dengan lembut. “Aku bangga sama keputusanmu. Apa yang pengen kamu lakuin itu pasti nggak akan mudah, Nad. Tapi, aku akan mendukungmu.”

Aku tersenyum tulus. Sungguh bersyukur memiliki Elva sebagai teman yang peduli akan kebaikanku dan berani menegurku dengan kasih. Dan sekarang aku sadar, betapa besarnya pengaruh seorang teman dalam menentukan akan melangkah kemana aku nanti.

“Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang” (Amsal 13:20).

Tipe Teman yang Kita Semua Inginkan Hadir dalam Hidup [dan tips dari Alkitab]

Kisah-kisah pertemanan adalah kisah yang turut hadir dalam Alkitab.

Pada banyak kesempatan, kata ‘teman’ digunakan bersamaan dengan kata ‘saudara’ untuk menunjukkan kedekatan. Bahkan, Tuhan sendiri disebut sebagai teman bagi Abraham, Musa, Yakub, dan orang-orang yang mengikut-Nya (Mazmur 25:14 terjemahan ESV).

Kita semua ingin punya teman yang baik, dan kita pun sudah selayaknya dan seharusnya jadi teman yang baik pula.

Inilah 5 tokoh Alkitab yang dari mereka kita bisa belajar untuk menjadi kawan yang baik.


Artspace ini diterjemahkan dari YMI.Today dan didesain oleh @merrakisstart

Ketika Tak Diajak Jalan-jalan Membuatku Insecure

Oleh Madeleine Grace
Artikel asli dalam bahasa Inggris: It Sucks To Not Be Invited

Waktu sudah menunjukkan jam 1 dini hari dan aku masih belum tidur. Hatiku dongkol dan pikiranku kacau.

Seharusnya aku tidak merasa seperti ini. Beberapa hari belakangan aku meluangkan waktu bersama orang-orang yang kukasihi. Tapi, ketika aku melihat Instagram Story mereka pergi dengan orang lain dan aku tidak diajak, rasanya menyakitkan!

Aku merasa dikucilkan, dan aku tahu bukan aku sendiri yang merasakan hal seperti ini. Ketika aku bercerita tentang perasaanku kepada orang-orang di sekitarku, mereka pun mengutarakan yang sama: ditolak, dikucilkan, dilupakan, dan diasingkan.

Perasaan-perasaan negatif itu kudengar dari berbagai orang dalam komunitasku. Bahkan dari orang-orang yang kuanggap “keren, pusat perhatian di grup mereka”, sehingga seharusnya mereka tak pernah merasa dikucilkan.

Tapi kenyataannya, ketika kita menjadi bagian dari komunitas yang besar, kita tidak bisa selalu mengajak semua orang di semua agenda kita. Dan, aku mengerti itu. Ada ruang yang terbatas. Bujet yang pas-pasan. Kita pun tak tahu pergumulan setiap orang.

Kadang, aku jugalah yang mungkin membuat orang lain merasa terkucil. Aku mengunggah Instagram Story karena aku ingin pansos ke teman-temanku betapa asyiknya hidupku. Aku mau mereka tahu kalau aku bahagia dengan hidupku, dan aku tidak (selalu) jadi orang yang introver, duduk sendirian di rumah sambil mengenakan piyama. Dan, sejujurnya, aku ingin menunjukkan ke orang-orang yang tidak mengajakku untuk tahu kalau “aku bisa kok tanpa kalian”, “acaraku lebih asyik daripada acara kalian.”

Bagi beberapa di antara kita, bulan-bulan belakangan ini mungkin semakin membuat kita merasa sepi dan terkucil. Kita dibatasi oleh social distancing, kita bimbang memtusukan siapa saja yang bisa kita undang untuk makan tanpa menyinggung yang tak diundang. Sulit rasanya.

Baru-baru ini, kutumpahkan semua kesedihan dan frustrasiku kepada teman dekatku. “Kenapa kita tidak bisa jadi komunitas yang merangkul semua orang?”, “Bagaimana kita bisa mengubah budaya eksklusivitas ini?” Kami berbicara berjam-jam tentang perubahan apa yang bisa kami lakukan.

Tapi, kami tak mendapat jawabannya. Aku sedang dalam perjalanan untuk belajar seperti apakah komunitas yang nyata itu? Dan, bagaimana membawa Surga ke dalam bumi. Namun, aku mulai percaya bahwa adalah mungkin untuk menciptakan budaya inklusivitas dan komunitas yang sehat; untuk memastikan kita saling membangun satu sama lain, bukannya saling menjatuhkan.

