Posts

Kekuatan Baru

Senin, 22 April 2019

Kekuatan Baru

Baca: Yesaya 40:27-31

40:27 Mengapakah engkau berkata demikian, hai Yakub, dan berkata begini, hai Israel: “Hidupku tersembunyi dari TUHAN, dan hakku tidak diperhatikan Allahku?”

40:28 Tidakkah kautahu, dan tidakkah kaudengar? TUHAN ialah Allah kekal yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung; Ia tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu, tidak terduga pengertian-Nya.

40:29 Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya.

40:30 Orang-orang muda menjadi lelah dan lesu dan teruna-teruna jatuh tersandung,

40:31 tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. —Matius 11:28

Kekuatan Baru

Di usia ke-54 saya mengikuti perlombaan maraton Milwaukee dengan dua target—mencapai garis akhir dan menyelesaikannya dalam waktu kurang dari 5 jam. Pencapaian saya akan sangat mengagumkan seandainya saja paruh kedua ditempuh selancar paruh pertama. Namun, pada kenyataannya, perlombaan tersebut sangat melelahkan, dan kekuatan baru yang saya butuhkan untuk menuntaskan paruh kedua itu tidak pernah datang. Saat saya mencapai garis finis, langkah-langkah mantap saya di awal perlombaan telah berubah menjadi langkah yang tertatih-tatih.

Perlombaan lari bukan satu-satunya yang membutuhkan kekuatan baru—perlombaan hidup ini pun membutuhkannya. Agar mampu bertahan, orang-orang yang letih lesu membutuhkan pertolongan Allah. Yesaya 40:27-31 memadukan puisi dengan nubuatan dengan sangat indah untuk menghibur dan memotivasi mereka yang membutuhkan kekuatan untuk terus maju. Kata-kata yang abadi mengingatkan mereka yang letih lesu dan kecewa bahwa Tuhan tidaklah jauh dan masih peduli (ay.27), bahwa keadaan kita yang sulit tidak pernah luput dari perhatian-Nya. Kata-kata ini memberikan penghiburan dan jaminan, mengingatkan kita pada Allah yang kuasa-Nya tak terbatas dan pengetahuan-Nya tak terhingga (ay.28).

Kekuatan baru yang dijelaskan dalam ayat 29-31 sangatlah tepat untuk kita—entah kita sedang berjuang membesarkan anak-anak dan mencari nafkah untuk keluarga, berjuang menjalani hidup yang dibebani masalah fisik maupun keuangan, atau sedang dikecewakan oleh hubungan yang renggang atau pergumulan dalam hal spiritual. Kekuatan baru itulah yang akan diterima—lewat perenungan firman Tuhan dan berdoa—oleh mereka yang menanti-nantikan Tuhan. —Arthur Jackson

WAWASAN

Yesaya—namanya berarti “TUHAN menyelamatkan”—memperingatkan Yehuda yang tidak juga mau bertobat bahwa Allah akan menggunakan dua negara adidaya, Asyur dan Babel, untuk menghukum Yehuda karena ketidaksetiaan dan penyembahan berhala mereka (Yesaya 1-39). Yesaya juga menghibur Yehuda dengan janji pemulihan dan berkat Allah setelah hukuman mereka selesai dijalani (pasal 40-66). Dalam pasal 40, Yesaya mengalihkan pandangan kepada otoritas, kedaulatan, kebesaran, dan kemuliaan Allah (ay.1-26) serta dengan lembut berbicara tentang kasih dan pemeliharaan Allah (ay.11, 27-31). Menjawab rasa terabaikan yang dialami Yehuda (ay.27), Yesaya meyakinkan mereka bahwa Allah tidak hanya berketetapan untuk memberkati mereka, tetapi juga memiliki kuasa mutlak untuk melakukannya (ay.28). Sebagai Allah Pencipta yang kekal dan maha kuasa, Dia adalah sumber kekuatan mereka (ay.29). Yesaya mengundang bangsa Yahudi yang patah semangat ini untuk bangkit memulai komitmen baru saat mereka percaya bahwa Allah akan memenuhi janji-Nya (ay.30-31).—K.T. Sim

Kapan kehidupan ini begitu menguras tenaga dan membebani Anda? Dalam area tertentu apa Anda membutuhkan kekuatan Tuhan hari ini?

Tuhan, aku datang kepada-Mu dalam kelemahan dan kelelahan, berikanlah kepadaku kekuatan yang baru.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 14–15; Lukas 17:1-19

Handlettering oleh Febronia

Terbakar Habis

Jumat, 12 April 2019

Terbakar Habis

Baca: Mazmur 32

32:1 Dari Daud. Nyanyian pengajaran. Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi!

