Posts

Cincin di Tempat Sampah

Kamis, 28 Juni 2018

Cincin di Tempat Sampah

Baca: Matius 13:44-46

13:44 “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu.

13:45 Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah.

13:46 Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, iapun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu.”

Carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. —Matius 7:7

Cincin di Tempat Sampah

Suatu pagi, semasa kuliah, saya terbangun dan melihat teman sekamar saya Carol sedang panik. Cincin stempelnya hilang. Kami pun mencarinya ke mana saja, bahkan sampai mengubek-ubek tempat sampah.

Saya menyobek salah satu plastik sampah. “Kamu begitu gigih mencari cincin ini!”

“Aku tak rela kehilangan cincin seharga $200 (sekitar Rp2.800.000)!” serunya.

Tekad Carol itu mengingatkan saya pada perumpamaan Tuhan Yesus mengenai Kerajaan Surga. Dia menyatakan bahwa kerajaan itu “seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu” (Mat. 13:44). Sungguh, ada hal-hal tertentu yang memang layak dicari dan diperjuangkan.

Di sepanjang Alkitab, Allah menjamin bahwa mereka yang mencari-Nya pasti akan menemukan-Nya. Dalam kitab Ulangan, Allah menjelaskan kepada bangsa Israel bahwa mereka akan menemukan-Nya saat mereka berpaling dari dosa-dosa mereka dan mencari-Nya dengan segenap hati (4:28-29). Dalam kitab 2 Tawarikh, Raja Asa dikuatkan oleh janji yang serupa (15:2). Lalu, dalam kitab Yeremia, Allah memberikan janji yang sama kepada umat-Nya yang terbuang, dengan mengatakan bahwa Dia akan membawa mereka kembali dari pembuangan (29:13-14).

Apabila kita mencari Allah, melalui firman-Nya, ibadah, dan dalam kehidupan kita sehari-hari, kita pasti akan menemukan-Nya. Seiring waktu, kita akan semakin dalam mengenal-Nya. Itu bahkan jauh lebih indah daripada kebahagiaan yang dialami Carol saat menemukan cincinnya di dalam plastik sampah! —Julie Schwab

Tuhan, tolong aku untuk mencari-Mu dengan segenap hatiku.

Untuk menemukan Allah, kita harus mau mencari-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 11-13; Kisah Para Rasul 9:1-21

Persekutuan dengan Yesus

Jumat, 22 Juni 2018

Persekutuan dengan Yesus

Baca: Filipi 3:7-14

3:7 Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.

3:8 Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,

3:9 dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan.

3:10 Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya,

3:11 supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.

3:12 Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.

3:13 Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku,

3:14 dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.

Segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. —Filipi 3:8

Persekutuan dengan Yesus

Saya tidak akan pernah melupakan pengalaman istimewa untuk duduk di sebelah penginjil besar Billy Graham pada sebuah acara makan malam. Saya merasa terhormat sekaligus agak gugup memikirkan apa yang sepantasnya saya katakan kepadanya. Saya pikir menarik juga jika saya membuka percakapan dengan menanyai beliau tentang apa yang paling memberinya sukacita dalam pelayanannya selama bertahun-tahun. Kemudian saya mencoba untuk mengusulkan beberapa kemungkinan jawaban: Apakah waktumu mengenal banyak pemimpin negara di dunia? Atau waktu memberitakan Injil kepada jutaan orang di seluruh dunia?

Sebelum saya selesai menyebutkan kemungkinan-kemungkinan itu, Rev. Graham menghentikan saya. Tanpa ragu, ia berkata, “Persekutuan saya dengan Yesus. Merasakan kehadiran-Nya, menerima hikmat-Nya, mengalami tuntunan dan arahan-Nya—itulah sukacita terbesar saya.” Seketika itu juga saya merasa malu sekaligus tertantang oleh jawabannya. Saya merasa malu karena saya tidak yakin jawaban itu akan menjadi jawaban saya jika saya yang ditanya. Saya merasa tertantang karena saya ingin dapat menjawab seperti itu.

Itulah yang dipikirkan Paulus ketika ia menganggap semua pencapaian besarnya tidak lagi berarti jika dibandingkan dengan “pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya” (Flp. 3:8). Pikirkanlah, betapa berlimpahnya hidup kita apabila Tuhan Yesus dan persekutuan kita dengan-Nya menjadi prioritas utama kita. —Joe Stowell

Tuhan, ampunilah aku karena sering memprioritaskan hal-hal yang lebih remeh daripada persekutuanku dengan-Mu. Terima kasih karena Engkau selalu rindu memperkaya hidupku dengan kehadiran dan kuasa-Mu.

