Posts

Memang Lidah Tak Bertulang, Tapi Firman-Nya Ada di Lidahku

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Banyak cara bisa kita lakukan untuk menikmati quality time bersama orang-orang terkasih: jalan-jalan ke tempat wisata, bertemu sanak keluarga untuk melepas rindu, atau menikmati makan malam bersama. Namun, apa pun dan di mana pun acara quality time itu berlangsung, ada satu aktivitas yang pasti kita lakukan, yaitu berbicara.

Ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa setidaknya manusia mengucapkan sekitar 7.000 kata dalam sehari. Dengan jumlah kata yang begitu banyak, apakah ada aturan yang jelas untuk kita berkata-kata?

Alkitab memberikan penekanan yang jelas pada pentingnya menjaga perkataan. Menurut studi yang dilakukan para penafsir, ketika Yakobus menulis suratnya kepada kedua belas jemaat di perantauan, jemaat Kristen mula-mula pada saat itu suka bergosip. Di pasal 3 ayat 1-2, Yakobus menekankan pentingnya anggota gereja yang tersebar di luar Israel atau Palestina untuk menyatakan iman mereka lewat perbuatan-perbuatan, atau tindakan sehari-hari, termasuk tutur kata.

Dari apa yang Yakobus tuliskan, kita mendapati fakta bahwa meskipun seseorang sudah berstatus Kristen, itu tidak menjadikan kita otomatis bisa bertutur kata dengan bijak dan tanpa salah. Kadang, karena sudah kebiasaan, kita bisa saja tidak menganggap salah cibiran, guyonan, makian, atau bahkan kebiasaan bergosip yang kita lakukan secara sengaja atau keceplosan. Kata-kata yang diucapkan sejatinya bukanlah sekadar ucapan, Yakobus berkata kata-kata kita bisa berkuasa memberikan berkat tapi juga bisa merusak (Yakobus 3:9-10).

Lantas, kata-kata seperti apa yang seharusnya keluar dari mulut kita?

Untuk menjawabnya, aku mengajakmu untuk menelaah tiga ayat dari firman Tuhan berikut ini:

1. Kata-kata yang jujur (Amsal 2:7)

“Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya.”

Berkata jujur merupakan salah satu wujud dari penguasaan diri yang kita miliki. Dalam Mazmur 15:1-3, Daud menulis bagaimana Allah berkenan bagi orang-orang yang mengatakan kebenaran dan yang tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya.

Allah berkenan kepada Ayub yang jujur dan menghukum Akhan yang tidak jujur. Dalam Yosua 7 dituliskan bahwa Akhan adalah seorang Yehuda yang mencuri barang jarahan dan menyembunyikannya dalam kemah. Selain Akhan, Allah juga menghukum Kain (Kejadian 4), juga Ananias dan Safira (Kisah Para Rasul 5:3-4) yang bersikap tidak jujur.

Menjaga kejujuran seperti yang Alkitab tuliskan berarti kita perlu jujur tak cuma dalam perkataan verbal, tetapi juga dalam perkataan yang dituangkan dalam bentuk teks. Ketidakjujuran adalah akar dari menyebarnya berita bohong, gosip, dan fitnah.

2. Kata-kata yang membangun (Efesus 4:29)

“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”

Ketika sedang sesi sharing dengan kelompok PA di kampus, seorang rekanku bercerita bahwa dia merasa terganggu ketika disinggung tentang rambutnya yang keriting. Komentar teman-temannya pernah membuat dia ingin segera ke salon untuk smoothing dan meluruskan rambutnya. Dari ceritanya, aku mendapati bagaimana kata-kata yang kesannya biasa saja, atau sekadar basa-basi, ternyata bisa menganggu orang lain bahkan bisa membuat seseorang jadi insecure, apalagi jika basa-basinya menyangkut dengan kondisi fisik seseorang.

Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus menekankan bagaimana setelah hubungan kita dnegan Allah dipulihkan, atau ketika kita hidup sebagai manusia baru, roh dan pikiran kita juga harus diperbaharui sehingga kita boleh dikembalikan dalam kebenaran dan kekudusan yang sejati, yang mengubah cara hidup kita dalam berelasi dengan sesama, termasuk berbicara (Efesus 4:29).

3. Kata-kata yang berkenan bagi Tuhan (Mazmur 19:15)

“Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku, ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku.”

Ketika orang lain sedang berbicara, alih-alih mendengarkan dengan fokus, seringkali kita malah sibuk memikirkan bagaimana kita akan meresponsnya. Amsal 10:19 berkata, “Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi.”

Surat Yakobus pada pasal pertamanya juga mengingatkan kita untuk cepat mendengar dan lambat berkata-kata. Maksud dari ayat ini bukan berarti kita harus diam dan tidak berkata-kata sama sekali, namun kita diminta untuk bijak dalam berbicara karena perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak (Amsal 25:11) dan tentunya berkenan bagi Allah.