32:2 Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang tidak berjiwa penipu!

32:3 Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu karena aku mengeluh sepanjang hari;

32:4 sebab siang malam tangan-Mu menekan aku dengan berat, sumsumku menjadi kering, seperti oleh teriknya musim panas. Sela

32:5 Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata: “Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku,” dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku. Sela

32:6 Sebab itu hendaklah setiap orang saleh berdoa kepada-Mu, selagi Engkau dapat ditemui; sesungguhnya pada waktu banjir besar terjadi, itu tidak melandanya.

32:7 Engkaulah persembunyian bagiku, terhadap kesesakan Engkau menjaga aku, Engkau mengelilingi aku, sehingga aku luput dan bersorak. Sela

32:8 Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu.

32:9 Janganlah seperti kuda atau bagal yang tidak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang, kalau tidak, ia tidak akan mendekati engkau.

32:10 Banyak kesakitan diderita orang fasik, tetapi orang percaya kepada TUHAN dikelilingi-Nya dengan kasih setia.

32:11 Bersukacitalah dalam TUHAN dan bersorak-soraklah, hai orang-orang benar; bersorak-sorailah, hai orang-orang jujur!

Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu karena aku mengeluh sepanjang hari.—Mazmur 32:3

Terbakar Habis

Dalam buku The Call, Os Guinness bercerita tentang suatu waktu ketika Winston Churchill berlibur bersama para sahabatnya di wilayah selatan Prancis. Saat itu ia duduk dekat perapian untuk menghangatkan badan di malam yang dingin. Sambil memandangi api, mantan perdana menteri itu melihat batang-batang pinus “bergemeretak, mendesis, dan memercik saat terbakar dilalap api. Tiba-tiba, ia bersuara, ‘Saya tahu mengapa batang kayu memercikkan api. Saya tahu rasanya terbakar habis.’”

Berbagai kesulitan, keputusasaan, bahaya, kesusahan, dan konsekuensi dari kesalahan kita sendiri bisa membuat kita merasa terbakar habis. Kondisi yang ada perlahan-lahan mengikis sukacita dan damai sejahtera dalam hati kita. Ketika Daud menerima konsekuensi yang berat akibat dosanya sendiri, ia menulis, “Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu karena aku mengeluh sepanjang hari; . . . sumsumku menjadi kering, seperti oleh teriknya musim panas” (mzm. 32:3-4).

Di saat-saat sulit seperti itu, ke manakah kita pergi mencari pertolongan? Kepada siapa kita berharap? Paulus, yang mengalami sendiri banyaknya pelayanan yang berat dan penuh kepedihan, menulis, “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa” (2Kor. 4:8-9).

Bagaimana itu bisa terjadi? Dengan bersandar kepada Yesus, Sang Gembala Baik yang menyegarkan jiwa kita (mzm. 23:3) dan menguatkan kita untuk terus melangkah maju. Dia berjanji untuk menyertai setiap langkah dalam perjalanan kita (Ibr. 13:5). —Bill Crowder

WAWASAN

Mazmur 32 mulanya merupakan sebuah lagu untuk dinyanyikan. Daud, sang gembala, pemazmur, raja, dan penulis lagu dari Israel, memang tidak mencantumkan nada pada lagunya sehingga kita tak dapat memainkannya sekarang; di samping itu, lagu dan puisi dari zaman Daud juga kehilangan rima atau pola sajak setelah diterjemahkan sehingga kita tak dapat menikmati keindahan kata-katanya. Namun demikian, yang terpenting ialah kesadaran bahwa pengenalan akan Allah merupakan musik bagi setiap jiwa, sehingga tiap generasi, tempat, dan kebudayaan harus dibangunkan dengan suara penuh sukacita ini (Efesus 5:18-19; Kolose 3:16). —Mart DeHaan

Pernahkah Anda mengalami pergumulan yang membuat Anda lesu? Bagaimana respons Anda? Bagaimana Allah melayani Anda dalam saat-saat sulit itu?

Bapa, berikanku kekuatan untuk menghadapi kesulitan-kesulitan hari ini, dan pengharapan dalam Kristus akan masa depan abadi yang Kau janjikan.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 19–21; Lukas 11:29-54

Handlettering oleh Julio Mesak Nangkoda

Tersembunyi di Balik Awan

Sabtu, 23 Maret 2019

Tersembunyi di Balik Awan

Baca: 2 Korintus 4:16-18

4:16 Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.