Agar tetap setia di mana pun Allah menempatkanmu saat ini, tempatkanlah Kristus sebagai yang utama di dalam hatimu.

Bacaan Alkitab Setahun: Ester 6-8; Kisah Para Rasul 6

Akses Istimewa

Sabtu, 29 Juli 2017

Akses Istimewa

Baca: Ibrani 12:18-24

12:18 Sebab kamu tidak datang kepada gunung yang dapat disentuh dan api yang menyala-nyala, kepada kekelaman, kegelapan dan angin badai,

12:19 kepada bunyi sangkakala dan bunyi suara yang membuat mereka yang mendengarnya memohon, supaya jangan lagi berbicara kepada mereka,

12:20 sebab mereka tidak tahan mendengar perintah ini: “Bahkan jika binatangpun yang menyentuh gunung, ia harus dilempari dengan batu.”

12:21 Dan sangat mengerikan pemandangan itu, sehingga Musa berkata: “Aku sangat ketakutan dan sangat gemetar.”

12:22 Tetapi kamu sudah datang ke Bukit Sion, ke kota Allah yang hidup, Yerusalem sorgawi dan kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah,

12:23 dan kepada jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di sorga, dan kepada Allah, yang menghakimi semua orang, dan kepada roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna,

12:24 dan kepada Yesus, Pengantara perjanjian baru, dan kepada darah pemercikan, yang berbicara lebih kuat dari pada darah Habel.

Kamu sudah datang . . . kepada jemaat anak-anak sulung. —Ibrani 12:22-23

Akses Istimewa

Walaupun hanya replika, kemah suci yang didirikan di wilayah selatan Israel itu sangatlah mengagumkan. Replika kemah suci yang teguh berdiri di padang Negeb itu dibangun sesuai ukuran asli dan semirip mungkin dengan spesifikasi yang terdapat dalam Keluaran 25-27 (tentunya tanpa emas murni dan kayu akasia).

Saat kelompok tur kami dibawa menyusuri “Tempat Kudus” dan kemudian “Tempat Mahakudus” untuk melihat “tabut perjanjian”, beberapa dari kami merasa ragu. Bukankah itu adalah tempat mahakudus, dan hanya imam besar yang diperbolehkan masuk? Bagaimana mungkin kami bisa memasuki tempat tesebut dengan santai?

Saya dapat membayangkan betapa takutnya bangsa Israel setiap kali menghampiri Kemah Pertemuan dengan korban sembelihan mereka, karena menyadari bahwa mereka datang menghadap Allah yang Mahakuasa. Dan mereka juga pasti merasakan kegentaran, setiap kali Allah memberikan pesan kepada mereka melalui Musa.

Hari ini, kamu dan saya dapat langsung datang kepada Allah dengan penuh keberanian, karena menyadari bahwa pengorbanan Tuhan Yesus telah meruntuhkan penghalang antara kita dan Allah (Ibr. 12:22-23). Setiap dari kita dapat berbicara kepada Allah kapan pun kita menginginkannya, dan mendengar suara-Nya secara langsung saat kita membaca firmanNya dalam Kitab Suci. Kita menikmati akses langsung yang hanya dapat diimpikan oleh bangsa Israel. Kiranya kita tidak menyia-nyiakannya, tetapi menghargai hak istimewa tersebut dengan datang setiap hari kepada Allah Bapa sebagai anak-anaknya yang terkasih. —Leslie Koh

Bapa, terima kasih untuk hak istimewa yang telah diberikan Tuhan Yesus kepada kami, sehingga kami dapat datang kepada-Mu dengan menyadari bahwa kami telah diampuni dan disucikan dengan darah Kristus. Kiranya kami tidak pernah lupa betapa besar pengorbanan-Nya bagi kami.

Melalui doa, kita memiliki akses langsung kepada Bapa kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 49-50 dan Roma 1

Mengenakan Pakaian Terbaik

Jumat, 21 Juli 2017

Mengenakan Pakaian Terbaik

Baca: Roma 13:11-14

13:11 Hal ini harus kamu lakukan, karena kamu mengetahui keadaan waktu sekarang, yaitu bahwa saatnya telah tiba bagi kamu untuk bangun dari tidur. Sebab sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita dari pada waktu kita menjadi percaya.

13:12 Hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang!

13:13 Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati.

13:14 Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.

