Posts

Terlalu Fokus Pelayanan Membuatku Lupa Siapa yang Kulayani

Oleh Diana Mangendong, Makassar

Mengisi masa muda dengan aktif pelayanan terasa melegakan, bukan? Saat generasi milenial sedang sibuk-sibuknya mendongkrak popularitas lewat media sosial, saat dunia sedang ramai berselisih paham antarlingkup perbedaan dan persaingan kekuasaan, kita justru telah dipanggil dan dipilih menjadi kawan sekerja Allah.

Seiring dengan pelayanan yang kujalani, aku menikmati berkat demi berkat yang Tuhan sediakan. Pada awalnya, Tuhan mempercayakan perkara-perkara kecil, yang perlahan-lahan dinaikkan levelnya. Kemudian, Tuhan menganugerahiku dengan talenta, membantuku menemukan potensi baru dalam diri, menumbuhkan mental pelayanan dan kepercayaan diri, serta pergaulan yang semakin meluas. Aku percaya, semua yang dianugerahkan Tuhan kepadaku harus kupersembahkan kembali bagi kemuliaan nama-Nya.

Kupikir jalan hidup yang kuambil sudah tepat—menghabiskan waktu dan tenaga untuk melakukan kegiatan pelayanan. Aku memberi diri untuk melayani sebagai pengurus komisi perkembangan anak dan remaja di gereja. Untuk tetap terhubung dengan teman-teman sebaya, aku juga melibatkan diri dalam pelayanan persekutuan pemuda. Jadi, tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa dari Senin sampai Minggu aku selalu melangkahkan kakiku ke gedung gereja untuk rapat, persiapan mengajar, persiapan liturgi dan penyataan firman saat ibadah, latihan paduan suara, dan pastinya ibadah sekolah minggu dan ibadah pemuda. Kegiatan akan menjadi semakin padat saat memasuki bulan-bulan perayaan hari anak dan hari besar gerejawi. Rasa-rasanya, program kerja tahunan penguruslah yang menyetir kehidupan pelayananku.

Hingga suatu ketika, aku merenungkan kembali segala aktivitas pelayanan yang kulakukan. Di satu sisi, mungkin aku terlihat begitu giat dan bersemangat melayani-Nya. Tapi, di sisi lainnya, kedekatan dengan Tuhan yang kubangun melalui saat teduh, doa, dan puji-pujian mulai tergantikan dengan lelahnya aktivitas pelayanan yang kulakukan. Aku pun teringat akan sebuah kutipan yang berkata: “Adalah mungkin begitu aktif dalam pelayanan Kristiani, tapi lupa mengasihi Kristus” – P.T Forsyth.

Aku terlalu banyak menerima pelayanan hingga sebagian besar waktuku terpakai untuk merealisasikan program kerja. Pelayanan yang kulakukan jadi kehilangan makna, hanya menjadi serangkaian rutinitas belaka. Kesibukanku dalam pelayanan membuatku tak sadar bahwa ada Tuhan Yesus yang menantikanku dalam saat-saat pribadi bersama-Nya.

Hari itu aku pun memohon ampun kepada Tuhan atas kekeliruan motivasiku dalam melayani-Nya. Aku memohon agar Tuhan memampukanku untuk tetap menjadikan Dia yang terutama dalam pelayananku dan aku berkomitmen untuk membangun kembali hubungan yang erat dengan-Nya. Aku menyadari bahwa Tuhan tidak menilai seberapa banyak pelayanan yang kita ambil, tetapi seberapa sungguh kita mau menggunakan pelayanan itu sebagai cara untuk terhubung dengan Kristus.

Pada akhirnya, aku tahu bahwa kelegaan yang kudapatkan di dunia pelayanan hanyalah oase dari dahaga eksistensi jiwa mudaku. Aku bersyukur Tuhan menyadarkanku bahwa langkahku sudah membuatku nyaris jatuh ke dalam jurang kesombongan. Aku belajar bahwa pelayanan itu perlu, tetapi menjadi tidak baik ketika kegiatan pelayanan membuat kita mengesampingkan hubungan pribadi dengan sang pemberi pelayanan itu sendiri: Tuhan Yesus.

Biarlah pelayanan kita menjadi bentuk ungkapan syukur kita atas karya keselamatan dan kasih setia Tuhan bagi kita, sebagai buah manis dari hubungan pribadi kita dengan Tuhan. Jangan sampai pelayanan yang kita lakukan menjadi salah tujuan, seperti untuk kebanggaan dan kepuasan diri sendiri. Hanya bagi Tuhan dan kemuliaan-Nya sajalah kiranya pelayanan kita ditunaikan. Tuhan Yesus memberkati pelayanan kita semua, di ladangnya masing-masing.

“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efesus 2:8-9).

Baca Juga:

Patah Hati Membuatku Berbalik pada Tuhan

Patah hati mungkin adalah peristiwa buruk, tetapi dari peristiwa buruk inilah aku jadi belajar untuk memperbaiki diri dan juga lebih dekat dengan Tuhan.

Ketika Aku Bertobat dari Membicarakan Orang Lain di Belakangnya

Oleh Agnes Lee
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Hurtful Words I Needed to Hear

Setiap Rabu, aku bertemu dengan pemimpin kelompokku dan rekan kerjaku, sebut saja namanya Abigail untuk persekutuan sambil makan siang bersama. Walaupun kami cuma bertiga, kami percaya apa yang Yesus katakan dalam Matius 18:20, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”

Dua minggu sebelumnya, pemimpin kelompok kami sakit dan dia tidak dapat hadir di pertemuan rutin kami bertiga. Dalam hatiku, aku tidak ingin bertemu Abigail kalau cuma berdua saja. Menurutku dia adalah seorang yang tidak mau mengalah dan egois. Namun, Abigail ingin agar kami tetap bertemu di hari Rabu, maka aku pun menurut.

Hari itu Abigail membawa makanan dari rumahnya, lalu menghangatkannnya di dapur kantor sebelum persekutuan. Ketika dia sedang ada di dapur, seorang rekan kerjaku yang lain, Jacqueline menghampiriku dan bertanya apakah aku mau ikut makan siang bersama teman-teman yang lain? Kujawab kalau aku akan persekutuan sambil makan siang dengan Abigail. Lalu Jacqueline membalasku, “Lebih baik kamu ikut makan siang sama kami saja. Tidak perlu persekutuan, kan pemimpin kelompokmu sedang sakit. Lagipula, kamu dengan Abigail kan tidak begitu akur dan kamu sering mengeluh tentang dia. Lebih baik makan siang dengan kami, belajar tentang tuhan-tuhan yang lain.”

Seperti pisau, kata-kata itu menyayatku. Namun, di sisi lain, aku tahu persis mengapa Jacqueline mengatakan hal itu. Beberapa minggu sebelumnya, aku terus mengeluh tentang Abigail di belakangnya, menceritakan kepada orang-orang tentang sikapnya yang egois dan kurangnya rasa solidaritas dalam dirinya. Perkataan Jacqueline itu membuatku merasa jadi seorang yang gagal. Aku mengakui diri sebagai pengikut Kristus, tapi aku mengalah pada kedaginganku dan mengabaikan Roh Kudus.

Beberapa hari kemudian, aku membaca Yohanes 13:34-35: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Ayat itu sangat mengena, dan aku mengingat kembali peristiwa dahulu. Aku tahu Tuhan sedang menggunakan ayat itu untuk berbicara kepadaku.

Aku perlu mengasihi dan menerima Abigail, tidak hanya dari luarnya saja, tapi seluruhnya. Aku harus berhenti berpura-pura baik kepadanya dan membicarakannya di belakang. Jika aku terus melakukannya, maka antara iman dan tindakanku tidaklah sejalan, dan bagaimana mungkin orang lain dapat melihatku sebagai murid Kristus?

Aku harus berubah. Alih-alih membicarakan kejelekan Abigail di belakangnya, aku perlu mengucapkan kata-kata berkat yang mencerminkan Kristus. Aku perlu melawan kedaginganku dan mengizinkan Roh Kudus untuk bekerja dalamku supaya aku bisa menghasilkan buah-buah kasih, kemurahan hati, dan pengendalian diri.

Hari itu aku memohon ampun kepada Tuhan dan berhenti mengeluh. Aku mengingat akan betapa baik dan sabarnya Tuhan padaku sejak dahulu, bagaimana Tuhan tidak menyerah terhadapku meskipun aku begitu egois dan jahat (Roma 8:1). Saat bertemu dengan pemimpin kelompokku, aku menceritakan hal ini kepadanya. Dia lalu mengatur waktu untuk aku dan Abigail bertemu bersama dan menyelesaikan masalah ini.

