Posts

Ketika Bertahan Adalah Sebuah Pergumulan

Oleh Vika Vernanda, Bekasi

Saat sedang menggulir laman sosial media, aku melihat kiriman video dari suatu akun komunitas Kristen untuk publikasi sebuah ibadah. Impresi pertama ku adalah kagum karena desainnya sangat menarik, namun setelah selesai melihatnya, aku tertegun dan teringat sesuatu. Komunitas ini adalah tempatku melayani hingga sekarang. Tapi tepat satu tahun lalu, aku hampir meninggalkannya.

Pelayanan di tempat ini awalnya berjalan baik, relasiku dengan anggota komunitas lainnya pun sudah sangat dekat. Hingga suatu saat ada hal yang seakan memaksaku untuk meninggalkan komunitas ini.

Berat sekali rasanya. Sungguh sangat berat.

Hari demi hari berganti. Doaku terus terisi dengan pertanyaan “kenapa ini harus terjadi?”.

Aku menjadi takut. Takut untuk tetap hadir di komunitas ini. Takut memberi pengaruh buruk kepada anggota lainnya. Takut kalau jangan-jangan motivasiku berada di tengah mereka bukan karena kerinduan agar setiap mereka menikmati Allah, melainkan hanya karena aku menikmati penerimaan dari mereka. Perasaan dan pemikiran itu kemudian membuatku mengingat dan merenungkan kembali kerinduan awal aku melayani di komunitas ini.

Singkat cerita, dalam masa perenunganku, aku menemukan bahwa kerinduan awalku melayani komunitas ini adalah setiap anggota menikmati Tuhan yang sungguh mengasihi mereka melebihi apapun. Kerinduanku adalah setiap anggota komunitas akhirnya mempersembahkan setiap hal dalam kehidupan mereka kepada Tuhan.

Menemukan hal ini mulai membuatku untuk mau berjuang tetap bertahan.

Tepat di hari yang sama, aku menghadiri sebuah ibadah. Firman saat itu adalah dari Kisah Para Rasul 21:1-14, tentang keadaan yang seakan memaksa Paulus untuk tidak pergi ke Yerusalem karena penglihatan bahwa Paulus akan diikat oleh orang-orang Yahudi di Yerusalem dan diserahkan ke dalam tangan bangsa-bangsa lain (Kis 21:11). Jawaban Paulus tertulis pada ayat 13 bagian ini yang berkata “Mengapa kamu menangis dan dengan jalan demikian mau menghancurkan hatiku? Sebab aku ini rela bukan saja untuk diikat, tetapi juga untuk mati di Yerusalem oleh karena nama Tuhan Yesus.” Aku menangis. Ketika doa tutup firman aku berkomitmen untuk tetap bertahan melayani di komunitas ini.

Aku tahu ada sesuatu yang seakan memaksaku berhenti, tapi aku lebih tau ada Allah yang terus berjalan bersamaku.

Sungguh bersyukur kepada Allah, saat ini aku bisa menyaksikan bahwa Allah memberi pertumbuhan bagi komunitas ini. Meski masih terlibat melayani di komunitas ini, aku sudah tidak banyak ambil bagian dalam persiapan ibadah. Melihat video video publikasi tersebut, membuatku tidak bisa tidak bersyukur. Bersyukur karena pilihan untuk bertahan satu tahun yang lalu, ternyata membawaku menyaksikan pertumbuhan yang Allah anugerahkan.

Untukmu yang sedang bergumul untuk tetap bertahan di suatu kondisi tertentu; bertahan tetap melayani sesama meski harus terus memutar otak mencari cara yang efektif, bertahan untuk berjuang mengasihi anggota keluarga meski mungkin setiap hari ada saja cara mereka membuatmu kesal, atau bahkan bertahan menahan rindu berjumpa dengan teman-teman karena kebijakan PSBB saat ini; kiranya kita semua boleh menyadari bahwa mungkin saja keputusan yang paling baik dan paling bernilai adalah tetap bertahan, bahkan ketika berpaling atau berjalan menjauh akan menjadi keputusan yang lebih sederhana. Karena kesetiaan (faithfulness), yakni tetap bertahan di tempat kita berada, terkadang adalah tindakan terbesar dari iman (faith).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Catatanku Menjadi Pengurus: 3 Kendala Pelayanan Pemuda di Gerejaku Sulit Berkembang

Jumlah pemuda yang hadir di tiap persekutuan hanya tiga orang. Membangun pelayanan pemuda pun terasa sulit karena beberapa kendala.

Tuhan, Alasanku Bersukacita di Dalam Penderitaan

Oleh Blessdy Clementine, Jakarta

Sudah lebih dari tiga minggu, tagar #DiRumahAja memenuhi hampir semua unggahan yang melintas di media sosialku. Sudah lebih dari tiga minggu pula aku menjalani perkuliahan secara online. Keadaan yang memaksaku untuk beradaptasi secara tiba-tiba ini—ditambah lagi dengan ketidakpastian akan kapan semua ini akan berakhir—membuatku merenung. Ketika tempat kita berpijak mulai goyah dan membuat kita tidak seimbang, sudah pasti gerakan refleks kita adalah mencari pegangan, bukan? Aku menghela nafas dan segera meraih Alkitabku.

Karena tidak tahu bagian mana yang harus kubuka dalam Alkitab, aku berdoa kepada Tuhan agar Roh Kudus mengarahkanku pada perenungan yang dapat memberiku kekuatan yang kubutuhkan tengah-tengah situasi ini. Aku membuka aplikasi Alkitab favoritku dan mulai menelusuri berbagai pilihan topik renungan yang terpampang.

Mataku tertuju pada topik Hope, harapan. Aku menemukan renungan yang ditulis oleh Craig Groeschel, seorang pendeta senior asal Amerika, yang berjudul Hope In The Dark, harapan di tengah kegelapan. Tanpa berpikir dua kali, aku memilihnya untuk menjadi renunganku untuk beberapa hari ke depan.

Tuhan, di manakah Engkau?

Kurasa, di tengah keadaan yang memukul seluruh dunia seperti saat ini, banyak orang yang mempertanyakan keberadaan Tuhan. Dalam imajinasiku, jika Tuhan bekerja di sebuah ruangan kantor, saat ini Tuhan sedang menutup tirai jendela dan mengunci pintu, lalu memasang tulisan “sedang pergi.” Tidak tahu ke mana dan kapan kembali.

Cepat-cepat kukibaskan ilustrasi aneh itu. Sebab pada kenyataanya, Tuhan berjanji Dia akan selalu beserta dengan kita. Lalu, mengapa Dia seakan-akan tidak melihat semua yang terjadi? Mengapa Dia seolah diam saja?

