Posts

Perjalanan Memahami Integritas Melalui Sebuah Penyesalan

Oleh Mary Anita, Surabaya

“Sebenarnya, kenapa sih kalian semua itu benci sama aku?” gumam seorang teman laki-laki sekelasku sewaktu kami ditugaskan mengambil arsip di ruang guru. Ada sepersekian detik ingin kujawab “Aku pun sebenarnya ngga tau kenapa, lho.” Tapi yang terjadi adalah dengan entengnya aku malah menceplos, “Ya soalnya, kamu tuh emang nyebelin tau!”

Raut wajah temanku berubah menjadi kesal dan dia pun segera pergi. Ada sisi dalam diriku yang merasa itu perbuatan yang salah, namun egoku masih tinggi untuk meminta maaf hingga kami pun lulus tanpa bertegur sapa lagi dan hilang kontak. Siapa kira, momen kecil semasa SMP ini berujung menjadi penyesalan karena aku tidak menjaga ucapan. Tapi, penyesalan ini  sekaligus jadi pelajaran berhargaku untuk memahami apa itu sikap integritas.

Semua bermula dari sosok teman sekelasku ini yang tidak kukenal secara dekat namun kerap dianggap sebagai ‘musuh kelas’ dan diberi julukan nama negatif lainnya. Sebenarnya, ia hanya sosok ekstrover yang suka mencari perhatian dengan tingkah onar dan lelucon jayusnya di kelas. Dipikir-pikir, di usia labil remaja kala itu memang wajar untuk seorang anak memiliki tingkah demikian sebagai bentuk upaya mencari jati diri. Namun, diriku yang tidak bijak waktu itu malah membuat kesalahan fatal dengan respons jawaban yang menyakitkan. Padahal yang ia minta mungkin hanyalah penjelasan netral dariku atas perlakuan buruk anak sekelas terhadap dirinya selama ini. Jika aku menilik isi hatiku, sejujurnya aku tidak menaruh kebencian kepadanya secara personal. Aku cuma sekadar ikut-ikutan sebagaimana biasanya respon anak lain terhadapnya. Dengan demikian, kupikir  aku  akan merasa ‘diterima’ oleh kubu mayoritas anak-anak kelas yang sepakat untuk melabelinya sebagai sosok menyebalkan.

Waktu berlalu hingga usiaku menginjak 15 tahun dan barulah aku mengalami lahir baru di dalam Tuhan. Suatu buku renungan bulanan yang kubaca tiba-tiba hadir dalam booklet spesial yang bertemakan integritas. Melalui buku itu, aku pertama kalinya disadarkan bahwa sebagai anak Tuhan, penting bagi kita memiliki sikap yang berintegritas, yaitu menyelaraskan isi hati dengan ucapan dan tindakan sesuai dengan firman Tuhan walaupun tak ada seorang pun yang melihat, ataupun jika kita harus berbeda dengan pendapat kebanyakan orang.

Saat itu, aku pun teringat peristiwa beberapa tahun lalu itu dan tersadar, lalu memantapkan hatiku untuk memohon ampun pada Tuhan atas kesalahanku. Aku seharusnya menggunakan momen tersebut untuk menasehatinya dengan tutur kata lembut dan menghiburnya. Siapa tahu, ia bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik, bukannya malah ikut mengiyakan opini publik secara gamblang yang bisa saja menjadi kepahitan baginya dalam jangka waktu yang panjang.

Memang, ada kalanya seseorang bisa membuat kita kesal, dan sangat manusiawi jika kita tidak bisa menyukai semua orang sama rata adanya. Namun kita bisa meminta Tuhan untuk menilik isi hati kita, dan memilih untuk merespons dengan benar dalam kasih Tuhan melalui tindakan dan ucapan kita tanpa menjatuhkan mereka. 

Efesus 4:29 mengingatkan Janganlah ada perkataan  kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia”.

Dalam hal ini, tidak hanya berlaku dalam perkataan lisan saja, namun juga segala bentuk tulisan, misalnya sindiran/umpatan digital yang kita unggah di medsos maupun second account anonim secara diam-diam. Karena bagaimanapun, Tuhan tetaplah tahu dan melihat. Lagipula, itu tetap bukanlah standar integritas yang Tuhan kehendaki bagi kita. 

Seorang penulis di Proverbs 31 Ministries, Karen Ehman dalam bukunya Keep It Shut, mengajarkan beberapa pertanyaan yang penting untuk kita ajukan pada diri sendiri sebelum berucap kepada orang lain dalam melatih integritas kita di dalam Tuhan.

1. Is this comment wise (apakah perkataanku ini bijak?)

2. Will I writing this comment to help me display God’s love to outsider? (apakah perkataan ini membantuku untuk menunjukkan kasih Tuhan pada orang lain?)

3. Is this comment full of grace? (apakah perkataan ini dipenuhi kasih karunia?)

4. Is this comment full of salt? (apakah perkataan ini dipenuhi garam—sesuai dengan kebenaran, namun tetap lemah lembut, penuh kasih yang membangun?)

5. Have I asked God this is the best response? (Sudahkah kita bertanya pada Tuhan, apakah ini tanggapan terbaik untuk diberikan pada sesama?)

Kawan, menjadi sosok yang berintegritas tidaklah mudah, pasti melalui perjalanan proses jatuh bangun yang panjang. Tetapi yakinlah, selama kita mempunyai kerelaan hati untuk dibentuk, kita bisa meminta tuntunan Roh Kudus, untuk meneladani sikap Yesus, seseorang yang berhasil teguh memegang integritas hidupnya dengan sempurna. Sebuah ayat dalam Mazmur 139: 23-24 kiranya dapat menguatkan kita semua, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!”

Teruntuk teman SMP-ku, jika kamu membaca tulisan ini di manapun kamu berada, aku mohon maaf dari hatiku yang paling dalam karena tidak merespons baik pertanyaanmu waktu itu dengan menyakitkan hatimu. Semoga kamu bisa mengampuni kesalahanku dan Tuhan memulihkan luka-luka batinmu dengan kasih-Nya.