4:17 Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami.

4:18 Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.

Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan. —2 Korintus 4:18

Daily Quotes ODB

Fenomena supermoon langka muncul pada bulan November 2016, ketika bulan pada orbitnya berada di titik terdekat dengan bumi dalam masa enam puluh tahun terakhir, sehingga terlihat lebih besar dan lebih terang dibandingkan pada waktu-waktu lain. Namun, sayang sekali hari itu langit di tempat saya berada sedang tertutup awan kelabu. Meskipun saya dapat melihat keindahan fenomena tersebut lewat foto-foto yang dikirim teman dari tempat lain, saat menengadah ke langit, saya perlu meyakini bahwa ada supermoon tersembunyi di balik awan.

Rasul Paulus menghadapi banyak kesulitan, tetapi ia percaya bahwa apa yang tidak kelihatanlah yang bertahan selamanya. Ia mengatakan bahwa “penderitaan ringan yang sekarang ini” akan menghasilkan “kemuliaan kekal” (2Kor. 4:17). Oleh karena itu, ia “tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan,” karena yang “tak kelihatan adalah kekal” (ay.18). Paulus merindukan agar iman kita—seperti iman jemaat Korintus—bertumbuh, sehingga walaupun menderita, kita tetap percaya kepada Allah. Mungkin kita tidak bisa melihat Dia, tetapi kita percaya bahwa Dia memperbarui batin kita dari hari ke hari (ay.16)

Saya teringat kepada Allah yang tidak kelihatan tetapi kekal ketika saya menatap awan-awan hari itu dan mengetahui bahwa supermoon tersembunyi di baliknya. Saya pun berharap, apabila suatu saat nanti saya merasa Allah jauh dari saya, saya akan memusatkan perhatian pada apa yang tidak kelihatan. —Amy Boucher Pye

Apa maksudnya bagi kamu untuk memperhatikan yang tidak kelihatan? Bagaimana pengharapan kamu dalam Yesus menolongmu menghadapi segala kesulitan hidup?

Tuhan Allah, terkadang aku merasa Engkau jauh dariku. Tolonglah aku untuk mempercayai bahwa Engkau selalu dekat, entah aku dapat merasakan kehadiran-Mu ataupun tidak.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 13-15; Lukas 1:57-80

Bersukacita di Masa Sukar

Senin, 18 Maret 2019

Bersukacita di Masa Sukar

Baca: Habakuk 3:16-19

3:16 Ketika aku mendengarnya, gemetarlah hatiku, mendengar bunyinya, menggigillah bibirku; tulang-tulangku seakan-akan kemasukan sengal, dan aku gemetar di tempat aku berdiri; namun dengan tenang akan kunantikan hari kesusahan, yang akan mendatangi bangsa yang bergerombolan menyerang kami.

3:17 Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang,

3:18 namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.

3:19 ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku. (Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi).

Namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. —Habakuk 3:18

Daily Quotes ODB

Setiap kali teman saya tidak menjawab panggilan telepon, ada mesin perekam suara yang meminta saya meninggalkan pesan. Di penghujung rekaman suaranya, ada pesan bernada riang, “Jadikan hari ini luar biasa!” Saat merenungkan kata-kata itu, saya menyadari bahwa kita tidak berkuasa menjadikan setiap hari “luar biasa”, karena adakalanya keadaan memang terlalu berat. Namun, jika mau melihat lebih dalam, bisa jadi saya akan menemukan sesuatu yang baik dan indah di hari itu, entah keadaan sedang baik-baik saja atau tidak.

Habakuk juga mengalami situasi yang tidak mudah. Sebagai nabi, Habakuk telah ditunjukkan Allah tentang hari-hari mendatang ketika tanaman maupun ternak—yang dijadikan sumber penghidupan banyak orang—tidak menghasilkan bahan makanan (3:17). Tidak cukup sekadar optimis untuk menghadapi masa-masa sukar yang akan datang. Sebagai sebuah bangsa, Israel akan mengalami masa kelaparan yang parah. Habakuk didera ketakutan yang sangat besar hingga ia gemetar dan menjadi lemah (ay.16).

Meskipun demikian, Habakuk berkata bahwa ia akan “bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah” (ay.18). Dia menyatakan harapannya di dalam Allah yang akan memberinya kekuatan untuk berjalan melewati masa-masa sulit (ay.19).