Lebih dari 2,600 tahun yang lalu, Habakuk mempertanyakan hal yang sama. Dia bertanya-tanya mengapa Allah seakan-akan diam dan tidak berbuat apa-apa dalam menghadapi kejahatan dan penindasan yang dilakukan oleh orang-orang Yehuda. Dia mengutarakan keluhannya kepada Tuhan, “Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kautolong?” (Habakuk 1:2).

Menelusuri kitab Habakuk pasal 1:1-4, kita dapat melihat Habakuk dengan jujur dan berani bertanya kepada Tuhan mengapa ada jurang yang begitu lebar antara apa yang dia percayai dengan situasi yang ada di sekelilingnya. Habakuk sangat mengasihi Tuhan, tetapi justru karena kasihnya yang besar inilah dia dengan penuh hormat melontarkan pertanyaan-pertanyaannya tersebut.

Dalam perikop selanjutnya, Tuhan mengatakan bahwa Dia yang telah membangkitkan orang Kasdim tetapi Dia juga akan menghukum orang Kasdim atas kesalahannya. Jawaban Tuhan membuat Habakuk kembali bergumul: mengapa Allah memakai orang Kasdim (bangsa Babel) yang jauh lebih jahat dari bangsa Yehuda untuk menghukum Yehuda?

Di sisi lain dari keraguannya, Habakuk justru bertumbuh menjadi sosok yang lebih kuat dalam iman. Mungkin, imannya tidak bisa bertumbuh semantap itu apabila dia tidak merasakan semua keraguan itu.

Jika kita memahami segala hal secara penuh dan sempurna, bukankah kita tak lagi membutuhkan iman? Aku sangat menyukai Ibrani 11:1, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Jika kita belum melihat apa-apa, dengan kacamata iman kita dapat dengan yakin menyatakan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi karena kita mengenal siapa Tuhan kita. Karena kita tahu karakter-Nya dan kebesaran-Nya, kita dapat percaya bahwa Dia selalu memegang kendali atas segala sesuatu yang ada di dunia ini.

Dengarkan dan nantikan

Habakuk tidak mencurahkan isi hatinya lalu memalingkan wajahnya dari Tuhan, seperti orang yang sedang ngambek. Justru, usai menanyakan segalanya, Habakuk memposisikan dirinya untuk mendengarkan suara Tuhan. Dia berkata, “Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan menantikan apa yang difirmankan-Nya kepadaku, dan apa yang akan dijawab-Nya atas pengaduanku.” (Habakuk 2:1).

Craig Groeschel menuliskan bahwa terkadang, alasan mengapa kita tak kunjung memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita adalah karena kita kurang bersedia untuk berhenti sejenak dan sabar menunggu sampai Tuhan menyatakan diri-Nya.

Ketika masih duduk di sekolah minggu, kita sering menyanyikan lagu “Baca kitab suci, doa tiap hari, kalau mau tumbuh”. Aku mulai menyadari bahwa untuk mengenal Yesus dua hal wajib yang harus berjalan beriringan dan membutuhkan ketekunan adalah berdoa dan membaca firman-Nya.

Setelah berbicara dan mengungkapkan isi hati dan memanjatkan permohonan syukur kita pada Tuhan, ketika membaca firman kita mendengarkan arahan-Nya. Yesus berkata, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku” (Yohanes 10:27). Apabila membaca firman hanya menjadi sebuah rutinitas belaka sehingga kita tidak benar-benar menyediakan waktu dan ruang bagi Tuhan untuk memberikan pewahyuan tertentu kepada kita, bisa-bisa kita melewatkan banyak hal yang luar biasa!

Jika kita bersedia meluangkan—bukan hanya menyisakan—waktu untuk mengenal Tuhan dan mendengar suara-Nya, Tuhan pasti akan menghargai usaha kita mencari wajah-Nya. Menunggu memang tidak selalu menyenangkan, tetapi Tuhan berjanji memberikan kekuatan baru bagi kita yang menanti-nantikan Dia (Yesaya 40:31).

“Tetapi Tuhan…”

Ketika kita sudah berdoa berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, tetapi keadaan yang kita doakan tampaknya tidak menampilkan perubahan yang kita harapkan… “apakah kita masih bisa percaya bahwa Tuhan takkan mengingkari janji-Nya? Mungkinkah, ketekunan kita justru membuat kita menjadi sangat dekat dengan Tuhan sehingga kita dapat tetap mengasihi dan melayani-Nya meskipun ada kekecewaan di hati kita?

Pertanyaan-pertanyaan dalam renungan itu cukup membuatku tertohok. Tetapi, menurutku respons Habakuk amatlah menarik. Dua kata pertama yang diucapkan Habakuk dapat menjadi pengingat kita dalam perjalanan iman kita menuju kepercayaan penuh akan kasih dan kuasa-Nya: “Tetapi Tuhan ada di dalam bait-Nya yang kudus. Berdiam dirilah di hadapan-Nya, ya segenap bumi!” (Habakuk 2:20).

Keadaan di sekitar kita mungkin terlihat mencekam dan mengerikan, tetapi Tuhan memegang kendali penuh. Kita mungkin merasa sudah melakukan segalanya yang kita bisa untuk masuk ke universitas yang kita impikan dan tak kunjung berhasil, tetapi Tuhan tetap punya rencana yang terbaik. Lutut kita mungkin terasa sakit karena kita terus berdoa tapi seolah tak mendapat jawaban, tetapi Tuhan tetap mendengarkan dan bekerja untuk mendatangkan kebaikan (Roma 8:28). Biarlah keteguhan hati kita akan karakter Tuhan memberi kita penghiburan dan kekuatan untuk melewati setiap badai hidup kita.

Bersukacita karena Tuhan

Aku benar-benar terinspirasi oleh respons nabi Habakuk. Pengalaman bersama Tuhan membuat dia bisa melihat keadaannya dari perspektif Tuhan, dengan penuh iman dan penyerahan penuh pada kehendak Tuhan. Dalam pasal 3, kita dapat melihat Habakuk memuji dan memuliakan Tuhan ketika dia menanti-nantikan Tuhan untuk menggenapi janji-Nya.

“Tuhan, telah kudengar kabar tentang Engkau, dan pekerjaan-Mu, ya Tuhan, kutakuti! Hidupkanlah itu dalam lintasan tahun, nyatakanlah itu dalam lintasan tahun; dalam murka ingatlah akan kasih sayang!” (Habakuk 3:2)

Dari Habakuk aku belajar, untuk tidak bersungut-sungut dalam penantian kita. Sebaliknya, kita dapat mengingat perbuatan dan pekerjaan Tuhan dalam hidup kita dengan penuh sukacita. Kita dapat mengucap syukur akan kebaikan-Nya yang tak berkesudahan, bukan hanya yang sudah-sudah, melainkan juga untuk yang akan datang.