Kenakanlah Tuhan Yesus Kristus. —Roma 13:14

Mengenakan Pakaian Terbaik

Dalam bukunya Wearing God (Mengenakan Allah), penulis Lauren Winner mengatakan bahwa secara diam-diam, pakaian kita dapat mengungkapkan jati diri kita kepada orang lain. Apa yang kita kenakan dapat saja menunjukkan karier, komunitas atau identitas, suasana hati, atau status sosial kita. Pikirkanlah apa yang digambarkan oleh kaos dengan slogan tertentu, setelan bisnis, seragam, atau celana jin yang berlumur minyak. Winner menulis, “Sungguh menarik, sama seperti pakaian, orang Kristen mungkin secara diam-diam menyatakan sesuatu tentang Yesus.”

Menurut Paulus, kita juga dapat mengungkapkan tentang Kristus tanpa kata-kata. Roma 13:14 memerintahkan kita, “kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuh [kita] untuk memuaskan keinginannya.” Apa artinya? Ketika kita menjadi orang Kristen, kita mengenakan identitas Kristus. Kita semua adalah “anak-anak Allah karena iman” (Gal. 3:26-27). Itulah status kita. Namun, setiap hari kita perlu mengenakan karakter-Nya. Kita melakukannya dengan berjuang untuk hidup bagi Tuhan Yesus dan menjadi semakin serupa dengan-Nya, bertumbuh dalam kesalehan, kasih, dan ketaatan, serta meninggalkan dosa-dosa yang pernah memperbudak kita.

Pertumbuhan di dalam Kristus ini merupakan hasil dari karya Roh Kudus di dalam kita dan buah dari kerinduan kita untuk semakin mengenal-Nya melalui penggalian firman Tuhan, doa, dan persekutuan dengan sesama orang percaya (Yoh. 14:26). Ketika orang lain melihat perkataan dan perilaku kita, pernyataan apakah yang sedang kita tunjukkan tentang Kristus? —Alyson Kieda

Ya Tuhan, kami ingin mencerminkan Engkau. Tolonglah kami untuk menjadi semakin serupa dengan-Mu hari demi hari. Buatlah kami bertumbuh dalam kesalehan, kasih, sukacita, dan kesabaran.

Saat orang lain melihat kita, kiranya apa yang mereka lihat menyatakan kebenaran tentang Sang Juruselamat.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 29-30 dan Kisah Para Rasul 23:1-15

Bertatap Muka

Jumat, 14 Juli 2017

Bertatap Muka

Baca: Keluaran 33:7-14

33:7 Sesudah itu Musa mengambil kemah dan membentangkannya di luar perkemahan, jauh dari perkemahan, dan menamainya Kemah Pertemuan. Setiap orang yang mencari TUHAN, keluarlah ia pergi ke Kemah Pertemuan yang di luar perkemahan.

33:8 Apabila Musa keluar pergi ke kemah itu, bangunlah seluruh bangsa itu dan berdirilah mereka, masing-masing di pintu kemahnya, dan mereka mengikuti Musa dengan matanya, sampai ia masuk ke dalam kemah.

33:9 Apabila Musa masuk ke dalam kemah itu, turunlah tiang awan dan berhenti di pintu kemah dan berbicaralah TUHAN dengan Musa di sana.

33:10 Setelah seluruh bangsa itu melihat, bahwa tiang awan berhenti di pintu kemah, maka mereka bangun dan sujud menyembah, masing-masing di pintu kemahnya.

33:11 Dan TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya; kemudian kembalilah ia ke perkemahan. Tetapi abdinya, Yosua bin Nun, seorang yang masih muda, tidaklah meninggalkan kemah itu.

33:12 Lalu berkatalah Musa kepada TUHAN: “Memang Engkau berfirman kepadaku: Suruhlah bangsa ini berangkat, tetapi Engkau tidak memberitahukan kepadaku, siapa yang akan Kauutus bersama-sama dengan aku. Namun demikian Engkau berfirman: Aku mengenal namamu dan juga engkau mendapat kasih karunia di hadapan-Ku.

33:13 Maka sekarang, jika aku kiranya mendapat kasih karunia di hadapan-Mu, beritahukanlah kiranya jalan-Mu kepadaku, sehingga aku mengenal Engkau, supaya aku tetap mendapat kasih karunia di hadapan-Mu. Ingatlah, bahwa bangsa ini umat-Mu.”

33:14 Lalu Ia berfirman: “Aku sendiri hendak membimbing engkau dan memberikan ketenteraman kepadamu.”