Sebagai penutup, dalam Matius 12:34-37 disebutkan bahwa apa yang diucapkan mulut meluap dari hati. Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang baik, dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Hal ini serupa ketika kita menyajikan makanan atau minuman untuk tamu atau orang-orang yang kita kasihi. Makanan enak yang tersaji merupakan hasil dari kombinasi bahan-bahan yang berkualitas baik. Juga minuman, jika kita mengisi cerek/teko dengan gula dan kopi maka rasa pahit dan manis dari kopi dan gula tersebutlah yang kita kecap. Demikian halnya dengan perkataan kita, jika kita sering mengisi hati kita dengan kebaikan-kebaikan dari pembacaan, pendengaran maupun perenungan firman Tuhan, maka hal itu jugalah yang akan terpancar lewat kata-kata kita.

Mazmur 141:3 (Awasilah mulutku, ya TUHAN, berjagalah pada pintu bibirku!) kiranya menjadi permohonan kita kepada Tuhan agar Tuhan semakin dimuliakan lewat kata-kata kita.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Hanya Sekadar Baca Alkitab Tidaklah Cukup

““Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Setelahnya, dia bergegas ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.

Kata-katanya seperti tamparan di wajahku. Tadi pagi aku baru saja baca Alkitab. Namun, ketika kesalahpahaman muncul, aku menyerah pada pencobaan dan meresponsnya dengan marah. Aku terdiam.”

Seberapa Serius Perkataanmu?

Hari ke-28 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Seberapa Serius Perkataanmu?

Baca: Yakobus 5:12

5:12 Tetapi yang terutama, saudara-saudara, janganlah kamu bersumpah demi sorga maupun demi bumi atau demi sesuatu yang lain. Jika ya, hendaklah kamu katakan ya, jika tidak hendaklah kamu katakan tidak, supaya kamu jangan kena hukuman.

Seberapa Serius Perkataanmu?

Beberapa tahun lalu, aku ikut melayani di Sekolah Minggu. Suatu hari, koordinator guru bertanya apakah aku bisa membantunya menuliskan lirik lagu anak-anak di karton manila untuk digunakan beberapa waktu mendatang. Aku segera mengiyakan tugas itu dan berjanji menyelesaikannya dalam beberapa minggu. Namun, aku tidak melakukannya.

Berbulan-bulan kemudian, guru itu menanyakan hasilnya. Aku benar-benar sudah lupa dengan pembicaraan kami (sampai-sampai aku menyangkal bahwa guru itu pernah memintaku melakukannya). Selama berhari-hari aku bersikeras bahwa guru itu keliru …. Hingga kemudian aku menemukan bahwa CD lagu, karton-karton manila, dan spidol-spidol yang tidak pernah digunakan ada di sudut kamarku.

Dengan malu aku mengembalikan semua barangnya, tugas itu tidak selesai, dan kredibilitasku tercoreng. Saat aku berkata “ya”, aku sungguh berniat mengerjakannya. Namun, kenyataan bahwa aku kemudian melupakannya, menunjukkan bahwa sebenarnya aku tidak memandang perkataanku itu sebagai sesuatu yang serius.

Aku yakin banyak di antara kita yang pernah asal bicara. Mungkin kamu setuju untuk mendoakan seorang teman, tetapi kemudian kamu melupakannya sama sekali.

Atau, kamu mungkin ada di pihak yang menerima janji, temanmu setuju menolongmu di sebuah acara gereja, tetapi mereka tidak muncul di menit-menit terakhir. Apakah kita sungguh-sungguh memikirkan apa yang kita ucapkan? Mungkinkah sebenarnya kita tidak berniat melakukan apa yang kita ucapkan?

Dalam bagian ini Yakobus mendesak para pembaca suratnya untuk selalu jujur dengan perkataan mereka. Ini adalah sebuah panggilan bagi setiap orang Kristen untuk hidup benar secara radikal. Kita harus jujur karena kita diciptakan dalam rupa dan gambar Tuhan. Tuhan selalu bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakan-Nya. Tidak ada perkataan kosong yang pernah Dia ucapkan, semua janji-Nya benar dan pasti ditepati (2 Korintus 1:20; Yesaya 55:11). Sebagai para saksi Tuhan, apakah kita mencerminkan Dia dalam hal ini?

Ataukah kita mendapati diri kita suka asal mengumbar janji, misalnya dengan berkata, “Sumpah, aku akan melakukannya!” supaya kita bisa mendapatkan kepercayaan orang? Di zaman Yakobus, sumpah kerap diucapkan untuk memastikan ucapan atau janji seseorang dapat dipercaya. Namun di sini, Yakobus menentang praktik yang demikian dan menyarankan bahwa hal tersebut hanya boleh dilakukan bila kita akan selalu menepati apa yang kita ucapkan.

