Posts

Tinggal pada Pokok Anggur

Jumat, 20 September 2019

Tinggal pada Pokok Anggur

Baca: Yohanes 15:1-8

15:1 “Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya.

15:2 Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah.

15:3 Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan kepadamu.

15:4 Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.

15:5 Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.

15:6 Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar.

15:7 Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.

15:8 Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku.”

Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. —Yohanes 15:4

Tinggal pada Pokok Anggur

Emma baru saja melewati musim dingin yang sangat berat dengan membantu menjaga seorang anggota keluarganya yang sakit keras. Pada musim semi tahun itu, Emma merasa dikuatkan setiap kali melewati sebatang pohon ceri dekat rumahnya di Cambridge, Inggris. Di atas kuntum-kuntum bunga merah muda, tumbuh kuntum-kuntum bunga putih. Seorang tukang kebun yang pintar telah mencangkokkan bunga putih pada pohon ceri itu. Setiap kali Emma melewati pohon unik itu, ia ingat Yesus pernah berkata bahwa Dialah pokok anggur dan para pengikut-Nya adalah ranting-rantingnya (yoh. 15:1-8).

Dengan menyebut diri sebagai pokok anggur, Yesus menggunakan gambaran yang tidak asing bagi orang Israel, karena di dalam Perjanjian Lama, pokok anggur melambangkan umat Allah (Mzm. 80:9-10, Hos. 10:1). Yesus memakai simbol itu bagi diri-Nya dengan mengatakan bahwa Dialah pokok anggur dan para pengikut-Nya telah dicangkokkan kepada-Nya sebagai ranting. Dengan tinggal di dalam Dia dan menerima nutrisi serta kekuatan dari-Nya, mereka akan berbuah (Yoh. 15:5).

Sembari Emma melayani anggota keluarganya, ia perlu diingatkan bahwa ia terhubung dengan Yesus. Melihat bunga-bunga putih di antara kuntum-kuntum merah muda telah memberi Emma gambaran tentang kebenaran yang menyatakan bahwa selama ia tetap tinggal di dalam Sang pokok anggur, ia akan menerima kekuatan dari-Nya.

Ketika kita yang percaya kepada Tuhan Yesus meyakini bahwa hubungan kita dengan-Nya itu sedekat pokok anggur dengan rantingnya, iman kita akan terus diperkuat dan diperkaya. —Amy Boucher Pye

WAWASAN
Perumpamaan kebun anggur dipakai untuk menggambarkan hubungan Allah dengan umat Israel (Mazmur 80:9-10; Yesaya 5:1-7; 27:2-6). Allah mengharapkan agar umat-Nya “menghasilkan buah anggur yang baik, tetapi yang dihasilkannya ialah buah anggur yang asam” (Yesaya 5:2). Yesus juga mengisahkan tentang pemilik kebun anggur yang ditolak dan tidak mendapat bagian hasil panennya (Matius 21:33-43). Dia memperingatkan orang Yahudi bahwa Allah menginginkan “suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu” (ay.43). Kita tidak dapat menghasilkan buah tanpa terhubung dengan Pokok Anggur. Yesus mengatakan bahwa jika kita berbuah, itu membuktikan bahwa kita adalah murid-murid-Nya (Yohanes 15:8). Karya Roh Kudus menghasilkan buah yang baik di dalam kita (Galatia 5:22-23) dan membuat kita semakin serupa Kristus (Roma 8:29). —K.T. Sim

Bagaimana cara kamu menerima kekuatan dan nutrisi rohani dari Tuhan Yesus?

Tuhan Yesus, terima kasih Engkau telah memampukanku untuk tinggal di dalam-Mu. Di sanalah kiranya kutemukan damai, harapan, dan kekuatan yang kubutuhkan hari ini.

Bacaan Alkitab Setahun: Pengkotbah 4-6; 2 Korintus 12

Handlettering oleh Kezia Endhy

Ketika Hiu Tidak Menggigit

Sabtu, 29 Juni 2019

Ketika Hiu Tidak Menggigit

Baca: Amsal 27:1-10

27:1 Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu.