Seiring aku membaca firman Tuhan, aku semakin melihat bahwa Yesus menunjukkan pada kita bagaimana berkomunitas dengan baik. Yesus tidak berteman dekat dengan semua orang, dan (mungkin) tidak mengagendakan duduk mengobrol satu-satu dengan semua pengikut-Nya. Yesus memiliki 12 murid, beberapa pengikut lainnya, dan merekalah orang-orang yang menjadi tujuan Yesus—komunitas-Nya, orang-orang yang kepada mereka Dia membagikan makanan dan berdoa bersama.

Tetapi, melampaui lingkaran orang-orang terdekat-Nya, Yesus tidak menghindari atau menolak orang lain karena mereka bukan dari lingkungan dekat-Nya, atau karena mereka datang di saat yang kurang tepat. Yesus tidak mengucilkan siapa pun hanya karena Dia mendapati orang itu mengganggu atau cuma bikin repot saja. Entah mereka seorang penderita kusta, pelacur, prajurit Romawi, atau bahkan anak-anak kecil, Yesus tidak menolak mereka yang datang pada-Nya. Seperti kisah Zakheus si pemungut cukai dalam Lukas 19:1-10, Yesus menjangkau Zakheus, bertandang ke rumahnya dan makan bersamanya.

Melalui teladan ini, Yesus juga mengajari murid-murid-Nya tentang bagaimana hidup berkomunitas dengan benar, dan kita bisa melihatnya dalam Kisah Para Rasul 2:46-47. Dalam bacaan ini, kita mendapati orang percaya mula-mula rutin bertemu, dan mereka bertumbuh setiap harinya:

“Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati.”

Bagaimana kita bisa meneladani cara berkomunitas dalam Kisah Para Rasul pasal kedua itu dalam dunia kita sekarang? Kita setuju inklusivitas adalah konsep yang bagus, tapi bagaimana menerapkannya? Ada beberapa cara yang kupikir dapat kita lakukan. Bersama-sama kita dapat:

1. Berpikir melampaui lingkaran orang-orang terdekat kita (Roma 12:16)

Tidak ada satu pun dari kita berpikir kalau kitalah penyebab masalah atau sosok yang dihindari sampai akhirnya kita tidak dilibatkan lagi dalam acara-acara teman kita. Sungguh luar biasa untuk memiliki kelompok kecil yang berisi teman-teman dekat, tapi marilah kita lihat lebih jauh dari lingkaran kecil itu, untuk menemukan orang-orang lain yang mungkin terpinggirkan. Siapa yang bisa kita jangkau? Adalah seseorang yang ingin kamu ajak untuk meluangkan waktu bersama?

2. Menguji movitasi kita

Ujilah motivasi hati kita sebelum kita mengunggah foto-foto nongkrong bersama atau menceritakan pengalaman tentang acara akhir pekan dengan orang-orang yang tidak kita ajak (Filipi 2:3-4). Artinya bukan berarti kita perlu merahasiakan acara-acara kita, tapi adalah baik untuk peka kepada siapa dan untuk apa kita membagikan pengalaman kita. Jangan-jangan tujuan kita hanyalah ingin pamer dan sombong demi status sosial.

3. Bersiap sedialah

Bersiap sedialah untuk berkata ya (Roma 12:13). Ya, teman kita bisa mengajak teman lainnya. Ya, saudari mereka bisa ikut. Ya, pasangan mereka boleh datang. Jika seseorang lain ingin bergabung dan kita punya kapasitas untuk mengundang orang lebih, kita bisa berkata “ya”.

4. Jadilah penghubung (Efesus 4:2-3)

Tidak mungkin untuk menjadi teman terbaik bagi tiap orang baru yang kita temui di komunitas kita. Tapi, yang bisa kita lakukan adalah menjadi jembatan agar dia dapat mengenal orang-orang lainnya.

5. Buanglah sikap mengucilkan

Marilah saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih (Ibrani 10:24). Kita bisa tanyakan ke teman kita kenapa si A atau si B tidak diajak, atau dengan lembut merekomendasikan agar mereka ikut diajak. Entah pengucilan itu terjadi secara sengaja atau tidak sengaja, kita bisa menolong teman kita untuk memikirkan juga orang lain dalam komunitas kita.

6. Tunjukkan kasih kepada orang lain

Ketika kita sendiri yang tidak diajak, tetaplah tunjukkan kasih kepada mereka (Roma 12:17-18). Aku mendapati inilah yang paling sulit kulakukan, tapi aku belajar inilah yang sangat penting. Jika kita tetap berpikir positif dan bersikap baik meskipun kita tidak diajak, kita tidak hanya menghindari diri kita dari kepahitan dan rasa insecure, tetapi kita sedang membangun komunitas yang memahami bahwa tidak semua orang dapat diundang dalam segala hal, dan itu tidaklah masalah.

