Posts

Apakah Kitab Imamat Masih Relevan Bagi Kita?

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Siapa di antara kalian yang sudah khatam atau tuntas membaca seluruh isi Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu? 

Aku berikan dua jempolku untuk kalian yang sudah pernah membaca seluruh isi Alkitab! Tapi, terlepas kalian pernah khatam atau tidak, kalian pasti setidaknya pernah membaca kitab Imamat. Nah, ketika membaca kitab ini, apa yang kira-kira kalian pikirkan? 

Ketika membaca Imamat, di pikiranku terlintas sebuah pertanyaan: “untuk apa aku membaca aturan ibadah dan hari raya Perjanjian Lama? Kan sekarang sudah tidak dilakukan lagi.”

Rincian detail tentang aturan-aturan di kitab Imamat menunjukkan bahwa pada masa Perjanjian Lama ada hukuman mengerikan bagi mereka yang melanggar aturan ibadah atau hari raya karena pada masa itu ketidaktaatan dianggap sama dengan memberontak terhadap Allah yang suci dan kudus. Di kitab Perjanjian Baru, ketika Yesus sudah menjadi Juruselamat bagi manusia, mereka yang melawan dan membohongi Roh Kudus juga mendapat hukuman mengerikan seperti di kisah Ananias dan Safira. Tapi, kok di kehidupan sehari-hari kita tidak melihat hukuman instan seperti itu ya? Semisal ketika kita tidak hadir beribadah di gereja saat Paskah tapi malah jalan-jalan ke tempat wisata, kita tidak seketika dihukum, malah yang ada kita jadi senang karena liburan.

Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku penasaran. Aku percaya bahwa seluruh isi Alkitab adalah firman Allah yang relevan bagi pendengarnya di segala masa. Namun di sisi lain, aku juga penasaran apakah kitab Imamat atau aturan-aturan lainnya yang tertulis di kitab lain masih relevan dengan masa sekarang atau tidak. Apakah kalian juga pernah penasaran sepertiku?

Aku akhirnya menemukan jawabannya di kitab Ibrani. Pada pasal 10 ayat 18 tertulis, “Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa. Sekarang, ketika pengampunan bagi semuanya itu telah tersedia, maka tidak diperlukan lagi kurban untuk menebus dosa. Tetapi di mana ada ampun, di situ tiada perlu lagi korban karena dosa.”

Dari ayat ini, tersurat bahwa aturan-aturan yang ada di kitab Imamat tidak perlu kita lakukan lagi karena kita sudah mendapat pengampunan dosa melalui kematian Yesus. Karya keselamatan Yesus di atas kayu salib mendamaikan relasi kita dengan Allah Bapa sehingga kita dapat langsung datang dan berkomunikasi dengan Tuhan tanpa harus melakukan berbagai aturan. Wah… berarti jawabannya kitab Imamat tidak relevan? Bukan seperti itu, kitab Imamat sejatinya tetap relevan hingga saat ini. 

Anugerah keselamatan dari Kristus kepada manusia inilah yang sebenarnya menjadi alasan mengapa kita harus mengetahui atau mengenal aturan ibadah dan hari raya di Perjanjian Lama. Tujuannya supaya kita paham mengapa keselamatan yang Yesus berikan itu benar-benar berharga dan diberikan kepada kita tanpa syarat. Tidak hanya itu, dengan kita tahu aturan-aturan serta respons para tokoh dalam Perjanjian Lama terhadap tiap detail aturan, akan menolong kita paham apa yang menjadi penyebab banyak orang saat itu—terutama para pemuka agama Yahudi—meminta Pontius Pilatus untuk menyalibkan Yesus. Ketatnya aturan membuat mereka cenderung mementingkan aspek legalitas. Pokoknya semua aturan ibadah itu harus benar-benar dilakukan tanpa cela, sampai-sampai dalam melakukannya mereka jadi kehilangan kasih. Dan, seperti kita dapat simak dalam Injil, orang-orang Farisi yang dikenal “saleh” itu lebih memilih segudang aturan daripada menerima kasih Yesus yang sebenarnya jauh lebih berharga dari apa yang mereka anggap penting itu.

Memang kita saat ini tidak lagi melakukan aturan-aturan Taurat karena Yesus Kristus telah menjadi “korban sempurna” untuk kita. Atas pengorbanan-Nya, kita menerima pengampunan tanpa harus memberikan korban penghapusan dosa di waktu-waktu tertentu, dan relasi kita dengan Tuhan pun telah dipulihkan. Kita dapat bertemu dan berbicara dengan Tuhan kapan pun dan di mana pun tanpa kita harus pergi ke bait Allah di Yerusalem atau melakukan ritual seperti memberi korban bakaran untuk dapat bertemu dengan-Nya. Namun, ini tidak berarti makna dari aturan ibadah dan hari raya dalam Perjanjian Lama—secara khusus kitab Imamat—tidak bisa kita terapkan maknanya di masa sekarang.