Saat kita selalu menepati janji, orang akan memperhatikan dan mengakui integritas kita; mereka tahu bahwa mereka bisa memegang ucapan kita. Kepercayaan ini berharga dalam segala situasi, baik itu dalam bekerja, studi, atau dalam hubungan-hubungan kita. Sebagian orang juga bisa terkesan dengan sikap kita yang demikian jujur dan saat mereka bertanya mengapa kita bersikap demikian, dengan senang hati kita bisa mengarahkan mereka kepada Tuhan dan kebenaran Injil.

Sebagai para pengikut Kristus, mari kita memilih untuk hidup jujur. Baik itu dalam menjaga janji-janji kita atau memilih untuk mengatakan apa yang benar dalam segala situasi. Mari menghormati Tuhan setiap hari dengan berkata “ya” jika ya dan “tidak” jika tidak. —Charmain Sim, Malaysia

Handlettering oleh Mesulam Esther

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Pernahkah kamu tidak mempercayai perkataan seseorang karena kamu tahu orang itu tidak pernah serius dengan perkataannya. Bagaimana sikapnya mempengaruhi pandanganmu tentang orang itu dan apa yang ia imani?

2. Apa yang kamu pelajari dari ayat ini tentang perkataanmu sendiri? Apa saja yang bisa kamu lakukan untuk menghormati Tuhan dengan perkataanmu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Charmain Sim, Malaysia | Charmain sekarang tinggal di Singapura, dan dia sedang belajar bahwa pemuridan yang sejati itu ditandai dengan kesetiaan dan ketaatan. Dia suka menulis karena inilah yang menolongnya menikmati pengalamannya, dan juga karena Tuhan telah memanggilnya untuk melakukan ini. Jika tidak sedang bermimpi kala malam, Charmain suka menyantap semangkuk es krim, menonton televisi, dan membaca buku.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Perkataan dan Perbuatan

Hari ke-9 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Berbahagia dalam Pencobaan

Baca: Yakobus 1:26-27

1:26 Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.

1:27 Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.

Perkataan dan Perbuatan

Kita semua tentu pernah mengucapkan sesuatu yang kemudian kita sesali. Mungkin kita pernah keliru bicara di depan banyak orang, atau mengucapkan sesuatu yang menyakiti seorang teman atau orang yang kita kasihi. Mungkin kita pernah melontarkan guyonan kasar, ungkapan kemarahan, atau komentar tanpa pikir panjang di akun media sosial kita.

Dalam lingkungan yang makin hari makin kurang bersahabat dengan kekristenan, instruksi yang diberikan Yakobus kepada umat percaya untuk mengekang lidah mereka (ayat 26) menjadi kian relevan dan diperlukan. Sangat penting bagi kita untuk menyatakan kasih Kristus dalam cara kita berbicara kepada orang lain—termasuk dalam media sosial.

Tidak berhenti di sana, Yakobus berkata lebih lanjut bahwa jika kita menganggap diri kita beribadah—mungkin kita rajin ke gereja, berdoa, berpuasa, melayani—tetapi gagal mengendalikan perkataan kita, sebenarnya kita sedang menipu diri sendiri dan ibadah kita “sia-sia” (ayat 26).

Ibadah yang dianggap Tuhan murni dan tak bercacat melibatkan baik perkataan maupun perbuatan kita. Dalam ayat 27, Yakobus memberitahu kita—selain untuk mengekang lidah—kita juga harus memperhatikan para “yatim piatu dan janda-janda”, serta menjaga agar diri kita sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.

Para yatim piatu dan janda-janda di zaman Yakobus adalah kelompok yang paling rendah statusnya dalam masyarakat. Jika instruksi itu diberikan pada zaman sekarang, Yakobus mungkin akan menyebutkan kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat seperti para tuna wisma, para penyandang cacat mental, dan orang-orang miskin. Kita dipanggil untuk memperhatikan dan melayani orang-orang yang membutuhkan, tidak hanya kerabat dan teman-teman kita semata. Poin ini berkaitan dengan tema yang terus berulang dalam kitab Yakobus, yaitu bagaimana iman dan perbuatan harus seiring sejalan dalam kehidupan seorang Kristen.

Di akhir pesannya, Yakobus menambahkan sebuah instruksi lagi: jaga agar perilaku dunia yang berdosa tidak merusak perilaku kita (ayat 27). Dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat kita berusaha berbuat baik dalam nama Tuhan Yesus, kita harus secara konsisten menjaga diri kita dari berbagai godaan dan pengaruh. Bila kita membiarkan dosa menyelinap dalam perbuatan baik kita (misalnya ketidakjujuran atau motivasi yang tidak murni), kita merusak perbuatan baik kita sendiri dan menodai nama baik Tuhan Yesus.

Perintah ini tidak mudah dilakukan. Namun, ketika kita mengendalikan lidah kita, memperhatikan kaum yang terpinggirkan, menjaga sikap dan perilaku kita dari kecemaran, dunia akan melihatnya dan terheran-heran mengapa orang-orang Kristen hidup demikian. Kita pun akan mendapat kesempatan untuk membagikan kebaikan kasih Kristus yang sudah kita alami dan mengundang mereka untuk menjadi bagian dari keluarga Allah. —Caleb Young, Australia

Handlettering oleh Catherine Tedjasaputra
Background image oleh Aryanto Wijaya

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dalam hal-hal apa kamu gagal “mengekang” lidah?