Terkadang kita harus melewati masa-masa yang sangat sulit dan berat. Namun, apa pun kehilangan yang kita alami, apa pun keinginan kita yang kandas, seperti Habakuk, kita dapat tetap bersukacita dalam hubungan kita dengan Allah yang Maha Pengasih. Bahkan ketika kita merasa tidak memiliki apa-apa lagi, Dia tidak pernah membiarkan atau meninggalkan kita (Ibr. 13:5). Dia yang “memberi kegembiraan dan sukacita kepada orang yang bersedih dan berkabung” adalah alasan utama kita untuk bersukacita (yes. 61:3 bis). —Kirsten Holmberg

Dalam hal apa hubungan kamu dengan Yesus membawa kebahagiaan terbesar? Bagaimana Dia menjamahmu di tengah cobaan atau dukacita yang kamu alami?

Tuhan, bagaimana pun keadaanku, tolong aku bersukacita di dalam-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 32-34; Markus 15:26-47

Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempat Tuhan Memproses Hidupku

Oleh Cana

“Oh hari ini sudah hari Senin dan aku harus masuk kerja lagi. Oh Tuhan, kapan hari Sabtu dan Minggu ya? Rasanya menyebalkan dan tidak semangat.”

Itulah sekelumit gambaran perasaanku setiap kali aku harus berangkat kerja di hari Senin. Aku baru bekerja di tempat yang baru selama dua bulan. Awalnya aku merasa sangat bersyukur dan senang diterima di sini. Bagaimana tidak, di sini aku mendapatkan gaji yang cukup baik dan posisi yang kuharapkan, yaitu sebagai dosen. Dan, terlebih lagi adalah aku bisa bekerja satu kota dengan suamiku.

Tapi, seiring berjalannya waktu, aku harus menerima kenyataan pahit bahwa posisi yang awalnya kudapatkan sebagai dosen ternyata hanyalah sebuah status yang tertera di name tag. Ada miskomunikasi saat proses perekrutan dulu. Pihak HRD kala itu menyampaikan padaku bahwa mereka membutuhkan dosen dan nantinya jika aku diterima, mereka juga memintaku untuk menolong bidang promosi di fakultas. Aku mengiyakan tawaran itu karena kupikir porsi pekerjaan utamaku adalah menjadi dosen. Namun, setelah aku bekerja di sana, rupanya bidang yang sangat mereka butuhkan adalah marketing, bukan dosen.

Para pimpinan pun menghampiriku satu per satu dan menjelaskan bahwa ilmu Kesehatan Masyarakat yang jadi latar belakang studiku kurang sesuai dengan Fakultas Kedokteran di mana aku berada. Dan, kalau aku tetap diizinkan mengajar, maka yang terjadi adalah beberapa dosen lain akan merasa tidak adil. Mereka mungkin akan keluar dan tidak mau mengajar lagi. Intinya, aku tidak bisa mengajar sebagai dosen dan mereka menyarankanku untuk mempertimbangkan ulang bidang marketing atau bagian lain yang mengurus administrasi.

Aku merasa jadi seseorang yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tertolak. Pertanyaan besar pun menggantung di benakku, “Lalu, aku bekerja di sini sebagai apa? Mengapa aku tidak layak mendapatkan posisi dosen di sini? Apakah aku tidak baik? Apakah aku bodoh? Apakah status lulusan S-2ku tidak ada artinya?”

Saat itu aku merasa stres dan ingin keluar, tapi aku sendiri membutuhkan pekerjaan. Jadi, aku coba bertahan. Namun, hari-hariku dipenuhi kebingungan, kekecewaan, dan rasa marah. Aku tidak punya jobdesc yang jelas dan karenanya aku juga tidak memiliki teman dekat. Aku sering menyendiri, diam, dan tidak berani bergaul. Bahkan, aku tidak berani memakai name tag dosen yang seharusnya kupakai setiap kerja. Aku selalu membaliknya sehingga orang tidak tahu aku bekerja di posisi apa.

Aku memendam semua perasaan ini, hingga akhirnya aku merasa tidak sanggup lagi. Aku menangis dan terus menangis di depan suamiku. Kala itu, karena aku merasa tidak dibutuhkan dan tidak berguna, aku berpikir bahwa solusi yang paling tepat adalah bunuh diri. Suamiku terkejut. Dia memelukku dan bertanya mengapa aku jadi seperti ini. Dia berusaha menenangkanku.

Saat aku lebih tenang, suamiku lalu menunjukkan foto-foto tentang kebersamaan kami yang di dalamnya juga tertulis ayat-ayat Alkitab. Aku berhenti menangis. Foto-foto itu membuatku mengingat kembali dan tersadar akan perjalanan yang telah kami berdua lalui. Tuhan telah begitu baik, Dia menyertai kami berdua di dalam setiap pergumulan studi hingga hubungan yang kami jalani.