Aturan ibadah dan hari raya pada masa Perjanjian Lama diberikan Allah kepada manusia bukan tanpa maksud. Selain supaya manusia yang berdosa dapat bertemu dengan-Nya yang kudus, Taurat juga diberikan supaya manusia ketika melakukannya dapat mengingat akan kasih dan kuasa Tuhan yang telah menyelamatkan mereka dari penderitaan dan yang membawa mereka kepada “tanah yang baik”. Jadi, meskipun kita saat ini tidak melakukan segala aturan detail kitab Imamat lagi, kita tetap harus  melihat bahwa hukum-hukum tersebut sebagai tanda kasih Tuhan yang sudah menyelamatkan manusia dari penderitaan, dan membawa manusia kepada “tempat” yang menghadirkan sukacita. 

Hmm…sepertinya aku membuat kalian pusing. Coba aku berikan contoh ya.

Setiap kita ibadah di gereja, kita biasanya memberikan persembahan. Nah, apa sih tujuan dari persembahan? Tujuannya adalah sebagai bentuk ucapan syukur kita kepada Tuhan atas berkat dan kasih-Nya yang Ia berikan kepada kita. Tanpa kita mengerti tujuan dari persembahan, maka kita bisa saja menganggap persembahan sebagai sesi “memberikan sumbangan sukarela.”

Nah, sama halnya ketika kita melihat kitab Imamat. Ketika kita hanya membaca kita Imamat tanpa melihat tujuan penulisannya, maka kita hanya akan menemukan aturan ibadah dan hari raya yang sudah kuno dan tidak berlaku. Namun, apabila kita melihat kitab Imamat lebih dalam, maka kita akan melihat bahwa aturan-aturan itu sebenarnya diberikan karena Allah ingin dekat dengan umat-Nya. Tak cuma itu, segudang aturan ibadah itu sebenarnya bisa menjadi sarana bagi umat Tuhan untuk menanggapi anugerah yang Tuhan sudah berikan. 

Setelah menemukan bahwa ternyata kitab Imamat itu relevan di masa sekarang, lalu apa tanggapan kita atau respons kita terhadap kitab Imamat?

Jawabannya, kita sebaiknya tidak lagi melewatkan kitab Imamat atau kitab-kitab lainnya di Perjanjian Lama yang berbicara mengenai aturan beribadah ataupun peringatan hari raya. 

Meski detail-detail ritual di Perjanjian Lama tak lagi kita lakukan, tetapi makna di balik itu semua masih bisa kita terapkan dalam liturgi ibadah kita, baik itu dalam ibadah komunal hari Minggu, ataupun ibadah personal kita setiap hari. Semisal, ketika kita ada liturgi pengakuan dosa, persembahan, doa berkat, dan lain sebagainya mari kita tidak asal-asalan dalam mengikutinya. Ikuti tiap liturgi gereja dengan sikap hati bersyukur sebagai respons kita atas anugerah keselamatan yang sudah kita terima dari Tuhan. Kemudian, ketika kita merayakan atau memperingati hari raya Kristiani, mari melakukannya bukan hanya karena formalitas, namun kita sungguh-sungguh memaknai apa yang menjadi latar belakang dan maksud Allah dari peringatan tersebut.

Semoga dengan kita tahu relevansi kitab Imamat di masa sekarang, dapat memberi kita semangat untuk mau sungguh-sungguh lagi dalam beribadah kepada Tuhan. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Jangan Berikan yang Minimal Pada Apa yang Bisa Kita Kerjakan dengan Maksimal

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Pernah mendengar istilah ‘mental minimal’?

Istilah ini kubuat untuk sikap hati yang menerima segala sesuatu dengan ala kadarnya, tanpa niatan hati untuk berjuang lebih baik. Contoh sederhana yang mungkin sering kita jumpai adalah aku sering mendapati para orang tua yang melihat anaknya mendapatkan nilai jelek di sekolah merespons begini, “yang penting dia naik kelas deh..” Tentu tidak ada yang salah dengan ucapan tersebut, tetapi proses yang terjadi di baliknyalah yang perlu kita telaah.

Dalam hidup ini kita memang harus mensyukuri apa saja yang kita miliki dan apa pun yang sudah kita capai. Tetapi, bersyukur atas pencapaian kita sama sekali bukanlah dorongan untuk melakukan segala sesuatu dengan asal-asalan. Jika kita bisa mendapat nilai 1000 mengapa kita membuang kesempatan itu? Mengapa berpuas dengan nilai 600 lalu berupaya membenarkan kemalasan dan ketidakseriusan yang kita pupuk? Hal ini jugalah yang terjadi pada orang-orang Kristen dan kehidupan penyembahannya.

