Posts

Hidup Enggak Pernah Tambah Mudah, Jagalah Perspektifmu!

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Hidup itu sulit. Hidup itu memang sulit. Begitu kata banyak orang.

Bila melihat perjalanan selama setahun ke belakang, mungkin kita dengan mudah menyebutkan berbagai kesulitan yang kita hadapi. Situasi yang sulit dan kondisi yang menyakitkan sering menyebabkan kita kehilangan iman yang diawali dengan kehilangan perspektif.

Perspektif adalah cara seseorang dalam menilai sesuatu yang mempengaruhi tindakan seseorang. Pada kondisi sulit, kita cenderung hanya melihat rasa sakit, yang tak jarang kita maknai sebagai rasa sakit yang begitu berat.

Kecenderungan kita yang melihat sisi-sisi negatif itu mendorong kita untuk masuk ke dalam tahap mengasihani diri dan menganggap diri korban atas setiap pergumulan dan penderitaan. Dari pengalamanku, ada tiga perilaku yang menggambarkan bahwa kita mudah sekali mengasihani diri sendiri dan menganggap diri kitalah yang paling menyedihkan:

1. Sering menggerutu dan mengeluh
2. Menyalahkan dan mengkritik orang lain, bahkan tidak jarang sampai menyalahkan Tuhan
3. Bersikap sinis dan pesimistis

Sebenarnya, tiga perilaku di atas adalah respons yang muncul secara alamiah ketika kita menghadapi tekanan. Tanpa kita sadari, kita mengeluh sebagai cara untuk meluapkan emosi negatif; mengkritik sebagai cara untuk membenarkan diri; dan pesimis sebagai wujud hilangnya harapan kita. Namun, respons tersebut jika tidak dikendalikan akan mendorong kita semakin jauh dalam jurang mengasihani diri, yang pada akhirnya membuat kita tidak bisa bangkit sama sekali.

Salah satu cara yang mungkin pernah atau sering kita lakukan untuk menjaga perspektif kita saat mengalami keadaan sulit adalah dengan mengakui kesulitan dan rasa sakit yang kita alami. Seperti pernyataan populer yang sering kita dengar saat ini, IT’S OK TO BE NOT OK. Tidak masalah untuk melihat atau berkaca pada orang lain yang punya kesulitan yang lebih besar daripada kita, asalkan kita tidak lantas bersikap denial terhadap rasa sakit yang kita alami sendiri.

Kecenderungan yang muncul ketika kita sedang sulit adalah kita menjadi sering mengasihani diri dan menganggap diri kitalah yang paling menyedihkan di dunia ini. Namun nyatanya, masih banyak orang di luar sana yang punya kesulitan yang jauh dari apa yang kita alami namun tetap memilih untuk berjuang. Untuk menyikapi kondisi ini, kita harus menjaga perspektif kita secara benar:

1. Self talk untuk memberikan semangat pada diri sendiri

Paulus, yang mengerti tentang penderitaan dan pentingnya perspektif, menulis, “Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Filipi 4:8)

Self talk artinya berbicara pada diri sendiri. Perumpamaan tentang anak yang hilang dalam Alkitab menunjukkan bagaimana si bungsu berbicara pada dirinya sendiri.

“Lalu ia menyadari keadaanya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikan aku sebagai salah seorang upahan bapa” (Lukas 15:17-19).

Self talk mempengaruhi pikiran bahkan berujung kepada tindakan. Pikiran memiliki pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan kita, dan jika self talk kita menjatuhkan diri sendiri, maka kita akan merasa ingin menyerah. Sebaliknya, self talk yang mendorong semangat akan memberi kehidupan. Sebagai contoh, Daud adalah pribadi yang punya banyak kesulitan di dalam hidupnya. Dia punya banyak alasan untuk merasa tertekan dan gelisah. Tetapi, Dia menolak untuk mengasihani diri sendiri. Sebaliknya, dia menggunakan self talk demi memberi semangat kepada dirinya.

Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku?
Berharaplah kepada Allah!
Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!
(Mazmur 42:6)

2. Meminta kepada Tuhan untuk menolong kita menunjukkan hal-hal yang perlu kita syukuri

Dengan lebih banyak bersyukur kepada Tuhan dibandingkan mengeluh, menolong kita mempunyai perspektif yang benar untuk setiap kondisi sulit yang kita alami. Namun, sayangnya dengan kesulitan yang kita alami membuat kita sulit melihat hal-hal baik yang terjadi dalam hidup.

Ketika kita sulit untuk bersyukur, rasanya kita sedang melakukan kejahatan yang lebih buruk. Ada banyak hal baik di luar kesulitan kita, tetapi kita melupakannya karena kondisi sulit yang kita rasakan. Tuhan seharusnya layak menerima ungkapan rasa syukur kita karena sesungguhnya segala yang terjadi dalam hidup ini datang dari Dia.

“Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yakobus 1:17).

Dengan semua yang telah kita terima di dalam Kristus, sudah sepatutnya ucapan syukur terus mengalir dari hati dan mulut kita. Kiranya kita merespons anugerah Allah yang indah dengan selalu bersyukur kepada-Nya.

3. Kita tidak benar-benar tahu apa yang sedang Tuhan rencanakan dalam kehidupan kita

Kita tidak mengerti bagaimana Tuhan bisa menggunakan apa yang sedang kita alami. Tetapi, berkaca dari karya-karya-Nya di masa lalu, apa yang kita alami saat ini akan menjadi karya yang mengesankan dan indah.

Iman memberi kita keyakinan pada apa yang tidak kita lihat, sehingga kita bisa menerima fakta bahwa hidup itu sulit. Iman inilah yang memberi kita perspektif atas pergumulan kita saat ini, yang memampukan kita untuk tidak terjebak pada mengasihani diri karena kita memiliki keyakinan pada apa yang sedang menanti kita di depan. Iman mengerti bahwa kehidupan terbaik kita tidak terjadi saat ini, kehidupan terbaik kita akan terwujud nanti. Sehingga, kita tidak menjadi lemah dan tawar hati.

4. Memegang kendali kondisi yang ada yang dapat digunakan sebagai batu loncatan

Poin ini mungkin kedengarannya terlalu optimis, tetapi inilah kekuatan yang Tuhan berikan dalam hidup kita. Ketika hidup menyajikan kesulitan, beberapa orang memilih untuk takluk, sedangkan yang lain memilih untuk menaklukkan. Menariknya, seringkali orang-orang yang telah menghadapi perkara yang paling sulitlah yang meraih sukses paling hebat.

Orang-orang yang harus menaklukkan kesukaran dipaksa untuk belajar lebih banyak dan bekerja lebih keras, dan sesungguhnya memiliki keuntungan atas mereka yang mengalami situasi lebih mudah. Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan Nick Vujicic yang adalah seorang penginjil dan motivator dari Australia. Sejak kecil, hidup tanpa kaki dan tangan membuat Nick menjadi korban bullying. Keterbatasan yang dia miliki lantas tidak membuatnya menyerah, dia menyelesaikan sekolahnya dengan baik bahkan sekarang ini mendirikan organisasi nirlaba yang berfokus pada pengembangan penyandang disabilitas. Yang sedikit, yang terpilih-para pejuang.

Teman-teman boleh berhenti sejenak untuk membaca. Mari mengingat, kesulitan-kesulitan apa yang pernah kita alami dalam setahun ini tetapi Allah mampu menolong kita untuk melewatinya. Mari mengingat, kesulitan apa di masa lalu yang ternyata dijadikan-Nya menjadi sesuatu yang baik bagi hidup kita.

