Posts

Menilik Relevansi “Ritual” Kristen dalam Realisasinya di Kehidupan Kita

Oleh Jefferson

Apa yang kamu bayangkan ketika membaca kata “ritual”? Apakah gambaran yang muncul di dalam benakmu adalah imam yang mempersembahkan korban bakaran di atas altar? Atau kamu justru teringat ibadah Minggu yang setiap elemen liturginya ditata sedemikian rupa? Atau barangkali kamu malah membayangkan rutinitasmu setiap pagi sebelum memulai hari?

Gambaran-gambaran di atas adalah ilustrasi dari tiga definisi “ritual” menurut kamus Oxford (silakan Google define ritual kalau ingin membaca ketiga artinya lebih lanjut). Mengapa aku membuka dengan membicarakan definisi? Karena aku mengamati adanya perluasan makna “ritual” di masa kini, di mana rutinitas kita sehari-hari yang tak ada hubungannya sama sekali dengan praktik-praktik keagamaan pun dapat dianggap sebagai suatu “ritual”. Praktik “ritual” seolah-olah sudah kehilangan kekhususan dan kesakralannya di zaman kita.

Tapi, apa implikasi dari pandangan ini? Ketika membicarakan praktik-praktik “ritual”, terutama dalam konteks Kekristenan, tanpa kita sadari kita mungkin saja telah menganggap itu sebagai norma kehidupan bergereja yang tidak perlu dimengerti lebih dari pelaksanaannya. Kita bahkan mungkin merasa praktik-praktik “ritual” Kristen tidak lagi relevan sehingga kita tidak perlu lagi mempraktikkannya. Praktik-praktik “ritual” seperti aksesoris yang elok dipakai tapi pada hakikatnya tak punya nilai tambah yang tinggi.

Setelah menelusuri paham ini lebih jauh, apakah kamu juga melihat bahaya yang mengintai di baliknya? Ada suatu reduksionisme yang mendasari pandangan ini yang tidak berusaha untuk memahami makna di balik unsur-unsur dalam “ritual” Kristen terlebih dulu dan malah langsung loncat kepada kesimpulan. Menurutku, praduga ini akhirnya tidak dapat menjawab dengan memuaskan apakah praktik “ritual” Kristen saat ini masih relevan.

Dari relevansi menuju realisasi

Awalnya aku ingin membicarakan tentang relevansi dari dua praktik “ritual” Kristen, yang aku persempit cakupannya pada baptisan dan Perjamuan Kudus (alasannya dapat kamu baca di sini). Namun, setelah menulis beberapa lama, aku merasa jawaban yang sedang kusiapkan sama tidak memuaskannya dan malah beresiko jatuh juga ke dalam reduksionisme yang aku amati di atas. Syukurnya, lewat “kegagalan” ini Tuhan menuntunku untuk melihat bahwa perluasan pengertian “ritual” memiliki dasar yang tersembunyi di dalam Firman-Nya. 

Apa maksudnya? Memang saat ini kata dan praktik “ritual” dalam konotasi keagamaan jadi kehilangan—atau paling tidak berkurang—kesakralannya, namun perspektif bahwa rutinitas kita sehari-hari pun bisa dianggap sebagai “ritual” sebenarnya memberi ruang bagi kita untuk bersaksi kepada dunia. Bersaksi tentang apa? Bahwa pada kenyataannya tidak ada pemisahan antara yang kita sebut “kudus” dengan “duniawi”, bahwa setiap detik dan jengkal dari kehidupan kita dengan segala kesepelean dan keduniawiannya merupakan bagian dari “ritual” yang kita persembahkan kepada Allah.

Sampai di sini seharusnya kamu dapat menebak perikop Alkitab mana yang ingin kuangkat.

Bukan sembarang “persembahan”

Mengingat tempatnya dalam struktur kitab Roma, tidaklah heran kalau Roma 12:1–2 adalah salah satu perikop yang paling sering dikutip sebagai aplikasi khotbah. Setelah menjelaskan dasar-dasar Kekristenan sepanjang 11 pasal dari suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menggeser fokusnya kepada bagaimana pengikut Kristus bisa menerapkan dasar-dasar itu dalam kehidupan mereka secara pribadi dan komunal. Ayat 1–2 merumuskan prinsip utama dari aplikasi-aplikasi yang ia jabarkan di sepanjang sisa suratnya:

(1) Karena itu, Saudara-saudara, oleh kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: Itulah ibadahmu yang sejati. (2) Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna.”