Sebagai pijakan awal, aku ingin menegaskan bahwa penyembahan bukan sekadar menyanyi. Beberapa dari kita mungkin sudah terbiasa dengan pembagian “lagu pujian” dan “lagu penyembahan”, lalu mematenkan definisi sempit yang bisa saja menyesatkan kita. Menyanyikan lagu rohani di altar gereja hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk penyembahan. Kita bisa saja menghabiskan waktu untuk membahas asal usul kata ini dalam bahasa kita dan bahasa asli Alkitab. Tetapi, dalam prinsip sederhananya, menyembah adalah memberikan segala yang terbaik yang ada pada kita untuk Allah dengan sukacita dan penuh rasa hormat untuk kemuliaan-Nya. Itu berarti kita dapat menyembah lewat cara lain selain menyanyi dan bahkan saat kita berada di sebuah tempat selain gereja. Itulah sebabnya Yesus berbicara tentang penyembahan yang tidak dibatasi oleh tempat, yaitu penyembahan dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4:24).

Dari situ kita dapat melihat sebuah keindahan dan kemerdekaan yang ditawarkan dalam penyembahan kita. Tetapi, keindahan dan kemerdekaan semacam inilah yang sangat mudah diselewengkan.

Kita memang bisa menyembah Allah dengan banyak cara selain menyanyi. Kita bisa menyembah-Nya dengan cara berkhotbah, menginjili, dan mengajar anak sekolah minggu. Bahkan kita bisa menyembah dengan hal yang terlihat tidak rohani bagi sebagian orang, seperti memasak nasi, mencuci piring, menyapu halaman, dan mencari nafkah. Sekali lagi, jika kita melakukan semuanya itu sebagai pemberian terbaik kita untuk hormat kemulian Allah, maka itu adalah penyembahan. Tetapi, berhati-hatilah dengan apa yang kita sebut sebagai pekerjaan. Kita tentu harus mengeliminasi pekerjaan-pekerjaan yang tidak mungkin dibenarkan oleh Alkitab.

Selain itu, karena sebuah pekerjaan di luar gereja dapat menjadi bentuk penyembahan, bukan berarti kita boleh seenaknya menjauhkan diri dari pertemuan ibadah (Ibrani 10:25). Persekutuan orang percaya adalah keindahan yang tidak selalu bisa kita nikmati. Tengok saja apa yang terjadi di masa pandemi, ketika kita belum dimungkinkan untuk melaksanakan ibadah secara langsung, begitu banyak orang berteriak frustasi karena merindukan persekutuan. Kita memang bisa menyembah dari rumah kita. Dengan kecanggihan yang kita miliki, kita dapat dengan mudah melihat saudara kita yang sedang berkhotbah di Swiss dari Pulau Siau. Beberapa temanku bahkan mengikuti kelas daring Teologi yang dipimpin oleh seorang doktor dengan hanya mengenakan celana pendek sembari tidur-tiduran di sofanya. Teknologi telah menolong kita, namun jika kita bisa saling bertatap muka dengan jarak 1,5 meter, berjabat tangan, merangkul, dan saling berpelukan, mengapa kita tidak mengambil kesempatan berharga itu?

Memberikan yang minimal padahal kita bisa memberi lebih adalah sebuah penghinaan. Lakukanlah segala sesuatu seperti kita melakukannya untuk Tuhan Yesus, yang telah memberikan segala yang terbaik bagi kita. Dia tidak mengerjakan karya penyelamatan di Golgota dengan setengah-setengah. Bagi kita, Dia mengerjakannya dengan tuntas dan sempurna. Dia memikul apa yang seharusnya terikat di pundak kita, tanpa bersungut-sungut.

Jika kita memiliki tanggung jawab sebagai seorang pelajar lakukanlah dengan maksimal, jangan asal lulus, jadilah yang terbaik yang kita bisa, dan untuk hasilnya, biarlah Allah dimuliakan. Itulah penyembahanmu.

Jika kita adalah seorang pengkhotbah, setiap kali diberi kesempatan untuk berkhotbah, berilah dirimu waktu untuk mempersiapkan khotbah terbaik, bahkan jika pendengarnya hanya 2 orang anak kecil, biarkan mereka mendengar suara Tuhan dari khotbahmu. Itulah penyembahanmu.

Jika kita adalah chef, masaklah masakan terenak.

Jika kita adalah atlet lari, larilah sekencang-kencangnya.

Jika kita adalah pemimpin pujian, berikan suara paling merdu.

Jika kita adalah tukang Bangunan, buatlah rumah paling kokoh.

Jika kita adalah penulis, dunia sedang menunggu tulisan terindahmu.

Kita semua adalah anak-anak Allah. Jadilah maksimal untuk kemuliaan Bapa kita di sorga. Itulah penyembahan kita.

