Posts

Podcast KaMu Episode-2: Lepas dari Jerat Dosa Seksual

Dosa seksual itu seperti jerat yang terus menarik kita untuk terbenam semakin dalam. Semakin kita berusaha lepas, semakin kuat pula godaannya. Atau, ketika kita telah terjebak terlalu dalam, mungkin kita pun merasa begitu kotor dan tak layak untuk dimaafkan Tuhan.

Apabila kamu sedang bergumul dengan dosa ini, yuk temukan inspirasi dari firman Tuhan yang akan menolongmu untuk hidup kudus bagi-Nya.

Melajang di Usia 30+: Menyerah atau Bertahan dengan Pendirian?

Oleh Nelle Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 30+, Single, And Trying Not To Settle

Kencan online di usia 30-an sepertinya tidak cocok untuk orang yang hatinya lemah.

Aku pikir aku perlu mengulangi jawaban-jawaban yang sama selama berbulan-bulan, berpikir keras untuk menciptakan obrolan yang santai, dan berusaha untuk tidak melirik jam di pertemuan pertama kami yang terasa membosankan. Meski ketakutan itu mungkin terwujud, tapi tidak ada salahnya untuk tetap mencoba. Kepada seorang laki-laki, aku coba memberanikan diriku untuk memulai obrolan.

Setelah beberapa bulan, aku mulai melihat sifat aslinya. Laki-laki ini orang yang menyenangkan. Dia merespons pertanyaan-pertanyaanku dengan serius, dia mengajukan pertanyaan yang sopan, dan perilakunya juga santun. Meskipun dia termasuk orang yang cukup serius, tapi dia masih punya selera humor (dan senyumannya yang manis). Kami suka menonton acara komedi, jalan-jalan ke luar ruangan, dan belajar hal-hal baru. Di tiga jam pertama dari pertemuan pertama, kami mengobrol dengan lancar sampai-sampai aku lupa pulang.

Tapi, meskipun dia mencantumkan status ‘Kristen’ di profilnya, aku melihat kalau dia tidak punya relasi personal dengan Tuhan. “Tuhan” baginya adalah sosok dengan kuasa yang lebih besar, dan dia tidak yakin dengan konsep bagaimana Salib itu bekerja menyelamatkan manusia. Semakin banyak kami berbicara, semakin terlihat tanda-tanda kehidupan yang hampa darinya. Meskipun dia orang yang ambisius dan sedang berada pada jalannya untuk mencapai kesuksesan, kehampaan itu muncul dari perasaan insecure-nya. Dia mengakui kalau dia takut jadi orang yang tidak relevan dan diabaikan. Untuk mengalahkan kekhawatiran itu, dia tidak mengizinkan ada orang lain yang mengontrol hidupnya—termasuk Tuhan. Dia terus mendorong dirinya untuk jadi yang terdepan.

Godaan untuk menyerah

Setelah putus empat tahun lalu, aku tahu orang yang seharusnya menjadi calonku harus mengasihi dan takut akan Tuhan. Aku bisa menebak masalah apa yang akan datang jika aku berelasi dengan seseorang yang mengandalkan dirinya sendiri untuk menjalani hidup. Kehidupan telah menunjukkanku akan apa yang Yeremia katakan, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” (Yeremia 17:9).

Hatiku sendiri, meskipun aku sudah mencoba menyerahkannya pada Tuhan, sering membawaku pada kesulitan. Jadi, jika pasanganku jelas-jelas menolak menyerahkan hatinya pada Tuhan, bagaimana aku dapat percaya pada setiap keputusan atau kata-katanya? Aku akan selalu menebak-nebak apakah itu keputusan dia yang egois. Dan, kurasa dia pun tidak akan pernah bisa jadi pemimpin rohani bagi keluarga.

Dengan harapan untuk memiliki pasangan yang berfokus pada Kristus, kurasa itu sudah cukup buatku untuk mengakhiri relasiku dengan laki-laki itu. Tapi, ketika keputusan itu muncul di otak, aku teringat:

Kamu itu nggak lagi muda.
Kamu siap buat membangun lagi komunikasi dengan orang lain?
Kapan lagi kamu bisa dapet chemistry kayak begini?
Kalau kamu terlalu pemilih, ya terima aja kalau kamu sendirian
Duh, orang seperti dia sih masih gapapa; dia bukan ateis kok.

Melepaskan seseorang yang cukup layak dalam standar masyarakat zaman ini menjadi sangat susah saat berada di usiaku. Aku bisa merasakan pikiranku bergulat untuk menemukan semacam kompromi. Mungkin aku bisa berjuang keras untuk memuridkan dia. Mungkin menginginkan calon suami yang bisa jadi pemimpin rohani cuma angan-angan saja, bukan sesuatu yang wajib? Lagipula, beberapa temanku yang Kristen baik-baik saja kok relasinya selama mereka jadi istri yang kerohaniannya lebih kuat?

Naluriku (atau mungkin Roh Kudus) melihat semua upayaku merasionalkan pemikiran-pemikiranku ini adalah mengangkat alis sebagai tanda heran. Tapi, pikiranku yang dicengkeram rasa takut terus menekanku.

Rumah yang kuharap ingin kubangun

Aku tahu aku bisa berdoa memohon petunjuk dari Tuhan untukku melakukan apa yang perlu. Suatu malam, saat aku sedang mencuci piring, sebuah pertanyaan muncul di pikiranku, “Nilai apa yang paling penting, yang ingin kamu berikan kepada anak-anakmu?”

Hening tetapi menohok, kurasa pertanyaan itu datang dari Roh Kudus. “Ini sih gampang,” pikirku, “aku mau anak-anakku punya relasi yang nyata dengan Tuhan yang mengasihi mereka. Ketaatan mereka adalah sikap hormat bagi Allah yang kudus. Dan supaya mereka bisa melihat setiap orang diciptakan seturut gambar-Nya, yang dengan demikian layak mendapatkan martabat dan kehormatan.”

Bagiku, beberapa nilai yang ingin kuberikan itu akan menolong mereka menemukan versi kehidupan terbaik yang bisa mereka miliki. Aku pernah mencoba hidup tanpa Tuhan, menentang-Nya, tetapi kemudian aku sadar bahwa dikasihi oleh Tuhan akan membentuk hidup kita. Aku percaya penuh bahwa Tuhanlah satu-satunya jalan menuju keutuhan hidup.

Pertanyaan kedua segera datang, “Tapi, bagaimana jika pasanganmu tidak percaya dengan itu semua, atau menolak harapan-harapanmu itu sebagai sebuah prioritas?”

Dan tiba-tiba… pergumulan pikiran selama berminggu-minggu pun hilang. Jika aku tahu apa yang terbaik untuk anak-anakku kelak, bagaimana bisa kelak kami hidup dalam rumah yang tidak bersatu, yang mungkin akan menghalangi mereka untuk tumbuh mendapati kehidupan yang terbaik untuk mereka?

Mungkin Tuhan tahu karena aku tipe orang yang mudah berkompromi, Dia mengajakku untuk berpikir keras. Pikiran-pikiran itu menolongku melihat bahwa pilihan-pilihan yang kubuat terkait pasangan hidupku tidak cuma akan mempengaruhiku, tetapi juga bagi orang lain.

Aku menyadari sekali lagi, ini adalah ujian bagi hatiku. Apakah aku percaya bahwa ketika Tuhan menetapkan batasan yang jelas bagi pernikahan, Dia tahu apa yang terbaik bagi kita? Atau, aku sombong karena kupikir akulah yang lebih tahu? Kupikir aku cukup kuat untuk menanggung semua akibat dari tidak berpegang pada tuntunan Tuhan dan menciptakan pernikahan berdasarkan standarku sendiri?