Kita memiliki SESUATU yang banyak orang di luar sana tidak miliki, yaitu TUHAN. Ini menjadi penghiburan sekaligus kekuatan bagi kita. Seberapa pun kesulitan yang kita alami, banyak hal yang terjadi dan kita tidak mengerti. Dia ada, Sang Imanuel.

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

Selamat menyambut Sang Imanuel, Tuhan yang sama yang akan menyertai kita di hari-hari kedepan.

*Empat poin di atas dikutip dari buku Don’t Give Up yang ditulis oleh Kyle Idleman. Beliau adalah seorang pendeta dari salah satu gereja terbesar di Amerika Serikat dan penulis buku laris yaitu Not A Fan dan The End of Me.

5 Hal yang Menolongku Mengatasi Stres

Penulis: Hans Anthony

5-Ways-To-Deal-With-StressPhoto credit: Nathan Congleton via Foter.com / CC BY-NC-SA

Masalah adalah tanda adanya suatu kehidupan.
Problems are a sign of life.

Mungkin kita pernah mendengar ungkapan tersebut. Selama kita hidup, masalah pasti selalu ada. Satu-satunya kondisi yang membebaskan kita dari masalah adalah saat kita sudah mati.

Masalah yang datang bertubi-tubi kerap membuat kita kehilangan fokus dan kehabisan energi. Hidup menjadi kacau. Kita tidak tahu harus berbuat apa. Kita menjadi stres. Lalu, bagaimana?

Pengalaman mengajarkan saya, minimal ada 5 hal yang dapat kita lakukan:

1. Berdoa

Kedengaran klise? Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa doa adalah sarana kita berkomunikasi dengan Tuhan. Ketika masalah datang dan stres menyerang, kita sering diingatkan untuk berdoa dan meminta pertolongan Tuhan. Namun, apakah kita sungguh-sungguh melakukannya? Bukankah seringkali kita tidak mencari Tuhan terlebih dulu, melainkan berusaha mencari jalan keluar sendiri atau mencari orang lain yang mungkin bisa membantu kita?

Ada pengalaman di tahun 2012 yang selalu saya ingat. Saat itu saya menghadapi situasi dalam bisnis yang membuat saya sangat stres. Perusahaan saya harus membayar denda sekitar 100 juta rupiah karena ada kesalahan dalam menghitung nilai pajak ketika kami mengimpor barang. Padahal waktu itu perusahaan saya baru berusia dua tahun dan masih sangat membutuhkan banyak modal untuk bisa berjalan.

Logisnya, makin besar masalah yang kita hadapi, makin cepat kita akan datang kepada Tuhan, bukan? Namun, selama berhari-hari saya berusaha mencari jalan keluar sendiri. Saya berpikir keras bagaimana caranya untuk tidak membayar denda sebesar itu. Dan, usaha saya berakhir tanpa hasil.

Alkitab sudah memberitahu kita untuk menyerahkan segala kekuatiran kita kepada Tuhan, Pribadi yang sanggup memelihara kita (Mazmur 55:22). Alkitab juga mengajar kita untuk tidak kuatir, tetapi menyatakan segala keinginan kita dalam doa kepada Allah (Filipi 4:6). Tetapi mungkin, kita tidak terlalu yakin Allah akan mempedulikan kita. Ada begitu banyak masalah di dunia ini dan ada begitu banyak orang yang membawa permohonan mereka kepada Tuhan. Akankah Tuhan mendengarkan doa saya? Seandainya pun Dia sungguh mendengarkan, jalan keluar apa yang bisa Dia berikan? Daripada berdoa, lebih baik kita melakukan sesuatu yang lain.

Tuhan mengizinkan saya mengalami masalah yang sangat besar supaya saya bisa belajar berdoa. Saya datang kepada Tuhan dalam keputusasaan saya, mengakui betapa saya sangat terbatas dan memohon Tuhan membuka pikiran saya untuk bisa menemukan jalan keluar. Setelah berdoa, saya merasa beban saya diangkat, saya menjadi jauh lebih tenang dan damai. Benar bahwa ketika kita berserah kepada Tuhan, Dia akan menggantikan rasa frustrasi kita dengan damai sejahtera-Nya yang melampaui segala akal (Filipi 4:7). Masalah saya masih ada, tetapi saya tidak lagi dilumpuhkan oleh stres karena saya tahu, saya tidak sendirian menghadapi masalah itu.