Aku Memberi Persepuluhan Karena Motivasi yang Salah

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Was Tithing For The Wrong Reasons

Empat tahun lalu, aku bersilang pendapat dengan keluargaku dan aku pun tidak lagi tinggal serumah dengan mereka. Di waktu yang hampir bersamaan, aku mulai menghadiri ibadah di sebuah gereja kecil.

Istri dari pendeta di gereja itu meluangkan banyak waktunya untuk membimbingku. Setiap minggunya kami belajar Alkitab bersama-sama, dan dia juga sering meluangkan waktunya untuk mendengarkan curhatanku. Aku sangat mengucap syukur. Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikannya, jadi aku mulai memberikan persembahan persepuluhan ke gereja itu sebagai ungkapan terima kasihku kepada sang istri pendeta; aku tidak ingin apa yang sudah berikan untukku tidak dibalas apapun.

Alasan lain mengapa aku mulai memberi persepuluhan adalah karena gereja itu kecil, dan setiap uang dari persepuluhan maupun persembahan yang diberikan oleh anggota gereja sangatlah berarti. Aku ingat pada suatu bulan, pendeta kami mengumumkan kalau bulan itu gereja kami tidak mempunyai cukup uang untuk membayar sewa bulan itu. Meskipun aku tidak kaya dan tidak mendapat gaji yang tinggi, aku memutuskan untuk memprioritaskan persepuluhanku dibandingkan dengan prioritas keuanganku yang lain.

Beberapa waktu berselang, hubunganku dengan keluargaku pun pulih, dan aku mulai mendukung kebutuhan finansial keluargaku lagi. Namun, pengeluaran ini membuat keadaan keuanganku tertekan. Tapi, aku masih ingin terus memberikan persepuluhan sebagai wujud terima kasihku kepada istri pendeta yang telah menolongku selama masa-masa sulit, dan aku tidak ingin keuangan gereja kecil itu jadi terganggu.

Di titik ini, aku tidak memberikan persepuluhan sebagai keyakinanku untuk menyenangkan Tuhan. Melainkan, aku memberikan persepuluhan untuk menyenangkan orang-orang di sekitarku (istri pendetaku, orang-orang di gereja). Memberi persepuluhan berdasarkan kekuatanku sendiri dan untuk alasan yang salah membuatku mulai menggerutu. Meskipun aku terus memberikan 10 persen penghasilanku kepada gerejaku, di dalam diriku aku merasa tidak bersukacita.

Aku juga mulai mencari-cari kesalahan dari apa yang pembawa persembahan biasanya doakan. Dia berdoa, “Aku berdoa kiranya kami semua memberikan dengan hati yang sukacita.” Namun, kata-kata itu tidak berarti apa-apa buatku. Aku tetap menggerutu dalam hatiku, berpikir tentang diriku sendiri, “Selama aku memberi, itu tidak apa-apa… Tidak masalah apakah hatiku bersukacita atau tidak, selama aku tidak membebani keuangan gereja, seharusnya itu tidak apa-apa.”

Pemahamanku yang salah mengenai persepuluhan

Namun Tuhan memedulikan bagaimana sikap hatiku ketika memberi. Tuhan tidak membiarkan aku menggerutu terus-terusan. Saat aku tengah bersaat teduh, dengan penuh kasih Tuhan menunjukkanku bahwa doa yang dinaikkan oleh para pembawa persembahan itu sesungguhnya berasal dari Alkitab. Bagian akhir dari 2 Korintus 9:6-7 menyentakku, “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.”

Saat aku mempelajari ayat ini, aku merasa bahwa Tuhan berbicara dengan penuh kasih, “Aku ingin agar kamu memberi dengan sukacita. Janganlah karena paksaan. Kalau kamu tidak bersukacita, tolong simpan saja uangmu. Aku tidak menginginkannya. Aku lebih memilih hatimu.”

Aku merasa bersalah. Aku menyadari suatu kebenaran—Tuhan menginginkan hatiku. Dia ingin aku memiliki sikap hati yang benar di hadapan-Nya. Tuhan tidak menginginkan uangku; keinginan-Nya adalah aku mengasihi-Nya dengan hati yang penuh keyakinan, dan aku memberinya tempat di atas segala hal lainnya di hatiku. Aku merasakan kasih yang Bapa yang lembut mengalir dari firman Tuhan tersebut, mengatakan bahwa aku lebih berharga daripada hal-hal lainnya di dunia ini.

Jadi mengapa sangat sulit buatku untuk memberi dengan sukacita? Yesus berkata, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” (Yohanes 14:15). Aku sadar bahwa aku tidak cukup mencintai Tuhan. Di luar aku menunjukkan bahwa aku mengasihi Tuhan, tetapi Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa di dalam hatiku, aku tidak sungguh-sungguh mengasihi-Nya.