Kedua ayat ini mengajarkan bahwa kita sepatutnya menyelaraskan kehidupan kita dengan kehendak Tuhan, karena lewat kasih karunia-Nya Ia telah menyelamatkan kita lewat iman kepada anak-Nya (pasal 4–7) dari maut dan kerusakan dosa (pasal 1–3), dan diadopsi ke dalam keluarga sang Raja (pasal 8–11). Tapi bagaimana caranya kita bisa hidup seperti itu? Ayat 1 menjawab, dengan mempersembahkan tubuh [kita] sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan berkenan kepada Allah: Itulah ibadah [kita] yang sejati.”

Dari pilihan kata-kata Paulus saja kita bisa melihat mengapa aku sengaja memilih perikop ini untuk membahas tentang “ritual” Kristen. Namun, alasanku lebih dalam dari sekadar pilihan kata yang dipakai dalam praktik “ritual”. Dr. Andrew Spurgeon dalam khotbahnya di gerejaku di awal September menunjukkan bahwa kata “persembahan” yang digunakan di ayat 1 pada dasarnya serupa dengan yang dipakai untuk korban sajian di Imamat 2.

Apa signifikansi dari diksi ini? Dalam Perjanjian Lama, korban sajian tidak dipersembahkan untuk memohon pengampunan dosa kepada Tuhan, seperti yang mungkin selama ini kita pahami tentang persembahan. Korban sajian justru dipersembahkan di altar setelah korban bakaran sebagai ucapan syukur atas anugerah dan kasih karunia-Nya yang terus memenuhi kebutuhan mereka, terutama dalam perjalanan memasuki tanah perjanjian.

Mendengar tentang “persembahan” di Roma 12:1–2 dalam konteks korban sajian di Imamat 2, aku jadi teringat diskusi dalam kelompok pemuridan yang kupimpin beberapa bulan lalu. Kami sedang mempelajari kitab Roma menggunakan pendekatan induktif dan baru saja selesai membahas pasal pertama di kitab Roma. Di antara poin-poin pembelajaran yang aku dapatkan selama mempelajari Roma 1 bersama kelompok, aku mengingat bahwa manusia dalam kerusakan total karena dosa tidak mau dan tak dapat memuliakan ataupun mengucap syukur kepada Tuhan (ay. 21). Maka poin penerapan yang paling berkesan hari itu buatku adalah untuk terus memuliakan Allah dan mengucap syukur kepada-Nya sebagai anak-Nya yang telah Ia tebus dari perbudakan dosa (bdk. 8:12–17).

Kehidupan kita sebagai ucapan syukur yang hidup

Pembelajaran-pembelajaran Firman yang dipisahkan waktu ini akhirnya menuntunku untuk melihat bahwa kehidupan kita yang telah ditebus oleh darah Kristus pada dasarnya adalah persembahan “ritual”, bukan sebagai usaha kita untuk menyogok Tuhan dan mengusahakan keselamatan dengan kekuatan kita sendiri tapi sebagai pengucapan syukur seumur hidup kita kepada Ia yang telah beranugerah untuk menyelamatkan kita. Perhatikan bahwa yang Allah tebus adalah segenap keberadaan kita, baik “tubuh” kita yang dulu mati karena dosa tetapi sekarang hidup karena Kristus (12:1), maupun “budi” kita yang dulunya mati-matian menolak-Nya tapi sekarang Ia perbarui sehingga dapat membedakan “apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya, dan sempurna” (12:2).

Mengingat korban sajian pada umumnya dipersembahkan setelah korban bakaran, dan bahwa Kristus sebagai Imam Besar telah melakukan segala ritual penebusan dosa yang seharusnya kita jalankan tetapi tak mampu kita penuhi oleh karena kerusakan total akibat dosa (Ibr. 9:11–28), bukankah masuk akal bagi kita yang telah ditebus-Nya untuk mempersembahkan segenap keberadaan kita sebagai “korban sajian” bagi-Nya? Maka setiap tindakan, pikiran, dan perkataan, termasuk rutinitas kita sehari-hari serta praktik baptisan dan Perjamuan Kudus, merupakan persembahan syukur kita yang memuliakan Kristus atas pengorbanan-Nya di atas kayu salib.