Satu teguran yang mengubahku

Beberapa hari kemudian, aku membaca cerita tentang perumpamaan anak yang hilang yang diambil dari Lukas 15:11-32. Dalam cerita itu, si anak bungsu pergi meninggalkan rumah dan menghabiskan semua uang yang diberikan oleh bapanya. Ketika uangnya habis, si bungsu hidup menderita. Hingga suatu ketika, dia teringat akan kehidupannya semula bersama sang bapa. Dia lalu memberanikan diri untuk pulang.

Cerita itu membuatku berpikir. Betapa si anak bungsu yang memiliki sikap buruk ini punya keberanian untuk menghadap bapanya. Dia bisa saja merasa takut dan bersalah hingga pergi semakin jauh. Tapi, dia berani datang kepada bapanya seburuk apapun kondisinya, semalu dan sehancur apapun perasannya. Kupikir, si bungsu berani melakukan itu karena dia yakin bahwa bapanya tidak akan menolaknya. Dan, pada akhirnya, sang bapa pun menerimanya dengan tangan terbuka.

Aku tertegur. Selama ini, aku takut datang kepada Bapa karena kupikir kondisiku terlalu buruk dan hatiku sangat hancur. Aku menyembunyikan segala pergumulan itu dalam hatiku dan mencari-cari jalan keluar sendiri. Padahal, seperti anak bungsu yang disambut oleh bapanya, Tuhan tentu akan menerimaku dengan tangan terbuka. Aku pun meminta ampun kepada Tuhan, juga kepada suamiku karena aku telah berpikir buruk, bahkan hingga ingin mengakhiri hidupku.

Sejak saat itu, aku memohon pertolongan Tuhan untukku melalui hari-hariku. Aku mungkin belum sepenuhnya pulih dari perasaan kecewaku, tetapi sekarang aku tahu aku harus berlari ke mana dan kepada Siapa. Tuhan adalah Bapa yang menerima setiap hati yang hancur. Tak peduli apapun kondisiku, Dia selalu menerimaku. Hari-hariku kemudian menjadi momen pembelajaranku bahwa yang terpenting adalah identitasku sebagai anak-Nya, yang dikasihi dan diterima-Nya.

Aku belajar untuk memandang pekerjaanku bukan sebagai tempatku mencari nafkah semata, tetapi sebagai tempat di mana aku berproses. Meskipun terasa pahit, sakit, dan rasanya tidak sesuai dengan keinginanku, namun aku mau belajar yakin bahwa Tuhan merancangkan kebaikan di balik segala hal yang kualami.

Hingga kini memang aku belum mendapatkan kesempatan untuk mengajar, namun sekarang aku mulai dapat mengecap sedikit demi sedikit pengalaman baru yang kudapatkan dari bidang pekerjaan yang kutekuni. Aku berusaha melakukan setiap tugas yang diberikan oleh atasanku dengan baik. Aku percaya bahwa Tuhan mengetahui apa yang jadi keinginan hatiku. Pun Tuhan lebih tahu di mana tempat yang tepat untuk memprosesku, apapun jabatan yang diberikan kepadaku saat ini.

Hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah,” Mazmur 51:19b.

Baca Juga:

Saat Aku Mengizinkan Ketakutan Menguasaiku

Ketakutanku yang berlebihan itu rasanya adalah sesuatu yang konyol, sebab ketakutan itu tidak berdasar. Tapi, mengapa aku dan mungkin juga kamu dapat terjebak di dalamnya?

Nasib Buruk Lobster

Minggu, 13 Januari 2019

Nasib Buruk Lobster

Baca: 1 Tesalonika 5:11-18

5:11 Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan.

5:12 Kami minta kepadamu, saudara-saudara, supaya kamu menghormati mereka yang bekerja keras di antara kamu, yang memimpin kamu dalam Tuhan dan yang menegor kamu;

5:13 dan supaya kamu sungguh-sungguh menjunjung mereka dalam kasih karena pekerjaan mereka. Hiduplah selalu dalam damai seorang dengan yang lain.

5:14 Kami juga menasihati kamu, saudara-saudara, tegorlah mereka yang hidup dengan tidak tertib, hiburlah mereka yang tawar hati, belalah mereka yang lemah, sabarlah terhadap semua orang.

5:15 Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang.

5:16 Bersukacitalah senantiasa.

5:17 Tetaplah berdoa.

5:18 Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.

Usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang. —1 Tesalonika 5:15

Nasib Buruk Lobster

Ketika seorang sepupu mengajak saya memancing lobster air tawar, saya sangat bersemangat. Namun, saya menyeringai ketika ia memberikan ember plastik. “Tak ada tutupnya?”

“Tidak perlu,” katanya sembari mengambil tongkat pancing dan sebungkus kecil umpan dari irisan daging ayam.

Saat mengamati lobster-lobster kecil saling memanjat agar bisa keluar dari ember yang hampir penuh, saya sadar mengapa embernya tak perlu ditutup. Tiap kali seekor lobster berhasil sampai ke mulut ember, lobster-lobster lain di dalam akan menariknya jatuh lagi.

Nasib buruk lobster itu mengingatkan saya pada bahaya dari keegoisan, yaitu ketika kita hanya memikirkan pencapaian pribadi daripada mengejar kebaikan seluruh komunitas. Dalam suratnya kepada jemaat Tesalonika, Rasul Paulus memahami pentingnya relasi yang saling mendukung dan mengandalkan. Nasihatnya, “Tegorlah mereka yang hidup dengan tidak tertib, hiburlah mereka yang tawar hati, belalah mereka yang lemah, sabarlah terhadap semua orang” (1Tes. 5:14).

Setelah memuji jemaat Tesalonika yang telah saling membangun (ay.11), Paulus mendorong mereka agar memperdalam kasih dan kedamaian di antara mereka (ay.13-15). Dengan berusaha menciptakan gaya hidup yang saling mengampuni, berbuat baik, dan berbelaskasihan, hubungan mereka dengan Allah dan sesama akan makin dikuatkan (ay.15,23).

Gereja dapat bertumbuh dan menjadi saksi Kristus lewat kesatuan umat yang saling mengasihi. Ketika umat percaya menghormati Allah, dengan berkomitmen untuk saling membangun daripada menjatuhkan lewat perkataan maupun perbuatan, kita sebagai pribadi maupun komunitas akan terus mengalami pertumbuhan. —Xochitl Dixon

Apa yang akan kamu lakukan untuk membangun orang lain? Perhatian dan perbuatan kasih apa yang pernah kamu terima dari saudara seiman?

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 31-32; Matius 9:18-38

Pohon “Menanti Sang Bayi”

Kamis, 13 Desember 2018

Pohon “Menanti Sang Bayi”

Baca: Ratapan 3:1-3,13-24

3:1 Akulah orang yang melihat sengsara disebabkan cambuk murka-Nya.

3:2 Ia menghalau dan membawa aku ke dalam kegelapan yang tidak ada terangnya.

3:3 Sesungguhnya, aku dipukul-Nya berulang-ulang dengan tangan-Nya sepanjang hari.

3:13 Ia menyusupkan ke dalam hatiku segala anak panah dari tabung-Nya.

3:14 Aku menjadi tertawaan bagi segenap bangsaku, menjadi lagu ejekan mereka sepanjang hari.

3:15 Ia mengenyangkan aku dengan kepahitan, memberi aku minum ipuh.

3:16 Ia meremukkan gigi-gigiku dengan memberi aku makan kerikil; Ia menekan aku ke dalam debu.

3:17 Engkau menceraikan nyawaku dari kesejahteraan, aku lupa akan kebahagiaan.

3:18 Sangkaku: hilang lenyaplah kemasyhuranku dan harapanku kepada TUHAN.

3:19 “Ingatlah akan sengsaraku dan pengembaraanku, akan ipuh dan racun itu.”

3:20 Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku.

3:21 Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:

3:22 Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,

3:23 selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!

3:24 “TUHAN adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.

Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! —Ratapan 3:22-23

Pohon “Menanti Sang Bayi”

Setelah menghias pohon Natal dengan lampu kerlap-kerlip, saya ikatkan pita merah muda dan biru pada dahan-dahannya. Kami menamainya pohon “Menanti Sang Bayi”. Telah lebih dari empat tahun, saya dan suami menunggu kehadiran seorang bayi melalui proses adopsi. Kali ini kami pasti memperolehnya menjelang Natal!

Setiap pagi, sambil memandang pohon itu, saya berdoa dan mengingatkan diri sendiri akan kesetiaan Allah. Tanggal 21 Desember, kami menerima berita: tak ada bayi yang bisa kami adopsi pada Natal kali ini. Dengan hancur hati, saya berhenti sejenak di depan pohon yang menjadi lambang pemeliharaan Tuhan itu. Saya pun bertanya-tanya, Masihkah Allah setia? Apa salah saya?