27:2 Biarlah orang lain memuji engkau dan bukan mulutmu, orang yang tidak kaukenal dan bukan bibirmu sendiri.

27:3 Batu adalah berat dan pasirpun ada beratnya, tetapi lebih berat dari kedua-duanya adalah sakit hati terhadap orang bodoh.

27:4 Panas hati kejam dan murka melanda, tetapi siapa dapat tahan terhadap cemburu?

27:5 Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi.

27:6 Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.

27:7 Orang yang kenyang menginjak-injak madu, tetapi bagi orang yang lapar segala yang pahit dirasakan manis.

27:8 Seperti burung yang lari dari sarangnya demikianlah orang yang lari dari kediamannya.

27:9 Minyak dan wangi-wangian menyukakan hati, tetapi penderitaan merobek jiwa.

27:10 Jangan kautinggalkan temanmu dan teman ayahmu. Jangan datang di rumah saudaramu pada waktu engkau malang. Lebih baik tetangga yang dekat dari pada saudara yang jauh.

Orang yang kenyang menginjak-injak madu. —Amsal 27:7

Ketika Hiu Tidak Menggigit

Anak-anak saya sangat gembira, sementara saya merasa gelisah. Saat liburan, kami mengunjungi sebuah akuarium yang memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk membelai hiu-hiu kecil yang dipelihara dalam kolam khusus. Saat saya bertanya kepada petugas apakah hiu-hiu itu pernah menggigit jari pengunjung, ia menjelaskan bahwa ikan-ikan itu baru saja diberi makan dan sudah diberi makanan ekstra. Hewan-hewan itu tidak akan menggigit karena tidak merasa lapar.

Pelajaran yang saya dapat tentang membelai hiu ternyata sesuai dengan perkataan dalam kitab Amsal: “Orang yang kenyang menginjak-injak madu, tetapi bagi orang yang lapar segala yang pahit dirasakan manis” (Ams. 27:7). Rasa lapar—kekosongan yang dirasakan dalam batin—dapat melemahkan ketajaman kita dalam mengambil keputusan. Rasa lapar mendorong kita untuk mencari kepuasan diri dengan apa pun yang dapat memuaskan kita, sekalipun hal itu membawa kerugian bagi orang lain.

Namun, Allah menghendaki hidup kita tidak dikuasai oleh hasrat kita. Dia rindu kita dipenuhi oleh kasih Kristus supaya apa pun yang kita lakukan bersumber dari kedamaian dan stabilitas yang Dia sediakan. Kesadaran terus-menerus bahwa kita dikasihi tanpa syarat itulah yang memberikan kita kepercayaan diri. Kita pun dimampukan untuk menyaring hal-hal yang “baik” dalam kehidupan ini—seperti pencapaian, harta benda, dan hubungan dengan sesama.

Hanya hubungan dengan Yesus yang dapat memberikan kepuasan sejati. Kiranya kita memegang teguh kasih-Nya yang ajaib bagi kita, sehingga kita senantiasa “dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah” (ef. 3:19) demi kebaikan kita—dan orang lain juga. —Jennifer Benson Schuldt

WAWASAN
Amsal banyak berbicara tentang hubungan antar manusia (10:12; 16:28; 17:9-10; 18:24) serta pentingnya memiliki teman-teman yang takut akan Allah (12:26; 13:20;17:17; 22:24-25; 24:1-2). Dalam Amsal 27, Salomo memuji nilai seorang sahabat sejati (ay.5-6, 9-10, 17). Kawan yang bisa dipercaya adalah orang-orang yang masuk dalam kehidupan Anda dan bisa menegur serta mengoreksi dengan kasih; mereka tidak takut ‘mengecewakan’ Anda untuk sementara (dengan teguran) demi melindungi Anda dari bahaya yang fatal (ay.5-6). Nasihat mereka yang tulus dan jujur terasa seperti aroma minyak dan wangi-wangian yang menyenangkan (ay.9). Teman sejati adalah mereka yang tetap dekat dan selalu ada saat Anda membutuhkannya, menyediakan penghiburan dan dukungan dalam masa-masa kesukaran (ay.10). Teman sejati menjadikan Anda orang yang lebih baik (ay.17). —K.T. Sim

Apa yang paling kamu kejar dalam hidup ini? Mengapa Yesus sanggup memenuhimu dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh yang lain?