2. Langkah-langkah nyata apa saja yang bisa kamu ambil untuk mulai menolong mereka yang tak berdaya di lingkungan sekitarmu?

3. Bagaimana kamu dapat menjaga diri agar tidak “dicemarkan oleh dunia” (ayat 27), terutama dalam perbuatan baikmu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Caleb Young, Australia | Caleb adalah seorang pecinta film, makanan, dan juga hiburan. Caleb lahir di Selandia Baru, dibesarkan di Kepulauan fiji, dan sekarang tinggal di Australia. Dia punya tiga buah paspor! Caleb suka bercerita, dia menuangkan ceritanya dalam bentuk video yang berkisah tentang pekerjaan Tuhan dalam kehidupan seseorang, ataupun menuliskannya dalam sebuah artikel. Terlebih dari segalanya, Caleb adalah seorang dewasa muda yang berjuang untuk menjadi serupa dengan Kristus, dan amat bersyukur memiliki Juruselamat yang begitu mengasihinya meskipun dia memiliki banyak kelemahan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Mengapa Aku Memutuskan untuk Mengendalikan Lidahku

mengapa-aku-memutuskan-untuk-mengendalikan-lidahku

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 你们都去健身了,我准备制伏口舌

Aku adalah orang yang lugas dan suka berbicara blak-blakan. Kalau mood-ku sedang bagus, aku akan berbagi rasa senangku dengan orang lain. Tapi, jika sesuatu tidak berjalan sesuai rencanaku dan membuat mood-ku jadi jelek, orang lain juga harus tahu apa yang menjadi keluhanku itu.

Sejak lama, ketika aku merasa kecewa, aku akan mengeluh dan menyalahkan diriku sendiri. Dulu, ketika kecewa itu datang aku sering menanggapinya dengan melontarkan candaan kalau aku akan “menusuk diriku dengan pisau”. Awalnya kupikir candaan itu keren.

Aku tidak pernah merasa ada yang salah dengan setiap kata-kata yang kuucapkan sampai aku mulai mengerti bahwa perkataan kita memiliki kuasa. Alkitab memberitahu kita kalau “hidup dan mati dikuasai lidah,” (Amsal 18:21). Jika kita melihat kembali ke proses ketika dunia diciptakan, Allah menciptakan segalanya dengan kata-kata-Nya. Allah berkata, “Jadilah terang”—dan jadilah terang itu. Ada kuasa yang teramat besar dalam kata-kata Allah. Kita diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kejadian 1:27), mungkin karena itulah Alkitab mengatakan kalau lidah kita memiliki kuasa atas hidup dan mati.

Lama-kelamaan aku mulai menyadari kalau kata-kata yang sering kukatakan itu berdampak tak hanya buatku sendiri, tapi juga untuk orang-orang di sekelilingku. Dulu aku sering mengatakan kalau aku tidak ingin hidup lebih dari usia 40 tahun dan aku adalah seorang yang depresi. Waktu itu aku tidak menyadari kalau kata-kata itu seolah menjadi kutukan atas diriku sendiri.

Ketika kita tidak bijak dalam berkata-kata, di situlah kita membuka celah untuk Iblis menanamkan pengaruhnya dalam hidup kita. Pengaruh itu semakin kuat ketika kita mulai bergosip, mengeluh, berbohong, dan sebagainya. Tentu banyak dari kita tahu betapa sulitnya mengendalikan lidah kita, namun seringkali kita malah berkata-kata tanpa memikirkan dampaknya terlebih dahulu—sehingga kita menyesal kemudian. Mungkin itulah yang menjadi penyebab kita tidak mengalami pertumbuhan rohani.

Alkitab mengatakan, “Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu. Ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya” (1 Petrus 3:10-11).

Aku menjadikan ayat Alkitab itu sebagai pengingatku supaya aku lebih bijaksana dalam berkata-kata. Ketika aku coba untuk mengintrospeksi diriku sendiri, aku menyadari kalau di dalam pikiranku ada banyak sekali kata-kata yang bersifat merusak. Seringkali aku kehilangan kendali atas emosiku sehingga aku terjebak dalam kekhawatiran dan rasa depresi. Kata-kata yang kuucapkan telah menyakitiku dan juga orang lain. Aku menegur diriku kembali. Aku merasa tidak layak menjadi seorang Kristen. Bahkan aku merasa sangat malu untuk menghadap Tuhan.

Ketika aku memutuskan untuk mengendalikan lidahku, ada banyak cobaan yang menggodaku untuk kembali ke cara hidupku yang lama. Namun, dengan segera aku akan mengingatkan diriku sendiri supaya tidak jatuh ke dosa yang sama dan mencari cara lain yang lebih baik untuk mengungkapkan hal yang ingin kukatakan. Hal ini menolongku untuk menghindari konflik yang tidak perlu dan mengontrol emosiku.