Ketika Abigail tahu, awalnya dia marah padaku. Dia merasa aku salah mengerti tentang dirinya dan dia bilang kalau dia tidak dapat mempercayaiku lagi. Selama beberapa hari setelah itu kami tidak saling mengobrol. Melihat respons kami yang seperti itu, pemimpin kelompok kami pun khawatir. Dia mengajak kami bicara satu-satu secara terpisah dan puji Tuhan, pada akhirnya kami berdua mencapai pemahaman yang sama.

Dari kejadian ini, aku belajar bahwa aku pernah jadi seorang yang terlalu cepat menghakimi dan menyalahkan. Sekarang, aku mulai menyadari bahwa Abigail adalah teman yang baik. Dia tidak memelihara segala keluh kesahnya dan tidak menyimpan rasa marah untuk waktu yang lama. Sikapnya terhadap kami semua berubah, dia jadi orang yang suka menolong.

Menyalahkan dan mengeluh tentang orang lain telah menghalangiku dari anugerah Tuhan dan melihat sisi yang baik dari Abigail. Puji Tuhan aku telah diubahkan-Nya. Sekarang aku bersyukur bahwa aku dan Abigail telah lebih mengenal satu sama lain melalui pengalaman ini, dan sekarang kami bisa saling mengasihi adalah karena anugerah Kristus. Kami adalah saudara dalam Kristus, kami memiliki Bapa yang sama, dan kami pun memiliki rumah kekal yang sama.

Baca Juga:

Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempatku Berproses

Aku baru bekerja selama dua bulan. Awalnya aku merasa sangat bersyukur dan senang bekerja di sini. Namun, ketika pekerjaan itu rupanya tidak seperti yang kubayangkan, aku pun begitu kecewa dan terpuruk.

Bagaimana Aku Bisa Melayani dengan Sikap Hati yang Benar?

Oleh Constance Goh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How Can I Serve With The Right Heart?
Artikel diterjemahkan oleh Arie Yanuardi

Pada suatu waktu, aku pernah melayani di tujuh pelayanan dan menghadiri lima rapat gereja dalam satu akhir pekan. Aku tidak sedang berusaha menunjukkanmu betapa sucinya aku. Justru, aku sedang memberitahumu betapa konyolnya aku.

Aku sangat sibuk, berpindah dari satu rapat ke rapat lainnya, berusaha menyelesaikan setumpuk tugas yang kumiliki. Dari luar, aku terlihat seperti orang yang sangat suci, tapi di dalam—dan di mata Tuhan—aku sesungguhnya berada di tempat yang paling jauh dari kesucian.

Aku takut menghadapi akhir pekan karena aku tahu kalau di sanalah aku harus menghadapi “serangan-serangan” berupa rapat, latihan, dan tugas. Aku menyeret badanku yang letih untuk datang ke rapat-rapat itu, dan menanti-nantikan kapan rapat itu selesai. Di dalam rapat-rapat itu, aku berdoa, tapi aku tidak mengerti dan mengimani apa yang kukatakan pada Tuhan.

Aku juga jadi orang yang tidak sabaran, dan kehilangan kasih dalam tindakan dan perkataanku. Ketika melihat orang lain, yang kulihat bukanlah bagaimana usaha mereka untuk memberikan yang terbaik buat Tuhan, aku malah melihat kesalahan-kesalahan mereka. Hidupku terasa menyedihkan dan aku hidup di dalam dosa.

Perlahan tapi pasti, aku menyadari bahwa aku semakin menjauh dari Tuhan. Aku hanya membaca sekilas ayat-ayat Alkitab yang tertera di dalam renungan saat teduhku, tanpa berusaha untuk meresapi apa makna ayat-ayat itu buatku. Aku merasa malu untuk menghampiri Tuhan dalam kondisiku yang penuh dosa. Untuk menutupi rasa bersalahku, aku berkilah kalau aku tidak perlu lagi meluangkan waktu bersaat teduh bersama Tuhan, karena sudah berjam-jam waktuku kugunakan untuk pelayanan. Pada akhirnya, aku berhenti bersaat teduh sama sekali.

Kupikir, aku berada pada kondisi seperti ini karena aku terlalu banyak mengambil pelayanan, maka aku memutuskan untuk mengambil jeda istirahat sejenak dari semua komitmen pelayananku.

Sejujurnya, niatku untuk berhenti sejenak adalah supaya aku bisa beristirahat dan berhenti berurusan dengan orang-orang yang membuatku merasakan kepahitan. Tapi, Tuhan dengan lembut menggunakan waktu itu untuk kebaikanku. Dia bekerja di dalam hatiku. Selama waktu itu, aku menyadari bahwa selain menanyakan pertanyaan: “Apakah oke untuk berkata tidak pada pelayanan?” pertanyaan lain yang dapat kutanyakan adalah: “Bagaimana caranya agar aku bisa melayani dengan sikap hati yang benar?

Inilah empat poin yang membantuku mengarahkan kembali fokusku:

1. Ketahui batasan-batasanmu

Di dalam sebagian besar waktu-waktuku menjalani kehidupan sebagai orang Kristen, aku merasakan sukacita dalam pelayanan. Tuhan selalu memberiku anugerah untuk melihat bahwa talenta apapun yang kupunya adalah milik-Nya. Bagiku, hari Minggu adalah hari terbaik dalam satu minggu. Aku merasa sangat gembira untuk berada di gereja setiap hari Minggu. Aku menikmati pelayananku untuk Tuhan, dan aku merasakan kehadiran-Nya bersamaku seiring aku melayani umat-Nya.

Tetapi, semua itu berubah ketika aku mengambil lebih banyak pelayanan. Aku harap aku memiliki hikmat untuk mengetahui kapan dan bagaimana cara yang tepat untuk berkata tidak. Ketika orang-orang menemuiku dan mengajakku bergabung dalam upaya pelayanan mereka, aku menganggukkan kepalaku untuk menunjukkan seolah aku adalah orang Kristen yang “baik”. Padahal, aku tahu kalau jadwalku sudah penuh. Inilah yang kemudian mencuri sukacitaku dan membuatku semakin sulit menikmati pelayananku.

Menurutku, sukacita yang hilang itu merupakan peringatan bagi kita untuk kembali mengevaluasi dan mengarahkan kehidupan kita. Berbeda dengan rasa senang yang merupakan perasaan sementara yang bergantung pada keadaan, sukacita adalah rasa syukur dan nikmat yang Tuhan berikan, yang dapat kita rasakan bahkan dalam keadaan yang tidak menyenangkan sekalipun. Ketika kita memiliki sukacita, kita tetap dapat menikmati pelayanan meskipun itu membuat kita merasa lelah. Merasakan sukacita dalam pelayanan adalah berkat Tuhan bagi kita.

Sebelum kita setuju untuk menambah bidang pelayanan kita, adalah baik apabila kita memeriksa jadwal dan menguji kembali komitmen kita atas pelayanan-pelayanan yang sudah kita ikuti sebelumnya. Aku menyadari bahwa menjawab “ya” pada setiap ajakan pelayanan tidak hanya membahayakan efektivitasku pada komitmen pelayanan yang sedang kuikuti, tapi juga relasi pribadiku dengan Tuhan. Hal ini kelak hanya akan jadi pengorbanan yang melelahkan.

Tuhan jauh lebih menyukai hati yang penuh dengan kerelaan dan sukacita daripada kegiatan pelayanan yang didasari perasaan kewajiban semata. Jika dengan menambah tanggung jawabku di gereja bisa mengikis sukacita dan kehangatan relasiku dengan Tuhan, bisa jadi semua pelayananku jadi percuma.

2. Ketahuilah bahwa Tuhan memberi kita waktu istirahat

Aku pernah berpikir bahwa jika aku menyibukkan diriku dengan pelayanan, maka Tuhan akan lebih senang padaku. Maka, dengan asumsi tersebut, aku tidak pernah menolak setiap tawaran pelayanan yang diberikan kepadaku.

Tapi, ketika aku mengambil waktu untuk beristirahat dari pelayanan dan meluangkan lebih banyak waktuku dengan Tuhan, aku belajar bahwa beristirahat adalah hal yang sangat Alkitabiah. Nyatanya, Tuhan sendiri beristirahat pada hari Sabat setelah menciptakan alam semesta (Kejadian 2:2). Dengan melakukan hal itu, Tuhan memberi kita contoh yang sempurna untuk kita ikuti.

