Roland tinggal di desa Sidareja, Kabupaten Cilacap yang lokasinya di perbatasan antara provinsi Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Sejak mengenal WarungSaTeKaMu di tahun 2016, Roland suka menuliskan hal-hal sederhana yang dia dapatkan dari perjalanan imannya bersama Tuhan Yesus.

Posts

Mencari Pekerjaan Itu Sulit, tapi Aku Tidak Menyerah

Oleh Peregrinus Roland Effendi, Cilacap

Di awal tahun 2018 aku lulus sebagai seorang Sarjana Ilmu Komunikasi. Layaknya para fresh graduate lainnya yang ingin segera mendapat kerja, aku pun begitu. Aku ingin bekerja sebagai Public Relations atau Marketing Communications di perusahaan besar supaya aku bisa mengaplikasikan ilmu yang kudapat di kuliah ke dalam dunia kerja.

Minggu pertama setelah wisuda, aku mengikuti beberapa job fair yang ada di Yogyakarta. Dengan penuh semangat, aku menjalani tiap tahapan seleksi di perusahaan-perusahaan yang kulamar. Tapi, tidak ada satu perusahaan pun yang aku lolos. Aku gagal di tahapan psikotes. Aku belum menyerah. Setelah rangkaian job fair itu usai, aku mengirimkan puluhan lamaran kerja lewat email. Tapi, hasilnya senada. Email-emailku tidak ada yang dibalas.

Aku masih belum mau menyerah. Lewat grup pencari kerja di Line dan akun-akun lowongan di Instagram, aku mencari-cari perusahaan yang kuanggap sesuai denganku. Aku masih kekeh ingin bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang komunikasi. Sebulan, dua bulan, hingga enam bulan aku tak kunjung juga mendapatkan pekerjaan. Harapanku untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginanku pun meluntur. Ya sudah, sejak saat itu aku sedikit banting setir. Aku melamar ke perusahaan-perusahaan yang menawarkan posisi di luar Public Relations dan Marketing Communications.

Aku kembali gagal

Akhirnya, aku menemukan lowongan yang kurasa tepat buatku. Sebuah agensi periklanan di Tangerang membuka lowongan sebagai Social Media Manager. Tanpa sempat berdoa terlebih dulu, aku segera mengirimkan aplikasi ke sana. Beberapa hari setelahnya, agensi itu membalas emailku. Mereka memintaku datang wawancara tatap muka ke lokasi mereka. Dengan penuh semangat dan tekad untuk segera bekerja, aku berangkat dari Cilacap ke Tangerang.

Selesai wawancara, tahapan selanjutnya adalah mereka memberiku proyek. Aku diminta membuat sebuah kampanye iklan untuk produk otomotif dari klien yang sudah mereka tentukan. Kukerjakanlah proyek itu seserius mungkin, berharap supaya kinerjaku bisa memuaskan mereka.

Tapi, setelah proyek kampanye itu kuserahkan, aku merasa digantung. Agensi itu tidak memberiku kabar apa pun mengenai kelanjutan proses seleksiku. Aku pun memutuskan pulang kembali ke Cilacap. Setelah beberapa hari, barulah mereka mengabariku kalau aku lolos seleksi dan diminta kembali ke Tangerang esok hari untuk melakukan presentasi proyek itu. Aku keberatan, waktunya terlalu mendadak. Jarak antara Cilacap dan Tangerang cukup jauh, apalagi aku tinggal bukan di kotanya, melainkan di sebuah desa kecil di perbatasan provinsi. Jadi aku pun mengajukan penggantian hari. Betapa leganya aku saat mereka mengabulkan permohonanku.

Namun, rasa lega itu tidak bertahan lama. Entah mengapa, agensi itu kembali menelponku. Katanya, aku tidak perlu kembali ke Tangerang karena mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan proses lamaranku. Aku gagal diterima.

Aku kecewa.

Perjalanan mencari kerja selama setengah tahun lebih kembali dijawab dengan hasil yang getir. Lagi-lagi aku gagal. Padahal sebelumnya aku sudah yakin betul kalau aku punya peluang besar diterima di perusahaan itu. Semangatku pun padam. Hatiku sedih. Aku khawatir akan masa depanku. Dan, ketika melihat teman kuliahku yang sudah memiliki pekerjaan, aku pun jadi iri. Rasanya menyenangkan sekali jadi mereka, bisa mengaplikasikan ilmu yang didapati di kuliah dulu di dunia kerja.