Aku ingin mengenali betul pikiran-pikiran negatif yang menyelubungiku dan agenda-agenda terselubung dalam hatiku; apakah aku orang yang ingin mencari muka atau mengejar kasih dan integritas.

Aku ingin melakukan segalanya yang kubisa untuk menjadikan komunitasku sebagai tempat di mana ketakutan akan ditolak dan dikucilkan tidak lagi menghantui. Komunitas yang dibangun atas kepercayaan dan kasih, bukan di atas perpecahan atau membanding-bandingkan diri, kepahitan, atau perasaan insecure.

Ayo jadilah orang-orang yang sibuk untuk menyambut hangat orang lain dan memberi dengan murah hati, supaya kita tidak lagi terlalu memusingkan akan apa yang orang-orang akan lakukan jika kita tak berada bersama mereka.

Jadilah orang yang teguh dan tidak mudah berpikir negatif.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Aku Sakit Bukan Berarti Tuhan Tidak Mengasihiku

Hampir saja aku kecewa karena Tuhan memberiku penyakit, tetapi aku masih memiliki keyakinan bahwa Tuhan pasti tetap mengasihiku dan ingin mengajarkanku sesuatu melalui penyakit Sindrom Nefrotik yang kuderita.

Bagaimana Usia 20-an Mengajariku Cara Pandang Baru untuk Menjalin Relasi

Oleh Winnie Little, Selandia Baru
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What My 20s taught Me About Relationships

Ketika aku memasuki usia 21 tahun—angka yang dianggap sebagai tahun pencapaian di banyak budaya—aku merasa yakin kalau aku sudah punya cukup kemampuan dan kedewasaan untuk menjalani kehidupan. Aku tinggal bersama dua kawan dekatku di kota yang indah. Kami menghabiskan kebanyakan waktu kami untuk belajar, mengobrol, dan jalan-jalan bareng. Sebentar lagi aku akan melanjutkan studi di program pasca sarjana. Masa depan yang cerah menanti di depanku.

Aku pun pulang ke kota asalku dan melanjutkan studi pasca sarjanaku di sana. Namun, aku jadi berpisah dengan teman-temanku dekatku di perantauan dulu. Dan, yang menyebalkan adalah: setelah bertahun-tahun hidup mandiri, aku merasa benci tinggal di rumah. Dengan segera jadwal kuliah yang super padat menghancurkan kepercayaan diri yang telah kubangun. Masalah-masalah datang silih berganti: kekhawatiran akan keuanganku, kesepian, dan relasiku dengan keluargaku yang tegang. Masalah-masalah ini terus ada sampai hampir sepuluh tahun. Kendati ada masa-masa sulit yang kulalui, ada pula beberapa pelajaran berharga yang mengubah hidupku yang bisa kupelajari.

Inilah beberapa pelajaran tersebut:

1. Bangun relasimu

Jelang akhir kuliahku, aku tinggal bersama sembilan mahasiswi lain. Satu di antara mereka sangat ramah dan selalu mengobrol denganku setiap kali aku pulang kuliah malam. Kami sama-sama Kristen dan punya selera humor yang sama pula. Aku menyayangi dia dan bersyukur karena kami bisa jadi kawan karib. Namun, aku sering khawatir setiap kali mulai mengerjakan tesis sehingga tiap pembicaraan singkat dengan temanku itu selalu terasa menyenangkan. Aku berusaha terhubung dengannya di liburan semesteran, tapi seringkali aku menunda untuk menghubunginya sampai akhirnya proses kuliah berjalan lagi. Aku terlanjur jadi sibuk lagi.

Di musim panas, aku mendapat kabar bahwa temanku itu telah meninggal dunia. Aku kaget setengah mati ketika menyadari aku tak akan lagi bisa berjumpa dengannya, berdoa bersama, atau sekadar mengirimkan kata-kata penguatan buatnya. Aku dipenuhi penyesalan, seharusnya aku bisa memanfaatkan libur di jeda semester untuk bertemu dan membangun relasi dengannya.

Dalam 1 Petrus 4:7-8, Petrus menulis: “Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa. Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.” Meski aku sudah tahu ayat ini, aku sekarang lebih menyadari betapa keluarga, teman-teman, dan rekan sekerja kita di bumi punya waktu yang terbatas untuk bersama-sama dengan kita. Oleh karenanya, aku secara aktif berusaha mencari kesempatan untuk berbuat baik pada mereka. Aku berusaha mengingat tanggal-tanggal penting. Dan, walau otakku pelupa, Google Calendar tidak. Aku meluangkan waktuku bersama teman-teman yang mengajakku untuk mengobrol bersama. Meskipun dulu aku suka menolak jika diajak bertemu karena aku tak suka aktivitas yang dilakukan, sekarang aku melihat ajakan itu sebagai waktu-waktu berharga yang bisa kunikmati bersama.