Kita beristirahat—secara jasmani dan rohani—setelah seharian bekerja. Aku diingatkan oleh Mazmur 127:1-2 bahwa “percuma” bekerja dengan “susah payah” dari pagi-pagi sampai jauh malam, karena Tuhan memberi anak-anak yang dikasihi-Nya pada waktu mereka beristirahat. Ayat-ayat ini tidak menuntun kita untuk berhenti bekerja, tetapi mengingatkan kita untuk memiliki sikap yang bergantung dan berserah pada Tuhan ketika kita bekerja.

Pada suatu malam, aku merenungkan kembali waktu-waktu yang dulu pernah kulalui dengan kerepotan karena tugas-tugas pelayananku, memastikan semuanya dikerjakan dengan sempurna, dan sekarang aku sangat sedih setelah menyadari bahwa fokusku sedang berada di tempat yang salah. Tentu tidak ada yang salah dengan mengejar hasil yang terbaik. Masalahnya muncul ketika pengejaran akan kesempurnaan ini adalah untuk menyenangkan diri sendiri, bukan untuk Tuhan. Hal ini akan menjadi obsesi yang tidak sehat, yang tentunya tidak menyenangkan hati Tuhan. Tuhan tidak memanggil kita untuk menjadi pekerja-pekerja yang sempurna, Dia memanggil kita untuk menjadi anak-anak-Nya yang menikmati kehadiran-Nya selagi kita melayani.

3. Ketahui alasan mengapa kamu melayani

Jika kamu menerima kesempatan melayani karena kamu merasa itu membuatmu terlihat suci atau lebih baik, sebaiknya jangan. Jika kamu menerima kesempatan melayani karena kamu merasa terhormat bahwa seseorang menawarimu kesempatan ini, sebaiknya jangan. Ironisnya, hal-hal tersebut adalah alasan utamaku yang membuatku berulang kali mengambil komitmen pelayanan baru.

Tentu alasan-alasan ini ditutupi oleh alasan-alasan klise pada umumnya yang terdengar Kristen, seperti untuk memuliakan Allah dengan talentaku, atau menggunakan waktuku dengan lebih bijak untuk Tuhan. Tapi, dengan motivasi tersembunyi yang salah dalam diriku, sulit untuk terus berjuang dalam pelayanan ketika aku merasa kelelahan dan hasil-hasil pelayananku mengecewakanku. Tentu, pujian dan perhatian dari orang-orang di gereja, dan dorongan tambahan dari “reputasi Kristen”ku membuatku merasa baik. Tapi, pada akhirnya, hal-hal itu tidak memberiku sukacita yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan.

Motivasi seperti keinginan untuk menggunakan talenta kita buat Tuhan, atau untuk melayani bersama komunitas orang percaya, adalah niatan baik yang bisa kita miliki. Tapi, adalah penting buat kita sungguh-sungguh memeriksa kembali apa yang menjadi motivasi utama kita ketika melayani. Jika niatan kita masih didasari oleh dosa, akan lebih bijak apabila kita menunggu dan memohon Tuhan untuk menyingkirkan setiap pikiran kita yang egois dan menggantinya dengan kerinduan akan diri-Nya. Ketika kita benar-benar didorong dengan tujuan melayani yang berasal dari Tuhan, kita akan melayani-Nya dengan sukacita dan kerelaan yang sejati.

4. Ketahui Siapa yang kamu layani

Meskipun dari luar aku terlihat sangat suci, aku tahu bahwa aku adalah orang yang munafik. Aku menyamarkan niat untuk melayani diri sendiri seolah-olah aku ini sedang melayani Tuhan. Aku melayani hatiku yang menuntut pujian dan perhatian dari orang-orang di sekitarku.

Dalam waktu istirahat yang kuambil, aku menyadari—pertama kalinya dalam 18 tahun selama aku berada di gerejaku—bahwa ada sekelompok ibu-ibu dan bapak-bapak yang setia, yang datang lebih pagi setiap hari Minggu untuk merebus air dalam panci besar untuk menyediakan kopi bagi jemaat. Orang-orang jarang berterima kasih pada mereka, dan mereka selalu “tidak terlihat”. Meski begitu, mereka melakukan pelayanan ini dengan setia dan tidak mengeluh.

Pengalaman itu membuatku bertanya, siapakah yang menjadi penontonku ketika aku pertama kali ingin bermain gitar dalam pelayanan? Jika sungguh-sungguh hanya Tuhan yang menjadi satu-satunya penontonku, apakah aku akan puas dan bersukacita jika aku bermain di belakang, di balik sebuah tirai penutup, tidak pernah dikenal atau bahkan menerima ucapan terima kasih dari jemaat? Apakah aku benar-benar memainkan gitar itu hanya untuk Tuhan?

Kita tidak memungkiri bahwa ada pelayanan-pelayanan yang lebih terlihat jika dibandingkan dengan pelayanan lainnya. Sebagai anak-anak-Nya yang melayani, kita mudah terperangkap dalam apresiasi dan pengakuan manusia. Kita melupakan Pribadi yang selalu memperhatikan kita setiap saat. Tetapi, pada kenyataannya, hati kita tidak akan pernah dipuaskan oleh pujian dari manusia. Kita butuh Tuhan sendiri yang berkenan pada kita agar kita bisa benar-benar menikmati melayani-Nya.

Aku mengambil waktu istirahat dari pelayananku selama enam bulan dan belajar untuk menikmati Tuhan dan kehadiran-Nya lagi. Selama masa itu, Tuhan menyadarkanku dari niatan-niatan egoisku, hatiku yang mengeras, dan kurangnya kasihku kepada saudara-saudara seiman.

Teruntuk kalian yang sedang mempertimbangkan melayani untuk pertama kalinya, maupun mempertimbangkan untuk menerima pelayanan baru, aku sungguh-sungguh berdoa agar kalian tidak mengambil pelayanan ini untuk memuaskan diri sendiri ataupun orang lain. Hal ini akan menuntun pada kesengsaraan, kepahitan, dan kepenatan yang serius—kenyataan pahit yang pernah kurasakan.

Tuhan tidak cuma melihat apa yang kita layani, Dia juga melihat hati kita ketika kita melayani-Nya.

Baca Juga:

Ketika Konflik Terjadi di Gerejaku

Di gerejaku sih banyak konflik. Bagaimana mungkin gereja gereja bisa jadi gambaran surga yang ada di dunia kalau di dalamnya ada persaingan dan permusuhan?

Menjadi Pemimpin di Kelompok Kecil, Cara Tuhan Mengubahkan Hidupku

Oleh Yuki Deli Azzolla Malau, Jakarta

Sewaktu duduk di bangku kuliah di kota Pekanbaru, aku mengikuti pembinaan dalam sebuah kelompok kecil yang diselenggarakan oleh Komunikasi Mahasiswa Kristen (KMK) di kampusku. Awalnya aku tidak pernah terpikir untuk ikut kegiatan ini. Keadaan ekonomi keluargaku yang sedang sulit membuatku ingin segera lulus dan mendapat nilai terbaik. Aku tidak ingin ikut kegiatan yang kupikir dapat mengganggu aktivitas studiku.

Aku sudah mengenal Kristus sejak SMP dan aku juga berjemaat di sebuah gereja. Hal ini jugalah yang menjadi alasan lain mengapa aku enggan mengikuti kelompok kecil dari KMK tersebut. Tapi, kakakku menasihatiku. Dia ingin aku berada di lingkungan Kristen yang baik, karena aku tinggal merantau di kota lain. Lalu, teman-temanku pun banyak yang mengajakku, hingga akhirnya aku mengiyakan ajakan mereka dan ikut dalam kelompok kecil.

Kami sepakat untuk rutin bertemu seminggu sekali, tapi itu tidak berjalan dengan konsisten. Kenyataannya, kami hanya bisa bertemu sebulan sekali atau bahkan lebih jarang dari itu. Karena tidak konsisten, aku merasa imanku tidak bertumbuh dengan baik. Namun aku bersyukur karena ada orang-orang di luar kelompokku yang tetap membantu dan mendukung pertumbuhan imanku. Mereka mengunjungiku, memberi saran buku yang bisa kubaca, sharing firman Tuhan, juga memberiku konseling pribadi.

Setelah dua tahun tergabung dalam kelompok kecil, rekan-rekan di persekutuan mendukungku supaya aku dapat memuridkan kembali adik-adik tingkatku, membagikan kesaksian tentang keselamatan dan pengajaran yang telah kuterima selama aku menjadi anggota kelompok kecil supaya lebih banyak lagi mahasiswa yang menjadi murid Kristus yang berdampak.