Tuhan berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya. —Keluaran 33:11

Bertatap Muka

Meski saat ini dunia kita sudah terhubung secara elektronik dengan begitu luasnya, tetap saja tidak ada yang dapat mengalahkan kebersamaan yang dilakukan dengan tatap muka. Saat kita bertukar cerita dan tertawa bersama, tanpa disadari, kita bisa merasakan perasaan lawan bicara kita hanya dengan melihat mimik mereka. Para kerabat atau sahabat yang saling mengasihi tentu merasa senang sekali apabila mereka dapat bertemu dan bertatap muka.

Kita melihat hubungan seperti itu terjadi antara Tuhan dengan Musa, orang yang dipilih Allah untuk memimpin umat-Nya. Seiring berjalannya waktu, dari tahun ke tahun, Musa semakin mantap mengikut Allah. Ia bahkan terus mengikut Allah walaupun bangsanya memberontak dan menyembah berhala. Setelah bangsa itu menyembah anak lembu tuangan dan bukan Tuhan (lihat Kel. 32), Musa mendirikan kemah di luar perkemahan sebagai tempat untuk bertemu Allah, sementara bangsa itu melihatnya dari kejauhan (33:7-11). Ketika tiang awan yang melambangkan kehadiran Allah turun ke kemah itu, Musa berbicara atas nama bangsanya. Allah berjanji bahwa kehadiran-Nya akan menyertai mereka (ay.14).

Karena kematian Yesus di kayu salib dan kebangkitan-Nya, kita tidak lagi membutuhkan seseorang seperti Musa untuk berbicara kepada Allah bagi kita. Sebaliknya, seperti yang dinyatakan Yesus kepada murid-murid-Nya, kita dapat menjalin persahabatan dengan Allah melalui Kristus (Yoh. 15:15). Kita pun dapat berjumpa dengan Allah, saat Dia berbicara kepada kita seperti seseorang berbicara kepada sahabatnya. —Sheridan Voysey

Nanti muka dengan muka langsung akan kukenal. Tuhan Yesus, Juruselamat, Pengasihku yang kekal! —Carrie E. Breck (Kidung Jemaat, No. 267)

Kita dapat berbicara kepada Tuhan layaknya berbicara dengan sahabat.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 10-12 dan Kisah Para Rasul 19:1-20

Artikel Terkait:

Pentingnya Punya Sahabat

Hidup dalam Pengharapan

Jumat, 10 Maret 2017

Hidup dalam Pengharapan

Baca: Efesus 2:11-22

2:11 Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu–sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya “sunat”, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, —

2:12 bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia.

2:13 Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu “jauh”, sudah menjadi “dekat” oleh darah Kristus.

2:14 Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan,

2:15 sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera,

2:16 dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.

2:17 Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang “jauh” dan damai sejahtera kepada mereka yang “dekat”,

2:18 karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa.

2:19 Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah,

2:20 yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.

2:21 Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan.

2:22 Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.

Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah. —Efesus 2:19

Hidup dalam Pengharapan

Steven adalah seorang pengungsi muda asal Afrika yang tidak memiliki kewarganegaraan. Menurutnya, ia mungkin lahir di Mozambik atau Zimbabwe. Ia tidak pernah mengenal ayahnya dan telah kehilangan ibunya. Sang ibu melarikan diri saat terjadi perang saudara dan pergi dari satu negara ke negara lain bekerja sebagai pengasong di jalanan. Tanpa kartu identitas dan tidak dapat membuktikan tempat kelahirannya, Steven pun pergi ke sebuah kantor polisi di Inggris dan meminta supaya dirinya ditahan. Bagi Steven, penjara tampak lebih baik daripada bertahan hidup di jalanan tanpa memiliki hak dan manfaat sebagai seorang warga negara.

Kesusahan dalam menjalani hidup tanpa kewarganegaraan ada di benak Paulus saat ia menuliskan surat untuk jemaat di Efesus. Para pembacanya yang bukan Yahudi tahu betul bagaimana rasanya menjalani hidup sebagai orang asing (Ef. 2:12). Setelah seseorang menemukan hidup dan pengharapan di dalam Kristus (Ef. 1:13), barulah mereka menemukan apa artinya menjadi warga Kerajaan Surga (Mat. 5:3). Di dalam Yesus, mereka mengalami apa artinya dikenal dan dipelihara oleh Bapa yang dinyatakan lewat kedatangan-Nya ke dunia (Mat. 6:31-33).