Mereka yang menerima Yesus sebagai Roti Hidup tidak akan lapar lagi.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 14-16; Kisah Para Rasul 9:22-43

Handlettering oleh Tora Tobing

Menemukan Harta Karun

Rabu, 5 Juni 2019

Menemukan Harta Karun

Baca: Matius 13:44-46

13:44 “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu.

13:45 Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah.

13:46 Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, iapun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu.”

Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang. —Matius 13:44

Menemukan Harta Karun

Ketika John dan Mary sedang mengajak anjing mereka berjalan-jalan di halaman rumah, tanpa sengaja mereka menemukan sebuah kaleng berkarat yang menyembul keluar karena tanahnya tergerus oleh hujan. Mereka membawa kaleng itu pulang, membukanya, dan mendapati di dalamnya simpanan koin emas yang berusia lebih dari satu abad! Pasangan tersebut kembali ke tempat kaleng tadi dan menemukan tujuh kaleng lagi yang seluruhnya berisi 1.427 koin. Kemudian, mereka melindungi harta karun itu dengan memendamnya kembali di tempat lain.

Simpanan koin bernilai 10 juta dolar itu merupakan penemuan koin kuno terbesar dalam sejarah Amerika Serikat. Kisah ini sangat mirip dengan perumpamaan yang diceritakan Yesus: “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu” (Mat. 13:44).

Kisah tentang harta terpendam telah menarik imajinasi orang dari abad ke abad, meski penemuannya sangat jarang terjadi. Namun, Yesus berbicara tentang suatu harta yang akan diperoleh oleh semua orang yang mengakui dosa, lalu menerima dan mengikuti Dia (Yoh. 1:12).

Harta istimewa itu takkan pernah habis. Ketika kita meninggalkan kehidupan kita yang lama untuk mencari Allah dan kehendak-Nya, kita akan menemukan kemuliaan-Nya. Melalui “kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus” (Ef. 2:7), Allah menawarkan kepada kita harta yang tak ternilai—kehidupan baru sebagai anak-Nya, tujuan hidup yang baru, dan sukacita kekal yang tak terbayangkan bersama-Nya. —James Banks

WAWASAN
Yesus membandingkan hal Kerajaan Surga dengan harta terpendam dan upaya yang akan dilakukan seseorang untuk memperolehnya (Matius 13:44). Perumpamaan itu mungkin membuat kita berfokus pada perihal hartanya, tetapi yang ditekankan Yesus adalah unsur pengorbanannya. Orang yang menemukan harta terpendam tadi “menjual seluruh miliknya” hanya untuk mendapatkan harta itu. Pada kesempatan lain, Yesus menegaskan, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (16:26). Hidup dengan nilai-nilai Kristus berarti segala sesuatu yang lain tidak bernilai lagi bagi kita. Kerajaan Surga menuntut komitmen total kepada Yesus. —Tim Gustafson

Bagaimana kamu menghargai hubungan kamu dengan Allah? Bagaimana kamu dapat membagikan harta tersebut dengan orang lain?

Engkaulah harta terbesarku, ya Yesus. Aku memuji-Mu karena Engkau telah menyerahkan hidup-Mu bagiku di kayu salib, sehingga aku dapat memperoleh pengampunan dan hidup yang baru di dalam-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 23-24; Yohanes 15

Handlettering oleh Elizabeth Rachel Soetopo

Tidak Seperti Kemarin

Kamis, 25 April 2019

Tidak Seperti Kemarin

Baca: Matius 4:1-11

4:1 Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis.

4:2 Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus.

4:3 Lalu datanglah si pencoba itu dan berkata kepada-Nya: “Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti.”

4:4 Tetapi Yesus menjawab: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.”