Ada banyak penerapan dan perenungan lebih jauh yang dapat kamu kembangkan sendiri dari apa yang telah kubagikan di sini. Dr Andrew Spurgeon sendiri mengakhiri khotbahnya di gerejaku dengan empat aplikasi: dengan tanpa pamrih menggunakan karunia Roh kita untuk melayani sesama (12:3–8), mengasihi sesama dengan tulus (12:9–21), dengan tanpa syarat menundukkan diri kepada otoritas yang telah Tuhan tunjuk (13:1–14), serta menerima satu sama lain apa adanya tanpa prasangka (14:1–15:13). Aku sendiri ingin menyoroti dengan singkat aplikasi yang signifikansinya kurasakan lagi sejak kembali ke dunia kerja: work-rest balance (keseimbangan bekerja dan beristirahat), yang sudah pernah kubahas di artikel lain

Walaupun pekerjaanku saat ini adalah kelanjutan dari apa yang aku pelajari selama kuliah S-2, ada banyak hal yang masih tidak aku mengerti di bidang baruku (aku berganti haluan dari konsultansi lingkungan hidup ke sustainable finance) sehingga aku jadi sering lembur di kantor untuk mengejar ketinggalanku dalam proyek. Kesibukan selama 1,5 bulan terakhir membuatku lebih mengapresiasi waktu-waktu istirahat yang Tuhan berikan, di mana aku bisa merenungkan pekerjaan-Nya yang sedang ia kerjakan lewatku di bidang baru ini dan memperhatikan kebutuhan orang-orang di sekelilingku. Ketika segenap kehidupan telah kita persembahkan sebagai ucapan syukur kita kepada Tuhan, niscaya ada sukacita dan damai sejahtera yang Ia sediakan untuk kita di tengah kesibukan dan penderitaan kita.

Akhir kata, apakah praktik-praktik “ritual” Kristen masih relevan di masa kini? Jawaban yang aku coba sampaikan secara tidak langsung dalam tulisan ini adalah “Ya”, dengan tegas dan penuh sukacita. “Karena itu, baik kamu makan atau minum, ataupun melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Korintus 10:31).

Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu yang mengasihi-Nya dengan kasih yang tidak binasa, soli Deo gloria.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Apakah Kitab Imamat Masih Relevan Bagi Kita?

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Siapa di antara kalian yang sudah khatam atau tuntas membaca seluruh isi Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu? 

Aku berikan dua jempolku untuk kalian yang sudah pernah membaca seluruh isi Alkitab! Tapi, terlepas kalian pernah khatam atau tidak, kalian pasti setidaknya pernah membaca kitab Imamat. Nah, ketika membaca kitab ini, apa yang kira-kira kalian pikirkan? 

Ketika membaca Imamat, di pikiranku terlintas sebuah pertanyaan: “untuk apa aku membaca aturan ibadah dan hari raya Perjanjian Lama? Kan sekarang sudah tidak dilakukan lagi.”

Rincian detail tentang aturan-aturan di kitab Imamat menunjukkan bahwa pada masa Perjanjian Lama ada hukuman mengerikan bagi mereka yang melanggar aturan ibadah atau hari raya karena pada masa itu ketidaktaatan dianggap sama dengan memberontak terhadap Allah yang suci dan kudus. Di kitab Perjanjian Baru, ketika Yesus sudah menjadi Juruselamat bagi manusia, mereka yang melawan dan membohongi Roh Kudus juga mendapat hukuman mengerikan seperti di kisah Ananias dan Safira. Tapi, kok di kehidupan sehari-hari kita tidak melihat hukuman instan seperti itu ya? Semisal ketika kita tidak hadir beribadah di gereja saat Paskah tapi malah jalan-jalan ke tempat wisata, kita tidak seketika dihukum, malah yang ada kita jadi senang karena liburan.

Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku penasaran. Aku percaya bahwa seluruh isi Alkitab adalah firman Allah yang relevan bagi pendengarnya di segala masa. Namun di sisi lain, aku juga penasaran apakah kitab Imamat atau aturan-aturan lainnya yang tertulis di kitab lain masih relevan dengan masa sekarang atau tidak. Apakah kalian juga pernah penasaran sepertiku?

Aku akhirnya menemukan jawabannya di kitab Ibrani. Pada pasal 10 ayat 18 tertulis, “Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa. Sekarang, ketika pengampunan bagi semuanya itu telah tersedia, maka tidak diperlukan lagi kurban untuk menebus dosa. Tetapi di mana ada ampun, di situ tiada perlu lagi korban karena dosa.”

Dari ayat ini, tersurat bahwa aturan-aturan yang ada di kitab Imamat tidak perlu kita lakukan lagi karena kita sudah mendapat pengampunan dosa melalui kematian Yesus. Karya keselamatan Yesus di atas kayu salib mendamaikan relasi kita dengan Allah Bapa sehingga kita dapat langsung datang dan berkomunikasi dengan Tuhan tanpa harus melakukan berbagai aturan. Wah… berarti jawabannya kitab Imamat tidak relevan? Bukan seperti itu, kitab Imamat sejatinya tetap relevan hingga saat ini. 

Anugerah keselamatan dari Kristus kepada manusia inilah yang sebenarnya menjadi alasan mengapa kita harus mengetahui atau mengenal aturan ibadah dan hari raya di Perjanjian Lama. Tujuannya supaya kita paham mengapa keselamatan yang Yesus berikan itu benar-benar berharga dan diberikan kepada kita tanpa syarat. Tidak hanya itu, dengan kita tahu aturan-aturan serta respons para tokoh dalam Perjanjian Lama terhadap tiap detail aturan, akan menolong kita paham apa yang menjadi penyebab banyak orang saat itu—terutama para pemuka agama Yahudi—meminta Pontius Pilatus untuk menyalibkan Yesus. Ketatnya aturan membuat mereka cenderung mementingkan aspek legalitas. Pokoknya semua aturan ibadah itu harus benar-benar dilakukan tanpa cela, sampai-sampai dalam melakukannya mereka jadi kehilangan kasih. Dan, seperti kita dapat simak dalam Injil, orang-orang Farisi yang dikenal “saleh” itu lebih memilih segudang aturan daripada menerima kasih Yesus yang sebenarnya jauh lebih berharga dari apa yang mereka anggap penting itu.

Memang kita saat ini tidak lagi melakukan aturan-aturan Taurat karena Yesus Kristus telah menjadi “korban sempurna” untuk kita. Atas pengorbanan-Nya, kita menerima pengampunan tanpa harus memberikan korban penghapusan dosa di waktu-waktu tertentu, dan relasi kita dengan Tuhan pun telah dipulihkan. Kita dapat bertemu dan berbicara dengan Tuhan kapan pun dan di mana pun tanpa kita harus pergi ke bait Allah di Yerusalem atau melakukan ritual seperti memberi korban bakaran untuk dapat bertemu dengan-Nya. Namun, ini tidak berarti makna dari aturan ibadah dan hari raya dalam Perjanjian Lama—secara khusus kitab Imamat—tidak bisa kita terapkan maknanya di masa sekarang.

Aturan ibadah dan hari raya pada masa Perjanjian Lama diberikan Allah kepada manusia bukan tanpa maksud. Selain supaya manusia yang berdosa dapat bertemu dengan-Nya yang kudus, Taurat juga diberikan supaya manusia ketika melakukannya dapat mengingat akan kasih dan kuasa Tuhan yang telah menyelamatkan mereka dari penderitaan dan yang membawa mereka kepada “tanah yang baik”. Jadi, meskipun kita saat ini tidak melakukan segala aturan detail kitab Imamat lagi, kita tetap harus  melihat bahwa hukum-hukum tersebut sebagai tanda kasih Tuhan yang sudah menyelamatkan manusia dari penderitaan, dan membawa manusia kepada “tempat” yang menghadirkan sukacita. 

Hmm…sepertinya aku membuat kalian pusing. Coba aku berikan contoh ya.