Ketika aku mengobrol dengan teman-temanku yang menikah dengan bukan orang Kristen, atau menikahi orang-orang yang tidak dewasa secara rohani, semua ilusiku pun buyar. Mereka bercerita betapa kesepiannya mereka karena tidak bisa membagikan isi hati terdalam mereka—perjalanan mereka bersama Tuhan—dengan pasangan mereka. Atau, betapa melelahkannya untuk berjalan secara rohani sendirian. Karena mereka sudah terikat dalam pernikahan, mereka berkata perlu tetap berkomitmen untuk mempertahankannya. Sementara itu, aku masih punya pilihan.

Teman-temanku yang menikahi seorang yang saleh menemukan sukacita tak terduga dari kehidupan pasangannya yang mengasihi Tuhan dan gereja (Efesus 5:25-29), serta bertanggung jawab menjadi pemimpin spiritual dalam keluarga. Mereka juga punya pergumulan, tapi secara karakter mereka semakin bertumbuh. Tanpa mereka perlu berkata, aku bisa melihat sendiri alasan untukku tidak berpasrah diri asal saja menerima siapa pun untuk menjadi pasanganku.

Setelah beberapa minggu mengelola pikiranku, aku memberitahu laki-laki itu kalau aku tidak mampu membangun hubungan ini lebih lanjut dengannya.

Lajang untuk hari ini

Bertumbuh dalam kedewasaan rohani berarti keputusanku—bahkan tentang pernikahan—harus tidak berpusat pada diriku sendiri dan seharusnya lebih kepada apa yang dapat memuliakan Tuhan (1 Korintus 10:31).

Tetapi, menetapkan keputusan berdasarkan apakah keputusan ini mencerminkanku sebagai anak Tuhan terkadang terasa membebani. Di hari-hariku yang sunyi, memuliakan dan menaati Tuhan terasa seperti latihan untuk menekan egoku.

Di hari-hari yang terasa lebih baik, aku ingat janji ini: “Siapa yang menghormati Aku, akan Kuhormati” (1 Samuel 2:30). Janji ini mengingatkanku bahwa ketika Tuhan tidak ingin aku berpasangan dengan seseorang yang tidak mengasihi-Nya, itu tidak berarti Dia ingin aku hidup dalam penderitaan sebagai seorang yang melajang dan kesepian. Meskipun Tuhan tidak memenuhi kebutuhanku dengan cara yang aku inginkan, Dia akan membuatku bertumbuh.

Dalam masa-masa ini, aku melihat bagaimana Dia membawaku kepada relasi spiritual yang dalam, supaya aku bisa mengatasi kesepianku dan memberiku kesempatan untuk membangun kerajaan-Nya. Aku belajar percaya kebaikan-Nya—apa pun bentuknya—pasti akan memberiku kepuasan.

Sejujurnya aku masih belum berani jika Tuhan mengatakan kehendak-Nya bagiku adalah aku melajang seumur hidupku. Aku harus belajar percaya sepenuhnya pada-Nya. Pada tahap ini, akan lebih mudah bagiku untuk “melajang” pada hari ini, tanpa perlu terlalu mengkhawatirkan hari depan. Satu mazmur yang sering kuingat ketika aku menaikkan doa pagi, “Perdengarkanlah kasih setia-Mu kepadaku pada waktu pagi, sebab kepada-Mulah aku percaya! Beritahukanlah aku jalan yang harus kutempuh, sebab kepada-Mulah kuangkat jiwaku” (Mazmur 143:8).

Ini adalah tindakan imanku untuk hari-hari yang kujalani bahwa akan selalu tersedia anugerah yang cukup untuk hidup dan bertumbuh dalam masa-masa lajangku.

Baca Juga:

Cerpen: Ngobrol Dengan Tuhan Itu Asyik

Aku mendengar pintu depan terbuka.

“Lima…Empat…Tiga…Dua…Satu.”

“Dewi…Dewi…Kamu ada di mana?”

Suka, Cinta, dan Penantian

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Langit sore tampak cerah. Matahari bersinar di balik awan putih dan angin pantai menyapu wajah muda-mudi yang bersemangat . Setelah melangkahkan kaki ke luar dari parkiran, mereka pun berjalan menuju pantai. Tiga orang remaja SMP bersama seorang kakak pembinanya berniat untuk melakukan pendalaman Alkitab di alam terbuka. Tempat yang berbeda untuk melakukan kegiatan mingguan mereka.

Sembari berjalan, Gracia membuka obrolan, “Kak, kakak tahu Dery nggak?”

Kak Nindy, nama kakak pembina rohani para remaja ini menatap Gracia. “Iya, tahu. Kenapa?”

“Kemarin dia confess ke aku,” lanjut Gracia sambil terus berjalan.

Kak Nindy memasang wajah kaget, kemudian memandang ke belakang sambil memberi isyarat tangan pada Luke dan Bisma yang jauh tertinggal di belakang untuk lebih mendekat. Ternyata kedua laki-laki itu sedang bermain adu gulat sambil berjalan.

“Memangnya dia bilang gimana?” Kak Nindy menatap Gracia yang terus memandangi jalan setapak di hadapan mereka.

“Dia bilang: ‘Gracia, aku mau bilang sesuatu sama kamu. I like you.’ Udah gitu aja,” Jawab Gracia.

“Terus kamu bilang apa sama dia?” tanya kak Nindy lagi.

“Ya udah, he is just like me kan, not love me.” Kak Nindy tertawa geli mendengar jawaban itu. Anak SMP berusia 13 tahun pun tahu bedanya dicintai dan disukai ya?

“Memangnya kenapa kalau dia suka sama kamu bukan cinta sama kamu?” Belum sempat Gracia menjawab, Kak Nindy segera berteriak, “Hai gaes, Gracia baru dapat pernyataan cinta nih!” “Wah tunggu, kita juga mau dengar!” Luke dan Bisma antusias lalu berlari mendekat.

“Ya kan cuma suka kak, kayak nge-fans gitu kan. Kalau cinta berarti dia kan lebih dalam lagi perasaannya,” jelas Gracia lagi. Kak Nindy mengangguk-angguk.

“Ceritanya waktu kita sudah sampai tempat tujuan aja,” saran Luke.

“Enak sekarang aja, sambil jalan biar nggak kerasa capeknya,” sahut Gracia.

Mereka berempat terus berjalan menuju gubuk di tepi pantai, bagian paling favorit versi mereka dari tempat wisata ini. Bersyukur sore ini tidak banyak pengunjung yang datang, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

“Terus, terus, kakak tahu Michael? Dia chatting aku lagi, panjang lebar.” Mata Gracia tampak berbinar mengucapkannya.

“Ehem, chatting gimana?” Tanya kak Nindy mempersiapkan hati untuk mendengar ceritanya lagi.

“Intinya dia mau bilang, I still love you.” Kali ini Gracia menatap Kak Nindy yang memasang wajah pura-pura kaget. Bahkan sampai menutup mulut. Gracia tahu itu berlebihan, tetapi dia nampak senang dengan reaksi itu.

“Wow!” Teriak Bisma dari belakang sambil bertepuk tangan. Kak Nindy lalu menggeleng-gelengkan kepala. Sungguh anak SMP zaman sekarang bisa dengan mudah mengekspresikan perasaan mereka. Entah apakah di balik pernyataan itu mereka sudah tahu makna sesungguhnya.

“Aneh kan kak? Padahal kita sudah lama lost kontak lho,” lanjut Gracia. Jadi, Gracia pernah berpacaran dengan Michael selama beberapa hari (iya, hari). Jangan heran, bahkan Kak Nindy pernah mendengar anak kelas 5 SD sudah berpacaran.

“Lalu, kamu senang dia bilang begitu?” Tanya kak Nindy lagi. Dia ingin membiarkan Gracia untuk bercerita banyak terlebih dahulu.

“Ya…” Gracia memainkan tangannya. Ragu-ragu mau bilang apa.