Aku juga melihat bagaimana iman Habakuk tidak tergoyahkan oleh situasi yang ada di sekelilingnya.

“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku” (Habakuk 3:17-18).

Luar biasa, sukacita Habakuk karena Tuhan lebih daripada sukacita Habakuk akan berkat dari Tuhan. Aku tersadar, selain karena kebaikan Tuhan yang sudah kita alami sebelumnya, kita dapat bersukacita karena janji Tuhan yang pasti akan Dia penuhi bagi kita. Namun, meskipun keinginan kita tidak diwujudkan sekalipun, bersyukurlah karena kehendak-Nya bagi kita selalu mendatangkan masa depan yang penuh harapan (Yeremia 29:11).

Alkitab berisi banyak sekali panggilan untuk Tuhan: kota benteng, gunung batu, batu karang, menara yang kuat, dan lain sebagainya. Namun, yang kutahu pasti adalah semua itu menunjukkan betapa kuat dan kokohnya Tuhan kita. Di tengah goncangan yang kita alami, kita tahu pada siapa kita dapat berlindung dan apa yang harus menjadi pedoman kita. Tak lain tak bukan, hanya Yesus dan firman-Nya, yang tak akan pernah tergoncangkan. Tuhan memberkati kita semua.

“ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku. (Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi)” (Habakuk 3:19).

Baca Juga:

4 Cara untuk Menentramkan Hati Sahabat dalam Masa Sulitnya

Menjadi seorang kawan di kala susah bukanlah hal yang mudah. Kadang kita malah jadi menggurui, meskipun maksudnya baik.

Alkitab, melalui kisah para sahabat Ayub punya pesan yang baik buat kita. Yuk baca artikel ini.

Mengapa Aku Masih Single?

mengapa-aku-masih-single

Oleh Krysti Wilkinson, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Am I Still Single?

Aku sedang duduk di bangku gereja mendengarkan khotbah pendeta kami ketika pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang duduk beberapa baris di depanku. Tidak jelas apakah sang perempuan sedang bersandar di bahu sang lelaki, atau sang lelaki sedang mengecup kening sang perempuan, namun pemandangan itu mengalihkan perhatianku.

Aku mengenal perempuan itu. Setahuku, dia tidak sedang dalam situasi yang terbaik untuk memulai sebuah hubungan. Namun kini, dia ada di sini dan bermesraan dengan pacar barunya.

Aku menghela nafas, menggeser posisi dudukku, dan melirik barisan bangku tempatku duduk. Ada tujuh atau delapan orang gadis dengan buku catatan dan pulpen di tangan mereka. Beberapa dari kami bahkan membawa Alkitab (betapa rohaninya!). Kami Kristen, cantik-cantik, tapi sama-sama belum punya pacar.

Aku pernah berpikir, “Kami melakukan segala sesuatu dengan benar. Kami mematuhi setiap peraturan. Kami melakukan segala yang terbaik—mengapa kami belum punya pacar?”

Jawaban Tuhan seakan menampar wajahku, “Kapan Aku pernah menjanjikan kamu akan punya pacar kalau kamu melakukan semua itu?”

Hari itu aku menyadari kalau selama ini aku memiliki pemikiran yang salah. Sebelumnya, aku memandang hubungan yang kumiliki dengan lawan jenis adalah upah yang diberikan Tuhan kalau aku menjadi seorang Kristen yang baik. Aku pikir jika aku pergi ke gereja setiap minggu, mungkin akan ada seseorang yang mendekatiku. Jika aku ikut pendalaman Alkitab setiap minggu, mungkin aku akan mendapat pacar. Jika aku berhasil mencapai level kesucian tertentu, aku mendapat cukup banyak poin untuk dapat menikah. Jadi mungkin aku tidak cukup suci, karena itulah aku masih single.

Aku tahu betapa bodohnya pemikiranku itu. Tapi bertahun-tahun aku hidup mempercayai kebohongan-kebohongan ini. Ketika sebuah hubungan terasa seperti sesuatu yang perlu kamu kejar, kamu akan merasa gagal ketika kamu menemukan dirimu masih tetap single.

Ini pesan yang ingin kusampaikan: berpacaran bukanlah sebuah prestasi, dan pernikahan bukanlah sebuah hadiah juara. Tuhan tidak pernah berjanji untuk memberi kita seorang pasangan dan dua anak yang sempurna dan kehidupan yang bahagia selamanya di dalam rumah yang nyaman. Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa kesetiaan akan selalu menghasilkan kebahagiaan, kemakmuran, atau kehidupan yang menyenangkan (seringkali yang terjadi malah kebalikannya). Namun, ketika kita melihat teman-teman kita seolah memiliki hidup yang sempurna, kita mungkin bertanya: Mengapa bukan aku? Mengapa hidupku tidak seperti itu? Mengapa aku masih single?

Menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah salah. Menjadi jujur tidaklah salah. Merasakan apa pun yang kamu rasakan tidaklah salah. Yang menjadi salah adalah jika kita terus-menerus terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan itu.

Ketika kamu bertanya “mengapa kamu masih single”, itu memang bisa membuatmu melakukan refleksi diri dan bertanya pertanyaan-pertanyaan lain yang baik, seperti: Apakah kamu sudah siap untuk memulai hubungan yang baru? Apakah kamu ada di lingkungan yang baik? Apakah ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang mempengaruhi hubunganmu dengan sesama? Tapi, pertanyaan “mengapa kamu masih single” juga dapat membuatmu jatuh semakin dalam, terjebak dalam kesalahan-kesalahan yang pernah kamu buat dalam hubunganmu yang sebelumnya, menjadi terobsesi akan interaksi dengan lawan jenis, atau menghabiskan tenagamu untuk menarik perhatian seseorang.

Saranku, daripada terus bertanya kepada dirimu “mengapa kamu masih single”, bertanyalah kepada Tuhan apa yang Dia kehendaki untuk kamu kerjakan selagi kamu single.

Kamu tidak harus menyukai status single-mu—tetapi kamu bisa mengundang Tuhan untuk hadir dalam setiap detik hidupmu. Tanyakanlah Dia apa yang sedang Dia lakukan dalam hidupmu, ke mana Dia memimpinmu, dan apa yang Dia kehendaki bagimu selanjutnya. Bisa jadi Dia menghendakimu menjalin sebuah hubungan, atau malah sebaliknya. Aku tidak tahu apa kehendak-Nya bagimu, tapi aku tahu bahwa Tuhan itu baik, begitu pula rencana-Nya.