Tapi, aku menolak panggilan itu. Aku merasa tidak layak dan tidak mampu. Lagipula aku sendiri sedang mengalami kesulitan keuangan dan memiliki penyakit. Namun, setiap kali aku melihat adik-adik tingkatku atau melihat adanya kelompok kecil yang tidak berjalan efektif seperti kelompokku, aku merasa gelisah. Seandainya saja kelompok kecil itu dapat berjalan efektif, pasti akan menolong pertumbuhan rohani anggotanya. Dalam hatiku aku ingin supaya mahasiswa bisa jadi agent of change, yang selain diperlengkapi secara ilmu akademis, juga memiliki kedewasaan rohani agar kelak mereka bisa menjadi dampak melalui hidupnya. Akhirnya, setelah mendoakannya, aku menerima panggilan tersebut.

Aku lalu memilih nama “Vania Griselda” sebagai nama kelompok kecil yang aku pimpin. “Vania” adalah kata dalam bahasa Rusia yang artinya “hadiah dari Tuhan”. Sedangkan “Griselda” adalah kata dari bahasa Jerman yang artinya “wanita yang bertempur”. Jadi nama ini menggambarkan harapanku untuk anggota kelompokku. Mereka adalah hadiah dari Tuhan, yang Tuhan pilih untuk berperang memenangkan jiwa bagi-Nya.

Kelompok ini terdiri dari delapan mahasiswi yang latar belakang dan karakternya berbeda-beda. Tiap mereka punya cerita, kejatuhan, dan pergumulan sendiri-sendiri. Dari awal proses pendekatan sampai tahun-tahun berikutnya, menggembalakan mereka bukanlah proses yang mudah. Ada beberapa dari mereka yang perasaannya sangat sensitif, ada pula yang kalau bicara blak-blakan hingga membuat orang lain tersinggung. Tapi, aku berusaha untuk tidak menjadikan itu sebagai halangan. Aku belajar untuk menjadi bagian dari mereka. Aku mendengarkan setiap cerita mereka, mencoba menengahi konflik-konflik yang terjadi di antara mereka, mengajarkan firman Tuhan, membantu mereka saat jatuh, dan berusaha untuk menjadi teladan buat mereka. Ketika konflik terjadi karena masalah kedekatan dan kecemburuan, aku berusaha untuk membagi waktu dan perhatianku sama rata supaya tidak ada kesan aku pilih kasih. Dalam setiap pertemuan, aku menyiapkan bahan pengajaranku dengan sebaik mungkin sebab pemikiran mereka sangat kritis.

Sejak aku menjadi pemimpin kelompok kecil ini, hari-hari sebagai mahasiswa yang awalnya ingin kulalui dengan tenang berubah jadi lebih menantang. Aku harus menjadi rekan seperjalanan iman bagi mereka. Ada waktu, dana, dan tenaga yang harus aku korbankan di tengah pergumulan pribadi dan sederet masalah lain yang harus kuhadapi. Kami meluangkan waktu untuk belajar Alkitab bersama, berdoa bersama, dan juga sharing proses kehidupan kami masing-masing. Kami juga berlatih untuk saling mengingatkan, menegur, dan menghibur, serta melakukan pelayanan lainnya baik di dalam persekutuan ataupun di luar. Semua itu adalah pembelajaran buat kami mengikis ego kami dan berkomitmen untuk mau saling belajar.

Tapi, di waktu-waktu yang sulit dan berat itulah aku jadi sering merenungkan bagaimana ketika Tuhan Yesus sendiri menjadi gembala bagi kedua belas murid-Nya. Dalam pelayanan-Nya di bumi, selain mengajar dan menyembuhkan orang banyak, Tuhan Yesus juga memanggil orang-orang pilihan-Nya untuk menjadi penjala manusia (Matius 4:18-22). Yesus selalu mengajak mereka ke mana Yesus pergi dan mengajar mereka lewat firman yang diucapkan-Nya dan lewat perbuatan-Nya. Yesus selalu sabar di tengah kelemahan, keraguan iman, dan motivasi-motivasi yang tidak benar dalam diri murid-Nya. Yesus menegur (Matius 16:23), mendoakan (Lukas 22:32), sekaligus menghibur dan menguatkan mereka (Matius 14:27 dan Lukas 6:23). Ketika konflik terjadi, Yesus ada dan menyelesaikannya (Lukas 9:46-48). Yesus juga mengambil bagian terkecil untuk melayani dengan membasuh kaki Petrus (Yohanes 13). Yesus, dikhianati oleh murid-Nya, dan disiksa oleh orang yang membenci-Nya, namun Dia tidak menaruh dendam. Yesus memaafkan mereka (Lukas 23:34).

Semuanya itu rela ditanggung Tuhan Yesus demi mempersiapkan mereka yang awalnya tidak mengenal Injil menjadi orang yang kelak bukan hanya sekadar menerima, tetapi juga menjadi pembagi berita Injil. Yesus menjadikan para pengikut-Nya memiliki kualitas murid supaya dapat menghasilkan murid kembali. Buah dari segala pelayanan dan penggembalaan yang Yesus lakukan itu adalah kesebelas murid-Nya yang dulu hidup hanya untuk diri sendiri menjadi orang yang hidup untuk Injil. Buah dari karya-Nya. Inilah yang membuat banyak orang sampai saat ini bisa mengenal dan menerima Injil.

Proses pemuridan dan penggembalaan yang kulakukan selain mengubahkan adik-adikku, ternyata juga memberikan mengubahkan hidupku. Karakter buah-buah rohku dibentuk. Aku dapat konsisten melakukan disiplin rohani yang menolongku mendisplinkan diriku sendiri. Karakterku yang dulu suka moody sekarang bisa lebih stabil, aku lebih sabar, dan aku pun jadi pribadi yang lebih terbuka. Selain itu, aku belajar menjadi lebih bijak mengelola aktivitas dan keuanganku. Aku juga menjadi orang yang berserah dan bergantung sepenuhnya pada Tuhan lewat doa. Karunia mengajar dan menggembalakanku semakin terasah. Bahkan aku mendapatkan keluarga dan komunitas baru yang senantiasa mendukung dan menolongku, yaitu adik-adik rohaniku. Dan, puji Tuhan, pelayanan yang dulu kupikir dapat membuat kuliahku terganggu, ternyata malah membuatku jadi semakin termotivasi untuk menunjukkan teladan dalam studiku. Aku dapat lulus sarjana dalam waktu 3 tahun dan 10 bulan, lebih cepat daripada yang kupikirkan.

Ketika tantangan terasa sulit dan aku ingin menyerah, aku mengingat kembali bagaimana penggembalaan yang Yesus lakukan menghasilkan buah yang begitu besar. Inilah yang menjadi motivasiku. Seberapapun seringnya adik-adik rohaniku jatuh, sesakit apapun konflik yang kami alami, sebesar apapun masalah dan tantangannya, aku tetap bertahan untuk menjadi kakak rohani yang baik buat mereka. Karena sama seperti kesetiaan Tuhan yang menghasilkan banyak jiwa, aku pun ingin kelak melalui kesetiaanku boleh ada murid-murid Kristus baru yang dilahirkan.

Pada akhirnya, lewat proses pemuridan dalam kelompok kecil ini aku juga dapat melihat perubahan yang nyata dalam diri adik-adikku. Mereka yang awalnya tidak mengenal Kristus secara pribadi kini menerima jaminan keselamatan. Mereka yang dulu hidupnya sesuka hati kini belajar memprioritaskan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan mereka. Mereka yang awalnya hidup untuk diri sendiri kemudian berganti menjadi orang yang mau kembali memuridkan adik-adik lainnya.

Membina komunitas dan menggembalakan adik-adik rohani mungkin bukan hal yang mudah. Butuh pengorbanan waktu, tenaga, uang, serta pikiran dan perasaan kita akan terkuras di samping kita juga harus mengurusi pergumulan pribadi kita. Namun, ketika kita mau belajar taat dan setia pada panggilan Tuhan, kita dapat melihat kehadiran komunitas dan penggembalaan itu sebagai salah satu cara Tuhan membentuk dan memproses kita untuk semakin serupa dengan Kristus hingga akhirnya kita kembali membagikan proses itu sendiri dan menghasilkan lebih banyak lagi jiwa buat Tuhan.

Tulisan ini ditulis sebagai apresiasi kepada Tuhan dan juga kedelapan anggota kelompok kecilku: Wan Devi, Dewi, Sophia, Rosmelisa, Rinda, Raisa, Martina, Tetty.

Baca Juga:

Di Tengah Kekhawatiranku, Tuhan Memberikan Kedamaian

Aku pernah begitu khawatir akan kehidupanku dan masa depanku, hingga membuat kesehatan mental dan fisikku terganggu. Sampai akhirnya, ketika aku berseru pada Tuhan, di situlah Dia memberiku solusi atas kekhawatiranku.