Dulu aku sering terlibat perang mulut dengan ayahku hingga aku mulai melatih diriku untuk lebih bijak berkata-kata. Setiap kali kami berbicara, suasana menjadi tegang dan hal kecil sekalipun dapat membuat kami segera terlibat konflik. Ayahku itu memang cerewet dan tak jarang perkataannya seringkali membuat urat sarafku naik dan aku ingin membalasnya dengan berkata, “Berisik!” atau “Lebih baik aku pergi dari sini sekarang!” Perang kata-kata yang terjadi di antara kami tentunya telah menyakiti hati satu sama lain.

Sejak aku belajar untuk lebih bijak dalam berkata-kata, kini aku bisa berbicara lebih santai kepada ayahku, bahkan aku bisa menyemangatinya juga. Karena kasih Tuhan, sekarang aku dan ayahku bisa menikmati hubungan yang harmonis.

Aku belajar untuk menjadi teladan bagi orangtuaku ketika mereka berkata-kata kasar. Aku mendorong mereka untuk tidak berkata-kata kasar supaya itu tidak dijadikan celah oleh Iblis untuk menanamkan pengaruhnya di hidup kita. Sekarang, aku telah melihat banyak perubahan positif dalam setiap perkataan yang diucapkan oleh orangtuaku. Bahkan ketika kami memiliki waktu luang, kami meluangkan waktu untuk berdoa dan mempelajari Alkitab bersama-sama.

Mengendalikan lidah kita mungkin terdengar sebagai pekerjaan yang sulit, tetapi ingatlah bahwa kita memiliki Roh Kudus yang memampukan dan sanggup menolong kita. Roh Kudus itu tidak hanya mendorong kita untuk berbuat baik, tapi juga memampukan kita untuk mewujudkan perbuatan itu. Jadi, apa yang harus kita lakukan adalah memiliki kemauan untuk berubah dan berdoa supaya Roh Kudus menguatkan kita. Di dalam Kristus, kita sudah menang!

Baca Juga:

Mengapa Aku Senang dengan Status Singleku

“Waktu aku masih kecil, aku lihat orang dewasa pacaran. Waktu aku dewasa, aku lihat anak kecil pacaran.” Begitulah isi tulisan yang kutemukan dalam sebuah meme saat aku sedang asyik menjelajah timeline Instagram-ku. Apa yang baru saja kulihat itu membuatku tertawa. Ya, sampai hari ini aku belum pernah berpacaran sama sekali.

5 Tips Menghentikan Kebiasaan Bergosip

5-tips-menghentikan-kebiasaan-bergosip

Oleh Gracea E. S. Sembiring

Siapa yang tidak suka bergosip? Mulai dari ibu-ibu rumah tangga, bapak-bapak di kedai kopi, orang-orang di kantor, guru-guru di sekolah, mahasiswa-mahasiswi di kampus, anak sekolahan, bahkan anak-anak TK pun sudah ada yang suka bergosip. Aku baru menyadari hal ini ketika keponakanku menceritakan tentang perilaku teman-temannya di sekolah. Bahkan, beberapa orang di gereja pun turut ambil bagian dalam aktivitas ini. Tidak heran jika program gosip dengan berbagai nama dipertontonkan di layar televisi mulai dari pagi sampai sore.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gosip adalah “obrolan tentang orang-orang lain; cerita negatif tentang seseorang; pergunjingan”. Orang yang suka menggosip disebut sebagai penggosip. Jadi, jika mengacu kepada definisi KBBI, mungkin kita dapat menemukan banyak penggosip yang ada di sekitar kita. Atau jangan-jangan kita juga adalah seorang di antaranya?

Bergosip mungkin adalah hal yang sangat menyenangkan bagi kita. Bahkan ada perkataan yang mengatakan, “makin digosok, makin sip!” Namun, tentunya kita tahu bahwa kebiasaan bergosip ini tidaklah baik. Masalahnya, meskipun kita tahu bahwa bergosip itu tidak baik, kadang kita sulit untuk melepaskan kebiasaan buruk ini. Oleh karena itu, saat ini aku ingin membagikan 5 tips yang menurutku efektif untuk membantuku menghentikan kebiasaan bergosip.

1. Berpikir sebelum berkata-kata

Kita dapat mulai belajar berhenti bergosip dengan belajar berpikir sebelum berkata-kata. Jangan terlalu cepat mengatakan sesuatu. Sebelum kita katakan, kita dapat pikirkan dulu baik-baik, apakah perkataan yang kita akan katakan ini adalah perkataan yang membangun.

Lidah kita yang kita gunakan untuk berbicara ini, meskipun kecil namun dapat mematikan. Tentang lidah, Tuhan telah memberi kita peringatan dalam Yakobus 3:5, “Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar.”