Hari itu, beberapa tahun yang lalu, Tuhan mengingatkanku akan pemikiranku yang salah tentang imanku. Ini menolongku untuk memeriksa apa yang menjadi motivasiku dalam melakukan segala kegiatan gereja—apakah aku melakukannya agar aku mendapat pacar, ataukah aku melakukannya karena kasihku bagi Bapaku?

Ketika aku juga bertanya kepada Tuhan tentang apa yang Dia ingin aku kerjakan selagi aku single, aku menjadi sadar akan banyak hal di sekitarku: kesempatan-kesempatan pelayanan, hal-hal yang dapat aku kembangkan, persahabatan-persahabatan yang perlu kubangun, dan bahkan beberapa laki-laki yang sebelumnya tak pernah terpikirkan untuk menjadi dekat denganku.

Tuhan selalu mempunyai cara untuk mengejutkan kita. Kadang yang perlu kita lakukan hanyalah bertanya kepada-Nya.

Baca Juga:

Jawaban Bijak Ayahku Ketika Aku Mengatakan Akan Menjadi Istri Hamba Tuhan

Keputusan sulit harus kuambil ketika suamiku menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu dan meninggalkan segala kariernya di dunia sekuler. Aku harus melepaskan karierku untuk mendukung suamiku sebagai istri hamba Tuhan. Dalam pergumulanku, aku ingin taat pada Tuhan, namun aku juga ingin memberkati ayahku secara finansial di masa tuanya.

Jawaban Bijak Ayahku Ketika Aku Mengatakan Akan Menjadi Istri Hamba Tuhan

jawaban-bijak-ayahku-ketika-aku-mengatakan-akan-menjadi-istri-hamba-tuhan

Oleh Ivonne Nataly Pola, Boyolali

Minyak angin merek ini adalah minyak angin yang sering digunakan oleh ayahku. Mencium aromanya dapat mengobati rasa rinduku kepadanya, karena kami sudah tidak tinggal bersama sejak aku menikah.

Ayahku bukanlah seorang yang sempurna, tapi dia adalah seorang ayah yang membawaku mengenal Tuhan Yesus dan bertumbuh di dalam-Nya sejak aku masih kecil.

Ayahku senang bercerita tentang anak-anaknya, termasuk tentang diriku. Pernah suatu kali saat aku sedang berada di Balikpapan karena mengikuti suami yang sedang bertugas di sana, aku mengatakan kepada ayahku bahwa aku kangen donat yang saat itu tokonya baru ada di Jakarta. Tak kusangka, ayahku menceritakannya kepada teman kerjanya. Teman ayahku kemudian membawakanku dua dus donat itu ketika dia ada tugas dinas di Balikpapan.

Ayahku tidak pernah menceritakan tentang kesulitannya kepada anak-anaknya. Suatu kali ketika aku masih mahasiswa dan saatnya membayar uang kuliah, aku menunggu ayahku di kampus. Namun, hingga sore ayahku belum juga datang. Ketika aku menghubunginya, dia hanya berkata, “Sabar yah, Nak…”

Akhirnya, ayahku datang juga ke kampus untuk membayarkan uang kuliahku. Belakangan, aku baru tahu bahwa ternyata saat itu ayahku sedang tidak memiliki uang, tapi syukur kepada Tuhan karena tepat di sore harinya ayah mendapatkan bonus dari perusahaan tempatnya bekerja. Ayah tidak mau menunjukkan kesulitannya di depanku. Dia ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Baginya, membiayai kuliahku adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuhinya sekalipun di tengah keadaan yang sulit.

Aku ingin membahagiakan ayahku

Ayahku begitu baik bagiku. Karena itu setelah aku menikah, aku bercita-cita ingin membahagiakannya dengan memberikan sebagian penghasilanku kepadanya. Saat itu, aku dan suamiku masih sama-sama bekerja. Namun, itu tidak bertahan lama.

Sebuah keputusan yang sulit perlu aku ambil ketika suamiku menjawab panggilan Tuhan dengan menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu dan meninggalkan segala kariernya di dunia sekuler. Aku harus melepaskan karierku untuk mendukung suamiku sebagai istri hamba Tuhan. Aku begitu bergumul. Aku ingin menuruti panggilan Tuhan, namun aku juga ingin memberkati ayahku secara finansial di masa tuanya.

Ketika aku menceritakan pergumulanku kepada ayahku, dia berkata, “Nak, panggilan itu asalnya dari Tuhan sendiri. Jadi, kalau Dia sudah memilih kalian, melangkahlah bersama-Nya. Hidup kami sebagai orangtua pasti akan terus ditopang oleh Tuhan sendiri.”

Aku kemudian bertanya kepadanya apakah ayahku kecewa karena telah susah payah membiayai kuliahku dan aku “hanya” menjadi istri hamba Tuhan. Apakah dia merasa kuliahku menjadi sia-sia? Jawaban ayahku begitu membuatku terharu, “Justru kamu dititipkan kepada kami untuk dipersiapkan menjadi alat-Nya. Jadilah istri hamba Tuhan yang menyenangkan-Nya. Kelak ketika kami bisa melihat kamu setia pada panggilan itu, kami akan sangat bangga karena kami dipercaya untuk mendidikmu.”

Aku pun menitikkan air mata. Dahulu aku mengira bahwa aku baru dapat membahagiakan ayahku jika aku berhasil dalam pekerjaanku dan dapat memberikannya harta yang kumiliki. Namun ternyata kebahagiaan ayahku adalah ketika aku menyenangkan Tuhan. Itulah yang menjadi kebanggaan ayahku.

Aku bersyukur kepada Tuhan atas orangtua yang telah diberikan-Nya bagiku. Orangtua yang menghajarku ketika aku salah untuk kebaikanku. Orangtua yang tetap mengasihiku meskipun aku sering mengecewakan mereka. Orangtua yang selalu mengingat diriku dalam doa-doa mereka. Orangtua yang peduli kepadaku dan suamiku, menanyakan tentang pelayanan yang kami lakukan, dan mengingatkan tentang kasih karunia Tuhan. Meskipun aku dan orangtuaku kini terpisah oleh jarak, aku selalu mengingat nasihat mereka, “Jangan tinggalkan iman, pengharapan, dan kasih.”

Karena mereka, aku dapat merasakan kasih Bapa di surga, kasih yang sempurna. Terima kasih, ayah dan ibu. Terima kasih, Tuhan.