4:5 Kemudian Iblis membawa-Nya ke Kota Suci dan menempatkan Dia di bubungan Bait Allah,

4:6 lalu berkata kepada-Nya: “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu.”

4:7 Yesus berkata kepadanya: “Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!”

4:8 Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya,

4:9 dan berkata kepada-Nya: “Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku.”

4:10 Maka berkatalah Yesus kepadanya: “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!”

4:11 Lalu Iblis meninggalkan Dia, dan lihatlah, malaikat-malaikat datang melayani Yesus.

Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan Tuhan. —Ulangan 8:3

Tidak Seperti Kemarin

Saat cucu kami Jay masih kecil, orangtuanya memberinya kaus baru saat ia berulang tahun. Ia langsung memakainya dan dengan bangga mengenakannya seharian.

Keesokan paginya, waktu ia muncul dengan kaus yang sama, ayahnya bertanya,“Jay, kamu senang dengan kaus itu?”

“Lebih senang kemarin,” jawab Jay.

Itulah masalah dari mengumpulkan harta: bahkan barang-barang yang baik dalam hidup ini tidak dapat memberi kita kebahagiaan yang menetap, sesuatu yang sangat kita dambakan. Meskipun kita memiliki banyak harta, bisa jadi kita tetap tidak bahagia.

Dunia menawarkan kebahagiaan dengan mengumpulkan banyak barang: pakaian baru, kendaraan baru, telepon atau jam tangan model terbaru. Namun, tidak ada harta yang dapat membuat kita sebahagia pada saat kita baru mendapatkannya. Kita diciptakan untuk Allah dan di luar Dia, tidak ada sesuatu hal yang bisa membuat kita merasa cukup.

Suatu hari, saat Yesus sedang berpuasa dan kelaparan, Iblis menghampiri-Nya dan mencobai Dia untuk memuaskan rasa laparnya dengan menciptakan roti. Yesus melawan dengan mengutip Ulangan 8:3, “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat. 4:4).

Itu tidak berarti bahwa kita harus hidup hanya dari roti. Yesus justru sedang mengungkapkan sebuah fakta: kita adalah makhluk rohani dan bahwa kita tidak bisa hidup dari materi saja.

Kepuasan sejati ditemukan dalam Allah dan kekayaan rohani yang dianugerahkan-Nya kepada kita. —David H. Roper

WAWASAN

Empat puluh hari puasa Yesus di padang gurun Yudea mencerminkan empat puluh tahun perjalanan Israel di padang gurun Sinai. Dengan mengingat bagaimana Roh Allah memimpin bangsa Israel ke tanah yang gersang itu, Yesus berulang kali mengutip pengalaman tersebut (Ulangan 6:16; 8:3; 10:20), karena Dia juga menghadapi berbagai tantangan yang menguji kepercayaan-Nya kepada Allah dalam memberi makanan dan penyertaan yang menjadi dasar hidup dan misi-Nya (Matius 4:1-2; Ulangan 8:3). Dalam setiap ujian, Yesus memilih untuk percaya pada kebaikan Bapa yang Dia kenal daripada kepuasan (Matius 4:3), bantuan (ay.6), dan kompromi (ay.8-9) yang ditawarkan oleh musuh-Nya (ay.10).—Mart DeHaan

Mengapa harta kekayaan tidak dapat memberi kebahagiaan jangka panjang? Hikmah apa yang telah Anda pelajari dari harapan-harapan Anda di masa lalu?

Ajarlah kami, Allah, apa artinya hidup dengan kekayaan-Mu hari ini. Engkaulah empunya semua yang benar-benar kuperlukan!

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 21–22; Lukas 18:24-43

Handlettering oleh Septianto Nugroho

Tanda-Tanda Persahabatan

Senin, 15 April 2019

Tanda-Tanda Persahabatan

Baca: Yohanes 15:9-17

15:9 “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu.

15:10 Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.

15:11 Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.

15:12 Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.

15:13 Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.

15:14 Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.

15:15 Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.

15:16 Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.

15:17 Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.”

Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. —Yohanes 15:14

Tanda-Tanda Persahabatan

Saat masih kecil dan bertumbuh di Ghana, saya senang sekali menggandeng tangan ayah saya dan berjalan bersamanya ke tempat-tempat ramai. Beliau ayah sekaligus teman saya, dan bergandengan tangan di budaya kami adalah tanda persahabatan sejati. Sambil berjalan-jalan, kami mengobrol tentang berbagai hal. Setiap kali merasa kesepian, saya terhibur oleh kehadiran ayah saya. Saya sangat menghargai persahabatan kami!

Tuhan Yesus menyebut para pengikut-Nya sebagai sahabat, dan Dia menunjukkan kepada mereka tanda persahabatan-Nya. “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu,” kata Yesus (Yoh. 15:9), bahkan hingga memberikan nyawa-Nya untuk mereka (ay.13). Dia menunjukkan tatanan yang berlaku dalam kerajaan-Nya (ay.15). Dia mengajarkan segala sesuatu yang telah Bapa katakan kepada-Nya (ay.15). Dia juga memberikan kepada mereka kesempatan untuk mengambil bagian dalam misi-Nya (ay.16).

Yesus berjalan bersama kita sebagai Sahabat kita seumur hidup. Dia mendengarkan setiap kesakitan dan kerinduan hati kita. Ketika kita kesepian dan kecewa, Yesus Sang Sahabat sejati tetap menemani kita.

Persahabatan kita dengan Yesus akan terjalin lebih erat ketika kita mengasihi satu sama lain dan menuruti perintah-perintah-Nya (ay.10,17). Saat kita mematuhi perintah-perintah-Nya, kita akan menghasilkan buah yang tetap (ay.16).

Dalam mengarungi dunia yang penuh sesak dan berbahaya ini, kita dapat mengandalkan penyertaan Tuhan kita. Itulah tanda dari persahabatan-Nya. —Lawrence Darmani

WAWASAN

Yohanes 14-16 sering disebut “Khotbah Yesus di Ruang Atas” Yesus. Inilah saat terakhir-Nya untuk mengajar murid-murid, yang dilakukan pada waktu antara penetapan Perjamuan Kudus (Matius 26; Markus 14; Lukas 22) dan rangkaian peristiwa sengsara-Nya, yang dimulai dengan doa dan pengkhianatan di Getsemani (Yohanes 18).
Dalam Yohanes 15:9-13, berbagai bentuk kata kasih muncul delapan kali. Kasih ini mengacu kepada kasih antara Bapa dan Anak, kasih Allah (Bapa dan Anak) kepada kita, dan kasih kita kepada sesama. Pada ayat 14-17, kata sahabat atau sahabat-sahabat muncul dua kali -menggambarkan sebuah gebrakan baru dalam relasi kita dengan Kristus. Apa artinya? Relasi dihasilkan dari kasih, dan seperti yang ditekankan dalam ayat 17, relasi kita satu sama lain ditandai oleh kasih timbal balik yang berakar dalam kasih-Nya kepada kita. —Bill Crowder

Apakah artinya “menjadi sahabat Yesus” bagi Anda? Bagaimana Dia telah menyatakan kehadiran-Nya kepada Anda?

Bapa Surgawi, sahabat kami akan mengecewakan kami, dan kami juga akan mengecewakan mereka. Namun, Engkau tidak pernah mengecewakan, bahkan Kau berjanji menyertai kami “sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20). Tolong kami menunjukkan syukur dengan selalu setia melayani-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 27–29; Lukas 13:1-22

Handlettering oleh Tora Tobing

Semangat Fika

Senin, 25 Februari 2019

Semangat Fika

Baca: Lukas 24:28-35

24:28 Mereka mendekati kampung yang mereka tuju, lalu Ia berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanan-Nya.

24:29 Tetapi mereka sangat mendesak-Nya, katanya: “Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam.” Lalu masuklah Ia untuk tinggal bersama-sama dengan mereka.

24:30 Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka.

24:31 Ketika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka.

24:32 Kata mereka seorang kepada yang lain: “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?”

24:33 Lalu bangunlah mereka dan terus kembali ke Yerusalem. Di situ mereka mendapati kesebelas murid itu. Mereka sedang berkumpul bersama-sama dengan teman-teman mereka.