2. Jangan mudah tersinggung

Di awal-awal usia 20-anku, aku sering mengeluhkan para staf pelayan yang sering mengecewakanku. CS dari maskapai penerbangan yang kutelepon nada suaranya menjengkelkan. Penata rias yang produknya kubeli menolakku untuk menukar produknya. Operator internetku tak bisa menjelaskan kenapa aku diminta membayar padahal koneksiku saja terputus.

Aku pernah marah karena aku menganggap orang-orang yang kuhubungi tersebut kasar dan tidak solutif. Perbuatan mereka menunjukkan sikap tak jujur dan tak peduli. Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengomel ke teman-temanku tentang orang-orang tersebut.

Tapi setelah aku bekerja di rumah sakit selama beberapa tahun, aku mengubah caraku menghadapi marah dan rasa tersinggung. Dalam pekerjaanku, aku melihat bagaimana penyakit fisik sering pula membawa ketakutan, kesakitan, ketergantungan, dan beban finansial yang berat bagi pasien dan keluarga mereka. Aku melihat bagaimana orang-orang seperti ini tetap harus menjalani rutinitas, bekerja, dan berinteraksi dengan dunia meskipun mereka tengah mengalami beban berat dan kepedihan hati. Aku menyadari bahwa orang-orang yang bersikap kasar kepadaku mungkin saja tengah menghadapi penderitaan yang tak dapat kupahami.

Alkitab secara jelas menegaskan agar kita berjalan dalam kasih dan tidak mudah marah (1 Korintus 13:5). Kita juga diminta untuk sabar dan mengampuni (Kolose 3:13). Hari-hari ini, ketika tindakan seseorang melukaiku, aku akan berhenti sejenak dan berpikir positif, “Mungkin mereka tak bermaksud begitu.” atau, “Mungkin mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Berpikir positif tersebut menolongku untuk mempraktikkan belas kasih, yang adalah penawar yang ampuh atas rasa marah. Hidup jadi lebih menyenangkan tanpa memendam amarah dan rasa sakit hati.

3. Belajar untuk berkata “tidak”

Aku termasuk kategori people-pleaser, ingin menyenangkan semua orang. Aku takut kalau menolak ajakan atau permohonan akan membuat orang lain berpikir aku malas dan egois, jadi aku pun mengiyakan hampir semuanya. Aku pernah menjadi relawan di banyak pelayanan gereja sampai-sampai aku merasa tak ada lagi waktu untuk beristirahat. Aku memberi uang lebih besar daripada pendapatanku untuk lembaga-lembaga amal. Aku jarang mengungkapkan pendapatku di kelompok. Di satu sisi, aku mengambil pekerjaan paruh waktu di samping pekerjaan utamaku karena aku tidak ingin menyinggung orang lain dengan menolak ajakan untuk memberi. Hari-hariku jadi terasa mencekik dan membosankan karena semua waktu luangku dihabiskan untuk melakukan aktivitas yang menguras tenaga.

1 Korintus 12 memberi tahu kita bahwa sebagai anggota tubuh Kristus, setiap kita punya karunia yang berbeda. Paulus menekankan perbedaan-perbedaan ini dengan memberi analogi bagian-bagian tubuh kita. “Andaikata tubuh seluruhnya adalah mata, di manakah pendengaran? Andaikata seluruhnya adalah telinga, di manakah penciuman?” Dengan kata lain, Tuhan menciptakan kita dengan karunia tertentu untuk suatu tujuan. Rencana Tuhan adalah setiap karunia yang diberikan-Nya pada kita bisa digunakan untuk “kebaikan bersama” (1 Korintus 12:7). Aku dapat melayani seturut karunia yang Tuhan sudah berikan. Berusaha menjadi orang lain dan mengingkari diri sendiri tidak akan memberi kebaikan bagi orang lain.

Sekarang aku belajar untuk menolak dengan halus ketika diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak tepat buatku. Melalui pertolongan dari seorang konselor, aku belajar pula untuk membuat keputusan yang lebih baik: Apakah aku punya kemampuan, semangat, atau peran tertentu? Apakah ada komitmen lain yang telah kubuat? Aku juga belajar untuk menunda menjawab suatu keputusan supaya aku punya waktu lebih untuk memikirkannya.

4. Pikirkan ulang caramu menolong orang lain

Seperti poin sebelumnya, aku sering berusaha untuk menyenangkan orang lain. Aku berusaha untuk memperbaiki masalah orang lain. Kupikir aku sedang melakukan tugasku sebagai orang Kristen yang dipanggil untuk saling menanggung beban (Galatia 6:2).