Terkadang, Allah menahan jawaban doa untuk mendisiplin kita. Adakalanya, Dia sengaja menunda untuk memperbarui kepercayaan kita. Dalam kitab Ratapan, Nabi Yeremia menggambarkan hukuman Tuhan atas Israel. Rasa sakitnya nyata: “Anak panah-Nya menembus tubuhku sampai menusuk jantungku” (3:13 BIS). Namun, di tengah semua penderitaan itu, Yeremia menyatakan kepercayaan mutlaknya kepada kesetiaan Allah: “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (ay. 22-23).

Pohon itu tetap berdiri setelah Natal berlalu dan saya tetap berdoa setiap pagi. Akhirnya, menjelang Paskah, kami menerima seorang bayi perempuan. Allah terbukti selalu setia, meski tidak selalu sesuai dengan waktu atau keinginan kita.

Sekarang, anak-anak saya sudah berusia tiga puluhan, tetapi setiap tahun saya memasang miniatur pohon itu untuk mengingatkan diri dan orang lain untuk tetap berharap pada kesetiaan Allah. —Elisa Morgan

Ya Allah, tolong aku untuk tetap percaya kepada-Mu meski aku tak melihat apa yang sedang Engkau kerjakan, sebab Engkau setia.

Kesetiaan Allah adalah alasan terbaik untuk tetap berharap.

Bacaan Alkitab Setahun: Hosea 12-14; Wahyu 4

Artikel Terkait:

Mimpi Buruk Menjelang Natal

Kondisi yang Tidak Ideal?

Selasa, 20 November 2018

Kondisi yang Tidak Ideal?

Baca: Filipi 1:12-18

1:12 Aku menghendaki, saudara-saudara, supaya kamu tahu, bahwa apa yang terjadi atasku ini justru telah menyebabkan kemajuan Injil,

1:13 sehingga telah jelas bagi seluruh istana dan semua orang lain, bahwa aku dipenjarakan karena Kristus.

1:14 Dan kebanyakan saudara dalam Tuhan telah beroleh kepercayaan karena pemenjaraanku untuk bertambah berani berkata-kata tentang firman Allah dengan tidak takut.

1:15 Ada orang yang memberitakan Kristus karena dengki dan perselisihan, tetapi ada pula yang memberitakan-Nya dengan maksud baik.

1:16 Mereka ini memberitakan Kristus karena kasih, sebab mereka tahu, bahwa aku ada di sini untuk membela Injil,

1:17 tetapi yang lain karena kepentingan sendiri dan dengan maksud yang tidak ikhlas, sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara.

1:18 Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita,

Apa yang terjadi atasku ini justru telah menyebabkan kemajuan Injil. —Filipi 1:12

Kondisi yang Tidak Ideal?

Ketika jembatan yang digunakan untuk mencapai kota Techiman, Ghana, dihanyutkan banjir, penduduk New Krobo yang tinggal di sisi lain dari Sungai Tano pun terjebak. Jumlah kehadiran dalam kebaktian gereja yang digembalakan Pendeta Samuel Appiah di Techiman juga menurun drastis karena banyak anggota jemaat yang tinggal di New Krobo. Sungguh suatu kondisi yang tidak ideal.

Di tengah krisis tersebut, Pendeta Samuel berusaha memperluas panti asuhan milik gereja agar bisa menampung lebih banyak anak yatim piatu. Ia pun berdoa. Kemudian gerejanya mengadakan kebaktian alam terbuka di tepi sungai di New Krobo. Lalu mereka mulai membaptis jemaat yang baru percaya kepada Yesus. Sebuah gereja baru mulai berakar di sana. Bukan hanya itu, New Krobo juga memiliki tempat penampungan sementara bagi anak-anak yatim piatu. Allah sedang merajut karya pemulihan-Nya di tengah krisis.

Saat Rasul Paulus berada kondisi yang tidak ideal, yakni sedang dipenjara, ia tidak meratapi situasinya. Dalam suratnya yang luar biasa kepada jemaat di Filipi, ia menulis, “Aku menghendaki, saudara-saudara, supaya kamu tahu, bahwa apa yang terjadi atasku ini justru telah menyebabkan kemajuan Injil” (Flp. 1:12). Paulus menuliskan bagaimana pemenjaraannya telah membuat “seluruh istana dan semua orang lain” mengetahui tentang Kristus (ay.13). Selain itu, saudara-saudara seiman lainnya makin berani memberitakan kabar baik tentang Yesus (ay.14).