Ingatkah kamu dengan lagu sekolah minggu “Hati-Hati Gunakan Mulutmu”? Atau pernahkah kamu mendengar pepatah yang mengatakan bahwa “fitnah (gosip) lebih kejam dari pembunuhan”? Lidah yang tidak dikendalikan dengan baik adalah awal mula dari gosip. Jadi, yuk mulai sekarang kita lebih hati-hati menggunakan lidah kita.

2. Alihkan gosip ke percakapan positif

Ketika kita diajak bergosip, kita dapat mengalihkan pembicaraan ke percakapan yang positif. Memang tidak mudah, apalagi ketika berkumpul dengan teman-teman yang suka bergosip. Tapi ini tidak mustahil.

Ketika percakapan sudah mulai mengarah kepada gosip, kita bisa mengambil peran untuk mengalihkan perbincangan. Misalnya membahas tentang buku, film, destinasi wisata yang baru, atau topik-topik lain yang membuat percakapan menjadi lebih positif. Ingatlah apa yang Paulus katakan dalam Efesus 4:29, “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”

3. Menghindar dari percakapan gosip

Aku teringat ketika masih kuliah, setiap kali aku janjian kerja kelompok dengan teman-teman cewek akan berujung dengan “ngobrol”. Apapun dibicarakan, mulai dari menggosipkan teman-teman kampus sampai kepada artis-artis yang bahkan kami tidak kenal sedikitpun. Dalam situasi seperti itu, kita dapat menghindar agar tidak jatuh dalam pencobaan untuk ikut-ikutan bergosip. Ini menjadi kesempatan kita untuk bersaksi dan memancarkan terang kita. Jika memungkinkan, kita juga dapat menegur teman-teman kita yang bergosip. Tentunya menegurnya di dalam kasih, ya.

4. Belajar untuk mengasihi

Saat kita tidak mengasihi seseorang, sangatlah mudah bagi kita untuk melihat dan membicarakan kelemahannya. Namun, jika kita menyadari bahwa kita tidaklah sempurna (tidak ada manusia yang sempurna), namun kita begitu dikasihi Tuhan, kita akan lebih mudah mengasihi orang lain. Ketika kita mengasihi seseorang, tentunya kita tidak akan menggosipkannya. Jadi, kita dapat belajar berhenti bergosip dengan belajar mengasihi sesama kita, seperti apa yang diperintahkan Tuhan dalam Matius 22:39b, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

5. Menjaga hubungan pribadi dengan Tuhan

Seberapa dekat hubungan pribadi kita dengan Allah akan memberikan kita kepekaan untuk berhenti bergosip. Setiap kali Iblis mencoba untuk menggoda kita bergosip dan berbuat dosa, Roh Kudus akan mengingatkan kita untuk tidak jatuh dalam godaan itu. Tetaplah jaga hubungan yang akrab dengan Allah agar kita dapat lebih peka akan suara Roh Kudus di dalam hati kita.

Yuk kita hentikan bergosip dan mulai mengasihi!

Baca Juga:

Pergumulanku Sebagai Seorang yang Disebut Munafik

“Apakah aku seorang munafik?” Inilah pertanyaan yang ditanyakan oleh Kezia. Ternyata ia mendapati jawabannya adalah ya, dia adalah seorang munafik. Tapi tidak seperti yang dunia ini pahami. Pada akhirnya, ia menemukan mengapa ia menjadi seorang yang munafik. Temukan kesaksian selengkapnya di dalam artikel ini.

Suara Keheningan

Senin, 23 November 2015

Suara Keheningan

Baca: Amsal 10:19-21

10:19 Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi.

10:20 Lidah orang benar seperti perak pilihan, tetapi pikiran orang fasik sedikit nilainya.

10:21 Bibir orang benar menggembalakan banyak orang, tetapi orang bodoh mati karena kurang akal budi.

Perkataan orang yang baik, merupakan berkat bagi banyak orang; —Amsal 10:21 BIS

Suara Keheningan

Baru-baru ini seorang teman menyebutkan pepatah lama yang berbunyi, “Air beriak tanda tak dalam”. Ia bermaksud mengatakan bahwa dari pengamatannya, seseorang yang banyak bicara biasanya justru isi perkataannya kurang berbobot. Masalahnya diperparah ketika kita juga tidak mendengarkan orang lain dengan baik. Saya teringat pada lirik lagu lama dari Simon dan Garfunkel berjudul Sounds of Silence (Suara Keheningan). Lagu itu berbicara tentang seseorang yang mendengar, tetapi tak menyimak. Mereka mendengar orang lain berbicara tetapi gagal menenangkan pikiran mereka sendiri agar dapat menyimak dengan baik. Alangkah baiknya apabila kita semua belajar untuk berdiam diri.

“Ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara” (Pkh. 3:7). Sikap berdiam diri yang baik adalah diam untuk mendengarkan, berdiam diri dengan rendah hati. Sikap itu membuat kita dapat mendengarkan dengan benar, memahami dengan benar, dan berkata-kata dengan benar. “Rancangan di dalam hati manusia itu seperti air yang dalam,” kata Amsal, “tetapi orang yang pandai tahu menimbanya” (Ams. 20:5). Dibutuhkan kerelaan yang besar untuk mendengar dengan tekun agar seseorang dapat menyelami isi hati orang lain.

Sementara kita mendengarkan orang lain, kita juga perlu mendengarkan Allah dan menyimak firman-Nya. Saya terpikir tentang Yesus, yang menulis dengan jari-Nya di tanah sementara orang Farisi membawa perempuan yang tertangkap berzina (lihat Yoh. 8:1-11). Apa yang sedang Yesus lakukan? Menurut saya, Yesus mungkin sedang mendengarkan suara Bapa-Nya dan bertanya, “Apa yang sebaiknya Kita katakan pada kerumunan orang dan perempuan ini?” Tanggapan luar biasa yang diberikan Yesus masih berpengaruh hingga hari ini. —David Roper

Ya Bapa, kiranya hari ini Roh-Mu mengingatkan kami untuk berdiam diri sehingga kami bisa mendengar suara-Mu lebih dulu, lalu mengerti isi hati orang lain. Ajar kami untuk tahu waktunya untuk berbicara atau berdiam diri.

Berdiam diri di saat yang tepat lebih berbicara banyak daripada kata-kata.

Bacaan Alkitab Setahun: Yehezkiel 20-21; Yakobus 5

Belajar Mengendalikan Lidah

Penulis: Vera Meilisa Samosir
Ilustrator: Galih Reza Suseno

mengendalikan-lidah

Beberapa waktu yang lalu aku menyaksikan sebuah video perkelahian yang bermula ketika seorang bintang tamu tersinggung dengan sejumlah pertanyaan dan pernyataan dari presenter yang terkesan melecehkannya. Ia tidak terima lalu menyerang presenter tersebut dengan pukulan, tak peduli bahwa itu adalah siaran langsung. Lidah presenter tersebut berhasil membuat sang bintang tamu mengamuk. Video itu mengingatkan aku betapa pentingnya menjaga lidah.

Nasihat untuk menjaga lidah atau perkataan dengan baik mungkin sudah sering kita dengar. Rasul Yakobus dalam suratnya juga menulis tentang hal yang penting ini, “Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi” (Yakobus 3:9-10). Pada pasal sebelumnya, Yakobus berbicara tentang perbuatan-perbuatan yang lahir dari iman. Salah satu cara orang dapat melihat iman kita adalah dengan melihat tutur kata kita.

Menyandang status Kristen tidak serta-merta membuat kita bisa bertutur kata dengan sempurna. Situasi seringkali menggoda kita untuk mengeluarkan perkataan yang menyakitkan, yang menyerang bahkan mengutuki orang lain. Seringkali kita bahkan tidak berpikir panjang saat bicara. Rasul Yakobus mengingatkan kita bahwa perkataan kita bisa seperti api, betapapun kecilnya, bisa membakar hutan yang besar (Yakobus 3:5-6). Wow! Betapa kita perlu berhati-hati. Ucapan yang menurut kita sepele bisa jadi membekaskan luka yang dalam atau memicu pertengkaran yang besar. Sebaliknya, ucapan yang menurut kita tidak berarti juga bisa membuat orang batal bunuh diri dan semangatnya kembali pulih. Tak hanya orang lain yang kena dampaknya, kita sendiri pun akan menuai akibat dari perkataan kita. Amsal 18:21 berkata, “Hidup dan mati dikuasai oleh lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya.”

Aku menyadari bahwa dengan kekuatanku sendiri, akan sulit untuk mengendalikan perkataanku. Apa yang keluar dari mulutku bersumber dari apa yang ada di dalam pikiran dan hatiku, sementara kondisi pikiran dan hatiku bisa berubah-ubah. Betapa penting untuk selalu mengisi hati dan pikiran dengan firman Tuhan, serta meminta pimpinan Roh Kudus setiap hari. Sama seperti mata air asin akan mengeluarkan air asin dan pohon anggur akan menghasilkan buah anggur (Yakobus 3:12), begitu juga hati yang dipenuhi firman Tuhan akan mengeluarkan perkataan yang sejalan dengan firman itu.

Menjaga perkataan kita mungkin tampaknya sederhana. Namun, bukankah kita diminta untuk setia mulai dari perkara-perkara kecil? Perkataan kita sehari-hari dapat menjadi kesaksian yang indah tentang kasih Allah yang sudah kita alami, menjadi petunjuk tentang iman dan pengharapan yang kita miliki di dalam Kristus. Dan, itulah yang akan membedakan kita dari dunia.

Omongan yang Sembarangan

Kamis, 8 Oktober 2015

Omongan yang Sembarangan

Baca: 1 Petrus 2:13-25

2:13 Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi,

2:14 maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik.

2:15 Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh.