Persepuluhan sebagai bentuk penyerahan diri

Aku belajar untuk melihat bahwa persepuluhan bukanlah sebuah ketaatan yang dilakukan dengan keraguan; melainkan merupakan wujud bahwa aku menyerahkan hatiku. Hati yang berserah adalah hati yang bersukacita dalam memberi, dan Tuhan dapat melakukan jauh lebih banyak dalam kehidupan kita ketika kita hidup dengan hati yang berserah.

Sejak Tuhan menunjukkan apa yang menjadi keinginan-Nya dalam hatiku, aku tidak lagi menggerutu ketika memberikan persepuluhan. Meskipun keuanganku masih terbatas, 2 Korintus 9:6 menguatkanku: “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” Kerajaan Allah itu bukanlah tentang benda-benda di dunia; Kerajaan Allah adalah tentang nilai-nilai yang bersifat kekal. Ketika kita memberikan persepuluhan dengan hati tulus, kita mungkin tidak akan diberkati dengan uang di rekening yang bertambah banyak, tetapi tentu kita menerima berkat yang bernilai kekal.

Ketika aku menyerahkan persepuluhanku kepada Tuhan meskipun keuanganku terbatas, aku justru belajar lebih banyak tentang penyerahan diri daripada ketika aku sedang berada dalam kondisi yang berlimpah. Aku belajar bagaimana rasanya berjalan dengan iman dan bukan dengan pandangan sendiri (2 Korintus 5:7), dan aku mengucap syukur untuk mengalami kebenaran Tuhan dalam janji-janji-Nya ketika aku menyerahkan diriku. Perlahan tetapi pasti, Tuhan sedang mengajariku untuk lebih mempercayai-Nya, dan setiap kali Dia melakukan itu, kasihku kepada-Nya pun bertumbuh.

Baca Juga:

3 Langkah yang Kulakukan untuk Lebih Efektif dalam Membaca Alkitab

Aku tampak Kristen di luar, tetapi di dalam hatiku, aku tidak tertuju kepada Tuhan. Aku memanjakan diriku dalam kehidupan dosaku tanpa memiliki hati yang mau bertobat. Hingga suatu ketika, aku pun belajar untuk mengubah caraku dalam membaca Alkitab.

Belajar dari Marta: Yang Kita Anggap Terbaik, Kadang Bukanlah yang Terbaik

Oleh Yuki Deli Azzolla Malau, Jakarta

Suatu ketika sahabat doaku mengabariku bahwa dia sedang berkunjung ke kota tempat tinggalku. Setelah pekerjaan dinas dari perusahaannya selesai, dia akan menghadiri ibadah Natal di kampusku. Dia ingin meluangkan waktu untuk berjumpa denganku sebelum ibadah dimulai.

Kabar itu membuatku bahagia dan antusias karena kami sudah lama tidak bertemu. Sepulang kerja, aku memutuskan bersiap-siap dulu, supaya bisa menyambut sahabatku. Aku pulang dulu ke rumah, kemudian membeli sesuatu untuk kuberikan padanya, dan mencari-cari tempat yang nyaman untuk mengobrol nanti. Kupikir kalau tidak sempat mengobrol sebelum ibadah, kami bisa melakukannya setelah ibadah usai. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk sahabatku.

Namun, karena persiapan yang kulakukan itu memakan waktu lama, aku jadi sangat terlambat datang ke kampus. Ibadah telah dimulai. Aku dan sahabatku duduk terpisah dan belum sempat bertegur sapa. Ketika ibadah selesai, ternyata sahabatku harus segera kembali ke tempatnya menginap. Hari sudah larut malam dan rencana awal kami untuk duduk santai sambil mengobrol pun hilang.

Aku menyesal. Seandainya saja tadi aku tidak pulang dulu dan repot-repot mencari sesuatu untuk kuberi padanya, pasti kami bisa meluangkan waktu untuk berbagi cerita. Semua persiapan yang kupikir akan menyenangkan sahabatku menjadi tidak berguna karena tujuan semula sahabatku tidak terwujud.

Dalam perjalanan pulangku, aku teringat akan kisah Marta yang menyambut Tuhan Yesus dan murid-muridnya. Kisah ini tercatat di Kitab Lukas 10:38-42. Ketika Yesus tiba di rumahnya, Marta sangat sibuk melayani. Mungkin sebagai tuan rumah, Marta ingin memberi pelayanan yang terbaik untuk Yesus. Tapi, keputusannya ini membuat dia menjadi sangat sibuk, apalagi kalau waktu itu kedatangan Yesus dan murid-murid-Nya bersifat mendadak.

Berbanding terbalik dengan Marta, Maria saudarinya justru memilih duduk dekat kaki Yesus dan terus mendengarkan perkataan-Nya (ayat 39). Melihat Maria yang tidak membantunya, Marta jadi kesal. Saking kesalnya, dia sampai berani menegur dan mengoreksi Yesus, katanya: “Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku” (ayat 40).