2. Mencari komunitas yang membangun

Lingkungan di sekitar kita akan sangat mempengaruhi cara kita menghadapi masalah. Jika kita dikelilingi teman-teman yang optimis, kita akan menjadi lebih positif dalam menyikapi suatu masalah. Namun, jika kita lebih sering berkumpul dengan teman-teman yang melihat berbagai hal secara negatif, cepat atau lambat kita pun akan mudah kecewa dan kehilangan semangat.

Saya bersyukur memiliki teman-teman seiman yang memiliki sikap positif dalam hidup, orang-orang yang bisa saya ajak bicara saat menghadapi hari-hari yang penuh masalah. Meskipun mereka bukan orang-orang yang ahli dan bisa memberi solusi soal pajak, mereka memberi banyak dorongan semangat dan mendukung saya dalam doa-doa mereka. Dengan membagikan masalah yang sedang saya hadapi kepada mereka, saya sendiri mulai melihat situasi saya dari perspektif yang berbeda. Tingkat stres saya berkurang drastis.

Untuk mengatasi stres, carilah komunitas yang punya komitmen untuk saling membangun. Beradalah di tengah orang-orang yang mengasihi Tuhan dan punya kerinduan untuk bertumbuh serupa Kristus. Dalam komunitas yang demikian, kita dapat saling menolong dan menopang satu sama lain (Pengkhotbah 4:9-10; Amsal 18:24).

3. Mengucap syukur

Ada sebuah kalimat bijak yang mungkin sering kita dengar: “Do not tell God how big your problem is, but tell your problem how big your God is”. Jangan hanya mengeluh kepada Tuhan tentang betapa besarnya masalahmu, hadapilah masalahmu dengan mengingat betapa besarnya Tuhanmu. Saat kita hanya berfokus kepada masalah-masalah kita, kemungkinan besar kita akan merasa stres dan kewalahan.

Namun, saat saya datang kepada Tuhan dalam doa dan berada di sekeliling teman-teman yang mengasihi Tuhan, saya jadi menyadari betapa saya memiliki begitu banyak alasan untuk mengucap syukur. Pelajaran penting dalam bisnis ini diizinkan Tuhan saya alami ketika perusahaan saya masih kecil. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila masalah tersebut baru saya alami saat perusahaan saya sudah besar. Bukan saja saya harus membayar denda dalam jumlah yang jauh lebih fantastis, para karyawan saya (beserta keluarga mereka) juga pasti akan terkena imbasnya .

William James, seorang filsuf dan psikolog Amerika pernah berkata, “Senjata terbesar melawan stres adalah kemampuan kita memilih apa yang akan kita pikirkan.” Saya memilih untuk mengubah fokus pikiran saya dari “apa” (masalah-masalah saya) kepada “Siapa” (Tuhan). Hasilnya? Ternyata di tengah situasi yang berat sekalipun kita dapat menghitung berkat. Tuhan menghendaki kita untuk mengucap syukur dalam segala hal, tidak hanya pada saat semua berjalan lancar, tetapi juga pada saat kita mengalami banyak tekanan hidup (1 Tesalonika 5:18).