“Tapi, kayaknya aku cuma dijadikan pelarian deh. Jadi aku biasa aja,” lanjut gadis itu kemudian.

“Kamu masih suka ya, sama Michael?” Pertanyaan ini mendapat respon dengan nada yang cukup ngegas. “Ya nggak lah kak, ngapain.”

“Hemm, okay,” Kak Nindy tersenyum kecil.

Mereka pun tiba di gubuk yang menghadap ke pantai. Setelah duduk di lantai kayu tanpa beralaskan apapun, mereka mengeluarkan Alkitab dan buku PA (pendalaman Alkitab) mereka. “Wah indah ya, pemandangannya,” seru kak Nindy sembari menatap garis pantai yang ada di hadapan mereka.

“Kak aku mau tanya deh. Nggak papa kan?” Luke menatap Kak Nindy.

“Oke, kita sharing dulu sebelum masuk ke bahan PA. Mau tanya apa dek?”

“Kak Nindy pernah bilang, kalau kita boleh pacaran waktu kita sudah siap. Nah itu biasanya umur berapa sudah siapnya?” Tanya laki-laki berusia 13 tahun itu. Ya, tiga remaja ini baru berusia 13 tahun. Namun, nampaknya mereka sudah penuh dengan gejolak cinta remaja.

“Sebenernya nggak ada umur yang pasti, kapan kita bisa dikatakan siap pacaran. Karena siap itu bukan bicara soal umur, tapi kedewasaan seseorang. Nah, mereka yang sudah berumur 20 tahun tapi masih egois dan nggak tahu tujuan hidupnya, kayaknya juga belum siap buat pacaran.” Jelas Kak Nindy.

“Berarti, nanti kalau SMA aku sudah dewasa dan tahu tujuan hidup, aku boleh pacaran?” Sahut Gracia.

“Ngebet amat lu.” Celetuk Bisma sambil melirik pada Gracia, gadis itu memukul pelan paha Bisma dengan buku di tangannya.

“Ya, kalau kalian sudah merasa siap dan sudah mendoakan dengan sungguh-sungguh, silahkan pacaran. Tapi ingat ya, pacaran itu bukan untuk anak-anak, karena ada banyak hal yang akan kalian usahakan dan berikan. Seperti emosi, perhatian, saling melayani, saling mengenal lebih dalam. Nah, kalau kalian nggak siap, terus putus, itu bisa bikin kalian kalang kabut. Bahkan ada yang berpikiran ingin mengakhiri hidup karena putus cinta. Makanya, kakak bilang: kenallah Tuhan dan dirimu sendiri dengan baik, sebelum mau memulai relasi dengan lawan jenis.”

“Kalau kakak, kenapa belum pacaran? Kakak kan sudah dewasa, sudah tahu tujuan hidupnya, kayaknya kakak juga sudah siap. Nunggu apa coba?” Gracia menatap kakak rohaninya itu yang sudah setahun ini menemani mereka dalam kelompok kecil.

“Iya, kakak sudah 27 tahun kan,” Tambah Luke.

Kak Nindy tersenyum mendengar pertanyaan itu sambil menatap mereka satu per-satu, “Kalau kita merasa siap, bukan berarti Tuhan juga menilai demikian. Karena rencana kita bukan rencana Allah.” Lalu pandangannya beralih pada laut di hadapannya, bau air laut dibawa oleh angin memecah keheningan di antara mereka.

“Kalau kita hidup dengan sebuah tujuan, kakak yakin pacaran dan pernikahan seharusnya juga punya tujuan. Bukan hanya karena cinta, ya meskipun itu juga penting. Tapi menurut kakak, ada yang jauh lebih penting dari itu.” Kak Nindy berhenti lagi menunggu reaksi dari ketiga adiknya.

“Apa?” Tanya Gracia.

“Pernikahan itu alat yang dipakai Tuhan untuk membentuk kita menjadi semakin serupa dengan Kristus. Pernikahan itu juga untuk menggenapi rencana Tuhan bagi dunia ini. Apa coba, rencana Tuhan bagi dunia ini?” Kak Nindy menyipitkan matanya sambil melayangkan telunjuknya kepada wajah para remaja itu.

“Nggak tau kak,” rengek Gracia.

“Kak Nindy sudah pernah bilang lho padahal.” Wanita itu meraih Alkitabnya, “Coba baca Wahyu 7:9…” Mereka pun memulai diskusi tentang salah satu bagian perikop tersebut, bahkan juga membuka beberapa bagian kitab lain.

Ada yang berbicara tentang rasa suka terhadap lawan jenis atau tentang cinta yang tumbuh entah sejak kapan, tetapi juga ada yang masih tetap berbicara tentang penantiannya. Bukankah kita semua adalah kekasih-kekasih Allah yang telah ditebus dan dimerdekakan-Nya?

Kiranya mata kita senantiasa tertuju kepada Kristus. Hingga suatu saat kau temukan orang lain yang juga berlari ke arah yang sama, beririsan dengan hidupmu. Jika penantian akan pasangan hidup seakan selamanya, sesungguhnya Kekasih Jiwa kita tetap sama. Penantian kita tidak akan sia-sia.

Dan jika dirimu adalah jiwa yang terluka karena cinta yang sebelumnya, mungkin ini waktu yang tepat untuk datang ke pelukan Bapa. Dia peduli dan akan membalut setiap luka.

Baca Juga:

Pendeta yang Tidak Aku Sukai

Siapa pendeta yang akan berkhotbah sering jadi motivasiku untuk ikut ibadah. Kalau pendeta X yang khotbahnya menurutku tidak bagus, aku pun malas ke gereja. Tapi, ini pemikiran yang salah, dan aku bersyukur Roh Kudus menolongku.

Cerpen: Kapan Nikah?

Oleh Meili Ainun, Jakarta

”Coba pegang kepalaku! Panas, kan? Lis, bayangin! Aku harus menghadiri 6 pernikahan tahun ini. Bayangkan minimal 6 kali. Sepertinya semua orang menikah. Dari teman kantor, teman gereja, sampai mantan pacar, menikah! Belum lagi kalau ada saudara yang married. Aku bisa gila!”

Lilis memegang kepala Ririn. ”Ya, memang panas. Sepertinya kamu memang sudah gila.”

Sebuah bantal melayang. ”Aduh, Lis. Aku lagi serius, nih. Kamu malah bercanda.”

”Rin, aku juga serius. Kamu memang bisa gila kalau kamu stres seperti itu.”

”Lis, bagaimana tidak stres? Kamu dengar, kan? Tadi aku cerita sama kamu kalau dalam waktu 2 minggu ini saja, aku sudah terima 6 undangan pernikahan. Enam, Lis!”

”Iya. Lalu, kenapa? Aku tidak mengerti mengapa kamu menjadi stres. Harusnya kamu senang. Kamu diundang berarti kamu masih diingat. Masih dihargai.”

”Aku akan senang terima undangan mereka kalau aku sendiri sudah married. Tetapi aku kan masih single. Pacar saja aku belum punya!”

Lilis mengerutkan dahinya jika sedang berpikir. ”Aku benar-benar tidak mengerti apa hubungan semua ini dengan status kamu.”

Muka Ririn cemberut. ”Jelas saja ada hubungannya. Aku belum punya pacar. Aku belum menikah. Sampai di sini, jelas?”

Lilis mengangguk kepalanya berkali-kali. ”Jelas sekali, bu. Bagian itu semua orang sudah tahu.”

Ririn melempar bantal kembali. ”Karena aku belum menikah, maka di setiap undangan pernikahan nanti, aku akan ditanya kapan aku menikah. Tahun ini ada 6 pernikahan. Minimal 6 kali aku akan ditanya. Itu pun kalau yang tanya hanya 1 orang. Tetapi aku yakin pasti lebih dari 1 orang. Misalnya saja ada 5 orang, berarti aku akan ditanya 30 kali dalam tahun ini. Makanya aku stresssssssssss!”