Aku tahu iri hati adalah dosa, maka aku berdoa memohon ampun pada Tuhan. Dan, saat aku bercerita kepada temanku tentang pergumulanku mencari kerja dan rasa iri hatiku, dia berkata bahwa mendapatkan pekerjaan itu tidak berarti masalah selesai. Banyak dari teman-teman yang sudah bekerja mengeluh karena pekerjaan mereka yang berat. Ada yang harus kerja lembur sampai larut malam, ada yang merasa pekerjaannya terlalu berat dan tidak sesuai dengan mereka. Bahkan, ada juga yang merasa iri denganku karena dengan aku membantu usaha toko kelontong milik keluargaku, aku bisa dekat dengan ibuku. Hal inilah yang akhirnya menyadariku untuk mengucap syukur dengan keadaanku saat ini.

Kepada Tuhan, aku mengungkapkan bahwa kerinduan hatiku adalah meninggalkan desaku dan bekerja di kota besar, supaya aku bisa mengaplikasikan ilmuku ke dunia kerja. Namun, apabila pada akhirnya aku harus tetap berada di desaku untuk mengusahakan toko kelontong keluargaku dan menemani ibuku yang tinggal seorang diri, aku akan berserah dan bersyukur pada Tuhan. Aku percaya bahwa apa pun hasilnya nanti, Tuhan tahu yang terbaik untukku.

Yang perlu aku lakukan sekarang adalah tetap berdoa dan memohon hikmat dari Tuhan seraya berusaha mencari pekerjaan di luar kota. Sambil membantu usaha ibuku di toko kelontong, aku belajar menulis dan mendesain, supaya ada nilai tambah dalam CV-ku, dan juga melayani di bidang multimedia di gerejaku. Melalui masa penantian ini, aku percaya bahwa Tuhan sedang membentukku untuk memiliki hati yang beriman penuh kepada-Nya.

Sobat, jika saat ini kamu sedang mengalami pergumulan yang sama sepertiku, maukah kamu bersama-sama denganku agar tidak menyerah, tetap berusaha mencari pekerjaan, memohon hikmat, dan percaya pada rencana Tuhan?

“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrus 5:7).

Baca Juga:

Apa yang Tidak Kuduga, Itu yang Tuhan Sediakan

“Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.” Aku mengamini ayat itu, bahwa Tuhan selalu memeliharaku. Namun, ketika keadaan hidupku sedang tidak menentu, aku pun khawatir dan meragukan pemeliharaan-Nya.

Saat Aku Menjadikan Pelayananku Sebagai Pelarian

Oleh Peregrinus Roland Effendi, Cilacap

Masa-masa kuliah adalah masa yang berharga sekaligus menyenangkan. Aku tahu kuliah itu hanya berlangsung sekitar delapan semester saja, jadi aku pun bertekad untuk menjadikan masa-masa kuliahku berkesan.

Di semester kedua, aku bergabung dengan pelayanan persekutuan doa di kampusku. Awalnya aku hanya datang sebagai simpatisan saja, tanpa ada niatan untuk terlibat menjadi pengurus. Tapi, karena aku selalu datang di tiap minggunya, tim pengurus menawarkanku untuk bergabung dengan tim pelayanan mereka. Aku tertarik dengan tawaran ini, dan singkat cerita setelah aku melewati seleksi wawancara, aku diterima sebagai tim pengurus inti.

Sejak saat itu, di samping kuliah, kegiatanku jadi bertambah banyak. Aku mengikuti persekutuan doa, komsel, fellowship, retret, dan seminar kerohanian yang wajib diikuti oleh tim pengurus. Kadang, aku juga diminta untuk melayani di persekutuan doa lain. Meskipun sibuk, tapi segudang aktivitas ini membuatku nyaman. Ada banyak teman-teman baru yang kudapat di persekutuan ini, dan kupikir tema-tema yang dibahas tiap minggunya pun menarik dan sangat cocok dengan kehidupanku sebagai mahasiswa.

Tapi, tanpa kusadari, pelayanan yang kulakukan ini membuatku abai dari apa yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab utamaku di kampus, yaitu menyelesaikan kuliah. Selama aku melayani sebagai tim pengurus, aku lebih mementingkan persekutuan dan kegiatan yang kelihatannya rohani dibandingkan dengan tugas-tugas kuliahku.

Acara persekutuan berlangsung sampai malam. Tak jarang saat pulang ke kos tubuhku sudah capek dan aku langsung tertidur tanpa menyelesaikan tugas-tugas kuliahku. Alhasil, nilai-nilai kuliahku banyak yang jelek. Saat teman-temanku menikmati liburan semesteran, aku malah harus kembali ke kampus untuk remedial atau bahkan mengulang mata kuliah yang gagal itu di semester depan.