2:16 Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah.

2:17 Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!

2:18 Hai kamu, hamba-hamba, tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu, bukan saja kepada yang baik dan peramah, tetapi juga kepada yang bengis.

2:19 Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung.

2:20 Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah.

2:21 Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.

2:22 Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya.

2:23 Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil.

2:24 Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.

2:25 Sebab dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu.

Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki. —1 Petrus 2:23

Omongan yang Sembarangan

Saya telah mengemudi selama hampir setengah jam, ketika putri saya yang duduk di kursi belakang tiba-tiba menangis. Ketika saya bertanya apa yang telah terjadi, ia berkata bahwa adik laki-lakinya telah mencengkeram lengannya. Adiknya mengaku telah mencengkeram lengan kakaknya karena si kakak telah mencubitnya. Kakaknya mengatakan, ia mencubitnya karena si adik mengucapkan sesuatu yang kasar.

Sayangnya, pola yang umum terdapat di kalangan anak-anak itu juga dapat muncul dalam hubungan antar orang dewasa. Seseorang menyinggung perasaan orang lain, dan pihak yang disakiti itu menyerang balik dengan kata-kata kasar. Orang yang pertama tadi kemudian membalas dengan penghinaan lain. Tak lama kemudian, hubungan mereka telah dirusak oleh kemarahan dan kata-kata kasar.

Alkitab mengatakan bahwa “Omongan yang sembarangan dapat melukai hati seperti tusukan pedang” (Ams. 12:18 BIS) dan bahwa “perkataan yang pedas membangkitkan marah” tetapi “jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman” (Ams. 15:1). Dan terkadang, tidak memberikan jawaban sama sekali menjadi cara terbaik dalam menghadapi perkataan atau komentar yang kasar atau kejam.

Sebelum penyaliban Yesus, para pemimpin agama berusaha memancing-Nya dengan kata-kata mereka (Mat. 27:41-43). Namun, “ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; . . . tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil” (1Ptr. 2:23).

Teladan Yesus dan pertolongan Roh Kudus memberi kita cara yang bijak untuk menanggapi orang-orang yang menyinggung kita. Dengan mempercayai Tuhan, kita tidak perlu membalas orang lain dengan perkataan kita. —Jennifer Benson Schuldt

Ya Allah, berilah diriku penguasaan diri lewat kuasa Roh Kudus-Mu manakala aku tergoda untuk membalas dengan perkataanku.

Sering kali dibutuhkan jawaban yang lemah lembut untuk melunakkan hati yang keras.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 30-31; Filipi 4

Pembicaraan yang Berapi-api

Kamis, 2 Juli 2015

Pembicaraan yang Berapi-api

Baca: Yakobus 3:2-10

3:2 Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.

3:3 Kita mengenakan kekang pada mulut kuda, sehingga ia menuruti kehendak kita, dengan jalan demikian kita dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.

3:4 Dan lihat saja kapal-kapal, walaupun amat besar dan digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat kecil menurut kehendak jurumudi.

3:5 Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar.

3:6 Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka.

3:7 Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang-binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia,

3:8 tetapi tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan.

3:9 Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah,

3:10 dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi.

Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar. —Kolose 4:6

Pembicaraan yang Berapi-api

Di wilayah utara Ghana, tempat asal saya, kebakaran semak biasa terjadi pada musim kemarau antara bulan Desember hingga Maret. Saya telah melihat lahan pertanian yang luas terbakar ketika angin membawa bara api kecil dari perapian atau puntung rokok yang dibuang sembarangan di pinggir jalan. Di daerah yang penuh dengan tanaman kering, percikan api kecil saja dapat menyebabkan suatu kebakaran dahsyat.

Begitulah cara Yakobus menggambarkan lidah, dengan menyebutnya sebagai “suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka” (Yak. 3:6). Hubungan dengan sesama pun rusak oleh dusta, fitnah, dan ucapan yang keji. “Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang,” kata Amsal 12:18, “tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan.” Sama seperti api mempunyai unsur-unsur yang merusak sekaligus berguna, demikian juga “hidup dan mati dikuasai lidah” (Ams. 18:21).

Agar pembicaraan kita mencerminkan kehadiran Allah di dalam diri kita dan berkenan kepada-Nya, “hendaklah kata-kata [kita] senantiasa penuh kasih” (Kol. 4:6). Saat kita berpendapat mengemukakan ketidaksetujuan kita, mintalah pertolongan Allah agar kita bisa menggunakan kata-kata yang bijak dan memuliakan-Nya. —Lawrence Darmani

Ya Tuhan, tuntunlah percakapanku hari ini. Kiranya kata-kata yang kugunakan memberkati, mendorong, dan membangun sesama, dan tidak menjatuhkan mereka. Kiranya Engkau berkenan dengan apa yang Kau dengar.

Amarah dapat membuat kita melontarkan pendapat dengan membabibuta sehingga kita lalai menjaga ucapan kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 22–24; Kisah Para Rasul 11