Baca Juga:

3 Hal yang Kudapatkan Ketika Aku Memutuskan untuk Bersaat Teduh Saat Aku Patah Hati

Hubunganku dengan pacarku dahulu membuatku lebih mengutamakan waktu bersama dengannya daripada waktu bersama dengan Tuhan. Di penghujung tahun Tuhan mengizinkanku mengalami patah hati yang pada akhirnya membawaku lebih dekat pada-Nya.

4 Pergumulan yang Kita Hadapi dalam Pelayanan

4-pergumulan-yang-kita-hadapi-dalam-pelayanan

Oleh Abigail L.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Struggles We Face In Ministry

Melayani orang lain bisa menjadi pekerjaan yang berat, baik di dalam maupun di luar gereja.

Dalam gereja, aku bersyukur atas dukungan yang aku peroleh dari keluarga dan teman-temanku selama aku melayani. Namun ada saat-saat di mana aku merasa tidak mampu untuk melanjutkan pelayananku—dan hal ini kebanyakan disebabkan karena orang lain. Dalam saat-saat demikian, aku berusaha menghibur diriku dengan berkata: “Kalau tidak sulit, bukan pelayanan namanya.”

Tetapi, aku juga percaya bahwa Allah mau mengajarkan sesuatu melalui pergumulanku.

1. Orang-orang yang tidak tertarik

Apakah kamu sedang memimpin sebuah kelompok sel, membuat sebuah acara dan merencanakan kegiatan penjangkauan, dan menemukan bahwa anggota kelompokmu atau para pemimpin lain dalam kelompokmu tidak menunjukkan ketertarikan? Kadang, aku merasa paling tidak dihargai dan jengkel saat orang lain tidak bekerja dan tidak mendukungku sebanyak yang menurutku seharusnya mereka lakukan.

Namun Allah mengingatkanku untuk berhenti sejenak agar aku tidak melupakan tujuan dari pelayanan—pelayanan adalah tentang orang-orang, bukan tentang program-program dan rencana-rencanaku. Pelayanan adalah tentang menolong orang lain bertumbuh dalam iman dan kasih kepada Kristus, dan tentang mempedulikan kebutuhan mereka.

Jadi, aku pun belajar untuk memperhatikan orang-orang daripada program-program, dengan menunjukkan ketertarikan pada hidup mereka dan masalah yang sedang mereka hadapi. Aku juga belajar untuk terbuka terhadap masukan, dan belajar untuk membuat acara dan pertemuan kelompok sel yang dapat menjawab kebutuhan mereka.

2. Orang-orang yang mematahkan semangat

Kadang kita mendapatkan tanggapan yang mengecewakan atas pelayanan yang kita lakukan, atau masukan dari para pemimpin yang terkesan keras dan tidak adil. Terkadang pula, teman-teman kita bisa menjadi sangat mengkritik atau bahkan tidak membantu sama sekali. Ketika hal itu terjadi, aku dapat merasakan benih ketidakpuasan bertumbuh menjadi kepahitan dan membuat aku menyimpan dendam kepada mereka.

Namun Allah mengajarkanku untuk menunjukkan kasih—kepada para pemimpin, teman-teman, dan junior-juniorku. Aku menemukan bahwa orang-orang yang telah mengecewakanku ini ternyata memiliki kisah di balik layar yang menjelaskan tindakan mereka. Suatu kali, aku merasa amat malu terhadap diriku sendiri ketika seorang rekan kerjaku—yang aku kira bermalas-malasan—mengatakan bahwa orang tuanya yang belum percaya melarang dia terlibat aktif di gereja. Aku sadar bahwa aku sudah bersikap tidak adil dan menghakimi dia berdasarkan sikapnya, dan bahwa sikapku terhadapnya mungkin saja telah membuatnya semakin patah semangat.

Selama aku belum pernah menempatkan posisiku di sepatu orang lain, aku takkan pernah tahu seberapa berat pergumulan, perjuangan, dan usaha mereka untuk mengasihi Allah. Jadi, aku belajar untuk menunjukkan kasih karunia kepada orang lain, sama seperti Kristus telah menunjukkan kasih karunia-Nya kepadaku.

3. Orang-orang yang berbeda

Apakah kamu menghadapi perbedaan dalam doktrin, kepercayaan, atau fokus pelayanan dengan sesama orang percaya? Apakah perbedaan ini menyebabkan perselisihan dan kesalahpahaman yang menghambat kemajuan pelayananmu dan mempengaruhi “efisiensi”-mu?

Mungkin ini adalah cara berpikir yang salah. Aku belajar bahwa perbedaan pendapat dapat memperluas dan memperkaya perspektifku—jika saja aku menyingkirkan kesombonganku. Aku adalah orang yang cenderung tidak sabar dengan orang-orang yang terlalu bersemangat tentang hal-hal yang berkaitan dengan karunia rohani, tetapi suatu hari salah seorang temanku berkata, “Kamu tidak akan pernah memahami mereka kalau kamu selalu lebih dulu menghakimi mereka!”

Kata-katanya menempelakku: dia mengingatkanku mengenai sikapku yang menghakimi orang-orang yang tidak memiliki ide yang sama dengan aku. Aku bersyukur atas teman-teman dan rekan-rekan kerja yang selalu ada untuk menolongku melihat suatu hal dari sisi yang berbeda.

4. Orang-orang yang menghakimi kita berdasarkan pelayanan kita

Apakah aku melayani terlalu banyak atau terlalu sedikit? Apakah aku orang yang suka mendominasi atau orang yang terlalu gampang dipengaruhi? Hal-hal demikian melintas dalam pikiranku setiap kali aku berusaha melakukan sesuatu. Aku tahu bahwa menjaga fokusku pada Kristus itu lebih penting, tetapi aku tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal ini dan melihat kekuranganku.

Dulu aku biasa menilai keefektifan pelayananku dari jumlah orang yang datang dalam persekutuan, acara, atau apapun yang aku rencanakan, dan merasa kecewa setiap kali jumlah tersebut tidak mencapai target atau ketika orang-orang datang terlambat. Namun, aku belajar untuk mengingatkan diriku bahwa penilaian orang lain terhadap acara yang kubuat bukanlah merupakan penilaian terhadap karakter atau kepribadianku, dan bahwa tanggapan yang buruk terhadap acara yang kubuat bukanlah karena kurangnya iman atau keefektifanku. Setelah Allah mengubah diriku, aku dapat bersukacita melayani sekalipun ketika jumlah orang-orang yang hadir tidak banyak. Melayani menjadi jauh lebih mudah dan menyenangkan ketika aku berhenti mengkhawatirkan apa yang orang-orang pikirkan tentang aku.