24:34 Kata mereka itu: “Sesungguhnya Tuhan telah bangkit dan telah menampakkan diri kepada Simon.”

24:35 Lalu kedua orang itupun menceriterakan apa yang terjadi di tengah jalan dan bagaimana mereka mengenal Dia pada waktu Ia memecah-mecahkan roti.

Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. —Lukas 24:30

Semangat Fika

Kedai kopi dekat rumah saya diberi nama Fika, kata dalam bahasa Swedia yang berarti beristirahat dengan menyantap roti dan segelas kopi bersama keluarga, rekan kerja, atau teman-teman. Saya bukan orang Swedia, tetapi kata fika menggambarkan satu hal yang paling saya sukai tentang Yesus—sikap-Nya yang senang mengambil waktu untuk makan dan bergaul dengan orang lain.

Para pakar Alkitab berpendapat bahwa perjamuan makan Yesus bukanlah sesuatu yang dilakukan tanpa tujuan. Teolog Mark Glanville menyebutnya sebagai “hidangan kedua yang menyenangkan” dari pesta dan perayaan yang biasa dilakukan bangsa Israel pada masa Perjanjian Lama. Di meja perjamuan-Nya, Yesus menjadi apa yang dikehendaki Allah dari bangsa Israel, yaitu “sumber sukacita, kemeriahan, dan keadilan bagi seluruh dunia.”

Lewat perjamuan yang dilayani Yesus, dari pemberian makan kepada 5.000 orang, Perjamuan Terakhir bersama para murid, hingga makan bersama dua murid setelah kebangkitan-Nya (Luk. 24:30)—kita diajak berhenti sejenak dari pergumulan kita dan berserah penuh kepada-Nya. Setelah kedua murid itu bersantap bersama Yesus, mereka baru menyadari bahwa Dialah Tuhan yang telah bangkit. “Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia” (ay.30-31).

Baru-baru ini, saat duduk bersama seorang teman di kedai kopi Fika sembari menikmati cokelat panas dan bolu gulung, kami pun berbincang-bincang tentang Yesus. Dialah Sang Roti Hidup. Kiranya kita menikmati perjamuan-Nya dan semakin mengenal Dia. —Patricia Raybon

Tuhan, terima kasih karena Engkau menyediakan waktu dan tempat bagi kami di meja perjamuan-Mu agar kami semakin mengenal-Mu.

Luangkanlah waktu untuk menikmati Sang Roti Hidup.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 12-14; Markus 5:21-43

Yesus Mengulurkan Tangan-Nya

Jumat, 17 Agustus 2018

Yesus Mengulurkan Tangan-Nya

Baca: Matius 14:22-33

14:22 Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang.

14:23 Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ.

14:24 Perahu murid-murid-Nya sudah beberapa mil jauhnya dari pantai dan diombang-ambingkan gelombang, karena angin sakal.

14:25 Kira-kira jam tiga malam datanglah Yesus kepada mereka berjalan di atas air.

14:26 Ketika murid-murid-Nya melihat Dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru: “Itu hantu!”, lalu berteriak-teriak karena takut.

14:27 Tetapi segera Yesus berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”

14:28 Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia: “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.”

14:29 Kata Yesus: “Datanglah!” Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus.

14:30 Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: “Tuhan, tolonglah aku!”

14:31 Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”

14:32 Lalu mereka naik ke perahu dan anginpun redalah.

14:33 Dan orang-orang yang ada di perahu menyembah Dia, katanya: “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.”

Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia. —Matius 14:31

Yesus Mengulurkan Tangan-Nya

Terkadang hidup menjadi begitu sibuk—pelajaran yang sulit, pekerjaan yang melelahkan, kamar mandi yang perlu dibersihkan, dan janji pertemuan yang telah dijadwalkan hari ini. Saya pun tiba pada titik di mana saya harus memaksakan diri untuk membaca Alkitab selama beberapa menit dalam sehari sambil berjanji pada diri sendiri untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama Tuhan minggu depan. Namun, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk teralihkan perhatiannya, kembali tenggelam dalam tugas-tugas pada hari itu, dan lupa meminta pertolongan Allah dalam bentuk apa pun.