Saat kuliahku tiba di semester tujuh, aku sempat merasa putus asa. Teman-temanku sudah menyelesaikan laporan akhir kuliah kerja lapangan mereka, aku malah seperti jalan di tempat. Aku butuh waktu sembilan bulan untuk menyelesaikannya, padahal temanku banyak yang sanggup menuntaskan laporan itu hanya dalam waktu satu atau dua bulan saja.

Sampai di titik ini, aku mulai berpikir sepertinya ada yang salah dengan diriku. Namun, aku belum tahu apa dan tidak berusaha mencari tahu lebih lanjut. Bukannya segera menyelesaikan kuliahku yang tertinggal dan belajar membagi waktu dengan bijak, aku malah meninggalkan kuliahku dan meluangkan sebagian besar waktuku untuk mengurusi persekutuan doa. Dalam pikiranku, lebih baik aku melayani Tuhan saja daripada aku stres karena kuliahku yang sulit.

Teguran yang mengubahkanku

Hingga suatu ketika, ada seorang pembicara berkhotbah di persekutuan doaku. Beliau mengatakan bahwa ada empat tingkatan prioritas dalam hidup mahasiswa yang sedang merantau untuk kuliah atas biaya orangtua. Prioritas pertama adalah Tuhan, yang kedua adalah keluarga, yang ketiga adalah kuliah, dan yang keempat adalah pelayanan.

Aku tertegun mendengar khotbah ini. Aku mulai sadar di mana letak kesalahanku selama ini. Aku menempatkan pelayanan di posisi pertama seolah-olah inilah aktivitas yang membuat Tuhan berkenan padaku. Padahal, melayani Tuhan adalah aktivitas yang tidak terbatas pada lingkup organisasi saja. Aku bisa melayani dan memuliakan Tuhan di manapun, dan melalui berbagai cara. Bahkan, jika aku menekuni kuliahku dengan bertanggung jawab pun sebenarnya itu sudah merupakan sebuah pelayanan juga wujud komitmenku kepada Tuhan dan orangtuaku.

Kolose 3:23 mengatakan, “Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”Ayat ini menamparku. “Kuliah adalah salah satu bentuk pelayanan kita kepada orangtua kita yang telah membiayai kita, dan itu juga dapat menyenangkan hati Tuhan. Maka tidak ada alasan untuk kita meninggalkan tugas dan tanggung jawab kita hanya karena alasan pelayanan,” tambah pembicara itu.

Dengan malu aku harus mengakui bahwa selama ini aku telah salah dalam memaknai pelayanan. Alih-alih menjadikan pelayananku di dalam tim pengurus sebagai ekspresi kasihku kepada Tuhan, aku malah menjadikan aktivitas ini sebagai pelarian dari kemalasanku mengikuti kuliah. Pelayananku bukanlah benar-benar ditujukan untuk melayani Tuhan, melainkan hanya melayani egoku saja. Aku seorang yang malas, dan aku menjadikan pelayanan sebagai tameng untuk menutupi kemalasanku.

Kesalahan pemahamanku terhadap pelayanan inilah yang membuatku mengkotak-kotakkan mana yang merupakan aktivitas rohani dan mana yang tidak. Aku menganggap kalau banyak beraktivitas di persekutuan adalah sesuatu yang rohani, sedangkan kuliah itu tidak. Padahal, Rasul Paulus dalam 1 Korintus 10:31 dengan jelas mengatakan:

“Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

Paulus tidak mengatakan bahwa untuk memuliakan Tuhan kita perlu melakukan aktivitas yang spektakuler. Tuhan bisa dimuliakan lewat banyak hal, bahkan lewat aktivitas terkecil yang sudah menjadi bagian dari keseharian kita.

Hari itu, aku berdoa memohon ampun kepada Tuhan. Aku menyesali motivasiku yang salah dalam melayani. Aku pun belajar untuk mengatur waktuku dengan bijak. Setiap hari aku selalu meluangkan waktuku selama tiga jam untuk membaca buku dan mengerjakan skripsi, dan tak lupa aku juga selalu berdoa sebelum memulai aktivitasku.

Puji Tuhan, Dia memberkatiku dan pada bulan November lalu aku lulus dan diwisuda sebagai sarjana.

Lewat peristiwa ini, aku sadar bahwa pelayanan seharusnya bukanlah sebuah pelarian dari tanggung jawab utamaku. Kristus dimuliakan ketika aku mengerjakan tanggung jawab yang sudah Dia berikan padaku dengan hati yang bersungguh-sungguh.