”Ha…ha…ha….”

Ririn memalingkan wajahnya dengan kesal.

Lilis memeluk sahabatnya dengan erat. ”Aku minta maaf. Sekarang tenang dulu. Kita akan coba membicarakan masalah ini.”

Perlahan-lahan tangis Ririn mereda. ”Lis, kamu tidak tahu bagaimana rasanya. Sedih sekali. Semua orang memandang kamu dengan aneh. Seakan-akan kamu berasal dari planet lain. Kamu kelihatan berbeda. Dianggap tidak laku. Perawan tua.”

Ririn kembali menangis.

”Sst…sst… tenang, Rin. Siapa yang menganggap kamu seperti itu?”

”Mereka semua, Lis. Pandangan orang-orang. Belum lagi jika orang tua tanya. Kapan kamu nikah? Si A sudah, si B juga sudah. Bahkan si C sudah punya anak. Mana pacar kamu? Kenapa tidak dikenalkan?”

Lilis terdiam memikirkan apa yang harus dia katakan.

Ririn kembali bicara. ”Lis, aku udah kepala 3. Sudah tidak muda lagi. Tetapi aku bisa apa? Aku memang belum punya pacar.”

Lilis memegang bahu Ririn. ”Kamu stres karena membayangkan kamu akan ditanya oleh orang-orang mengenai kapan kamu akan menikah, benar?”

Ririn mengangguk.

”OK, kamu tidak bisa mengubah status kamu. Paling tidak untuk saat ini. Kamu memang belum punya pacar, jadi memang belum bisa menikah dalam waktu dekat ini. Kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah orang-orang bertanya tentang statusmu. Yang bisa kamu ubah adalah respons kamu terhadap pertanyaan orang-orang itu.”

Lilis melanjutkan setelah diam sejenak.

”Kamu pasti pernah dengar, kan? Kadang hidup kita menjadi berantakan karena kita salah meresponnya. Jadi yang harus kamu ubah adalah pandangan kamu. Pikiran kamu. Kita tidak bisa menyuruh mereka berhenti bertanya. Itu hak mereka. Tetapi… kamu bisa mengubah cara berpikir kamu. Kalau mereka bertanya begitu, itu memang wajar. Anggap mereka perhatian sama kamu. Jadi, jangan marah. Jawab saja yang sebenarnya. Kamu bisa bilang kalau kamu memang belum punya pacar. Minta mereka carikan saja. He…he…he… Atau kamu memang lagi sibuk bekerja, belum terpikir ke sana.”

Ririn tersenyum kecil. Mulai ada kelegaan di hatinya.

”Jadi, Ririn manis. Jangan stress. Kamu tidak bisa lari dari semua ini. Hadapi dengan tenang. Berdoa. Kalau memang Tuhan ingin kamu menikah, Dia pasti memberikan. Kalau tidak, pastilah ada rencana lain buat kamu. Benar, tidak?”

Ririn mengangguk. Dia teringat ayat Alkitab yang dibacanya tadi pagi. Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri (Amsal 3:5).

“Lis, kamu benar. Aku akan semakin mempercayai Tuhan dalam menjalani hidupku. Aku percaya Tuhan akan menolongku. Karena Dia mengasihiku dan tahu apa yang paling baik bagi hidupku.”

Lilis tersenyum dan memeluk Ririn dengan hangat.

Baca Juga:

Bagaimana Merespons Teman yang Mengakui Dosanya pada Kita

Bagaimana respons pertama kita ketika kita mendengar orang tersebut jatuh ke dalam dosa? Apakah kita segera memandang rendah dia, lalu buru-buru mengabari teman yang lain untuk menceritakan masalahnya?

Secuplik Mitos tentang LDR

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Ketika memutuskan untuk menjalin relasi jarak jauh (LDR) dengan pacarku, kurasa perjalanan kami akan terasa mudah. Kami sudah enam tahun saling kenal sebagai teman dekat, kerja kelompok bersama-sama, bahkan satu kelompok dalam mengerjakan mata kuliah puncak di semester akhir kuliah. Jarak kupikir tidak jadi kendala karena kami sudah cukup saling mengenal.

Tetapi, menjalin relasi baik terpisah secara jarak atau tidak menyajikan tantangannya tersendiri. Pasangan LDR punya pr lebih karena pertemuan fisik tidak bisa dilakukan sesering mereka yang tinggal satu kota. Survey-survey bilang bahwa pasangan LDR lebih berisiko mengalami perselingkuhan, kebosanan relasi, atau bahkan kandas di tengah jalan, tetapi itu tidak selalu berarti bahwa LDR adalah bentuk relasi yang buruk, terlebih di zaman modern ini.

Aku bukanlah ahli dalam bidang relasi, tetapi perjalananku berelasi jarak jauh selama dua tahun mengajariku banyak hal, salah satunya adalah mitos-mitos yang dipercaya orang tentang LDR.

1. Sekarang kan teknologi sudah canggih, tidak harus bertemu muka, video-call saja cukup

Berelasi jarak jauh di abad ke-21 jauh lebih nyaman ketimbang seabad sebelumnya di mana Internet dan HP belum ditemukan. Atau, jika seabad lalu terasa jauh, bayangkanlah kita menjalin LDR di tahun 2000-an awal ketika ingin berkomunikasi harus antre di wartel, atau membeli pulsa telepon yang harganya masih selangit. Sekarang, segala kesulitan itu tidak lagi kita jumpai. Meski terpisah jarak, kita bisa berkomunikasi nyaris kapan saja dan di mana saja. Pesan via aplikasi chat dapat dikirim dan diterima secara real time. Juga dengan kecepatan internet yang makin tinggi, video call menjadi semakin mudah tanpa perlu pusing karena suara yang putus-putus atau gambar yang buram.

Tetapi, meskipun perangkat teknologi menyajikan komunikasi yang tidak terbatas pada jarak, tetap ada kelemahan di dalamnya. Teori komunikasi menyatakan bahwa komunikasi tatap muka adalah bentuk komunikasi terbaik. Dalam komunikasi tatap muka, kita dapat menangkap lebih dari sekadar pesan verbal. Kita dapat melihat mimik wajah, gerakan tubuh, dan jalinan perasaan yang lebih kuat. Kehadiran secara fisik adalah kehadiran yang tak tergantikan oleh medium mana pun. Dan, satu hal lainnya adalah mengupayakan hadir secara fisik tentu memberikan nilai pengorbanan yang lebih.

Namun, meskipun komunikasi tatap muka adalah bentuk komunikasi terbaik, kita tidak perlu memaksakannya setiap waktu. Kita dapat menetapkan kesepakatan per berapa lama kita akan saling bertemu. Dalam relasi kami, kami bersepakat untuk bertemu setiap dua bulan dengan memikirkan beberapa pertimbangan. Tetapi, seperti ketika pandemi Covid-19 melanda dan pertemuan fisik menjadi berisiko, kami pun kembali berdiskusi untuk menemukan cara yang tepat dan bijak untuk kami tetap dapat saling terhubung.

2. Komunikasi tanpa putus, harus mengobrol serius setiap hari

Awal-awal kami masuk dalam fase pacaran, kami berupaya membangun kedekatan seintens mungkin. Tetapi, seperti kata pepatah bahwa yang berlebihan tidaklah baik, demikian juga dengan memaksakan durasi dan frekuensi komunikasi tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang ada. Kami pernah berada di fase di mana menelepon setiap hari dengan durasi di atas satu jam. Akibatnya, dalam beberapa bulan kami kelelahan secara fisik dan mental. Topik pun keburu habis dibahas. Alih-alih menjadi erat, kami malah menjadi renggang.