Yang Aku Pelajari Ketika Retret Kampusku Dibatalkan di Hari H

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

“Kakak dan abang, mohon doanya karena retret kita terancam dibatalkan oleh dekanat karena tidak dapat izin kegiatan rektorat.”

Demikian pesan di grup WhatsApp penilik (pemerhati) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di kampusku. Pesan itu dikirimkan H-1 sebelum acara retret tahunan kampus kami berlangsung. Sebagai penilik PMK, aku merasa gelisah karena retret yang akan kami adakan ini adalah retret pekabaran Injil untuk mahasiswa baru dan juga merupakan program kerja terbesar dalam PMK kami. Aku mengikuti kabar-kabar terbaru melalui informasi yang dibagikan di grup WhatsApp oleh junior-juniorku yang masih berada di kampus. Akhirnya pokok masalahnya ditemukan, yaitu ada miskomunikasi antara pihak rektorat (pihak universitas), dekanat (pihak fakultas), dan badan kemahasiswaan (seperti BEM) terkait perizinan acara untuk mahasiswa baru yang akan dilangsungkan di luar kampus.

Di tahun-tahun sebelumnya, kami selalu membuat acara retret untuk mahasiswa baru cukup dengan meminta izin kepada dekanat, tanpa perlu ke rektorat. Bukan hanya PMK-ku yang membuat acara retret, tetapi organisasi keagamaan lain pun melakukan perizinan dengan cara yang serupa. Namun tiba-tiba di tahun itu kami diwajibkan meminta surat izin kepada rektorat minimal H-7 sebelumnya kegiatan itu dilangsungkan. Malangnya, peraturan ini luput disosialisasikan oleh pihak berwenang (di mana sampai saat ini masih terjadi perdebatan tentang siapa yang paling berkewajiban mensosialisasikan peraturan ini), sehingga akhirnya yang menjadi korban adalah para panitia yang sudah mempersiapkan acara selama berbulan-bulan. Kami dipaksa membatalkan, atau mengundur acara yang sudah kami persiapkan sejak lama dan menelan biaya puluhan juta hanya karena surat izin kegiatan yang tidak pernah kami tahu.

Pantang menyerah, keesokan harinya tepat di hari-H, para pengurus PMK dan alumni berjuang untuk berdialog dengan pihak dekanat. Kami juga menghubungi pihak rektorat, dosen, alumni yang berpengaruh, atau siapa saja yang sekiranya bisa membuat rektorat dan dekanat luluh dan mengizinkan kami melangsungkan acara dengan segala konsekuensinya. Dari pagi hingga malam menjelang, kami berdoa dan berusaha. Tapi, hasilnya nihil. Pihak kampus, baik rektorat maupun dekanat bersikukuh melarang acara kami dilangsungkan. Pada pukul 18:00, diumumkanlah kepada seluruh peserta bahwa acara retret diundur sampai waktu yang belum ditentukan. Bus-bus sudah datang, konsumsi sudah disiapkan, dan barang-barang sudah dikumpulkan, namun kami batal berangkat.

Diliputi kekecewaan

Seketika kami semua, orang-orang yang terlibat mengurusi retret dan sudah berkumpul di titik kumpul merasa sangat terpukul dengan keputusan ini. Kami kaget, kecewa, sedih, bahkan marah. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Mahasiswa baru yang juga sudah datang berkumpul akhirnya kembali pulang dengan perasaan sedih dan kecewa. Banyak dari mereka lalu menyemangati kakak-kakak seniornya. Dalam kondisi yang begitu kalut, kami lalu memutuskan untuk berdoa bersama.

“Di saat badai bergelora, ku akan terbang bersama-Mu,
Bapa, Kau Raja atas semesta, ku tenang s’bab Kau Allahku.”

Lagu di atas kami nyanyikan sambil bercucuran air mata. Saat itu aku bertanya dalam hati, jika Allah berkuasa, mengapa Dia membiarkan peristiwa yang tidak menyenangkan ini terjadi kepada kami, apalagi kepada adik-adik kelasku yang menjadi panitia dan pelayan di retret itu? Mereka sudah bersusah payah menyiapkan acara selama hampir tiga bulan. Seksi acara mencari tema, menghubungi pembicara dan pelayan ibadah, mempersiapkan permainan outbound, membuat buku acara, dan memastikan latihan dilaksanakan seminggu sekali. Seksi perlengkapan harus kesana kemari mencari dan mensurvei tempat dan kendaraan yang kan dipakai. Dan, seksi dana harus mencari uang puluhan juta untuk memenuhi kebutuhan retret.

Sebagai senior yang dahulu pernah berada di posisi mereka, aku tahu benar jatuh bangun persiapan retret ini. Mulai dari pelayan yang susah diajak latihan, percetakan yang tiba-tiba mengundur waktu pencetakan buku, hingga dana yang belum juga terkumpul. Sementara mahasiswa lain menikmati liburan semesteran, kami panitia harus bolak-balik ke kampus untuk rapat dan mempersiapkan retret tersebut. Namun, tiba-tiba di hari H, dengan “mudahnya” ada pihak lain yang menghancurkan semua perjuangan mereka. Aku sangat sedih melihat kondisi setiap adik yang terpukul dengan kenyataan ini. Namun seketika aku diingatkan dengan sebuah Mazmur yang berbunyi demikian:

“Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya” (Mazmur 126:5-6).

Walau air mata mengalir di pipiku, aku merasakan penghiburan yang begitu indah melingkupiku. Aku terkenang dan terbayang tentang perjalananku dalam bersekutu bersama PMK di kampusku, terutama ketika aku menjadi pengurus di tahun 2014-2015. Pada tahun-tahun tersebut, aku merasakan betapa menantangnya pekerjaan di ladang Tuhan, begitu berbeda dengan apa yang aku bayangkan sebelumnya. Aku harus meluangkan banyak waktu untuk mempersiapkan pelayanan seperti ibadah Jumat dan doa siang, memonitor jalannya kelompok-kelompok kecil (kelompok pendalaman Alkitab), rapat koordinasi, dan berbagai aktivitas lainnya. Semua hal itu harus aku lakukan di tengah perkuliahan yang cukup berat, di mana tugas menumpuk dan mata kuliah yang kuambil terasa sulit. Namun, aku bersyukur Tuhan menganugerahiku kesempatan untuk melayani di PMK kampusku, sebab di dalamnya aku mengenal Yesus, dan bertumbuh dalam firman-Nya. Aku juga belajar artinya berkorban dan membayar harga, apa itu terbeban, dan bagaimana hidupku harus benar-benar menjadi berkat bagi lingkunganku.

Pelayanan ini jelas tidak mudah, namun pengenalanku akan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat menolongku untuk setia mengerjakan pelayananku, seperti kata-kata C.T. Studd (pendiri lembaga misi WEC International):

“If Jesus Christ be God and died for me, then no sacrifice can be too great for me to make for Him.”

“Apabila Kristus adalah Tuhan dan Dia mati bagiku, maka tidak ada pengorbanan yang terlalu besar untuk kulakukan bagi-Nya”.

Pengorbanan yang kulakukan tidaklah ada yang sebanding dengan pengorbanan yang telah lebih dulu Yesus lakukan buatku.

Aku juga mengingat ketika aku lulus kuliah dan harus meninggalkan persekutuan di kampus, aku melihat adik-adik yang dulu kulayani telah bertumbuh menjadi pelayan-pelayan yang sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Generasi demi generasi berlalu, tantangan dan kesulitan datang silih berganti, namun kasih setia Tuhan terus menyertai persekutuan kami.

Melihat kasih Tuhan di balik peristiwa yang tampaknya buruk

Flashback pelayananku membuatku sadar bahwa retret yang dibatalkan tepat di hari H adalah kesempatan untuk kami melihat kasih karunia Tuhan bagi persekutuan kami. Kami mungkin tidak mengerti apa alasan di balik semua ini, namun ketika kami mempercayai bahwa Allah berdaulat di atas segalanya dan Dia tidak pernah salah, maka kami belajar untuk bertumbuh dalam iman. Dan, hal inilah yang aku saksikan ketika mendengar sharing dari beberapa adik persekutuanku ketika kami selesai berdoa. Aku melihat ada kedewasaan dalam menyikapi permasalahan yang kami hadapi bersama. Banyak dari mereka yang justru mengungkapkan syukur karena melalui peristiwa ini mereka belajar untuk bergantung pada Tuhan dan tidak mengandalkan diri sendiri. Mereka juga mengungkapkan keyakinan dan harapan mereka akan rencana Allah yang lebih baik dari yang mungkin mereka pikirkan.