Ketika Petrus berjalan di atas air hendak mendatangi Yesus, perhatiannya begitu cepat teralihkan oleh angin dan ombak. Seperti saya, ia mulai tenggelam (Mat. 14:29-30). Namun, begitu Petrus berseru, dengan “segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia” (ay.30-31).

Saya sering merasa seolah-olah harus menebus kegagalan saya kepada Allah setelah bekerja begitu sibuk dan perhatian saya teralihkan sampai-sampai saya melupakan kehadiran-Nya. Namun, Allah tidak menghendaki itu. Begitu kita berpaling kepada-Nya untuk meminta pertolongan, Yesus segera mengulurkan tangan-Nya tanpa ragu-ragu.

Ketika kita digoyahkan oleh berbagai kekalutan hidup, begitu mudahnya kita melupakan bahwa Allah hadir di tengah badai bersama kita. Yesus bertanya kepada Petrus, “Mengapa engkau bimbang?” (ay.31). Apa pun yang kita alami, Allah hadir. Dia hadir di sini. Dia mendampingi kita, dahulu maupun sekarang, dan siap mengulurkan tangan-Nya untuk menyelamatkan kita. —Julie Schwab

Tuhan, tolonglah aku untuk berpaling kepada-Mu di tengah kesibukan dan berbagai hal dalam hidup yang mengalihkan perhatianku. Terima kasih karena Engkau selalu hadir, menyertai, dan siap untuk menyelamatkanku.

Allah menunggu kita untuk berpaling kepada-Nya agar Dia dapat mengulurkan tangan-Nya dan menolong kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 97-99; Roma 16

Hati yang Lapar

Kamis, 16 Agustus 2018

Hati yang Lapar

Baca: Yohanes 6:32-40

6:32 Maka kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya bukan Musa yang memberikan kamu roti dari sorga, melainkan Bapa-Ku yang memberikan kamu roti yang benar dari sorga.

6:33 Karena roti yang dari Allah ialah roti yang turun dari sorga dan yang memberi hidup kepada dunia.”

6:34 Maka kata mereka kepada-Nya: “Tuhan, berikanlah kami roti itu senantiasa.”

6:35 Kata Yesus kepada mereka: “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.

6:36 Tetapi Aku telah berkata kepadamu: Sungguhpun kamu telah melihat Aku, kamu tidak percaya.

6:37 Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang.

6:38 Sebab Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku.

6:39 Dan Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman.

6:40 Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman.”

Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi. —Yohanes 6:35

Hati yang Lapar

Saat berkendara bersama suami, saya melihat-lihat e-mail di ponsel saya dan dikejutkan oleh munculnya iklan sebuah toko donat di kota saya. Toko itu baru saja kami lewati! Tiba-tiba saja perut saya keroncongan karena lapar. Alangkah hebatnya cara teknologi memungkinkan para penjual merayu kita untuk mencoba produk atau jasa mereka.

Sembari menutup e-mail tersebut, saya teringat kepada Allah yang terus-menerus rindu menarik saya mendekat kepada-Nya. Dia selalu mengetahui di mana saya berada dan rindu untuk mempengaruhi pilihan-pilihan yang saya buat setiap hari. Saya bertanya-tanya, Apakah hati saya juga begitu mendambakan-Nya seperti perut saya yang lapar karena menginginkan donat?

Dalam Yohanes 6, setelah mukjizat Yesus memberi makan lima ribu orang, para murid sangat berharap Yesus akan selalu memberi mereka “roti yang . . . memberi hidup kepada dunia” (ay.33-34). Yesus menanggapi di ayat 35, “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.” Sungguh luar biasa bagaimana hubungan pribadi dengan Yesus dapat selalu memberikan asupan rohani yang kita butuhkan sehari-hari!