Walau menghadapi rintangan, Pendeta Samuel dan Rasul Paulus menyaksikan bagaimana Allah menunjukkan kepada mereka cara-cara baru untuk berkarya di tengah krisis yang melanda. Apa yang mungkin sedang Allah lakukan di tengah situasi kita yang sulit saat ini? —Tim Gustafson

Tuhan, terkadang kami merasa seperti berada dalam situasi yang tidak ideal. Namun, kami tahu Engkau hadir di mana saja. Tolonglah kami untuk melihat-Mu.

Allah bekerja di tengah kekacauan. Itulah inti dari Alkitab. Matt Chandler

Bacaan Alkitab Setahun: Yehezkiel 14-15; Yakobus 2

Terus Membangun!

Minggu, 18 November 2018

Terus Membangun!

Baca: Ezra 5:1-5

5:1 Tetapi nabi Hagai dan Zakharia bin Ido, kedua nabi itu, bernubuat terhadap orang-orang Yahudi yang tinggal di Yehuda dan di Yerusalem dalam nama Allah Israel, yang menyertai mereka.

5:2 Pada waktu itu mulailah Zerubabel bin Sealtiel dan Yesua bin Yozadak membangun rumah Allah yang ada di Yerusalem. Mereka didampingi dan dibantu oleh nabi-nabi Allah.

5:3 Tetapi pada waktu itu juga datanglah kepada mereka Tatnai, bupati daerah sebelah barat sungai Efrat, bersama-sama dengan Syetar-Boznai dan rekan-rekan mereka, dan beginilah katanya kepada mereka: “Siapakah yang memberi perintah kepadamu untuk membangun rumah ini dan menyelesaikan tembok ini?”

5:4 Lalu katanya pula kepada mereka: “Siapakah nama-nama orang yang mendirikan bangunan ini?”

5:5 Tetapi mata Allah mengamat-amati para tua-tua orang Yahudi, sehingga mereka tidak dipaksa berhenti oleh orang-orang itu sampai ada berita diterima oleh Darius dan kemudian dikirim kembali surat jawaban mengenai hal itu.

Mata Allah mengamat-amati [mereka], sehingga mereka tidak dipaksa berhenti. —Ezra 5:5

Terus Membangun!

Saat terbuka peluang untuk menduduki posisi baru di kantor, Simon meyakini itu sebagai berkat dari Tuhan. Setelah mendoakan keputusan itu dan mencari nasihat, ia merasa bahwa Tuhan sedang memberikan kesempatan itu agar ia dapat memikul tanggung jawab yang lebih besar. Semua berjalan lancar dan atasannya mendukung keputusannya. Namun kemudian keadaan berubah. Ada sejumlah rekan kerja Simon yang tidak menyukai promosi yang diterimanya dan menolak bekerja sama. Simon mulai berpikir apakah sebaiknya ia mundur saja.

Saat bangsa Israel kembali ke Yerusalem untuk membangun rumah Allah, ada pihak musuh yang berusaha menakut-nakuti dan melemahkan semangat mereka (Ezr. 4:4). Bangsa Israel sempat menghentikan pembangunan itu, tetapi melanjutkannya lagi setelah Allah menguatkan mereka melalui nubuat Nabi Hagai dan Zakharia (4:24-5:2).

Namun, sekali lagi, musuh kembali datang mengganggu. Kali ini bangsa Israel tetap bertahan, karena mereka menyadari bahwa “mata Allah mengamat-amati [mereka]” (5:5). Mereka memegang teguh instruksi Allah dan percaya bahwa Dia akan menuntun mereka melewati tantangan apa pun yang mereka hadapi. Benar saja, Allah kemudian menggerakkan raja Persia untuk mendukung penyelesaian bait Allah (ay.13-14).

Itu pula yang dilakukan oleh Simon. Ia mencari hikmat Allah untuk memutuskan apakah ia harus tetap pada posisi barunya atau pindah ke posisi yang lain. Setelah merasakan panggilan Allah untuk tetap bertahan, Simon mengandalkan kekuatan Allah untuk bertekun dalam pekerjaannya. Perlahan-lahan ia pun diterima oleh rekan-rekan kerjanya.

Saat kita berusaha mengikut Allah, di mana pun Dia menempatkan kita, mungkin saja kita akan menghadapi tantangan. Pada saat itulah kita perlu terus mengikut Dia. Allah akan menuntun dan menyertai kita melewati tantangan tersebut. —Leslie Koh

Tetaplah teguh, karena mata Allah mengamat-amati kamu.

Bacaan Alkitab Setahun: Yehezkiel 8-10; Ibrani 13