 

Merasa kecewa dalam pelayanan merupakan hal yang normal; tidak ada seorang pun yang kebal terhadapnya. Namun, melalui kekecewaan-kekecewaan inilah Allah mendorong kita untuk lebih bergantung pada-Nya. Allah tidak butuh kita membantu Dia melakukan pekerjaan-Nya, tetapi Ia disukakan ketika kita bergantung kepada-Nya ketika kita melayani orang lain. Allah lebih tertarik pada siapa kita, daripada apa yang dapat kita lakukan untuk-Nya.

Baca Juga:

Ketika Saudara Seiman Mengganggumu

Di mana terdapat relasi, di sana selalu ada gesekan—bahkan juga relasi di dalam gereja. Satu alasan mengapa kita merasa terganggu oleh saudara seiman kita sebenarnya sederhana: kita mempunyai cara yang berbeda dalam melakukan sesuatu. Joshua pernah mengalami gesekan ini. Bagaimana respons yang dia berikan? Temukan dalam artikel ini.

Pergumulanku Sebagai Seorang yang Disebut Munafik

pergumulanku-sebagai-seorang-munafik

Oleh Kezia Lewis, Thailand
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The World Calls Me A Hypocrite … Am I?

Suatu hari aku bertemu dengan seorang gadis di gereja yang telah membuatku terharu. Dia mengangkat tangannya saat menyembah Tuhan, dia menangis dan menyanyikan lagu-lagu dengan suara bergetar yang begitu jelas. Ketika berdoa, dia meminta kami untuk mendoakannya. Aku ingin memeluknya.

Namun kemudian aku mengetahui kisahnya.

Dia sedang menjalani sebuah hubungan dengan seorang laki-laki yang telah menikah—dan telah memiliki anak. Aku terkejut, dan mendidih dalam kemarahan. Sejak saat itu, hanya satu hal yang muncul di pikiranku setiap kali aku melihat dia— “Betapa munafiknya!” Aku harus menahan diriku untuk tidak mencelanya: Berhentilah berpura-pura. Tidak ada gunanya kamu datang ke gereja jika kamu menjalani hidup ganda seperti itu.

Aku merasa layak untuk marah karena aku melihat diriku sebagai “pembela” Tuhan. Tentu saja, aku pikir, Tuhan tidak setuju perempuan itu mencoret-coret nama-Nya dengan kepura-puraannya dan klaim-klaimnya tentang kebenaran yang dia lakukan.

Lalu Tuhan menjamah hatiku yang penuh kemarahan.

Dia menunjukkanku bahwa Dia tidak membutuhkan dan tidak menginginkan pembelaanku. Dia menginginkanku untuk mengasihi gadis itu, karena Dia tidak ingin gadis itu meninggalkan-Nya. Dia mengingatkanku bahwa Dia menerima gadis itu seperti Dia menerima diriku. Seutuhnya. Dia menunjukkanku bahwa dosa-dosa gadis itu tidaklah menjadi identitas dirinya, sama seperti dosa-dosaku tidaklah menjadi identitas diriku.

Aku pun tidak jauh berbeda

Dulu aku mengharapkan kesempurnaan dari semua yang menyatakan dirinya pengikut Yesus. Namun, ketika aku mulai berjalan bersama Yesus, aku menemukan bahwa kesempurnaan tidak akan terjadi dalam semalam. Aku pun bercela—dan sampai sekarang pun masih bercela. Aku membawa hal-hal dari kehidupan lamaku, termasuk kebiasaan-kebiasaan dan cara hidup yang perlu aku buang. Aku masih berjuang dengan kebercelaanku dan kelemahanku. Dan meskipun aku sekarang telah bertambah usia, hidupku masih saja berantakan setiap hari dan aku masih saja kembali kepada diriku yang lama bahkan setelah bertahun-tahun berjalan bersama Tuhan.

Salah satu dari banyak kelemahanku adalah bergosip, sebuah kebiasaan buruk yang telah mengikatku hampir seumur hidupku. Aku merasa bahwa jika aku tidak ikut ke dalam percakapan yang merendahkan seseorang, aku seperti orang yang terasing—atau bahkan lebih parah, aku menjadi “orang yang diasingkan”, dan menjadi orang yang digosipkan. Aku takut ditolak. Maka aku jatuh ke dalam rasa takutku dan ambil bagian dalam menjelek-jelekkan orang lain.

Bagaimanapun juga, setiap kali aku bergosip, rasa malu menghantuiku dari kepala sampai jari kaki ketika aku menyadari apa yang telah kulakukan. Mungkin diriku memang seperti ini—orang yang suka membeberkan rahasia—aku mengatakan kepada diriku. Mungkin aku salah ketika menyatakan diriku sebagai anak Allah, karena tentu saja aku tidak akan melakukan ini jika aku memang benar seorang anak Allah. Mungkin aku bukanlah anak yang benar dari Raja segala raja, karena aku telah membeberkan rahasia si ini dan si itu.

Hidup di dalam dunia yang telah jatuh dan di dalam tubuh yang bercela, aku merasakan ketegangan di antara sebuah kerinduan untuk menghidupi sebuah hidup yang kudus, dengan kedaginganku dan hidup lamaku. Setiap hari, aku membuat keputusan-keputusan yang berlawanan dengan citra Yesus; aku berdosa dan mencoreng nama-Nya. Dan ketika ini terjadi, aku mendengar dunia—dan bahkan diriku—menyebutku sebagai seorang munafik.

Apakah aku seorang munafik?

Aku berdoa, pergi ke gereja dengan rutin, menyanyikan lagu-lagu penyembahan, dan memuji Yesus. Lalu aku pulang dan berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kebenaran Allah, seakan-akan mengolok Dia. Aku menemukan diriku merangkak kembali ke dosa-dosaku. Aku merasa seperti seorang penjahat—seorang tokoh jahat yang berpura-pura menjadi seorang pahlawan, secara sadar menipu orang-orang tentang diriku yang asli.

Jadi, apakah aku seorang munafik? Jawabannya adalah ya, aku adalah seorang munafik. Tapi tidak seperti yang dunia ini pahami. Dunia melihat “kebaikanku” dan “kebenaran” yang kulakukan sebagai usahaku untuk menutupi diriku yang sebenarnya, agar aku terlihat baik di mata orang lain.

Namun kenyataannya, aku dibenarkan oleh darah Yesus, dan itulah sesungguhnya diriku; itulah diriku di mata-Nya. Namun seringkali aku melakukan hal-hal yang tidak benar karena lebih mudah untuk menjadi seorang yang busuk daripada seorang yang benar. Lebih mudah tinggal di dalam lumpur daripada berjuang keluar dari sana. Lebih mudah menjadi seperti semua orang lain, melakukan apa yang semua orang lain lakukan. Dunia telah membuat semuanya menjadi begitu mudah untuk menolak untuk taat kepada Tuhan. Pada akhirnya, aku menjadi seorang munafik karena aku tidak mau lagi ada di dalam lumpur.