Iklan toko donat tadi menyasar kelaparan jasmani saya, tetapi pengetahuan Allah yang sempurna akan kondisi hati saya telah mendorong saya untuk mengenali kebutuhan saya yang tiada habisnya akan Dia dan untuk menerima kepuasan sejati yang hanya dapat ditemukan di dalam Dia. —Elisa Morgan

Ya Allah, ingatkan aku bahwa aku membutuhkan kehadiran-Mu setiap hari.

Hanya Yesus yang menyediakan roti yang benar-benar memuaskan kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 94-96; Roma 15:14-33

Bergantung Penuh

Sabtu, 7 Juli 2018

Bergantung Penuh

Baca: Yohanes 5:16-23

5:16 Dan karena itu orang-orang Yahudi berusaha menganiaya Yesus, karena Ia melakukan hal-hal itu pada hari Sabat.

5:17 Tetapi Ia berkata kepada mereka: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga.”

5:18 Sebab itu orang-orang Yahudi lebih berusaha lagi untuk membunuh-Nya, bukan saja karena Ia meniadakan hari Sabat, tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya sendiri dan dengan demikian menyamakan diri-Nya dengan Allah.

5:19 Maka Yesus menjawab mereka, kata-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak.

5:20 Sebab Bapa mengasihi Anak dan Ia menunjukkan kepada-Nya segala sesuatu yang dikerjakan-Nya sendiri, bahkan Ia akan menunjukkan kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar lagi dari pada pekerjaan-pekerjaan itu, sehingga kamu menjadi heran.

5:21 Sebab sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati dan menghidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan barangsiapa yang dikehendaki-Nya.

5:22 Bapa tidak menghakimi siapapun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak,

5:23 supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa. Barangsiapa tidak menghormati Anak, ia juga tidak menghormati Bapa, yang mengutus Dia.

Sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. —Yohanes 15:5

Bergantung Penuh

Ibunda Laura sedang berjuang melawan penyakit kanker. Suatu pagi, Laura dan seorang teman mendoakan ibunya. Teman Laura yang telah bertahun-tahun menderita cerebral palsy (kelumpuhan pada tulang belakang) itu berdoa: “Tuhan, Engkau selalu menolongku. Sekarang tolonglah juga ibunya Laura.”

Laura sangat tersentuh oleh pernyataan temannya yang bergantung penuh kepada Allah. Saat becermin pada hal itu, ia berkata, “Seberapa sering aku mengakui kebutuhanku akan Allah dalam segala hal? Itu seharusnya kulakukan setiap hari!”

Selama masa pelayanan-Nya di dunia ini, Yesus menunjukkan ketergantungan yang terus-menerus kepada Bapa-Nya di surga. Mungkin ada yang berpikir bahwa karena Yesus adalah Allah dalam rupa manusia, tentu saja Dia bisa mengandalkan diri-Nya sendiri. Namun, ketika para pemimpin agama meminta Yesus memberikan alasan tentang hal “bekerja” di hari Sabat, satu hari peristirahatan yang ditetapkan Hukum Taurat, karena Dia telah menyembuhkan seseorang pada hari itu, Dia menjawab, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya” (Yoh. 5:19). Yesus juga menyatakan ketergantungan-Nya kepada Bapa!

Ketergantungan Yesus kepada Bapa memberikan teladan terbesar bagi kita untuk memahami apa artinya menjalani hidup dalam persekutuan dengan Allah. Setiap napas yang kita hirup merupakan pemberian Allah, dan Dia ingin hidup kita dipenuhi dengan kekuatan-Nya. Ketika kita hidup mengasihi dan melayani Allah dengan senantiasa berdoa dan mengandalkan firman-Nya, kita sedang menyatakan ketergantungan kita kepada-Nya. —James Banks

Tuhan, aku membutuhkan-Mu dalam segala hal. Tolonglah aku untuk melayani-Mu dengan hidupku. Aku memuji-Mu karena Engkaulah Juruselamat dan kekuatanku.

Menjalani hidup tanpa doa menunjukkan keengganan kita untuk bergantung kepada Tuhan. —Daniel Henderson

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 34-35; Kisah Para Rasul 15:1-21