Suatu ketika, seorang temanku curhat tentang relasi dengan pacarnya yang membuat dia menderita. Kata-kata dan perbuatan pacarnya itu melukai hatinya dan membuat dia jadi rendah diri. Aku menyarankan dia untuk ikut konseling, memberinya daftar artikel bertopik relasi, dan berkata lebih baik jika dia putus saja. Tapi, betapa stresnya aku ketika semua saran itu tidak dilakukan dan dia selalu kembali curhat dengan masalah yang sama.

Momen itu membuatku menyadari bahwa aku gagal untuk membedakan apakah temanku itu butuh sekadar nasihat atau pertolongan. Aku tak pernah menyadari bahwa Paulus mengimbangi nasihatnya untuk saling menanggung beban dengan pernyataan lain dari Galatia 6:5, “Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri.” Dengan naifnya aku berasumsi bahwa aku bisa membuat masalah yang rumit hilang dalam sekejap, padahal masalah teman-temanku adalah tanggung jawab dari pilihan yang telah mereka buat. Dan, jika yang sejatinya diinginkan oleh temanku hanyalah seseorang yang mau mendengarkan ceritanya, mungkin nasihat-nasihat yang kuberikan terasa sangat merendahkan mereka.

Ada banyak cara untuk saling menanggung beban orang lain tanpa menjadikan masalah mereka sebagai masalah kita pribadi. Kata-kata yang baik dapat menggembirakan hati (Amsal 12:25). Kita juga dapat menangis dengan mereka yang menangis (Roma 12:15). Hari-hari ini, aku belajar untuk mendengar dengan seksama dan bertanya secara spesifik apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Aku berdoa agar mereka dikuatkan; dan aku menahan lidahku untuk tidak berkomentar atas masalah mereka. Aku belajar pula untuk sabar saat mendengar, dan berdamai dengan ketidakberdayaanku untuk mengatasi semua masalah teman-temanku. Tuhan sanggup dan mampu bekerja seturut waktu-Nya.

Itulah pembelajaran yang kudapat di usia 20-anku. Secara garis besar, aku telah belajar untuk bersukacita atas relasiku dengan orang-orang di sekitarku, lebih bermurah hati, menanggapi dengan sukacita, dan menyadari keterbatasanku. Kuharap tulisan ini menolongmu untuk menapaki jalan hidupmu di depan.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Bersukacita Karena Persekutuan Injil

Sukacita terbesar dalam melayani seseorang adalah bukan hanya ketika mereka mengetahui tentang Tuhan, tetapi ketika melihat mereka mengalami pertumbuhan di dalam pengenalan dan kasih mereka kepada Tuhan.

Ketika Kerinduan untuk Memperoleh Kasih Sayang Menguasai Diriku

Oleh Rachel, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 为什么我喜欢“被爱”的感觉?(有声中文

Aku tumbuh besar dalam sebuah keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Aku tidak perlu berusaha apa-apa untuk mendapatkan kasih dari mereka.

Namun, aku mendapati diriku mudah cemburu pada perhatian dari teman-teman dekatku. Setiap kali mereka lebih perhatian kepada teman-teman yang lain, aku merasakan kekecewaan yang rasanya sulit untuk dijelaskan. Ketika mereka lupa mengajakku untuk bertemu, aku merasa sedih, diabaikan, dan berpikir bahwa mereka tidak mengasihiku.

Sebagai wanita single, aku juga merindukan hadirnya seorang pasangan yang mengasihiku. Dalam masa-masa sedihku, aku sering berharap memiliki seseorang yang mampu menguatkanku, menenangkanku, dan mendukungku. Meskipun aku tidak secara aktif mencari seseorang yang seperti itu, aku berharap dalam hatiku untuk memiliki seseorang yang spesial untuk menghabiskan waktu bersama.

Aku juga selalu menginginkan orang-orang untuk berempati terhadapku di masa-masa sulit. Ketika aku bergumul dengan studiku, aku ingin dikuatkan dan didukung oleh teman-temanku. Ketika aku menghadapi masalah dalam relasiku, aku ingin ada seorang teman yang bersedia menasihati dan menolongku.

Aku ingin menjadi seseorang yang diprioritaskan. Aku ingin dianggap berharga dan dikasihi. Namun, ketika aku memasang ekspektasi tertentu terhadap teman-temanku, pada akhirnya yang kudapatkan adalah kekecewaan. Mungkin kekecewaaan itu berasal dari ekspektasiku yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Hasilnya, aku malah merasa tidak bahagia dalam misiku mendapatkan kasih dan penerimaan dari teman-temanku.

Ketika aku menyadari bahwa berusaha merasa dikasihi membuatku semakin merasa tidak puas dan bersukacita, aku memutuskan untuk mengubah caraku menghadapi keinginanku. Meskipun aku ingin orang lain mengasihiku dan peduli akan perasaanku, aku belajar untuk melakukan hal yang serupa pada mereka. Keinginanku mendorongku untuk mengerti orang-orang di sekitarku—yang sama-sama memiliki keinginan untuk dikasihi. Sebagai ganti dari berusaha untuk dikasihi, aku perlu mengasihi dan berempati dengan orang-orang lain dalam kelemahan dan penderitaan mereka.