4. Melihat masalah dari perspektif Tuhan

Sebagai manusia yang pengertiannya terbatas, seringkali kita membuat kesimpulan-kesimpulan yang keliru atas situasi yang kita hadapi. Catatan Alkitab tentang 12 pengintai selalu mengingatkan aku betapa pentingnya melihat berbagai hal dalam hidup ini dari perspektif Tuhan. Ketika kesepuluh pengintai melaporkan tentang kota-kota berkubu, orang-orang raksasa, dan berbagai halangan besar untuk memasuki tanah Kanaan, bangsa Israel pun menyimpulkan bahwa Tuhan hendak membiarkan mereka celaka dan tidak ada lagi harapan bagi mereka (Bilangan 14:2-4). Namun, kedua pengintai lainnya, Yosua dan Kaleb, melihat situasi yang ada dari perspektif yang sangat berbeda. Mereka melihat kebaikan Tuhan yang memberikan mereka negeri yang luar biasa baiknya, dan mereka memiliki keyakinan penuh bahwa Tuhan berkuasa melindungi mereka (Bilangan 14:7-9).

Daripada membiarkan diri dikuasai oleh stres dan rasa putus asa, saya belajar untuk bertanya, “Apa yang Tuhan ingin lakukan di dalam dan melalui saya dengan mengizinkan masalah ini terjadi?” Saya sendiri mengalami bagaimana masalah membentuk saya menjadi pribadi yang memiliki karakter lebih baik, lebih tegar, lebih bijak, juga lebih teliti dalam bekerja. Saya belajar bagaimana menjadi seorang pengusaha yang baik, yang menjalankan bisnis menurut kebenaran-Nya.

5. Belajar dari proses yang dijalani

Menyerahkan segala kekuatiran kita kepada Tuhan tidak berarti kita menjadi orang yang pasif dan ceroboh. Jika kita tidak belajar dari proses yang kita alami, dengan mudah kita akan kembali stres (mungkin dalam kadar yang lebih tinggi) saat kita menghadapi masalah yang serupa.

Kembali pada cerita tadi, saya akhirnya memutuskan untuk belajar lebih banyak tentang aturan penghitungan pajak. Tanpa disangka, saya menemukan sebuah artikel di internet yang menjelaskan tentang pajak barang impor. Melalui artikel itu saya menemukan peraturan pemerintah yang menyatakan bahwa cara saya menghitung pajak sudah benar. Keesokan harinya saya langsung menunjukkan artikel tersebut kepada konsultan pajak saya. Beliau kemudian mengatakan bahwa artikel itu benar dan atas dasar peraturan yang ada, saya tidak perlu membayar denda sepeser pun. Puji Tuhan!

Ketika Tuhan mengizinkan anak-anak-Nya menghadapi masalah, Dia berjanji bahwa masalah-masalah itu tidak akan melampaui kekuatan kita, dan Dia sendiri akan menyediakan jalan keluar sehingga kita dapat menanggungnya (1 Korintus 10:13). Bila kita memenuhi pikiran kita dengan janji-janji Tuhan, stres tidak akan lagi mendapat tempat di sana. Kita akan dapat menerima situasi yang ada dengan ucapan syukur dan terbuka untuk belajar, karena kita tahu bahwa Tuhan dapat memakai segala sesuatu untuk membentuk anak-anak-Nya makin serupa dengan-Nya. Dia bahkan akan mempersiapkan kita untuk hal-hal yang lebih besar! Ingatlah bagaimana Yusuf ditempa selama 13 tahun penuh kesulitan, sebelum ia diangkat sebagai orang nomor dua yang paling berkuasa di seluruh Mesir. Ingatlah bagaimana iman Daniel diuji habis-habisan saat bekerja di bawah pemerintahan raja-raja yang tidak mengenal Tuhan, sebelum akhirnya ia diberi kedudukan tinggi melebihi para pejabat lainnya di dalam kerajaan.

Selama kita masih hidup, bisa dipastikan masalah akan datang, dan kita akan mengalami berbagai episode stres. Tetapi, kita tidak perlu menjadi tawar hati. Kita dapat mengatasi stres dengan bergantung kepada Tuhan dan memegang erat janji-janji-Nya. Kita dapat meminta nasihat teman-teman seiman dan mengubah fokus pikiran kita. Kita dapat mengisi pikiran kita dengan ucapan syukur dan mengarahkan pandangan kita pada apa yang ingin Tuhan ajarkan kepada kita!