Setiap kita ibadah di gereja, kita biasanya memberikan persembahan. Nah, apa sih tujuan dari persembahan? Tujuannya adalah sebagai bentuk ucapan syukur kita kepada Tuhan atas berkat dan kasih-Nya yang Ia berikan kepada kita. Tanpa kita mengerti tujuan dari persembahan, maka kita bisa saja menganggap persembahan sebagai sesi “memberikan sumbangan sukarela.”

Nah, sama halnya ketika kita melihat kitab Imamat. Ketika kita hanya membaca kita Imamat tanpa melihat tujuan penulisannya, maka kita hanya akan menemukan aturan ibadah dan hari raya yang sudah kuno dan tidak berlaku. Namun, apabila kita melihat kitab Imamat lebih dalam, maka kita akan melihat bahwa aturan-aturan itu sebenarnya diberikan karena Allah ingin dekat dengan umat-Nya. Tak cuma itu, segudang aturan ibadah itu sebenarnya bisa menjadi sarana bagi umat Tuhan untuk menanggapi anugerah yang Tuhan sudah berikan. 

Setelah menemukan bahwa ternyata kitab Imamat itu relevan di masa sekarang, lalu apa tanggapan kita atau respons kita terhadap kitab Imamat?

Jawabannya, kita sebaiknya tidak lagi melewatkan kitab Imamat atau kitab-kitab lainnya di Perjanjian Lama yang berbicara mengenai aturan beribadah ataupun peringatan hari raya. 

Meski detail-detail ritual di Perjanjian Lama tak lagi kita lakukan, tetapi makna di balik itu semua masih bisa kita terapkan dalam liturgi ibadah kita, baik itu dalam ibadah komunal hari Minggu, ataupun ibadah personal kita setiap hari. Semisal, ketika kita ada liturgi pengakuan dosa, persembahan, doa berkat, dan lain sebagainya mari kita tidak asal-asalan dalam mengikutinya. Ikuti tiap liturgi gereja dengan sikap hati bersyukur sebagai respons kita atas anugerah keselamatan yang sudah kita terima dari Tuhan. Kemudian, ketika kita merayakan atau memperingati hari raya Kristiani, mari melakukannya bukan hanya karena formalitas, namun kita sungguh-sungguh memaknai apa yang menjadi latar belakang dan maksud Allah dari peringatan tersebut.

Semoga dengan kita tahu relevansi kitab Imamat di masa sekarang, dapat memberi kita semangat untuk mau sungguh-sungguh lagi dalam beribadah kepada Tuhan. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengenal Ritual-ritual dalam Iman Kristen

Oleh Dhimas Anugrah

La Tomatina atau “perang tomat” yang ada di Spanyol mungkin merupakan pesta atau ritual terbesar di dunia. Biasanya, La Tomatina diadakan setiap hari Rabu terakhir di bulan Agustus. Para peserta saling melempar tomat dan terlibat dalam pertarungan yang tak menyakitkan satu sama lain. Ritual ini menjadi terkenal sejak abad yang lalu. Di seberang benua lainnya, selama ratusan tahun ada upacara Okali, ritual melempar bayi yang baru lahir dari atas atap kuil di India. Namun, keselamatan bayi tetap diutamakan dengan sejumlah orang bersiap menangkap si bayi dari bawah dengan menggunakan kain putih lebar yang dibentangkan. Muasal ritual ini, konon dulu ada pasangan yang bersumpah di kuil apabila mereka mempunyai keturunan, maka mereka akan rutin menjalankan ritual di situ untuk berterima kasih kepada dewa. 

Dua praktik di atas hanya sedikit contoh dari sekian banyak ritual yang dilakukan komunitas-komunitas manusia di muka bumi. Ritual secara sederhana dipahami sebagai ekspresi batin yang melibatkan tindakan fisik simbolis. Namun, yang perlu diingat adalah frasa “ritual” tidak terisolasi hanya pada ranah agama, melainkan juga budaya dan adat-istiadat.

Umat Kristen, seperti halnya komunitas tradisi atau agama lain, pun memiliki ritual yang unik. Para pengikut Kristus memiliki ritual khasnya, dengan melakukan sakramen baptisan, perjamuan kudus, berdoa, bernyanyi, beribadah di gereja, berpuasa, kolekte, bersaksi, dan beragam ekspresi iman lainnya.