Paulus menyadari bahwa meskipun kita telah menerima hidup yang penuh pengharapan, tetapi seiring berjalannya waktu, kita bisa menjadi lupa bahwa sepatutnya kita tidak boleh lagi berputus asa.

Kiranya Allah menolong kita untuk menjalani hidup dengan penuh keyakinan—untuk menyadari setiap hari bahwa keberadaan kita sebagai anggota keluarga Allah adalah semata-mata karena iman di dalam Yesus Kristus dan untuk memahami segala berkat serta keistimewaan yang kita terima dari keberadaan kita di dalam Dia. —Mart DeHaan

Tuhan, dengan mengingat tidak berdayanya kami sebelum Engkau menemukan kami, tolonglah kami untuk tidak melupakan mereka yang hidupnya kini masih tak menentu.

Pengharapan berarti besar bagi mereka yang pernah hidup tanpanya.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 11-13; Markus 12:1-27

Artikel Terkait:

Aku Kecewa Dan Meninggalkan Gerejaku, Tapi Satu Hal Membuatku Kembali

“Ketika akhirnya aku cukup dewasa untuk bergabung dengan komisi pemuda, aku hanya butuh waktu 3 minggu untuk sampai pada sebuah kesimpulan: Aku membenci mereka.”

Apa yang menjadi penyebab Amy membenci komisi pemuda? Mengapa ia meninggalkan mereka? Baca kesaksian selengkapnya di dalam artikel berikut.

Waktu Pribadi Bersama Allah

Jumat, 30 Desember 2016

Waktu Pribadi Bersama Allah

Baca: Matius 14:13-23

14:13 Setelah Yesus mendengar berita itu menyingkirlah Ia dari situ, dan hendak mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka.

14:14 Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit.

14:15 Menjelang malam, murid-murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata: “Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa.”

14:16 Tetapi Yesus berkata kepada mereka: “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.”

14:17 Jawab mereka: “Yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan dua ikan.”

14:18 Yesus berkata: “Bawalah ke mari kepada-Ku.”

14:19 Lalu disuruh-Nya orang banyak itu duduk di rumput. Dan setelah diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya membagi-bagikannya kepada orang banyak.

14:20 Dan mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang sisa, dua belas bakul penuh.

14:21 Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak.

14:22 Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang.

14:23 Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ.

Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. —Matius 14:23

Waktu Pribadi Bersama Allah

Pagi itu suasana di kelas sekolah Minggu tempat saya melayani sangat ramai. Sekitar 12 anak kecil terus berceloteh dan bermain di ruangan. Karena banyaknya kegiatan yang berlangsung, ruangan kami menjadi panas. Saya pun membuka pintu ruangan dan mengganjalnya. Seorang anak laki-laki melihat itu sebagai kesempatan untuk kabur. Ia pun berjingkat keluar dari ruangan, mengira tidak ada yang memperhatikannya. Setelah membuntutinya, saya pun tidak heran menemukan bahwa ia mencari ayahnya dan langsung memeluknya.

Anak kecil tersebut melakukan apa yang perlu kita lakukan ketika hidup menjadi begitu sibuk dan membuat kita kewalahan—ia menyelip keluar agar bisa bersama ayahnya. Tuhan Yesus mencari kesempatan agar bisa menghabiskan waktu bersama Bapa Surgawi-Nya di dalam doa. Ada yang berpendapat bahwa mungkin itulah cara-Nya mengatasi berbagai tuntutan yang telah menguras tenaga-Nya sebagai manusia. Menurut Injil Matius, Yesus sedang pergi ke suatu tempat terpencil ketika orang banyak mengikuti Dia. Melihat kebutuhan mereka, Yesus melakukan mukjizat dengan menyembuhkan mereka dan memberi mereka makan. Namun setelah itu Dia “naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri” (Mat. 14:23).

Tuhan Yesus berulang-ulang menolong banyak orang, tetapi Dia tidak membiarkan diri-Nya menjadi kepayahan dan tergopoh-gopoh. Dia selalu memupuk hubungan-Nya dengan Allah melalui doa. Bagaimana denganmu? Apakah kamu akan menyediakan waktu pribadi bersama Allah untuk mengalami kekuatan dan kepuasan sejati dari-Nya? —Jennifer Benson Schuldt

Dari mana kamu menemukan kepuasan yang lebih besar—dari usaha kamu memenuhi segala tuntutan hidup ini atau dari hubungan kamu dengan Sang Pencipta?

Ketika kita mendekat kepada Allah, pikiran kita disegarkan dan kekuatan kita diperbarui!