Alih-alih berlarut dalam kesedihan, mereka berusaha saling menguatkan dan menghibur. Panitia dan pelayan ibadah kemudian langsung memikirkan solusi terbaik yang bisa diambil untuk menanggulangi peristiwa ini. Akhirnya diputuskanlah bahwa akan diadakan ibadah satu hari di kampus untuk mahasiswa baru agar mereka tetap dapat mendengarkan pemberitaan Injil. Fokus kami hanya satu: Injil bisa diberitakan, sambil terus berdoa ada mahasiswa baru yang setelah mendengar Injil dapat sungguh-sungguh percaya dan hidupnya diubahkan. Dua hari setelah peristiwa pembatalan itu, kami mengadakan ibadah sehari di kampus yang terdiri dari dua sesi ibadah dan sesi konseling. Puji Tuhan acara tersebut berjalan dengan baik dan banyak mahasiswa baru yang datang walaupun acaranya cukup mendadak. Kami bersyukur ada kesehatian yang terjalin antara panitia, pelayan, dan mahasiswa baru. Tapi yang paling membuat kami bersyukur adalah karena melihat banyak mahasiswa baru yang menikmati sesi ibadah dan konseling yang diadakan.

Secara tidak langsung, kesulitan ini mengikat kesatuan kami. Kami kembali mengingat bahwa pelayanan ini adalah milik Tuhan, dan kami hanyalah pekerja-pekerja upahan di ladang-Nya. Sebagai pemilik, Allah berdaulat untuk melakukan apapun. Kami hanya perlu taat dan percaya akan kehendak-Nya. Setelah diingatkan tentang hal tersebut, kami mulai merasakan damai sejahtera dan kembali bersukacita walau kondisi tidak menyenangkan. Hal ini membuatku merasa terharu dan bahagia, karena Tuhan mengizinkan kami untuk “naik kelas” dalam menghadapi tantangan ini.

Dari pengalaman ini aku makin bersyukur karena Tuhan berkenan menganugerahkan pertumbuhan bagi persekutuan yang di mana aku menjadi bagian di dalamnya. Lebih dalam, aku bersyukur Tuhan menganugerahkan persekutuan ini kepadaku. Sebuah persekutuan, yang kalau boleh aku meminjam kalimat temanku, adalah “cara Tuhan mengasihiku”.

Soli Deo Gloria!

Baca Juga:

Tuhan Yesus Menyelamatkanku dengan Cara-Nya yang Tak Terduga

Aku bukan orang Kristen sejak lahir, pun di keluargaku tidak ada yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Hingga suatu ketika, saat aku tengah kesakitan karena penyakit kankerku, aku berseru kepada-Nya.

Haruskah Aku Pindah Gereja?

haruskah-aku-pindah-gereja

Oleh Louise Angelita Kemur, Jakarta

Beberapa tahun yang lalu aku mengalami pergumulan tentang di gereja mana seharusnya aku bertumbuh dan melayani.

Aku memiliki tiga orang sahabat dekat sejak SMP. Bersama mereka kami membahas banyak hal, termasuk hal-hal rohani dan juga saling menguatkan di dalam doa. Persahabatan kami pun turut membentuk diriku dan juga memampukanku untuk memahami arti lahir baru.

Aku pernah beberapa kali diajak untuk beribadah di gereja mereka dan aku pun tertarik dengan cara pelayanan anak muda di sana. Akan tetapi, aku sendiri sudah memiliki gereja yang rutin aku datangi setiap hari Minggu bersama keluarga. Gerejaku dengan gereja sahabatku juga berbeda denominasi sehingga masing-masing memiliki caranya sendiri untuk menerima orang baru dalam pelayanan. Padahal waktu itu aku ingin sekali dipakai Tuhan lewat melayani di gereja. Akibatnya, aku pun sempat berpikir untuk pindah gereja saja.

Sebetulnya, selain karena ajakan teman-temanku, ada beberapa alasan lain yang membuatku merasa ingin berpindah gereja saja. Pertama, aku merasa gereja yang kutempati sekarang itu bukan gereja pilihanku, tetapi pilihan orangtuaku. Banyak teman-temanku yang memutuskan untuk memilih sendiri gereja tempat mereka bertumbuh, terlepas dari orang tua mereka.

Alasan kedua adalah jarak antara rumahku dengan gerejaku itu cukup jauh, sedangkan jika ke gereja sahabatku jaraknya lebih dekat. Selain itu, karena sistem perekrutan tim pelayanan yang belum baik maka jarang sekali anak muda yang terlibat pelayanan di gerejaku, padahal aku sangat ingin terlibat pelayanan dan melihat anak muda dipakai melayani-Nya.

Akhirnya aku pun mencoba untuk pergi beribadah di gereja sahabatku itu. Tapi seringkali ada saja halangan yang menghambatku. Seringkali waktu ibadahnya tidak sesuai, tidak ada kendaraan yang mengantar, dan orangtuaku selalu memintaku untuk tetap pergi beribadah bersama.

Sebuah jawaban yang menegurku

Aku berada dalam sebuah dilema. Di satu sisi aku merasa lebih bertumbuh di gereja sahabatku itu, tapi di sisi yang lain aku juga harus tetap beribadah bersama keluargaku. Gereja sahabatku itu membuatku tertarik karena ada banyak anak muda di sana, lalu topik-topik yang dibahas di sana juga lebih sesuai dengan usiaku sehingga aku mudah mengerti dan mempraktikkannya.

Akhirnya aku mencoba menceritakan pergumulan ini kepada seorang kakak rohani di gereja sahabatku itu. Dan jawaban yang dia berikan itu seolah menegurku dan masih kuingat sampai sekarang. “Mungkin kamu di sini untuk mendapatkan berkat supaya bisa kembali menjadi berkat di sana,” ucapnya kepadaku.

Entah mengapa jawaban itu terngiang-ngiang dan sejak saat itu aku terus berdoa kepada Tuhan. Aku menyampaikan kerinduanku untuk bisa dipakai melayani-Nya dan bertanya di mana Tuhan mau menempatkanku.

Sambil terus berdoa aku pun belajar untuk memandang gerejaku dengan cara pandang yang baru. Aku tahu kalau tidak banyak anak muda yang terlibat pelayanan di gerejaku, oleh karena itu aku memiliki kerinduan untuk melibatkan diri dalam pelayanan. Hingga suatu saat, temanku mengajak untuk bergabung dengan persekutuan pemuda. Di situlah Tuhan mulai mengenalkanku kepada dunia pelayanan. Bahkan sekarang aku mendapatkan kemurahan Tuhan untuk menjadi ketua persekutuan pemuda di gerejaku. Selain itu aku pun melayani-Nya lewat pelayananku sebagai pemain musik, penerima tamu, dan juga pemimpin pujian.

Pertumbuhan itu membutuhkan waktu

Sekarang, aku dapat melayani, bersekutu, dan bertumbuh di gerejaku. Aku juga menemukan rekan-rekan sesama pemuda yang kini menjadi sahabatku. Aku menyadari kalau semua proses dan waktu menunggu itu tidak mudah, tapi akhirnya berbuah. Bahkan, semua alasan-alasanku dulu untuk pindah, sekarang telah menjadi alasanku untuk mengucap syukur.

Aku sangat menikmati persekutuan di gerejaku sekarang sehingga jarak rumah yang jauh bukan menjadi alasanku untuk menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah. Salah satu hal berharga yang kusadari dari persekutuan di gerejaku adalah aku dapat bertemu dengan teman-teman dan sahabat yang memiliki beban hidup serupa denganku. Kami dapat saling berbagi cerita, saling menguatkan, dan pertemanan ini tidak putus meskipun ada salah satu teman kami yang pergi kuliah ke luar kota ataupun ke luar negeri.

Aku juga bersyukur karena masih bisa pergi beribadah bersama keluargaku. Ketika aku mendengar banyak cerita dari teman-teman tentang kerinduan mereka untuk bisa beribadah bersama keluarga juga, di situlah aku bersyukur.

Ketika teman-temanku ada yang meninggalkan pelayanan karena kesulitan membagi waktu dengan kuliah, aku bersyukur karena masih bisa melayani di sela-sela kesibukan kuliahku sekarang. Bahkan bisa dikatakan juga kalau pelayanan di gereja ini juga yang menyeimbangkan kehidupanku. Persekutuan di gereja juga membantuku bertumbuh untuk lebih mengenal Yesus dan melatih diriku supaya menjadi lebih baik.

Tuhan yang kita sembah jauh lebih besar dari berbagai perbedaan

Aku belajar bahwa di gereja manapun kita beribadah, perbedaan-perbedaan yang ada itu tidak lebih besar dibandingkan Tuhan yang kita sembah. Mungkin tata cara ibadah, maupun sistem dalam gereja itu berbeda, tapi Tuhan Yesus tetaplah sama.