Ritual-ritual Kristiani

Frasa “ritual” sendiri berasal dari bahasa Latin “ritualis” dengan akar kata “ritus” yang biasanya dipahami sebagai jenis upacara atau kegiatan. Kata “ritual” dalam bahasa Inggris menjadi lebih dikaitkan dengan agama mulai pada tahun 1600-an. Ritual dalam iman Kristiani sendiri, secara mendasar dilandasi oleh ungkapan syukur kepada Allah yang telah menyelamatkan umat-Nya melalui Sang Juruselamat Yesus Kristus (Mazmur 28:7; Ibrani 12:28; Kolose 3:1). Berdoa adalah salah satu ritual umum dalam iman Kristiani. Praktik ini berakar dari Perjanjian Lama, dan terus berlanjut dalam Perjanjian Baru, seperti dapat dilihat pada doa harian yang dilakukan secara teratur baik di rumah maupun di Bait Allah, Yerusalem. Dalam Kisah Para Rasul kita membaca bahwa doa dilakukan tiga kali (2:15; 10:9; 10:30-31; 3:1). Menurut Maxwell E. Johnson dalam “The Apostolic Tradition,” in The Oxford History of Christian Worship, hal ini sesuai dengan pengorbanan Bait Suci pada pagi hari (sekitar pukul 09.00), tengah hari, dan sore hari (sekitar pukul 15.00). Jemaat akan berdiri di luar Bait Suci sambil berdoa ketika imam mempersembahkan dupa di atas mezbah (bdk. Lukas 1:10).

Ritual lainnya, menyanyikan pujian. Seringkali memang seperti tidak ada batasan yang jelas antara menyanyikan pujian, berdoa, dan membaca Alkitab. Dalam Kitab Suci, memuji Allah dapat merujuk pada doa dan juga nyanyian (Kisah Para Rasul 16:25; Ibrani 13:15). Pengajaran juga dapat berbentuk nyanyian, seperti membaca mazmur yang dapat disebut sebagai menyanyikan “puji-pujian dan nyanyian rohani” (Kolose 3:16; Efesus 5:19). Jesper Svenpro dalam “Archaic and Classical Greece: The Invention of Silent Reading,” in A History of Reading in the West, menunjukkan lagu-lagu rohani juga bisa jadi merupakan ekspresi iman spontan yang diilhami oleh Roh Kudus. Menyanyi sebagai doa dan pengajaran turut dilatarbelakangi fakta bahwa membaca memang jarang dilakukan di dunia kuno. Praktik membaca justru biasa menjadi aktivitas vokal atau bahkan musik (Filipi 2:5-11; Kolose 1:15-20; dan 1 Petrus 3:18-22). 

Perjamuan Kudus juga merupakan ritual dalam laku sakramen “makan serta minum tubuh dan darah Yesus Kristus.” Sakramen sendiri merupakan “tanda yang terlihat” atau simbol yang dapat ditangkap pancaindra, sehingga anugerah keselamatan Allah yang adikodrati dapat dihayati umat pilihan-Nya. Tradisi Kristiani lainnya menyebut sakramen sebagai “Misteri Suci.” Perjamuan Kudus adalah inti dari ibadah Kristen mula-mula dan dimaksudkan untuk terus mengenang Kristus dan ajaran-Nya. Sejak awal dalam tradisi Kristiani, ritual ini dikaitkan dengan perkataan Yesus, “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (1 Korintus 11:24; Lukas 22:19). Ajakan “mengingat” ini demi menghayati kembali peristiwa ”pemecahan roti” yang Kristus lakukan dalam Perjamuan Akhir (Lukas 24:35).

Dalam sejarah, orang Kristen mula-mula berusaha menjaga ingatan ini tetap hidup dengan melakukan “komuni” atau memecah-mecahkan roti setiap hari dan memanjatkan doa (Kisah Para Rasul 2:42, 46). Namun, di kemudian hari dalam kitab yang sama Lukas menginformasikan, orang-orang Kristen memecah-mecahkan roti pada hari pertama dalam pekan itu, yaitu hari Minggu (Kisah Para Rasul 20:11). Para ahli umumnya percaya perjamuan ini adalah sebuah peraturan dan perjamuan yang asli. Meskipun kita tidak mengetahui semua detail dari praktik ini, Perjanjian Baru menyebutkan perjamuan mencakup makanan seperti roti, anggur, ikan, dan sejenisnya (Lukas 24:39-43; Yohanes 21:12-13). Mereka juga menyertakan kegiatan seperti berkhotbah dan berdoa, dan para anggota jemaat makan “dengan sukacita dan dengan hati yang tulus” (Kisah Para Rasul 2:46).