Beberapa orang berhenti total dari menjadi orang Kristen karena mereka lelah menjadi orang-orang munafik. Seringkali, aku juga ingin menyerah dari pertempuran ini. Berhenti mengatakan pernyataan-pernyataan kebenaran, berhenti mencoba menarik diriku keluar dari lumpur.

Tapi Tuhan tidak membiarkanku—Dia selalu menarikku keluar. Yesus mengatakan bahwa aku adalah ciptaan yang baru: aku adalah anak-Nya; aku adalah seorang yang benar; aku adalah milik-Nya. Dia tidak akan membiarkanku pergi dan tidak akan membiarkanku tetap seperti ini.

“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Korintus 5:17)

“Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.” (Yohanes 1:12-13)

“Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: ‘ya Abba, ya Bapa!’” (Roma 8:15)

Menjadi seorang munafik bukanlah sebuah hal yang baik. Namun aku rasa Tuhan tidak ingin aku meninggalkan-Nya karena aku disebut sebagai seorang munafik. Sebaliknya, Dia menginginkanku untuk meninggalkan ketidakbenaranku—yang akan memakan waktu yang sangat lama, yang berarti aku akan terus menjadi seorang “munafik” untuk saat ini.

Aku adalah seorang yang kacau, seorang yang bercela. Menyerah kepada dosa-dosaku sangatlah mudah. Tapi Tuhan tidak akan berhenti untuk menyatakan bahwa aku adalah milik-Nya. Dia dengan tidak jemu-jemu memberitahuku tentang kasih-Nya, menunjukkanku bahwa aku memiliki seorang Bapa di surga yang begitu peduli kepadaku. Ketika aku membaca firman-Nya, firman itu melingkupiku dengan kedamaian, firman itu membuang rasa maluku akan dosa-dosaku, dan firman itu secara perlahan mengangkatku naik. Bagaimana mungkin aku tidak maju? Bagaimana mungkin aku menyerah dalam pertempuran ini? Bagaimana mungkin aku menyerah di tengah perlombaan yang Dia ingin aku lakukan, ketika Dia sendiri tidak pernah berhenti berlari untukku dan bersama denganku? Aku tidak boleh mencari kepuasan di dalam lumpur. Itu bukanlah apa yang Yesus inginkan untukku. Itu bukanlah apa yang Yesus lihat di dalam diriku.

“Bapa yang berdaulat, berkaryalah di dalam hidupku. Aku menginginkan apa yang Engkau inginkan untukku. Aku berdoa agar aku dapat bebas dari siklus yang merusak dari kesombongan dan rasa takut di dalam hidupku: bukalah topeng yang aku kenakan untuk mencoba menjadi orang lain. Topeng itu begitu sulit terlihat sampai-sampai aku hampir tidak sadar bahwa aku sedang memakainya. Cabutlah keinginanku untuk berbuat jahat di dalam segala bentuk di dalam hidupku. Aku berdoa agar aku hidup di dalam kesejatian dari kasih-Mu dan di dalam kebenaran dari firman-Mu. Aku adalah anak-Mu. Inilah diriku sesungguhnya. Tolonglah aku untuk berlaku selayaknya anak-Mu. Aku berdoa di dalam nama Dia yang telah mati untuk-Ku, Batu Karang Keselamatanku, Yesus Kristus. Amin.”

Baca Juga:

Ketika Pemimpin Gereja Kita Jatuh, Inilah yang Dapat Kita Lakukan

Akhir-akhir ini, berita tentang kegagalan moral para pemimpin gereja semakin banyak terdengar. Kita mendengar para pendeta yang melakukan penipuan, menggelapkan uang gereja, atau terlibat di dalam skandal seputar pornografi atau hubungan tidak sehat di luar pernikahan. Bagaimana seharusnya kita menyikapi ini semua? Di dalam artikel ini, Kezia membagikan 3 hal yang dapat kita lakukan.

Ingat Kebaikan-Nya!

Oleh: Sukma Cornelius

jangan-lupa-kebaikannya

Kehilangan seseorang yang dikasihi, kuatir akibat teman hidup yang tak kunjung dimiliki, skripsi yang nampaknya jauh dari kata “acc”, perselisihan dengan sahabat atau teman, panggilan kerja yang tak kunjung datang, berapa banyak dari kita yang pernah mengalami hal itu? Yang jelas aku adalah salah satunya.

Pergumulan yang tiada henti menghampiri bisa memunculkan beragam rasa. Sedih sudah pasti, kemudian merasa tidak tenang, gelisah, bahkan kehilangan harapan. Meski kerohanian kita sudah banyak dibina di sekolah atau kampus, bukan tak mungkin kita bisa jatuh. Doa yang awalnya kita panjatkan tanpa henti hari demi hari, menjadi doa yang kadang-kadang saja. Persekutuan yang tadinya mungkin sering kita datangi, menjadi persekutuan yang sesekali saja. Suluh yang dulu menyala terang, kini perlahan-lahan mulai redup!

Bersyukur aku tidak meninggalkan disiplin saat teduh. Melaluinya Tuhan mengajarku bagaimana seharusnya aku bersikap dalam pergumulan yang berat. Tuhan berbicara secara khusus melalui ajakan Daud dalam Mazmur 103:2, “Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya.” Jangan lupakan! Artinya, aku diminta untuk mengingat. Apa yang harus kuingat? Segala kebaikan Tuhan! Harus diakui, mengingat kebaikan Tuhan bisa menjadi sulit ketika beban hidup terasa berat menimpa.

Ajakan Daud dalam Mazmur ini mungkin sekali bersumber dari pengalaman pribadinya bersama Tuhan. Kita tahu bahwa ia pernah berhadapan dengan Goliat. Semua orang gentar menghadapi raksasa Filistin itu. Bagaimana Daud bisa menghadapinya dengan penuh keyakinan? Dengan mengingat perlindungan, pemeliharaan dan penyertaan Tuhan ketika ia harus melindungi kambing domba ayahnya dari ancaman singa atau beruang. Daud berkata: “TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu.” (1 Samuel 17:37).