Aku juga bersyukur karena lewat gereja sahabatku dulu aku bisa mengenal Tuhan lebih lagi dan itu jugalah yang mengubah cara pandangku tentang menyikapi perbedaan latar belakang gereja-gereja. Perbedaan-perbedaan yang pernah kualami pada akhirnya mampu membantuku untuk melayani di gerejaku yang sekarang.

Memang, tidak ada yang sempurna, begitu pula dengan gereja. Tantangan-tantangan untuk menjadi tawar itu sangat banyak. Terkadang ada kalanya aku merasa kecewa dengan keadaan-keadaan gereja yang sedang buruk atau jika aku mendengar gosip-gosip yang tidak baik.

“Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke manapun engkau pergi” (Yosua 1:9 TB)

Ayat inilah yang terus menguatkan dan mengingatkanku untuk tetap melayani Tuhan dalam segala keadaan.

Gereja bukan sekadar tempat untuk menerima

Mungkin beberapa orang ada yang lebih memilih untuk berpindah gereja karena mencari suasana dan materi ibadah yang sesuai. Tetapi, aku belajar bahwa gereja bukan tempat untuk menerima tetapi untuk memberi. Tuhan Yesus telah mengasihi kita terlebih dahulu ketika Dia memberikan diri-Nya sebagai tebusan atas dosa-dosa kita.

Alkitab mengatakan, “Dengan jalan inilah kita mengetahui cara mengasihi sesama: Kristus sudah menyerahkan hidup-Nya untuk kita. Sebab itu, kita juga harus menyerahkan hidup kita untuk saudara-saudara kita!” (1 Yohanes 3:16 BIS)

Ketika kita beribadah di gereja, itu bukan semata-mata kita hadir untuk menerima berkat. Tapi, kehadiran kita di gereja adalah sebagai ungkapan syukur kita kepada Yesus atas pengorbanan-Nya. Dan ungkapan syukur itu kita lakukan lewat melayani saudara-saudara kita di gereja.

Supaya kita bisa berakar, bertumbuh, dan berbuah, kita perlu sebuah fondasi yang kita dapatkan lewat bergereja. Walaupun gereja menjadi tempat untuk bertumbuh, tetapi untuk mengerjakan keselamatan adalah tetap tugas masing-masing pribadi.

Aku bersyukur karena Tuhan menempatkanku di gereja ini. Setiap kegiatan, materi, kejadian ataupun orang yang aku kenal di gereja ini membentuk diriku menjadi lebih dewasa secara rohani dan secara pribadi. Tuhan tidak pernah meninggalkan aku ketika aku bimbang dan Ia tidak tinggal diam sekarang. Sebab rancangan Tuhan itu indah pada waktunya dan tidak pernah gagal.

“Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” (Ayub 42:2 TB)

Baca Juga:

Meninggalkan Karier Sebagai Pengacara Terkenal untuk Melayani Tuhan, Inilah Kisah Paul Wong

Pernahkan terpikir olehmu jika kamu harus meninggalkan karier cemerlang dengan gaji yang tinggi untuk sebuah alasan yang tidak kamu duga sebelumnya? Inilah yang terjadi pada Paul Wong, seorang pengacara terkenal yang melepaskan seluruh kariernya di Inggris untuk suatu alasan.

Aku Tidak Puas dengan Gerejaku, Haruskah Aku Bertahan?

Aku-Tidak-Puas-dengan-Gerejaku-Haruskah-Aku-Bertahan

Oleh Dorothy Norberg, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Should I Stay If My Church Doesn’t Satisfy Me?

Aku berjemaat di sebuah gereja kecil yang dulu begitu aku sukai.

Tapi sekarang, setelah 5 tahun dan begitu banyak perubahan yang tak diduga sebelumnya, jumlah jemaat kami semakin berkurang. Tak ada lagi jemaat lain yang seusiaku saat ini, dan aku tidak lagi merasa nyaman berjemaat di gereja itu.

Jika kamu menjadi aku, apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu akan pindah ke gereja lain yang musik, khotbah, dan acara-acaranya lebih baik supaya kamu mendapatkan pengalaman bergereja yang “lebih”?

Beberapa orang mungkin menganggap itu seperti pergi ke berbagai pasar yang berbeda untuk mencari bahan-bahan yang kita perlukan untuk memasak makanan yang lezat. Mereka juga mungkin akan mengatakan bahwa kita perlu memilih gereja di mana kita dapat merasa puas dan merasakan kehadiran Tuhan di dalamnya.

Namun aku menyadari bahwa ketika kita hanya melihat pengalaman-pengalaman yang tampak di permukaan dan memutuskan untuk berpindah-pindah gereja, kita sedang menjauhkan diri kita dari sukacita akan rasa memiliki. Pertumbuhan terjadi ketika kita mau berakar dan berkomitmen.

Dari pendalaman Alkitab yang kulakukan, aku menjadi semakin yakin bahwa keanggotaan gereja adalah sebuah fondasi spiritual yang penting dan tidak dapat kita abaikan.

Di musim panas kali ini, teman baikku mengobrol denganku tentang mengunjungi berbagai gereja bersama di musim gugur nanti. Dia sedang bersiap-siap untuk masuk kuliah dan membutuhkan gereja yang lebih dekat dengan kampusnya. Dia mendorongku untuk pindah gereja dan mencari gereja yang usia jemaatnya sepantaran denganku. Tapi aku merasa belum siap mengambil keputusan itu. Di samping karena aku menghargai keanggotaan gereja, aku juga tidak mau berpindah gereja hanya karena mengikuti teman. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku akan mencari kesempatan pelayanan di dalam gerejaku, dan berdoa tentang kehendak Tuhan bagi masa depanku.

Proses ini memaksaku untuk memeriksa apa yang sebenarnya menjadi motivasiku datang ke gereja. Apakah kriteria gereja yang utama bagiku adalah gereja yang memenuhi kebutuhan emosional dan sosialku? Atau aku datang ke gereja karena sebuah tujuan yang lebih besar? Seringkali aku merasa tidak termotivasi untuk datang ke gerejaku dan aku berharap aku pergi ke tempat lain, tapi aku peduli dengan jemaat-jemaat yang lain di sekitarku. Aku tahu bahwa peranku dalam gereja semakin dibutuhkan seiring dengan jumlah jemaat yang berkurang. Meskipun aku merasa peranku begitu terbatas dan tidak memuaskan, aku tahu bahwa inilah gereja di mana Tuhan menginginkanku berada di dalamnya saat ini.

Keadaanku saat ini tidaklah ideal atau memuaskan, tetapi aku tahu apa hal yang penting. Aku mendengar firman Tuhan dengan setia disampaikan, memuji Tuhan bersama orang-orang percaya, mengikuti perjamuan kudus, dan berbagi hidup dengan orang-orang yang aku pernah berjanji untuk saling berbagi, mengasihi, dan melindungi.

Ketika aku berjemaat di sebuah gereja, itu memungkinkanku untuk melakukan apa yang firman Tuhan perintahkan—agar kita saling mengasihi, saling mengampuni, saling menguatkan, dan saling menolong dalam menanggung beban. Ketika aku memutuskan untuk membagikan hidupku pada mereka, mereka juga membagikan hidup mereka padaku, dan kami memiliki kesempatan untuk dikenal dan dikasihi oleh sebuah komunitas yang kita pilih bukan karena kesamaan minat, tapi karena Kristus.

Tanpa komitmen pada sebuah gereja, memang kita masih bisa mendengar khotbah, menyanyikan lagu pujian, dan bertumbuh dalam iman lewat saat teduh pribadi. Tetapi, Tuhan tidak membentuk kita untuk menghidupi iman kita sendirian. Perjanjian Baru memberikan banyak contoh tentang kehidupan gereja dan mendeskripsikan gereja sebagai mempelai Kristus, tubuh Kristus di dunia, dan tempat di mana pertumbuhan rohani dan komunitas rohani terbentuk. Pergi ke gereja bukanlah tentang mencari sebuah pengalaman semata, tetapi tentang berkumpul bersama saudara seiman kita. Itu adalah sebuah disiplin rohani yang baik yang perlu kita bangun.

Aku tidak bisa menghidupi kehidupan Kristen seorang diri saja. Aku butuh masukan dari orang-orang percaya lainnya untuk melengkapi pemikiranku, mendorongku untuk melayani, menegurku untuk meninggalkan dosa-dosaku, dan mendukungku.