Aku lalu mendapati sebuah wejangan bijak dari seorang praktisi relasi yang berkata, take it slow to make it last. Atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti, dibuat santai supaya awet. Wejangan tersebut ada benarnya. Memaksakan durasi telepon menjadi tiap hari, berjam-jam, dan membahas topik-topik serius (semisal: rencana pernikahan, dsb) membuat kami luput akan apa yang sejatinya kami butuhkan. Manusia membutuhkan waktu tak cuma untuk berkomunikasi dengan pasangannya, tetapi juga dengan keluarganya, sahabatnya, diri sendiri, juga dengan Tuhan!

Lagi-lagi, yang dibutuhkan di sini adalah kesepakatan dan saling pengertian. Kami lalu saling mengevaluasi area manakah dalam hidup kami yang terabaikan dalam upaya kami membangun kedekatan. Setiap pasangan punya kesepakatannya masing-masing. Aku dan pacarku bersepakat untuk menelepon sekitar dua hari sekali, saat tidak sedang sibuk, atau memang jika keadaan memungkinkan saja. Di sini kami belajar untuk saling percaya. Dan, puji Tuhannya, relasi kami jadi membaik. Kami punya waktu untuk bersaat teduh, bekerja lembur, quality time bersama kawan dan keluarga, atau sekadar me-time untuk merelaksasi diri.

3. Jangan terlalu percaya, harus selalu ada curiga

“Memangnya kamu yakin dia pasti jujur? Kan nggak ada yang tahu kalau dia bakal bohong”.

Seperti disinggung di awal, LDR dianggap sebagai bentuk relasi yang berisiko, terkhusus dalam hal kehadiran orang ketiga. Kesadaran akan risiko ini biasanya menimbulkan bibit-bibit kecurigaan yang sadar atau tidak terselip dalam relasi sehari-hari. Pasangan menjadi cemburu dan melontarkan kata-kata menyindir, melarang-larang, atau pihak tertuduh lantas menjadi emosi atau mengarang alasan-alasan palsu.

Yang perlu kita pahami, meskipun jarak memberikan risiko yang lebih tinggi, ketidakjujuran adalah pilihan yang berasal dari diri sendiri. Hampir tidak ada kaitannya dengan jarak yang membentang. Ketika seseorang sudah memiliki itikad untuk tidak jujur, tanpa adanya jarak fisik yang membentang sekalipun, dia bisa melakukannya. Dunia biasanya memberikan saran berupa letakkanlah sedikit curiga, jangan percaya sepenuhnya pada pasanganmu, dan sebagainya. Tetapi, dalam relasi antara dua anak Tuhan, kepercayaan adalah hal yang harus selalu ada. Dan, tugas dari pasangan itu adalah saling memelihara kepercayaan tersebut. Bibit-bibit kecurigaan yang kita pelihara bisa bertumbuh dan mewujud ke dalam bentuk hilangnya rasa percaya, perubahan nada dan cara bicara, hingga spekulasi-spekulasi yang bukannya mengarahkan kita pada solusi tetapi malah membawa kita ke dalam jurang konflik yang dalam.

Memelihara kepercayaan datang dari meletakkan relasi tersebut sebagai relasi yang kudus dan penting bagi Allah. Kolose 3:23 mengatakan apa pun yang kita perbuat, perbuatlah itu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kurasa prinsip ini juga dapat berlaku dalam hal relasi, tentang bagaimana kita memperlakukan pasangan kita sebagai pelayanan kita juga terhadap Allah. Ketika kita berlaku jujur, mengasihi, dan juga menjaga kekudusan dengan dan kepada pasangan kita, itu berarti kita sedang menghormati dan melayani Allah.

* * *

Aku yakin ada banyak mitos lainnya yang kita pernah percayai terkait LDR atau juga berpacaran pada umumnya. Setiap relasi, baik itu LDR atau tidak, memiliki tantangannya masing-masing. Tetapi, yang paling penting dalam menjalaninya adalah bagaimana kita dapat memelihara komitmen dan memuliakan Allah di dalamnya.

Setiap manusia telah jatuh ke dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Ketika dua orang berdosa memutuskan untuk berelasi, tidak ada relasi yang sempurna. Oleh karena itu, sebuah relasi yang bertahan dan berjalan baik bukanlah relasi yang tanpa konflik dan kecewa. Hal-hal yang menyakitkan hati mungkin akan terjadi, tetapi yang terpenting adalah kedua belah pihak menyadari bahwa mereka membutuhkan anugerah Allah setiap hari dalam relasi mereka, dan melibatkan-Nya untuk hadir, berjalan, dan memimpin relasi tersebut untuk mencapai tujuan mulia-Nya.

Mitos atau pengalaman LDR apakah yang kamu alami? Yuk bagikan juga di kolom komentar.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Cerpen: Setoples Nastar di Pergantian Tahun

Lelehan mentega, bercampur sirup gula dan serbuk vanilla tercium semerbak. Malam ini Chesa membuat nastar untuknya dan kedua adiknya.

Dia yang Kukasihi, Dia yang Berpulang Lebih Dulu

Oleh Nia Andrei, Sampit

Kawanku terkasih, tulisan ini adalah cerita singkat dari perjalanan pernikahanku dan suamiku.

Sekitar sebulan lebih setelah pernikahan kami, barulah diketahui bahwa suamiku menderita Leukimia atau kanker darah. Selama beberapa bulan setelahnya, suamiku harus kontrol bolak-balik ke rumah sakit dan transfusi darah.

Karena kondisi sakit kankernya yang membutuhkan perawatan lebih intensif, kami sekeluarga memutuskan untuk melanjutkan perawatannya di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta Barat. Pada hari Sabtu, 2 Februari 2019, aku mendapatkan cuti dari kantorku. Aku sengaja tidak menghubungi suamiku. Aku tidak bilang kalau aku akan menyusulnya ke Jakarta. Hari itu, aku tiba-tiba datang ke ruang perawatannya.

Aku membuka tirai ruangannya dan berkata, “Hai..”

Papa mertuaku yang sedang menemaninya di ruangan pun tersenyum ketika aku datang.

Suamiku kaget, lalu bilang, “Hah?!”

“Kamu seneng nggak aku datang?”

“Iya,” jawabnya lirih.

“Tapi kok biasa aja?”

“Memangnya aku harus loncat-loncat di ranjang?” jawabnya begitu.

Aku tertawa dan menimpalinya dengan candaan, “Iya lah, sambil loncat-loncat di bed.”

Waktu melihat keadaannya, aku hampir menangis, tapi aku tetap berusaha tegar di hadapannya. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menangis di depan suamiku. Aku melihat lebam besar di pergelangan tangan kanan dan di paha sebelah kirinya. Kuoleskan salep di kedua bagian itu.

Mulai hari itu, aku menginap di RS, menenami dia. Setiap hari sebelum dia tidur, aku mengelus dahinya supaya dia merasa nyaman.

Minggu, 3 Februari 2019

Kegiatanku selama di rumah sakit tiap pagi dan sore adalah mengambil air panas di sudut ruangan. Tiap subuh jam 5, perawat datang untuk mengambil darah suamiku melalui selang cvc yang terpasang di dada kanannya, diukur tekanan darahnya, dan suhu tubuhnya. Aku melap seluruh badannya menggunakan waslap dan mengganti bajunya dengan baju pasien. Sprei dan sarung bantalnya pun tak lupa kuganti. Tiap mengusap wajahnya dengan waslap, aku berkata, “Ayang… Ayang…,” inginku menangis rasanya, tapi aku selalu menahan. Setiap kali dia buang air kecil selalu kucatat berapa mililiter volumenya, demikian juga jika dia minum dan buang air besar. Dia pun rutin menggunakan pengobatan uap untuk perbaikan infeksi di paru-parunya. Kadang hanya berselang satu hari jikalau Hb dan trombositnya turun, pasti dia harus melakukan transfusi darah.