Mendengar keluhan Marta, Yesus tidak menanggapinya dengan membela Marta dan menyuruh Maria untuk ikutan sibuk. Yesus berkata: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya” (ayat 41-42).

Tuhan Yesus tidak menyalahkan Marta karena kesibukannya. Kata Yesus, Marta khawatir dan menyusahkan dirinya hingga dia kehilangan yang terbaik, yaitu waktu yang berkualitas bersama Tuhan. Marta kehilangan komunikasi dan keintiman relasi dengan Tuhan ketika dia menyusahkan dirinya dengan segala usaha yang dia pikir akan menyenangkan hati Tuhan.

Aku merasa tertegur. Seringkali aku bersikap seperti Marta. Aku suka menyibukkan diri supaya bisa memberikan yang terbaik, tapi kenyataannya, itu tidak selalu jadi sesuatu yang terbaik. Seperti aku yang kehilangan waktu berharga dengan sahabatku, aku pun kehilangan waktu yang berharga untuk berelasi dengan Tuhan.

Aku pernah sangat sibuk dengan pelayanan, pekerjaan, studi, atau kegiatan lainnya yang kupikir akan menyenangkan Tuhan. Tapi, lama-lama aku merasa lelah sendiri dan tidak lagi menikmati kegiatan-kegiatan itu. Aku menganggap waktu untuk berdiam diri dan berdoa itu tidak berguna dan tidak penting, hingga aku pun mengeluh dan kehilangan damai sejahtera. Sesuatu yang awalnya kulakukan sebagai wujud persembahan terbaikku untuk Tuhan malah jadi sesuatu yang membuatku merasa jauh dari-Nya.

Dari kisah Marta, aku mengerti bahwa Tuhan tidak ingin kita kehilangan yang terbaik dalam upaya kita untuk memberi-Nya yang terbaik. Aku memang perlu berupaya sepenuh hati untuk menyenangkan hati-Nya, namun aku pun perlu mengingat bahwa apa yang Tuhan inginkan dariku adalah relasi dan pengenalan akan Dia.

Seperti lirik sebuah lagu yang berkata “satu hal yang kurindu, berdiam di dalam rumah-Mu”, aku berkomitmen untuk meluangkan waktu di tengah kesibukanku untuk berelasi dengan-Nya.

Satu hal yang kurindu
Berdiam di dalam rumah-Mu
Satu hal yang kupinta
Menikmati bait-Mu Tuhan

Lebih baik satu hari di pelataran-Mu
Daripada s’ribu hari di tempat lain
Memuji-Mu, menyembah-Mu, Kau Allah yang hidup
Dan menikmati s’mua kemurahan-Mu

Baca Juga:

Seandainya Tuhan Membuat Parasku Cantik

Aku tidak puas dengan tubuhku yang pendek, gemuk, dan terlihat biasa-biasa saja. Dalam beberapa kesempatan, aku berusaha mengubah bentuk tubuhku supaya diterima dengan baik oleh orang lain. Hingga suatu ketika, Tuhan menegurku dan inilah yang menjadi titik balik hidupku.

4 Cara Mudah Mengenali Pengeluaran yang Berlebihan

Penulis: Ivan Kwananda Pangestu

DompetNoHoDamon via Foter.com / CC BY-NC-ND

Duit.. duit lagi.. masalah yang dasar dalam hidup ini. Perceraian suami istri atau pertemanan bisa karena duit.” Demikianlah sepenggal lirik lagu dari sebuah grup band Indonesia yang sempat populer beberapa tahun yang lalu. Pesannya sederhana, duit alias uang adalah sumber masalah mendasar dalam kehidupan.

Sebenarnya, uang adalah suatu alat tukar yang netral. Sumber permasalahan timbul dari cara kita mengelola dan menggunakan uang kita. Yesus juga menjelaskan berbagai macam bahaya jika kita memiliki sikap yang salah terhadap uang (Lukas 9:23-25; Lukas 12:13-21; Lukas 12:22-34). Uang akan mengendalikan dan menghancurkan kehidupan kita, jika kita tidak mengelola dan menggunakannya dengan baik.

Sama halnya sebuah penyakit dikenali dari gejala-gejalanya, demikian juga ketidaksehatan keuangan dapat didiagnosa dari tanda-tanda yang muncul di dalam penggunaan uang kita. Berikut adalah 4 tanda yang dapat dengan mudah kita perhatikan untuk mendeteksi penggunaan uang yang berlebihan dan tidak bijak. Empat tanda ini menjadi rambu-rambu peringatan untuk memperbaiki pengelolaan dan penggunaan uang kita.