Aku membayangkan proses mengingat ini seperti seorang yang mendengar namanya dipanggil ketika ia sedang berjalan. Ia tentu akan berhenti dan menengok ke belakang untuk mencari arah datangnya suara. Untuk mengingat kebaikan Tuhan, aku harus berhenti sejenak dan menengok ke belakang. Dan menakjubkan! Aku kembali melihat betapa luar biasanya kasih Tuhan yang tersalib untuk menyelamatkanku dari jurang kebinasaan dan mengangkatku masuk ke dalam kerajaan-Nya yang kekal. Aku kembali melihat betapa setianya Tuhan memeliharaku sekalipun aku berkali-kali gagal untuk setia kepada-Nya. Aku kembali melihat tangan seorang Bapa yang terbuka lebar menerima si anak hilang, gendongan seorang gembala yang menyayangi si domba sesat. Pergumulan yang sedang kuhadapi tiba-tiba kelihatan jauh lebih kecil dan terasa jauh lebih ringan dibanding dengan kuasa dan kebaikan Tuhan yang pernah kulihat.

Sahabat, pergumulan apa yang sedang kamu hadapi saat ini? Apakah masalah-masalahmu tampak seperti raksasa yang tak mungkin dikalahkan? Ambillah waktu untuk berhenti sejenak dan menengok ke belakang. Lihat bagaimana Tuhan telah menyertaimu melewati ancaman “singa” dan “beruang”. Ingatan yang baik tentang kuasa dan kasih karunia Tuhan akan menutup sumber-sumber ketakutan kita.

Daripada menatap ke depan dengan penuh ketakutan, lebih baik menatap ke atas dengan penuh iman. Daripada mengkhawatirkan sesuatu, lebih baik “berdoalah untuk segala sesuatu”

Selamat mengingat, sahabat!

Sia-Siakah Pergumulanku?

Oleh: Tabita Davinia

berdoa

Berdoa bagi sesuatu yang kita anggap mustahil itu memang tidak mudah. Sering kali orang lain meremehkan pergumulan itu, bahkan mereka menganggap bahwa apa yang kita doakan itu tidak akan terwujud, dan apa yang kita doakan itu sia-sia.

Uhm, aku punya pengalaman seperti itu (dan sekarang pun aku masih berdoa bagi sesuatu itu). Aku punya seorang sahabat (sebut saja A) yang sudah sakit parah sejak bertahun-tahun yang lalu, dan aku mau berdoa bagi kesembuhannya. Aku percaya bahwa Tuhan pasti akan menyembuhkannya jika Dia berkenan. Apalagi, hidup temanku itu sungguh-sungguh menunjukkan kasih Kristus kepada orang lain. Orang lain dengan penyakit serupa mungkin akan menuntut dan mempersalahkan Tuhan yang memberinya penyakit itu.

Tapi berbulan-bulan sejak aku mendoakan A, rasanya hal yang kudoakan itu tidak akan terjadi. Tuhan seolah-olah tidak menanggapi doaku, dan aku mulai merasa bahwa apa yang aku doakan sia-sia. Useless.

Ketika A menceritakan bagaimana kondisinya waktu penyakitnya sedang kambuh, harus kuakui, aku merasa tidak tega. Tapi anehnya, pada saat yang bersamaan aku juga kagum terhadap sikapnya. Ia bukan cuma menginspirasiku tentang kesetiaannya kepada Tuhan, tapi juga menginspirasi banyak orang lain, termasuk mereka yang melayani Tuhan penuh waktu!

Pernah suatu ketika aku bertanya padanya seperti ini,“Kamu yakin nggak kalo kamu bisa sembuh?

Ia menjawab, “Kalo emang itu yang Tuhan kehendaki, kenapa nggak? Tapi… kelihatannya nggak deh. Dulu aku pernah saat teduh, dan waktu itu Tuhan bilang kalo aku nggak akan bisa sembuh.

Entah kenapa, rasanya aku mau menangis sewaktu ia bilang begitu. Aku kecewa karena apa yang aku doakan selama ini sepertinya sia-sia saja.

Waktu itu kamu saat teduh dari mana?” tanyaku penasaran.

Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna,” jawabnya.

Dan aku ingat, itu kutipan dari 2 Korintus 9, yang lengkapnya begini,
Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ‘Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna’ Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.”

Perkataan itu disampaikan Tuhan kepada Paulus, seorang rasul yang begitu brilian, giat melayani, dan menjadi berkat bagi banyak orang. Namun rupanya, kuasa Tuhan tidak ditunjukkan hanya melalui kehebatan-kehebatan yang Paulus miliki. Kuasa Tuhan justru makin nyata ketika Paulus lemah, tidak punya kekuatan yang bisa diandalkan. Seperti Paulus, di dalam kelemahannya, A justru bisa jadi berkat bagi banyak orang. Hidup sahabatku ini dipakai Tuhan dengan begitu luar biasa, dan aku bersyukur karena bisa mengenalnya 🙂

Selama aku bergumul tentang kesembuhan A, Tuhan selalu mengingatkanku bahwa Dia punya rencana yang indah atas hidup sahabatku itu. Tuhan juga mengajariku bagaimana aku harus tetap percaya kepada-Nya.

Nak, bawa pergumulanmu itu kepada-Ku. Dan biarkan Aku memberikan kelegaan kepadamu. Be still and know that I’m God,” kata Tuhan padaku, saat aku mulai merasa lelah untuk tetap berdoa.

Awal-awalnya memang susah sih. Tapi seiring berjalannya waktu, lama-lama aku pun mulai melihat bahwa Tuhan sedang mengerjakan sesuatu yang luar biasa atas hidup A. Bahkan, aku yakin Tuhan tidak hanya sedang berkarya dalam hidup A, tapi juga sedang bekerja dalam hidupku dan hidup kalian … 🙂

Teman-teman, ketika kita mempunyai pergumulan yang rasanya mustahil untuk terwujud, yuk bawa pergumulan itu kepada Tuhan. Tuhan itu Mahatahu. Dia mengerti apa yang menjadi pergumulan kita, sekalipun orang lain tidak mengetahuinya. Dia rindu agar kita mendekat kepada-Nya, dan menyerahkan pergumulan kita di bawah kaki-Nya. Percayalah bahwa pengharapan di dalam Tuhan tidak akan mengecewakan. Tidak ada pergumulan yang akan sia-sia ketika diserahkan ke dalam tangan-Nya. Tetaplah berdoa. Dia tahu arti dari setiap jeritan dan tetesan air mata kita, dan Dia tahu apa yang terbaik agar kuasa-Nya dapat dinyatakan di dalam dan melalui hidup kita. Trust Him.

Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya,
dan Ia akan bertindak
” – Mazmur 37:5

Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil” – Lukas 1:37

 

For someone who has inspired me to keep striving and struggling,
‘danke für alles’

Sharing: Bagaimana Kamu Melihat Allah Bekerja Di Balik Kesulitanmu?

Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. (Mazmur 46:2)

Mari bagikan jawabanmu dan kuatkan sobat muda lain melalui kolom komentar di bawah.