Bacaan Alkitab Setahun: Zakharia 13-14; Wahyu 21

Artikel Terkait:

Ulasan Buku: Waktu Bersama Tuhan

Penting isinya. Praktis penyampaiannya. Buku karya Jean Flemming ini tidak hanya memberi wawasan bagi orang yang baru belajar bersaat teduh, tetapi juga menyegarkan kita yang sudah bertahun-tahun mempraktikkannya. Bagaimana agar saat teduh kita tidak menjadi sekadar rutinitas tanpa makna?

Jangan Hanyut Terbawa Arus

Senin, 27 Juni 2016

Jangan Hanyut Terbawa Arus

Baca: Ibrani 2:1-4

2:1 Karena itu harus lebih teliti kita memperhatikan apa yang telah kita dengar, supaya kita jangan hanyut dibawa arus.

2:2 Sebab kalau firman yang dikatakan dengan perantaraan malaikat-malaikat tetap berlaku, dan setiap pelanggaran dan ketidaktaatan mendapat balasan yang setimpal,

2:3 bagaimanakah kita akan luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu, yang mula-mula diberitakan oleh Tuhan dan oleh mereka yang telah mendengarnya, kepada kita dengan cara yang dapat dipercayai, sedangkan

2:4 Allah meneguhkan kesaksian mereka oleh tanda-tanda dan mujizat-mujizat dan oleh berbagai-bagai penyataan kekuasaan dan karena Roh Kudus, yang dibagi-bagikan-Nya menurut kehendak-Nya.

Karena itu harus lebih teliti kita memperhatikan apa yang telah kita dengar, supaya kita jangan hanyut dibawa arus. —Ibrani 2:1

Jangan Hanyut Terbawa Arus

Di akhir suatu semester, saya dan istri menjemput putri kami dari sekolahnya yang berjarak sekitar 100 km dari rumah. Dalam perjalanan pulang, kami mampir ke suatu tempat istirahat di pantai terdekat untuk membeli makanan ringan. Sambil bersantai, kami memperhatikanperahu-perahu yang ada di pinggir pantai. Biasanya perahu-perahu dilabuhkan agar tidak hanyut terbawa arus, tetapi saya melihat di antara perahu-perahu itu ada sebuah perahu yang terombang-ambing dengan bebas dan lambat laun hanyut ke laut lepas.

Dalam perjalanan pulang, saya merenungkan peringatan yang sangat tepat diberikan kepada orang percaya dalam kitab Ibrani: “Karena itu harus lebih teliti kita memperhatikan apa yang telah kita dengar, supaya kita jangan hanyut dibawa arus” (Ibr. 2:1). Ada alasan yang baik mengapa kita jangan sampai terbawa arus. Penulis kitab Ibrani mengatakan bahwa meskipun hukum Taurat itu dapat dipercaya dan patut ditaati, tetapi kabar yang dibawa oleh Yesus, Anak Allah, jauh lebih unggul. Keselamatan kita dalam Yesus begitu besar sehingga Dia tidak boleh kita sia-siakan (ay.3).

Seringkali kita tidak menyadari bahwa hubungan kita dengan Allah semakin renggang, karena hal itu terjadi sedikit demi sedikit. Namun demikian, jika kita terus bercakap-cakap dengan-Nya di dalam doa dan membaca firman-Nya, mengakui dosa kita di hadapan-Nya, dan berinteraksi dengan murid-murid Yesus lainnya, kita akan dimampukan untuk senantiasa berpaut kepada-Nya. Ketika kita menjaga hubungan yang teratur dengan Tuhan, Dia akan terus menopang dan menjaga kita agar tidak hanyut terbawa arus. —Lawrence Darmani

Apa sifat Yesus yang membuat kamu selalu ingin dekat dengan-Nya?

Agar tidak terhanyut dan menjauh dari Allah, tambatkan dirimu pada Batu Karang yang teguh.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 8-10; Kisah Para Rasul 8:26-40

Artikel Terkait:

Apakah Kamu Peduli dengan Tuhan?

Ada banyak kebohongan yang coba diselipkan Iblis ke dalam pikiran kita, karena Iblis ingin kita tetap jadi budak dosa dan hidup jauh dari kasih karunia Tuhan. Akibatnya, kita seringkali tidak menempatkan Dia sebagai Tuhan atas kehidupan kita. Sandra Tarigan mencoba untuk mengidentifikasikan beberapa alasan yang membuat orang menjadi tidak peduli dengan Tuhan. Yuk baca selengkapnya di dalam artikel ini.