Jadi setiap kali keinginan itu muncul, aku akan menanyakan diriku pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Apakah kasih Tuhan memuaskanku?

“Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yohanes 4:9-10).

Apakah aku melupakan kasih yang dilimpahkan kepadaku oleh Yesus Kristus, Imam Besar yang Agung? Aku dibenarkan karena kasih penebusan-Nya di kayu salib. Apakah kasih Tuhan tidak bisa mengisi hatiku sepenuhnya? Atau apakah aku belum benar-benar merefleksikan dan menerima kebenaran ini?

Kasih dari teman maupun pasangan tidak dapat mengisi kekosongan dalamku. Lagipula, mereka hanya manusia yang tidak “sempurna”, yang perlu dikasihi dan diperhatikan, sama sepertiku. Hanya kasih Allah yang mampu memuaskan kita. Aku sudah dikasihi oleh Kasih yang sempurna! Aku tidak perlu mengkhawatirkan apakah aku dikasihi. Justru aku harus mengasihi orang-orang di sekitarku—dengan kasih yang telah dicurahkan kepadaku. Ketika aku sampai pada kesimpulan ini, hatiku dipenuhi dengan rasa syukur yang telah dibaharui.

Sejak saat itu, aku belajar untuk berinisiatif memperhatikan orang-orang di sekitarku. Kita semua, tanpa terkecuali, suatu saat akan berhadapan dengan kesulitan dan keletihan dalam perjalanan hidup kita. Memberikan penguatan dan bantuan untuk teman-temanku pada masa-masa itu dapat memberikan dampak yang besar dalam hidup mereka.

2. Apakah aku sedang mengejar sesuatu yang tidak sesuai dengan identitasku?

Apakah momen ketika temanku melupakanku benar-benar hal penting? Apakah aku harus tersinggung ketika aku bukanlah prioritas utama teman-temanku? Aku mengambil waktu untuk merefleksikan pertanyaan-pertanyaan ini, dan diingatkan bahwa identitasku adalah seorang anak Tuhan, bukan hanya seorang teman yang populer.

Roma 8:16-17 berkata, “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.”

Apa yang sedang kukejar seharusnya selaras dengan identitasku. Sebagai ahli waris bersama Kristus, aku memiliki akses pada sebuah kasih yang bisa mengisi diriku dengan sukacita yang lebih besar daripada yang dapat diberikan oleh siapapun. Ketika aku lebih tergoda untuk mengejar kasih teman-temanku dibandingkan mencari kenyamanan dari Tuhan, aku harus mengatakan pada diriku bahwa aku, yang pertama dan terutama, adalah seorang anak Tuhan.

3. Apakah aku membiarkan perasaan insecure menguasai diriku?

Mungkin salah satu alasan aku bergumul dengan pertanyaan ini adalah karena aku orang yang rendah diri sejak kecil. Aku selalu berpikir bahwa aku tidak cantik maupun pintar, dan aku merasa orang lain sepertinya tidak suka padaku. Karena itu, mendapatkan penerimaan dari teman-teman dan bahkan pasangan menjadi hal yang sangat penting bagiku.

Namun, kasih Tuhan telah menunjukkanku nilai diriku di dalam Kristus. Aku telah dibeli dengan harga yang mahal (1 Korintus 6:20). Yesus Kristus menderita di kayu salib agar aku dibenarkan oleh iman. Tuhan menciptakanku untuk memuliakan Dia, lalu bagaimana mungkin aku memandang rendah diriku sendiri?

Roma 8:38-39 berkata, “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”

Perasaan rendah diri, insecure, dan ketakutan-ketakutanku tidak bisa memisahkan diriku dari kasih Tuhan! Kasih ini hanya datang dari Yesus Kristus, dan tidak dapat ditemukan dalam teman-teman, keluarga, maupun pasangan kita.

Aku tidak dapat menahan diriku untuk tidak tersenyum seiring aku merenungkan dalam hati jawaban-jawaban dari pertanyaan di atas, karena aku tahu aku tidak lagi perlu merindukan perasaan dikasihi ketika aku memiliki kasih yang terbesar. Dan karena aku adalah seorang anak Tuhan, aku memiliki hak istimewa untuk menolong orang lain mengisi kerinduannya untuk dikasihi dengan kasih Kristus.

Ada masa-masa di mana aku kembali pada pola pikir lamaku dan merasa diabaikan oleh teman-temanku. Namun, mengingat kebenaran Tuhan tentang siapa diriku membantuku mengarahkan kembali tindakanku untuk mengasihi orang lain dan menunjukkan kasih Kristus pada mereka.