Wallpaper: Memandang dari Lensa-Nya

Mengubah Perspektif

Kamis, 26 Februari 2015

Mengubah Perspektif

Baca: Kisah Para Rasul 17:16-23

17:16 Sementara Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat, bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala.

17:17 Karena itu di rumah ibadat ia bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah, dan di pasar setiap hari dengan orang-orang yang dijumpainya di situ.

17:18 Dan juga beberapa ahli pikir dari golongan Epikuros dan Stoa bersoal jawab dengan dia dan ada yang berkata: "Apakah yang hendak dikatakan si peleter ini?" Tetapi yang lain berkata: "Rupa-rupanya ia adalah pemberita ajaran dewa-dewa asing." Sebab ia memberitakan Injil tentang Yesus dan tentang kebangkitan-Nya.

17:19 Lalu mereka membawanya menghadap sidang Areopagus dan mengatakan: "Bolehkah kami tahu ajaran baru mana yang kauajarkan ini?

17:20 Sebab engkau memperdengarkan kepada kami perkara-perkara yang aneh. Karena itu kami ingin tahu, apakah artinya semua itu."

17:21 Adapun orang-orang Atena dan orang-orang asing yang tinggal di situ tidak mempunyai waktu untuk sesuatu selain untuk mengatakan atau mendengar segala sesuatu yang baru.

17:22 Paulus pergi berdiri di atas Areopagus dan berkata: "Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa.

17:23 Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu.

Sementara Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat, bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala. —Kisah Para Rasul 17:16

Mengubah Perspektif

Sebagai orang yang suka bangun pagi, istri saya menikmati waktu-waktu yang hening sebelum orang lain dalam rumah terjaga. Ia menggunakan waktu itu untuk membaca Alkitab dan berdoa. Baru-baru ini ia hendak duduk di kursi favoritnya, tetapi pikirannya teralih ketika melihat ada sofa yang berantakan setelah saya pakai saat menonton pertandingan sepakbola malam sebelumnya. Awalnya, kekacauan itu mengalihkan perhatian istri saya, dan rasa frustrasinya terhadap saya mengusik kehangatan pagi yang hening itu.

Lalu tiba-tiba ia terpikir sesuatu. Ia memilih pindah dari kursi favoritnya dan duduk di sofa itu. Dari sofa tersebut, lewat jendela depan, ia dapat menyaksikan pemandangan matahari yang terbit di atas Samudera Atlantik. Keindahan yang dilukiskan Allah pada pagi itu telah mengubah perspektif istri saya.

Saat ia menceritakan pengalamannya, kami berdua menyadari pelajaran dari pagi itu. Meski kita tidak dapat selalu mengendalikan hal-hal dalam hidup ini yang mempengaruhi hati kita, kita tetap diberi pilihan. Kita dapat terus memikirkan “kekacauan” yang ada, atau kita dapat mengubah perspektif kita. Ketika Paulus berada di Atena, “sangat sedih hatinya karena ia melihat, bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala” (Kis. 17:16). Namun ketika Paulus mengubah perspektifnya, ia memanfaatkan minat orang terhadap agama sebagai kesempatan untuk mewartakan tentang Allah yang sejati, Yesus Kristus (ay.22-23).

Ketika istri saya berangkat untuk bekerja, tibalah giliran saya untuk mengubah perspektif saya. Saya mempersilakan Tuhan untuk menolong saya melihat kekacauan-kekacauan yang telah saya perbuat, melalui sudut pandang istri saya dan juga sudut pandang-Nya. —RKK

Ya Tuhan, berilah kami hikmat untuk mengubah sudut pandang kami
daripada berlama-lama memikirkan kekacauan yang terjadi.
Tolong kami untuk melihat—dan memperbaiki—
segala “kekacauan” yang kami akibatkan kepada sesama.