Aku membawa Alkitab pernikahan kami. Setiap pagi sesudah sarapan aku membacakan beberapa ayat Alkitab dan dia hanya memandang diriku. Aku pun memandangi dirinya. Kami berdoa dan menyanyikan lagu-lagu rohani. Rasanya kami mampu menjalani hari ke hari hanya oleh penyertaan dan kasih setia Tuhan yang begitu luar biasa bagi kami.

Senin, 4 Februari 2019

Sama seperti hari-hari sebelumnya, ambil darah setiap pagi lewat selang cvc, disuntikkan antibiotik untuk paru-paru, minum obat pagi siang sore (4 macam), tetap pakai uap untuk perbaikan paru-parunya. Pagi hari itu, aku membacakan sebagian ayat Alkitab dan berdoa bersama. Sempat aku terdiam pada ayat Alkitab dari 2 Korintus 4:16, 5:1-8. Aku menangis dan diam, lalu dia memintaku untuk membacanya sampai habis.

Aku sempat mengobrol serius dengannya, “Hun, aku mau resign dari kerjaanku.”

Dia menjawab, “Kenapa? Pikirkan juga kerjaan.”

“Tapi kamu mau aku di sini sama kamu, kan? Mengurus kamu kan?”

“Iya,”

“Ya udah, jangan dipikirkan dulu.”

Selasa, 5 Februari 2019

Menjalani hari-hari bersama dia di RS, mengurus ini dan itu kebutuhannya setiap hari. Siangnya bertemu dokter paru dan dokter mengatakan bahwa pengobatan untuk paru-parunya perlu tetap dijalankan supaya nanti bisa dilakukan kemoterapi. Dokter sempat mengatakan dia perlu keluar dahulu sejenak supaya bisa menghirup udara segar dan terkena sinar matahari, tapi kondisinya tidak memungkinkan untuk keluar karena dia masih bergantung dengan selang oksigen.

Rabu, 6 Februari 2019

Kami menjalani hari-hari seperti hari-hari sebelumnya. Kami membaca Alkitab dan berdoa bersama.

Kamis, 7 Februari 2019

Sekitar jam 5 subuh, dokter Hematologi datang dan mengatakan kalau dia perlu dibawa keluar dari ruang perawatan supaya mendapat udara segar dan terkena sinar matahari karena udara dalam ruangan tidak baik untuk paru-parunya, antibiotik pun sudah resisten. Tapi, kondisinya masih tidak memungkinkan untuk keluar dari ruangan karena dia terlihat mulai sesak nafas dan bergantung dengan selang oksigen.

Hari itu adalah hari yang berat bagiku karena aku harus kembali ke Sampit dan meninggalkan dia di Jakarta.

Aku bertanya lagi memastikan keputusanku, “Hun, aku mau nanya lagi ni, memastikan. Kamu mau aku di sini kan nemenin kamu, mengurus kamu?”

“Iya, terserah saja. Yang terbaik ya.”

Aku bilang, “Oke kamu gak usah pikirin dulu karena keputusan ada di tanganku, aku mau resign.”

Pagi itu dia sudah terlihat mulai sesak nafas dan aku tak tega meninggalkan dia. Aku menghubungi atasanku untuk memperpanjang izinku, tapi tidak diperbolehkan. Mau tidak mau aku perlu pulang ke Sampit dan bilang bahwa aku ingin resign. Waktu aku pamit pada suamiku, wajahnya memerah. Matanya menatapku seolah ingin berkata, “Hun, jangan pergi.” Tapi aku tetap pergi waktu itu dan kembali ke Sampit.

Jumat, 8 Februari 2019

Pagi harinya aku masuk kantor dan sore hari tepat di jam pulang kantor aku memberanikan diri bilang ke atasanku bahwa aku ingin resign dan keputusan ini sudah bulat. Aku mau fokus merawat suamiku. Atasanku setuju.

Malam harinya aku mendapat kabar kalau dia sudah mulai sesak nafas dan di ruang perawatan pun sudah digunakan monitor jantung dan rencananya suamiku akan segera dibawa ke ICU. Aku menangis, berlutut, dan berdoa kiranya Tuhan dapat menolong dia melewati kondisi yang harus dihadapi. Aku pun bergegas membeli tiket pesawat untuk berangkat ke Jakarta besok paginya lewat Palangkaraya. Singkat cerita, saat dia yang kukasihi sedang berjuang di ruang ICU, waktu menunjukkan pukul 23:45 dan aku mendapat kabar bahwa Tuhan Yesus telah memanggilnya pulang.

Aku tersentak. Aku menangis. Aku meraung dan malam hari itu di Sampit turun hujan yang sungguh deras.

* * *

Aku mampu melewati semuanya, sepanjang perjalanan hubungan kami hingga menikah, semuanya karena kekuatan dan penyertaan daripada Tuhan. Aku mengingat kembali semua kebaikan-Nya pada kami. Walaupun waktu-waktu kami bersama begitu singkat, tetapi aku tetap bersyukur karena Tuhan masih memberikanku waktu untuk merawat suamiku dengan intens selama 6 hari di RS Kanker Dharmais Jakarta. Tuhan Yesus, terima kasih, Engkau sangat baik.

Sampai saat ini pun, aku tetap merasakan kasih dan penyertaan Tuhan dalam kehidupanku walau terkadang aku sangat rindu dengan suamiku, dia yang kukasihi.

Semoga kesaksian tentang sekelumit kisah kehidupanku dan alharhum suamiku bisa menjadi berkat bagi semua yang membaca kisah kehidupan kami.

Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Baca Juga:

Wanita untuk Kemuliaan Allah

Pada saat Ia bangkit dari kematian-Nya, saksi pertama dari kisah yang mengguncangkan sejarah itu adalah Maria Magdalena, seorang wanita. Mengapa bukan tokoh yang dianggap penting seperti Petrus, Yohanes, Yakobus, atau murid pria lainnya?

Marriage Story: Mengapa Relasi yang Hancur Tetap Berharga untuk Diselamatkan?

Oleh Jiaming Zheng
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Marriage Story: Why Broken Relationship Are Still Worth Saving
Gambar diambil dari official trailer

Aku menonton film Netflix, Marriage Story yang dibintangi oleh Adam Driver dan Scarlett Johansson di suatu malam di akhir minggu yang santai. Film itu menceritakan tentang sepasang suami istri, Nicole dan Charlie (diperankan oleh Johansson dan Driver dengan apik) ketika mereka sepakat untuk bercerai dan bertengkar tentang hak asuh anak mereka, Henry. Film ini menarik perhatian dan masuk nominasi Oscar serta sangat direkomendasikan oleh Netflix. Oleh karena itulah, aku memutuskan untuk menontonnya.

Kupikir aku tidak asing dengan kata ‘perceraian’, tapi tak kusangka film itu malah membuatku menangis memikirkan tentang relasi yang gagal, pengampunan, dan penebusan selama 2 jam 17 menit.

Nicole dan Charlie telah memutuskan untuk bercerai karena ‘perbedaan yang tak bisa dipersatukan’. Charlie digambarkan sebagai sosok egois yang menyerap energi orang lain. Ia tidak peduli dengan Nicole dan bahkan berbohong bahwa ia telah berselingkuh. Nicole mengorbankan banyak hal demi Charlie, namun permintaan dan keinginannya tak digubris—sampai pada akhirnya, ia tak tahan lagi.

Sebagai seorang wanita, aku mudah bagiku bersimpati kepada Nicole. Namun tidak mudah juga untuk membenci Charlie. Ia adalah seorang direktur jenius, bos yang hebat, ayah, menantu yang terluka akibat perceraian yang sangat terluka karena perceraian.