Selain itu, ritual yang dikenal paling khas dari iman Kristiani adalah Baptisan. Kata kerja Yunani βαπτίζω (baptizō) memiliki arti antara lain: menyiram, menyeka, menyelam, mencelupkan atau bahkan menceburkan seseorang ke dalam air. Dalam Perjanjian Baru, praktik pembaptisan secara selam tampak tersirat, karena Yesus “keluar dari air” setelah ritual tersebut dilakukan (Markus 1:10; bandingkan dengan Roma 6:3-6). Meski demikian, sejarah dan faktanya hingga kini, gereja memiliki praktik baptisan yang berbeda, seperti dipercik maupun disiram secara terbatas di atas kepala peserta baptis. Keragaman metode teknis baptisan ini suatu keniscayaan dan bukan hal yang perlu diperdebatkan, justru kita didorong membuka hati bagi perbedaan itu sebagai kekayaan ekspresi iman yang perlu dirayakan. 

Injil-injil Sinoptik setuju bahwa tujuan baptisan Yohanes adalah untuk menghasilkan pertobatan dan pengampunan dosa (Markus 1:4; Matius 3:11; Lukas 3:3), bahkan Injil Yohanes memusatkan perhatian pada “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29). Injil Yohanes juga menyamakan baptisan dengan “dilahirkan kembali.” Kelahiran kembali ini memiliki makna ganda dalam teks Yunani, karena kata ἄνωθεν (anōthen) dapat berarti: (1) “kembali” atau (2) “dari atas.” Dalam teks ini, Nikodemus tampak tidak mengerti karena ia berpikir bahwa ia harus “dilahirkan kembali” secara harfiah, sebab ia belum paham bahwa “dilahirkan kembali” itu bermakna spiritual atau “dilahirkan dari Allah” (Yohanes 3:3-7, 3:31, 19:11, 23).

Akhirul Kalam

Apakah semua ritual itu wajib kita jalankan? Kalau kita tidak melakukannya, akan berdampak apa? Dari sedikit uraian di atas, tampak jelas bahwa ritual dalam iman Kristiani memberi kita kesempatan mengingat kisah-kisah penting dalam Alkitab dan ajaran Juruselamat serta Guru Agung kita Yesus Kristus. Semua ritus religius gerejawi yang dilandasi kisah dalam Alkitab, secara khusus Perjanjian Baru, membuka ruang bagi orang percaya untuk tetap belajar merenungkan pesan-pesan iman yang dia dengar dari sabda Tuhan (Roma 10:17). Ritual secara simbolis membantu kita mengungkapkan dan merayakan iman kepada Allah secara nyata, sekaligus menghubungkan diri kita di masa kini dengan kesinambungan sejarah iman umat Kristiani di sepanjang segala abad. 

Kita diajak memahami, bahwa ritual Kristen memiliki peran penting dalam mengaktualisasikan iman dan memperdalam relasi kita dengan Allah Yang Maharahim. Penting diingat bahwa sifat dan signifikansi ritual dalam iman Kristen dapat bervariasi antara denominasi dan kelompok gereja. Di sini kita diundang untuk menghargai dan mengapresiasi setiap ekspresi iman tiap kelompok Kristiani dalam menjalankan ritualnya. Tidak perlu saling merendahkan maupun menganggap diri lebih benar atau superior dari denominasi yang lain. Beberapa komunitas Kristiani mungkin menekankan beberapa ritual lebih dari yang lain, atau sebaliknya. Ini merupakan keindahan taman teologi gereja yang perlu dirayakan. Ritual adalah bagian dari ungkapan cinta kita kepada Allah, sekaligus ikhtiar dalam menggenapi tujuan hidup kita, yaitu memuliakan Dia (Roma 11:36; 1 Korintus 10:31; Mazmur 73:25-26).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