1 Yohanes 4:12 berkata, “Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.”

Baca Juga:

Bukan Romantisme yang Membuat Relasi Kami Bertahan

Salah satu hal yang aku syukuri dalam hidupku saat ini adalah bisa mengenalnya. Tapi, dia bukanlah seorang pria yang romantis. Dia tidak memberiku bunga, membelikanku barang yang kusuka ataupun memposting fotoku di media sosialnya. Lalu, apa yang membuat kami bertahan?

Ketika Tuhan Mengajarkanku untuk Terlebih Dahulu Meminta Maaf

Oleh Gracella Sofia Mingkid, Surabaya

Ketika sedang dalam perjalanan pulang dari luar kota, aku bersama teman-temanku membahas sebuah topik perbincangan. Saat obrolan berlangsung, aku sempat tidak berkonsentrasi dan memberikan respons yang tidak sesuai dengan perbincangan. Akibatnya, beberapa percakapan jadi tidak nyambung. Saat itu, salah satu teman dekatku melontarkan kata-kata yang cukup menohok buatku dan dia melakukannya di depan teman-temanku yang lain. Akibatnya, aku merasa malu tak karuan dan kesal. Apalagi karena aku tipe orang yang melankolis, kata-kata temanku itu langsung membuatku kepikiran.

Aku menunjukkan rasa kesalku dengan berdiam. Aku sengaja melakukannya supaya temanku itu sadar bahwa aku tidak suka jika dia berkata seperti itu. Teman-temanku yang lain tidak menyadari perubahan sikapku, namun beberapa menit berselang, teman yang menyinggungku itu tampaknya mulai sadar kalau ada yang tidak biasa dari sikapku. Dia pun mencoba memulai pembicaraan denganku. Tapi, aku tidak menanggapinya dengan hangat. Sampai kami kembali ke kediaman masing-masing pun sikapku masih dingin terhadapnya. Bahkan di grup chat juga aku tidak begitu menanggapi setiap kicauannya. Aku seolah tidak menganggap dia ada. Hal ini terus berlangsung selama beberapa hari, dan aku hampir melupakannya karena kami tak bertemu.

Beberapa hari kemudian, seusai latihan di gereja, seorang rekanku bercerita tentang apa yang dia alami. Seorang rekan kerjanya melontarkan kata-kata kasar, bahkan juga kutukan terhadapnya, padahal masalahnya hanya sederhana. Rekan gerejaku ini bertanya mengapa harga barang yang dijual oleh rekan kerjanya itu malah lebih mahal dibandingkan yang lain. Menurutnya, pertanyaan ini wajar ditanyakan oleh seorang calon konsumen kepada penjualnya. Namun, alih-alih mendapatkan jawaban yang baik, respons yang diterimanya malah kata-kata kasar, bahkan kutukan. Rekan gerejaku itu bercerita bahwa secara manusia dia tidak bisa menerima perlakuan ini. Rasa-rasanya dia ingin membalas kata-kata itu. Tapi, dia berusaha menahan diri.

Kasih Tuhan menahannya untuk tidak membalas kata-kata tersebut. Dia menahan diri sejenak dan malah berdoa untuk rekannya itu. Tak hanya itu, keesokan harinya, rekan gerejaku itu juga menemui rekannya, berusaha meminta penjelasan mengapa dia berkata-kata kasar, dan akhirnya meminta maaf terlebih dulu. Semua proses itu diceritakan kepadaku sambil dia terus mengucap syukur pada Tuhan karena dia tak sampai membalas kata-kata kasar dan kutukan itu dengan emosi.

Aku mendengarkan rekanku itu dengan saksama, kemudian aku teringat akan kondisiku sendiri. Hmmm. Kejadian yang dialami rekanku ini mirip-mirip dengan apa yang kualami—sama-sama mendapatkan perlakuan tidak baik dari teman. Tapi, jika rekanku berusaha mencari solusi dan berdamai, aku malah mendiamkan teman dekatku yang telah menyinggungku itu. Sebenarnya maksud dari diamku itu adalah supaya dia menyadari sendiri kesalahannya dan menyesal. Aku sendiri memang tidak ada niat untuk membalas kata-katanya secara verbal. Tapi, setelah kupikir-pikir, dengan mendiamkannya dan tidak menganggap kehadirannya, aku sama saja sudah membalas dendam, bahkan seharusnya hal itu lebih kejam.

Cerita dari rekan gerejaku membuatku merasa ditegur. Aku sadar apa yang kulakukan itu salah. Aku pun menceritakan kondisiku kepada rekan gerejaku. Dia menyarankanku agar aku minta maaf pada temanku karena aku sudah mendiamkan dan menganggapnya tidak ada selama berhari-hari. Lebih baik aku menyelesaikan masalah ini secepatnya.