Namun seiring dengan kisah yang mulai terungkap, aku melihat Nicole sebagai sosok pribadi yang juga memiliki kesalahan. Ia kurang percaya diri, tidak tahu apa yang ia inginkan dan dengan mudah dipengaruhi oleh pengacara perceraiannya, Nora. Diperdaya Nora di masa-masa rapuhnya, ia membawa para pengacara—yang menjadi satu-satunya pihak yang mungkin menyukai situasi ini—ke tempat kejadian.

Dalam film, nampaknya kebenaran yang dikenal secara umum ialah bahwa pernikahan mau tidak mau akan berakhir dalam perceraian. Kita melihat hal ini lewat kehidupan saudara perempuan Nicole, rekan kerjanya serta para pengacara. Meskipun semuanya setuju bahwa prosesnya menyusahkan, perceraian dianggap sebagai satu-satunya opsi dan hampir seperti seremoni dalam proses kedewasaan.

Namun kenyataannya ialah: tidak ada satu pun pemenang dari masing-masing pihak pada akhirnya. Nicole akhirnya menandatangani surat perceraian. Ia menjadi “mercusuar harapan untuk para wanita” karena ia menentang stereotip gender bahwa seorang istri harus selalu berlaku lembut dan selalu menyediakan apa pun untuk suaminya. Nicole menunjukkan kepada dunia bahwa ia layak mendapatkan yang lebih baik. Namun apakah ia benar-benar menang? Apakah ia menemukan sukacita dan kebahagiaannya?

Apakah perceraian adalah satu-satunya jalan?

Marriage Story adalah film yang menggambarkan kehidupan di mana Tuhan tidak pernah ada, seperti ditekankan dalam monolog Nora, “Tuhan adalah Bapa. Dan Ia tak pernah muncul” ketika Maria melihat anak-Nya, Yesus mati. Dalam dunia itu, tidak ada kebangkitan dan penebusan. Satu-satunya jalan untuk pernikahan yang hancur adalah perceraian.

Seiring dengan alur film yang terus berjalan, aku mulai menyadari betapa rumitnya kehancuran relasi Charlie dan Nicole. Meskipun mereka sudah menikah selama bertahun-tahun lamanya, mereka tidak bisa berkomunikasi satu sama lain. Ada banyak momen di dalam film di mana aku berpikir, jika seandainya Charlie melihat betapa Nicole sangat tidak ingin melakukan hal ini, jika seandainya Nicole membaca suratnya sejak awal dan mereka bisa melihat betapa mereka saling menyakiti satu sama lain… Jika seandainya...

Dan perlahan, aku mulai bertanya-tanya, apakah perbedaan di antara mereka benar-benar tidak bisa didamaikan?

Di dunia tanpa adanya Tuhan, jawabannya: ya.

Namun di dalam dunia di mana Tuhan hadir, rekonsiliasi adalah kemungkinan yang bisa diraih. Injil memberitahukan kepada kita bahwa pidato Nora yang menggebu-gebu disalahartikan. Tuhan tidak muncul. Tuhan ada di sana bersama Yesus di setiap langkah-Nya. Padahal dalam 3 hari, Ia membangkitkan putra-Nya dari antara yang mati dan ‘didudukkan-Nya di tempat yang tertinggi’ (Filipi 4: 9).

Terlepas dari kekeliruan kita, Tuhan masih mencintai, menolong dan menebus kita dari semua dosa. Injil yang sama juga memiliki kekuatan untuk mengubah relasi kita yang gagal.

Aku percaya bahwa jika Nicole dan Charlie mengetahui cinta ini, mereka bisa belajar dengan bimbingan Roh Kudus untuk menjadi pribadi yang baik hati dan saling mencintai, saling mengampuni kesalahan yang mereka lakukan satu sama lain, dan membangun ulang relasi mereka (Efesus 4: 31-32).

Masing-masing harus melalui perubahan yang serius dan bertobat. Nicole harus melepaskan kepahitan dan amarah di dalam hatinya dan menemukan keberanian untuk berdiri sendiri. Charlie harus lebih rendah hati dan mendengarkan keinginan istrinya juga. Proses ini akan sulit dan menyakitkan, namun berharga untuk diperjuangkan.

Mengapa mereka perlu bersusah payah untuk melakukannya? Satu momen yang paling meretakkan hati dalam film ini ialah tatkala Charlie akhirnya membaca surat Nicole yang mengungkapkan segala detail tentang apa yang ia sukai tentang sang suami. Sayangnya, semua itu terjadi di saat surat perceraian sudah ditandatangani.

Meskipun mereka bertengkar dan saling meneriaki satu sama lain, mereka masih saling mencintai. Dan karena mereka akan selalu terikat lewat putra mereka, Henry, lalu mengapa semua ini harus berakhir dalam satu tragedi?

Mengapa pernikahan layak untuk diperjuangkan

Aku belum pernah menikah. Sebelum kamu menghakimi semua yang aku katakan sebagai seorang wanita yang naif dan idealis, aku akan menceritakan sedikit kisah pribadiku.

Dalam ingatanku, kata perceraian adalah kata yang umum diucapkan di dalam keluargaku. Kapan pun orangtuaku bertengkar—seperti layaknya Nicole dan Charlie saat mereka mencapai puncak pertengkaran dan kebuntuan—ibuku akan berteriak dan meminta cerai.

Di tengah petengkaran itu, aku sering terdiam dan dalam hati berharap apa yang mereka inginkan itu terjadi saja. Apa masalahnya? Ini dunia modern. Kalau kalian merasa tak bahagia, bercerailah saja. Itu akan jauh lebih baik untuk semua orang. Jika jadi kalian, aku akan melakukannya.

“Kau tidak mengerti,” kata ibuku. “Ini sangatlah rumit.”

“Hanya karena ibu tidak bisa menyelesaikannya,” kataku sembari menantangnya.

Sebagai seorang anak, aku pikir ibukulah yang salah. Namun ketika aku semakin dewasa, aku sadar betapa banyak pengorbanannya untuk merawat keluargaku dan ayahku yang baik hati dan luar biasa, meskipun seringkali ia gagal menjadi seorang suami yang peduli.

Sampai akhirnya aku mengamatii dan menjalin relasi dengan orang lain, akhirnya aku memahami bahwa saat kita berelasi, tidak ada di antara kita yang benar-benar tidak bersalah. Tindakan kita bisa secara tidak sengaja menyakiti yang lain dan kita semua harus memberikan hati untuk mengampuni dan mencintai satu sama lain untuk keberlangsungan relasi itu.

Seiring berjalannya waktu, Tuhan telah menunjukkan kepadaku bahwa aku tidak boleh hanya berfokus pada hal-hal yang negatif. Ketakutan dan kesulitan berlebihan karena merasa tidak bahagia atau terjebak dalam sebuah konflik, telah membutakan mataku akan kebaikan dalam relasi keluarga kami. Perlahan, aku mulai melihat momen-momen ketika ayah mempedulikan ibuku, ketika ibu belajar untuk mengampuni dan ketika mereka bekerja sama dengan baik. Aku berhenti membiarkan momen-momen yang gelap itu menutupi segala hal baik yang terjadi di dalam keluargaku.

Tahun lalu, ketika kami merayakan Natal bersama di balkon rumah sewa AirBnB, aku merasa bahagia karena orangtuaku tak pernah bercerai. Aku bahagia karena mereka telah melalui semuanya. Apa pun itu. Entah karena aku dan saudara perempuanku, karena ibuku tidak cukup kuat atau sederhananya, karena mereka memang tidak mampu melakukannya. Apa pun alasannya, aku bahagia karena kami berbagi momen itu bersama sebagai keluarga, dan aku menyesal karena pernah berharap yang sebaliknya.

Dan mungkin momen-momen itulah yang membuat relasi yang hancur layak untuk diperjuangkan. Kita bisa percaya bahwa melalui pengampunan dan perubahan, kita bisa menuliskan ulang narasi dunia tentang pernikahan, menemukan pendamaian, serta mencerminkan kasih dan berkat dari Kristus kepada dunia yang putus asa dan membutuhkannya.