Berhikmat berarti melihat segala sesuatu dari sudut pandang Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 15-16; Markus 6:1-29

Memperluas Cara Pandang

Kamis, 5 Juni 2014

Komik-Strip-WarungSateKamu-20140605-Rajawali

Baca: Ulangan 32:7-12

32:7 Ingatlah kepada zaman dahulu kala, perhatikanlah tahun-tahun keturunan yang lalu, tanyakanlah kepada ayahmu, maka ia memberitahukannya kepadamu, kepada para tua-tuamu, maka mereka mengatakannya kepadamu.

32:8 Ketika Sang Mahatinggi membagi-bagikan milik pusaka kepada bangsa-bangsa, ketika Ia memisah-misah anak-anak manusia, maka Ia menetapkan wilayah bangsa-bangsa menurut bilangan anak-anak Israel.

32:9 Tetapi bagian TUHAN ialah umat-Nya, Yakub ialah milik yang ditetapkan bagi-Nya.

32:10 Didapati-Nya dia di suatu negeri, di padang gurun, di tengah-tengah ketandusan dan auman padang belantara. Dikelilingi-Nya dia dan diawasi-Nya, dijaga-Nya sebagai biji mata-Nya.

32:11 Laksana rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-layang di atas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya, menampung seekor, dan mendukungnya di atas kepaknya,

32:12 demikianlah TUHAN sendiri menuntun dia, dan tidak ada allah asing menyertai dia.

Laksana rajawali menggoyang-bangkitkan isi sarangnya, . . . mengembangkan sayapnya, . . . demikianlah TUHAN sendiri menuntun [Yakub]. —Ulangan 32:11-12

Memperluas Cara Pandang

Selama 3 bulan saya mendapat posisi paling baik untuk melihat dengan sangat jelas karya ciptaan Allah yang mengagumkan. Pada ketinggian sekitar 27 meter dari atas tanah di Norfolk Botanical Garden, Virginia, para pekerja memasang kamera web yang diarahkan pada sarang dari sekawanan elang botak, dan para pemirsa diizinkan untuk menyaksikan kegiatan kawanan itu melalui Internet.

Saat telur-telur telah menetas, para induk elang begitu memperhatikan keadaan anak-anak mereka, dengan bergiliran dalam mencari makanan dan menunggui sarang. Namun suatu hari, ketika anak-anak burung itu masih tampak seperti bola bulu yang berparuh, kedua induknya menghilang. Saya khawatir kedua induk itu telah tertimpa bahaya.

Kekhawatiran saya ternyata tidak terbukti. Ketika operator kamera memperluas sudut pandang kameranya, terlihatlah sang induk elang betina sedang bertengger di sebilah ranting pohon yang tidak jauh dari sarangnya.

Ketika merenungkan gambaran “yang diperluas” ini, saya teringat pada masa-masa ketika saya pernah merasa khawatir bahwa Allah telah meninggalkan saya. Pemandangan pada ketinggian di hutan Virginia itu mengingatkan saya bahwa pandangan saya memang terbatas. Saya hanya melihat sebagian kecil dari seluruh gambaran yang ada.

Musa menggambarkan Allah seperti rajawali. Sama seperti rajawali mendukung anak-anaknya di atas kepaknya, demikianlah Allah mendukung umat-Nya (Ul. 32:11-12). Apa pun yang terjadi, Tuhan “tidak jauh dari kita masing-masing” (Kis. 17:27). Hal itu benar bahkan pada saat kita merasa terabaikan. —JAL

Di bawah naung sayap-Hu terpelihara
Meski g’lap malam angin ributlah.
Demi iman aku dilindungkan-Nya
‘Ku ditebuskan jadi anak-Nya. —Cushing
(Nyanyian Kemenangan Iman, No. 88)

Karena Tuhan menjaga kita, kita tidak perlu takut terhadap bahaya di sekeliling kita.