Teladan yang diperbuat oleh rekan gerejaku itu telah menginspirasiku. Dengan lapang dada dia sudi meminta maaf terlebih dulu walaupun sejatinya dia tidak bersalah. Alih-alih merasa sakit hati, yang dia rasakan justru sukacita dan damai sejahtera. Lalu, pada akhirnya relasi pertemanan mereka pun kembali terjalin karena masalah yang bisa diselesaikan dengan baik. Butuh kebesaran hati memang untuk berani melakukan hal ini.

Aku merasa bahwa pilihanku untuk berdiam diri bukanlah pilihan yang paling tepat. Tapi, di sisi lain aku juga tidak mau mengorbankan harga diriku untuk meminta maaf duluan. Butuh proses untukku mau menundukkan rasa egoisku.

Setelah sharing itu berakhir, aku seolah disadarkan oleh Tuhan dengan perlahan. Kalau aku hanya diam, aku sama saja sedang membiarkan benih kebencian untuk tumbuh secara perlahan. Dan lagi, teman yang menyinggungku adalah teman dekatku. Masakan aku senang membiarkannya merasa menyesal berkepanjangan? Kalau begitu, aku sama saja tidak mengasihi dia.

Akhirnya, aku memantapkan hatiku untuk meminta maaf terlebih dahulu melalui chat. Sebelumnya, aku berdoa, memohon supaya Tuhan memberikan keberanian dan hikmat untukku. Di dalam pesanku, aku meminta maaf apabila belakangan ini aku sering tidak menganggapnya. Aku juga bilang kalau aku merasa kesal karena kata-katanya yang menohokku dalam perjalanan itu. Secara rinci, kucoba menjelaskan semuanya, dan pada akhirnya dia pun meminta maaf juga kepadaku. Dia mengatakan bahwa dirinya menyesal telah mengucapkan kata-kata yang demikian. Bahkan, dia juga memintaku untuk tidak segan menegurnya jika kata-katanya salah.

Selepas chatting itu aku benar-benar merasa lega. Saat itu, tanganku lemas dan aku hanya bisa duduk sambil air mata perlahan mengalir. Aku menangis bukan karena menyesali tindakanku, tapi aku bersyukur karena Tuhan mengajarkanku satu hal, yakni inisiatif. Aku harus berani mengambil tindakan yang tepat, tidak memupuk keegoisanku, meskipun itu tampaknya seperti aku harus merendahkan harga diriku.

Jika aku menilik diriku lebih dalam, sebenarnya aku bukanlah orang yang mudah melepaskan rasa ego dan gengsiku. Ketika aku bisa meminta maaf duluan, aku percaya semua ini adalah karya dari Roh Kudus yang melembutkan hatiku supaya relasiku dengan temanku itu dapat pulih. Aku juga percaya bahwa bukan suatu kebetulan apabila rekan gerejaku mengalami hal yang mirip denganku terlebih dahulu. Aku yakin bahwa inilah salah satu maksud Tuhan supaya aku bisa belajar darinya.

Berkaca dari pengalamanku dan cerita rekan gerejaku, sebenarnya kami punya dua pilihan saat itu: membiarkan masalah, memupuk rasa sakit hati serta mengasihani diri, atau melangkah maju dan memulihkan relasi. Di sinilah pelajaran yang Tuhan Yesus ajarkan untukku.

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8). Allah adalah Allah yang bertakhta dan berkuasa, dan tentunya tidak bersalah apalagi memiliki dosa. Namun, Dia berinisiatif untuk datang ke dunia dengan maksud memulihkan relasi manusia dengan Bapa yang telah rusak karena dosa. Karena inisiatif inilah, kita bisa hidup dalam anugerah-Nya setiap hari. Bukan karena kebaikan kita, tetapi karena Allah yang mengasihi kita dan berinisiatif memulihkan relasi yang rusak.

Apa yang menjadi respons kita atas inisiatif Allah tersebut? Tinggal diam dan memupuk dosa, ataukah datang dan memilih hidup baru bagi Allah? Jika kita memilih pilihan yang kedua, biarlah itu juga terpancar dari bagaimana cara kita menanggapi setiap keadaan di sekitar kita.

“Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Matius 5:23-24).

Baca Juga:

5 Alasan Mengapa Reformasi Protestan Masih Berarti Hingga Hari Ini

Tepat hari ini kita memperingati 500 tahun peristiwa Reformasi yang dilakukan oleh Martin Luther. Inilah lima alasan mendasar mengapa kesaksian, kepercayaan, dan pendirian Luther mengenai teologi dan praktiknya masih berpengaruh hingga saat ini.