Di dalam dunia yang menyuruh kita untuk memprioritaskan dan memenangkan diri sendiri, mari kita “saling mengasihi sebagai saudara” dan “saling mendahului dalam memberi hormat” (Roma 12:10).

Baca Juga:

Dalam Segala Situasi, Bersekutu Itu Selalu Perlu

Sebagai pemimpin Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) masa-masa ini jadi sulit buatku. KTB online tak semudah yang dikira. Perlu upaya ekstra untuk membeli kuota, mengumpulkan semangat, juga mengatur strategi. Tapi, di balik itu semua, persekutuan antar sesama orang percaya memang perlu senantiasa dibangun.

4 Hal Baik yang Dijanjikan Pernikahan

Kisah cinta dua insan yang berlanjut ke jenjang pernikahan tentu adalah kisah yang manis. Banyak orang mendambakan relasi demikian. Namun, tak jarang orang-orang membangun pernikahan atas dasar harapan mereka sendiri: pernikahan akan memenuhi kebutuhanku, pernikahan bisa mengubah pasanganku, dan pernikahan bisa sebebas mungkin.

Tapi, apa sih kata Alkitab tentang pernikahan? Dikutip dari buku “Kerikil-kerikil tajam Pernikahan” pada tulisan David Egner, Alkitab menunjukkan bahwa harapan Allah atas pernikahan sangat berbeda dari harapan kita.

Tuhan, Berikan Aku Pasangan yang Suka Mencuci Piring!

Oleh God’s Little Flower
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 主啊,请赐我一个爱洗碗的丈夫吧!(有声中文

Meski rasanya memalukan, tapi judul artikel ini faktanya adalah doaku bertahun-tahun lalu.

Aku belum lama jadi orang Kristen kala itu dan terdorong untuk mendoakan calon suamiku di masa depan. Aku merinci 10 kriteria yang harus ada pada “suami idealku”. “Suka mencuci piring” ada di nomor 9. Alasan dari tertulisnya kriteria itu adalah, “Tuhan, aku amat tidak suka mencuci piring. Bukankah cocok jika suamiku nanti sangat suka mencuci piring?”

Kupikir kamu bisa menebak kelanjutan ceritanya. Tentunya Tuhan tidak memberiku suami yang suka mencuci piring, namun pada kenyataannya Tuhan menggunakan rutinitas remeh mencuci piring untuk mengajari kami pelajaran penting tentang pernikahan.

Siapa yang akan mencuci piring?

Ketika suamiku dan aku bertunangan, kami menghadiri beberapa seminar dan kelas tentang pernikahan. Banyak pembicara menyebutkan bahwa alasan utama konflik antar pasangan adalah pembagian pekerjaan rumah tangga yang tidak jelas.

Jadi, untuk menghindari ribut-ribut tentang urusan bersih-bersih rumah, aku dan suamiku berdiskusi bagaimana kita nanti membagi tugas saat menikah.

Kami setuju untuk membagi pekerjaan rumah dengan seimbang. Siapa yang bertanggung jawab untuk suatu tugas bergantung pada kekuatan, kepribadian, dan kesukaannya.

Berbicara kebenaran kepada satu sama lain

Berdasar prinsip, “…buanglah dusta dan berkatalah benar..”(Efesus 4:25), aku jujur berkata kepada suamiku kalau aku tidak suka mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ada banyak alasan untuk ini. Pertama, aku tidak punya standar kebersihan yang tinggi. Kedua, aku tidak suka pekerjaan yang simpel tapi berulang-ulang. Ketiga, aku gampang lelah. Alih-alih bersih-bersih rumah, aku lebih memilih menolong suamiku untuk urusan lain, semisal membuatkan slide presentasi dan membaca ulang artikel-artikelnya.

Pandangan suamiku mirip-mirip denganku. Dia bahkan punya standar makanan yang lebih rendah dariku, dan dia juga tidak berekspektasi punya rumah yang selalu rapi dan bersih setiap waktu. Daripada menikmati hidup dalam kemewahan, dia lebih memilih punya hidup sederhana dan istri yang bahagia. Jika aku bisa menolongnya mengerjakan hal-hal kecil dalam risetnya, dia akan amat senang.

Jadi, kami memutuskan bersama tujuan dari pekerjaan rumah tangga yang kami lakukan adalah memastikan bahwa kondisi rumah tidak akan mengganggu keseharian kami. Dengan demikian, kami bisa meminimalkan waktu yang dihabiskan untuk mengurus pekerjaan rumah.

Setelahnya, kami akan mengevaluasi pembagian tugas kami dengan sering, membagikan unek-unek dan perasaan, juga menyesuaikan kembali rencana kami berdasarkan kondisi. Contohnya, kami biasanya makan di rumah setiap akhir pekan, tapi supaya bisa punya waktu istirahat lebih banyak, kami memutuskan makan di luar lebih sering.

Kasih melenyapkan ketakutan

Selain urusan rumah tangga, aku dan suamiku menerapkan prinsip yang sama terhadap aspek-aspek lain dalam kehidupan kami dan dengan jujur mendiskusikannya. Contohnya, bagaimana kami menggunakan uang, meluangkan waktu pelayanan di gereja, seberapa sering kami mengunjungi rumah orang tua, bagaimana kami merespons pendapat keluarga yang lain, bagaimana membina komunikasi saat salah satu pergi dinas, dan sebagainya.

Kami membagikan apa yang jadi pendapat dan pemikiran kami, merumuskan tujuan bersama, mengatur ekspektasi, sampai akhirnya kami menghasilkan kesepakatan. Sering juga kami mengevaluasi rencana-rencana dan menyusunnya ulang jika dibutuhkan.

Banyak hal dalam hidup pernikahan itu tidak sepenuhnya benar tidak sepenuhnya salah. Antara suami dan istri perlu memiliki pengertian dan melihat dari sudut pandang yang sama. Agar pengertian bersama bisa tercapai, kuncinya adalah dua pihak harus bersedia berkomunikasi dengan jujur.

Kasih dari suamiku dan penerimaannya atasku menolongku untuk mengekspresikan pikiran dan perasaanku tanpa sungkan. Dia sering mengakui kelemahannya, dan itu menolongku mengerti kebutuhannya dan bersimpati pada perasaannya. Tujuh tahun hidup dalam pernikahan telah menolong kami mengalami lebih dalam kasih Tuhan seperti yang tertulis dalam 1 Yohanes 4:18, “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan.”

Belakangan ini, aku bercerita pada suamiku tentang doa cuci piring yang kunaikkan bertahun-tahun lalu. Dia tersenyum dan menjawab, “Aku membayangkan sedikit sekali orang yang suka cuci piring. Kalau bisa menebak, mungkin Tuhan Yesus juga tidak suka mencuci piring!” Tapi, selama bertahun-tahun ini, suamiku bersedia mengambil tanggung jawab mencuci piring karena dia memang tahu aku tak suka mencuci piring.

Melihat ke belakang, aku bersyukur karena Tuhan tidak menjawab doaku yang egois itu, malahan Dia mengizinkanku untuk mengalami kasih-Nya melalui suami yang tidak suka mencuci piring, tapi bersedia mengesampingkan kepentingan pribadinya dan berkorban untukku.

Inilah pelajaran amat penting yang kupelajari dalam pernikahan.

Baca Juga:

Apakah Sakit Kankerku Merupakan Bagian dari Rencana Tuhan?

Kanker payudara tidak pernah menjadi rencanaku selama lima tahun, atau rencana-rencana lain yang kubuat dalam hidup. Aku tidak merokok, tubuhku rasanya sehat dan bugar, pun tak ada catatan sejarah keluargaku yang mengidap kanker payudara.