1. Perhatikan rasio tabungan dibanding pendapatan kita

Rasio tabungan kita merupakan tanda pertama yang menunjukkan bahwa kita mengeluarkan uang secara berlebihan. Pada umumnya, seorang yang memiliki kondisi keuangan yang sehat dapat menyisihkan 10% atau lebih dari pendapatan atau uang saku yang diterima. Rasio tabungan dibanding pendapatan wajarnya adalah 1:10. Jika pendapatan kita 3 juta per bulan, setidaknya kita harus menabung minimal 300 ribu setiap bulannya. Seorang yang boros akan membelanjakan uangnya sepanjang bulan dan menabung sisanya saja. Biasanya sisa uang ini tidak mencapai 10% atau bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini jelas tidak baik. Kita harus berusaha menabung dengan tertib, setidaknya 10% dari pendapatan kita. Untuk memulai disiplin menabung, kita bisa ikut dalam tabungan rutin autodebet yang ditawarkan oleh beberapa bank. Hal ini dapat sangat membantu kita untuk mendisiplin diri dan memiliki rasio tabungan yang sehat.

2. Perhatikan perubahan gaya hidup kita di awal dan akhir bulan

“Awal bulan makan di restoran; tengah bulan makan di kaki lima; akhir bulan makan Indomie.” Tampaknya ini adalah hal yang biasa terjadi, namun sebenarnya ini adalah cerminan dari keadaan keuangan yang tidak diatur dengan baik. Terjadinya perbedaan gaya hidup di awal dan akhir bulan disebabkan kita seringkali terlalu banyak pengeluaran di awal bulan. Sebaiknya, tetapkan gaya hidup standar sesuai kondisi keuangan kita dan jalanilah sepanjang bulan dengan gaya hidup yang konsisten.

3. Perhatikan seberapa konsisten kita memberikan persembahan

Sebagai orang Kristen, kita memiliki kewajiban untuk memberi perpuluhan setiap bulan dan persembahan setiap minggu (Imamat 27:30; 2 Tawarikh 31:6; Maleakhi 3:10; Matius 23:23; Lukas 11:42). Perpuluhan dan persembahan merupakan wujud komitmen kita mendukung pelayanan Tuhan dan ungkapan syukur atas berkat yang Tuhan percayakan pada kita. Seorang yang menggunakan uang dengan berlebihan akan memberikan perpuluhan dan persembahan dengan jumlah yang tidak konstan. Di awal bulan, ia bisa memberi persembahan dalam jumlah yang besar, namun ia mengurangi jumlah persembahan di akhir bulan karena keuangan yang terbatas. Sebaiknya, kita menetapkan jumlah yang pasti untuk perpuluhan bulanan dan persembahan setiap minggunya dan kita memberikannya dengan disiplin.

4. Perhatikan apakah kita punya cukup dana untuk pengeluaran tak terduga

Di dalam mengelola keuangan kita, kita juga perlu mempertimbangkan adanya pengeluaran tak terduga setiap bulannya. Pengeluaran tak terduga bisa bermacam-macam, seperti pembayaran ganti rugi ketika terjadi kecelakaan, membayar dokter jika sakit, membeli obat, memberi angpao untuk undangan pernikahan yang mendadak, mengganti ban motor yang sudah rusak, dan lain sebagainya. Kita perlu mengalokasikan dana untuk pengeluaran tak terduga. Seorang yang menggunakan uang dengan berlebihan tidak akan memiliki uang yang tersedia untuk pengeluaran-pengeluaran tersebut. Jika terjadi seperti ini, biasanya dana tabungan akan dikorbankan untuk pengeluaran-pengeluaran tak terduga ini.

Memantau Kesehatan Penggunaan Uang Kita

Pada akhirnya untuk mengetahui kesehatan pengeluaran setiap bulannya, kita memerlukan tolok ukur yang disebut budgeting atau rencana anggaran. Rencana anggaran adalah rancangan perincian pengeluaran bulanan, di mana kita membagi penghasilan kita ke dalam akun-akun pengeluaran yang spesifik, seperti perpuluhan, persembahan, tabungan, makanan, pakaian, transportasi, dana tak terduga, dan lain sebagainya. Dengan membuat rencana anggaran, kita memiliki perencanaan pengeluaran yang tetap untuk dijalankan setiap bulannya. Hal ini juga dapat menjadi standar untuk mengevaluasi pengeluaran yang telah kita lakukan setiap bulan. Dengan demikian kita dapat terhindar dari pengeluaran-pengeluaran yang berlebihan dan tidak terkendali oleh karena tidak adanya perencanaan dan evaluasi yang baik. Rencana anggaran dapat membuat kita memiliki rasio tabungan yang baik, memiliki gaya hidup yang konstan, memberi perpuluhan dan persembahan dengan tertib, serta memiliki cadangan uang untuk pengeluaran-pengeluaran tak terduga.

Mari kita mengelola keuangan kita dengan baik dan bertanggungjawab, karena hal ini memberi banyak kemudahan bagi kehidupan kita dan menyenangkan hati Tuhan di surga. Muliakan TUHAN dengan hartamu (Amsal 3:9)!