Aku tahu kalau aku berhenti pergi ke gereja, jemaat yang lain akan mencariku; dan jika aku bergumul dengan keputusanku atau tidak yakin dengan kehendak Tuhan bagiku, mereka yang mengenal dan mengasihiku dapat memberikan masukan. Aku juga akan melakukan hal serupa untuk mereka, dan aku tidak mau memutus hubungan yang erat ini hanya karena perasaan ketidakpuasanku yang sementara.

Berada di gereja bukanlah tentang kenyamananku, rasa pemenuhanku, atau tentang mudahnya membangun relasi dengan orang lain. Tapi, menjadi jemaat gereja adalah suatu hubungan yang diikat berdasarkan perjanjian, dan tak peduli apa pun perasaanku, aku tahu kalau aku dan jemaat gerejaku saling memperhatikan; ada rasa tanggung jawab di dalamnya. Sekalipun tanggung jawab ini mungkin terlihat seperti sebuah beban, aku tahu bahwa semua itu setimpal dengan apa yang kita dapatkan nantinya.

Bahkan ketika aku merasa terabaikan, aku tahu bahwa aku diperhatikan, dikasihi, dan dihargai, dan bahwa Tuhan menempatkanku di gerejaku ini untuk suatu alasan. Aku tidak mau menjadi apatis atau keras kepala, tapi aku beriman bahwa Tuhan bekerja melalui hal-hal kecil yang kita temui sehari-hari. Dia menggenapi tujuan-Nya melalui mereka yang mau berkomitmen dan rindu dipakai oleh-Nya.

Baca Juga:

Aku Gak Pintar Berdoa

Seringkali, kita sebagai orang Kristen enggan berdoa karena merasa tidak pandai berkata-kata, atau menganggap doa kita terlalu sederhana. Tapi, sesulit itukah berdoa? Setelah aku memahami apa esensi dari sebuah doa, kurasa doa bukanlah hal yang sulit.

Mengikuti Sang Tuan

Selasa, 19 Agustus 2014

Mengikuti Sang Tuan

Baca: Bilangan 9:15-23

9:15 Pada hari didirikan Kemah Suci, maka awan itu menutupi Kemah Suci, kemah hukum Allah; dan pada waktu malam sampai pagi awan itu ada di atas Kemah Suci, kelihatan seperti api.

9:16 Demikianlah selalu terjadi: awan itu menutupi Kemah, dan pada waktu malam kelihatan seperti api.

9:17 Dan setiap kali awan itu naik dari atas Kemah, maka orang Israelpun berangkatlah, dan di tempat awan itu diam, di sanalah orang Israel berkemah.

9:18 Atas titah TUHAN orang Israel berangkat dan atas titah TUHAN juga mereka berkemah; selama awan itu diam di atas Kemah Suci, mereka tetap berkemah.

9:19 Apabila awan itu lama tinggal di atas Kemah Suci, maka orang Israel memelihara kewajibannya kepada TUHAN, dan tidaklah mereka berangkat.

9:20 Ada kalanya awan itu hanya tinggal beberapa hari di atas Kemah Suci; maka atas titah TUHAN mereka berkemah dan atas titah TUHAN juga mereka berangkat.

9:21 Ada kalanya awan itu tinggal dari petang sampai pagi; ketika awan itu naik pada waktu pagi, merekapun berangkatlah; baik pada waktu siang baik pada waktu malam, apabila awan itu naik, merekapun berangkatlah.

9:22 Berapa lamapun juga awan itu diam di atas Kemah Suci, baik dua hari, baik sebulan atau lebih lama, maka orang Israel tetap berkemah dan tidak berangkat; tetapi apabila awan itu naik, barulah mereka berangkat.

9:23 Atas titah TUHAN mereka berkemah dan atas titah TUHAN juga mereka berangkat; mereka memelihara kewajibannya kepada TUHAN, menurut titah TUHAN dengan perantaraan Musa.

Atas titah TUHAN mereka berkemah dan atas titah TUHAN juga mereka berangkat. —Bilangan 9:23

Mengikuti Sang Tuan

Pada sebuah pertunjukan anjing di dekat rumah saya, saya menyaksikan penampilan seekor anjing jenis corgi Cardigan Welsh bernama Trevor. Sesuai perintah sang tuan, Trevor berlari beberapa meter jauhnya dan kemudian kembali secepatnya, melompati sejumlah rintangan, dan mengenali benda-benda dengan menggunakan indera penciumannya. Setelah menyelesaikan setiap perintah, Trevor pun duduk di dekat kaki sang tuan dan menunggu perintah selanjutnya.

Perhatian Trevor yang cermat pada instruksi tuannya itu mengingatkan saya pada pengabdian yang Allah inginkan dari umat- Nya ketika mereka mengikuti Dia di sepanjang padang gurun. Allah memimpin mereka dengan cara yang unik, yakni hadir sebagai tiang awan. Jika awan naik, berarti Dia menghendaki umat-Nya berangkat dan pindah ke daerah lain. Jika awan turun, di sanalah mereka tinggal dan berkemah. “Atas titah TUHAN mereka berkemah dan atas titah TUHAN juga mereka berangkat” (Bil. 9:23). Bangsa Israel menaati instruksi itu siang dan malam, tanpa tahu berapa lama mereka harus tinggal di suatu tempat.

Allah bukan hanya sekadar menguji bangsa Israel; Dia sedang memimpin mereka menuju Tanah Perjanjian (10:29). Allah ingin membawa mereka menuju ke tempat yang lebih baik. Begitu juga dengan kita, ketika Allah memanggil kita untuk mengikuti-Nya. Dia ingin memimpin kita menuju pada suatu persekutuan yang lebih erat dengan-Nya. Firman Allah memberi kita jaminan bahwa dengan penuh kasih dan kesetiaan, Dia memimpin setiap orang yang rela mengikuti kehendak-Nya. —JBS

O betapa senang hidup dalam terang,
Beserta Tuhan di jalan-Nya,
Jika mau mendengar serta patuh benar;
Dan tetap berpegang pada-Nya. —Sammis
(Nyanyikanlah Kidung Baru, No. 116)

Allah meminta anak-anak-Nya untuk mengikuti Sang Pemimpin.

Ikatan Bersama

Minggu, 3 Agustus 2014

Ikatan Bersama

Baca: Efesus 2:11-18

2:11 Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu–sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya "sunat", yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, —

2:12 bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia.

2:13 Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu "jauh", sudah menjadi "dekat" oleh darah Kristus.

2:14 Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan,

2:15 sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera,

2:16 dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.

2:17 Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang "jauh" dan damai sejahtera kepada mereka yang "dekat",

2:18 karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa.

Kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus. —Galatia 3:28

Ikatan Bersama

Saat membutuhkan seorang tukang kunci untuk membuka mobil saya, saya mendapatkan sebuah kejutan yang menyenangkan. Setelah si tukang datang dan mulai membuka pintu mobil Ford mungil milik saya, kami mulai berbincang-bincang dan saya mengenali logatnya yang khas dan tidak asing di telinga saya.

Ternyata orang yang telah menolong saya itu berasal dari Jamaika—sebuah negeri yang sering saya kunjungi dan saya cintai. Hal itu mengubah sebuah peristiwa yang negatif menjadi pengalaman yang positif. Kami dapat menikmati kebersamaan tersebut sedikit banyak karena kecintaan kami yang sama terhadap negeri pulau yang indah itu.

Peristiwa tersebut mengingatkan saya akan suatu kebersamaan yang lebih indah, yaitu sukacita yang dialami saat berkenalan dengan seseorang dan mendapati bahwa ia juga beriman kepada Kristus.

Peristiwa itu mungkin umum terjadi di tempat-tempat dengan jumlah orang Kristen yang cukup banyak. Namun di wilayah-wilayah tertentu di mana orang percaya tidak begitu banyak, bertemu dengan seseorang yang juga mengasihi Yesus tentu membawa sukacita yang lebih besar. Alangkah indahnya mengalami bersama suatu kenyataan yang luar biasa bahwa kita telah dimerdekakan dari dosa oleh Kristus!

Semua orang yang mengenal Yesus masuk dalam suatu ikatan bersama, suatu kesatuan dalam Kristus (Gal. 3:28), suatu persekutuan penuh sukacita yang dapat menerangi masa-masa hidup kita yang paling gelap sekalipun. Syukur kepada Allah karena Dia telah mengumpulkan semua orang yang mengenal-Nya sebagai Juruselamat dalam satu ikatan yang indah. —JDB

Betapa ajaibnya, Tuhan, karena Engkau dapat mengumpulkan
orang-orang dari segala suku, bahasa, dan bangsa
untuk bersatu dalam Kristus—untuk saling berbagi
dalam ikatan cinta dan kasih kepada Yesus.

Persekutuan iman membangun dan menyatukan kita.