Seri Lukisan Natal: Sebuah Nubuat yang Ditepati

lukisan-natal-warungsatekamu-orang-majus

Karena Sang Bayi, para majus jauh-jauh mencari
Penguasa istimewa, Raja orang Yahudi
Dari Timur, terang bintang terus mereka ikuti
Rindu mempersembahkan harta dan segenap hati

Sang Bayi Kudus, Yesus namanya
Rindukah kamu juga mempersembahkan hidupmu kepada-Nya?

Baca: Matius 2:1-12

Pelukis: @galihsuseno
Tahun: 2015
Bahan: Acrylic on Canvas
Ukuran: 120 x 160 cm

Persembahan, Sebuah Rutinitas?

Oleh Tabita Davinia

Syallom! Aku ingin membagikan pengalamanku selama menjadi sie persekutuan di komisi remaja di salah satu gereja di Solo. Aku merasa bangga dan bersyukur bisa melayani dalam sie persekutuan, karena Tuhan sudah mempercayakan pelayanan ini kepadaku dan kepada rekan-rekan pengurus yang lain. Persekutuan di komisi remaja gerejaku ini hampir mirip dengan kebaktian, hanya saja sifatnya lebih santai.

Bicara soal persekutuan, ada bagian rutin dalam ibadah yang disebut persembahan. Persembahan yang aku maksud di sini adalah waktunya jemaat memberikan uang sebagai bentuk persembahannya. Nah, yang jadi masalah adalah kalau kita nggak menghayati kegiatan memberikan persembahan itu! (Nah lho…)

Harus kuakui, kadang-kadang aku sibuk sendiri sewaktu kantong persembahan diedarkan. Aku suka buka HP dan baca SMS. Hal itu masih kulakukan setelah aku memberikan persembahan. Aku juga melihat banyak teman yang sibuk sendiri. Jujur ya, aku merasa sikap itu seharusnya nggak patut.

Lho, memangnya kenapa kok kita tidak boleh menyepelekan persembahan? Alasannya, karena Kristus telah menebus hidup kita! Dan persembahan adalah kesempatan yang diberikan Allah Bapa kepada kita untuk mengungkapkan syukur kepada-Nya!

Coba bayangkan, pada zaman Perjanjian Lama, orang Israel harus memberikan persembahan mereka berupa kambing atau domba yang tidak bercela dan tidak boleh cacat! Kebayang susahnya mempersembahkan korban bagi Tuhan saat itu. Apalagi kalau orang juga harus membangun mezbah. Aduh… Pasti capek banget!

Nah, apakah di zaman sekarang kita juga mempersembahkan korban seperti mereka yang di dalam Perjanjian Lama? Tidak. Kita tidak perlu melakukan itu, karena Tuhan Yesus telah menebus kita. Yesus adalah Anak Domba Allah yang sempurna. Dia telah memberikan diri-Nya yang tak bercela dan tak bernoda untuk memulihkan kembali hubungan kita dengan Bapa (1 Ptr. 1:18-21). Itulah persembahan yang paling agung, paling mulia, dan paling harum bagi Bapa. Syukuri itu, teman-teman!

Jadi, bagaimana caranya agar kita dapat menghayati makna persembahan itu? Agar persembahan itu bukan hanya jadi rutinitas?

Pertama, kita harus tulus memberikan persembahan. Kalau kita memang nggak begitu mampu untuk memberikan banyak, nggak apa-apa. Yang terpenting kita memberikan persembahan dengan hati tulus. Sama seperti janda miskin di dalam Lukas 21:1-4, Tuhan Yesus berkata bahwa Allah melihat hatinya, bukan berapa banyak yang dipersembahkan.

Kedua, ingatlah bahwa sebenarnya kita tidak layak untuk memberikan persembahan. Hanya karena anugerah Tuhan-lah, kita dapat memberikan persembahan ^^ Tuhan Yesus telah memberikan nyawa-Nya untuk kita, sehingga hubungan kita dengan Bapa dipulihkan-Nya.

Ketiga, kita harus menyadari bahwa sebenarnya Tuhan-lah pencipta alam semesta ini. Dia begitu agung dan kita diberi kesempatan untuk mengungkapkan rasa syukur kita—salah satunya dengan memberikan persembahan. Wow! Amazing, isn’t it? Jadi, jangan sia-siakan kesempatan itu, ya. Gunakan itu untuk memuliakan nama-Nya!

Jadi, jawaban untuk judul di atas adalah TIDAK. Persembahan bukan sekadar rutinitas. Persembahan adalah saat di mana kita mengucap syukur atas pemberian Tuhan kepada kita—hal kecil, hal besar, sampai yang teragung yaitu Yesus Kristus. Ingat itu saat kamu memberikan persembahanmu di kebaktian atau persekutuan minggu ini!