Baca Juga:

Kamu Berharga di Mata Tuhan

Pernahkah kamu bertanya-tanya tentang apakah yang membuatmu begitu spesial buat Tuhan? Adakah waktu-waktu di mana kamu bertanya, “Apakah aku benar-benar berharga di mata Tuhan? Mengapa?”

Pergumulanku untuk Memahami Jawaban “Tidak” dari Tuhan

Oleh Peregrinus Roland Effendi, Cilacap

Dalam hidupku, aku sering meminta hal-hal yang sederhana kepada Tuhan. Aku pernah meminta supaya Tuhan memberikan cuaca yang cerah, jalanan yang tidak macet, ataupun nilai yang baik saat aku mengikuti ujian sekolah dulu.

Namun, pada kenyataannya, tidak semua permintaan kecilku itu terwujud sesuai dengan keinginanku. Kadang, aku jadi sedih. Tapi, itu hanya untuk sesaat dan tidak sampai membuatku kecewa pada Tuhan.

Tapi, ketika aku berdoa memohon supaya Tuhan mewujudkan hal besar dalam hidupku dan Tuhan tidak mengabulkannya, aku pun jatuh dalam kekecewaan mendalam.

Aku pernah meminta pada Tuhan supaya papaku disembuhkan dari penyakitnya. Tapi, Tuhan menjawab tidak. Dia memanggil pulang papaku di saat aku tidak berada di sisinya. Lalu, ketika aku meminta supaya orang yang kusuka menjadi pasangan hidupku, lagi-lagi Tuhan menjawab tidak. Cintaku ditolak. Aku patah hati. Dan, yang terakhir, ketika aku meminta pada-Nya supaya bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar yang kudambakan, Tuhan kembali menjawab tidak. Aku gagal dalam tahapan psikotes dan harus kembali melamar pekerjaan di tempat lain.

Ketika Tuhan memberikan jawaban “tidak” atas doaku, rasanya berat bagiku untuk menerimanya. Aku merasa Tuhan itu seperti tidak peduli kepadaku dengan membiarkan hal-hal buruk terjadi menimpa hidupku.

Namun, tatkala aku menceritakan pergumulan ini kepada temanku, aku merasa tertegur oleh sebuah ayat dari Yesaya 30:15 yang berkata:

“Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu.”

Teguran ini membuatku mengintrospeksi diriku dan doa-doaku. Selama ini, aku mendapati alih-alih berdoa untuk mengizinkan Tuhan merenda jalan hidupku, aku malah menyetir Tuhan untuk tunduk pada kemauanku dan memaksa-Nya memberkatiku. Aku merasa bahwa rancanganku sendiri adalah yang terbaik. Sehingga, ketika Tuhan tidak mewujudkannya, aku pun menjadi khawatir dan juga kecewa. Di saat inilah, aku tidak sedang menempatkan Tuhan sebagai Pribadi yang penuh kuasa, melainkan hanya seperti seorang pembantu yang harus taat pada apa yang kuinginkan.

Akhirnya, aku sadar bahwa aku telah memaknai doa dengan cara yang salah. Oleh karenanya, aku perlu bertobat. Raja Daud memberikanku contoh yang baik dalam membangun kehidupan doa yang berkenan kepada-Nya. Dalam Mazmur 25:1-5 Daud berdoa:

“Kepada-Mu, ya TUHAN, kuangkat jiwaku…Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, tunjukkanlah itu kepadaku. Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarilah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku, Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari.”

Daud berdoa bukan supaya Tuhan mengikuti apa yang jadi kehendaknya, melainkan supaya Tuhan memimpin dan menuntun hidup Daud. Aku belajar bahwa bagian yang terpenting dalam sebuah doa bukanlah permintaan kita, tetapi Allah sendirilah yang paling penting. Oleh karenanya, dalam permohonan Daud untuk meminta pimpinan-Nya itu, Daud mengawalinya dengan menyerahkan dirinya kepada Allah.

Ketika aku memahami kebenaran ini, aku pun dimampukan untuk dapat memaknai jawaban “tidak” yang pernah Allah berikan dalam doa permohonanku. Aku pun mengubah isi doaku dari yang semula mendikte Tuhan untuk mengabulkan doaku, menjadi doa yang berisi penyerahan diri kepada tuntunan-Nya.

Tatkala papaku sakit, menjelang kematiannya Papa yang semula cukup anti dengan gereja malah jadi sering berdoa dan berulang kali ingin ikut ibadah di gereja. Kupikir ini adalah hal yang teramat baik. Papa mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan aku tentu percaya bahwa meski secara fisik Papa telah meninggal, tapi Papa telah berada di surga bersama Tuhan.

Tatkala cintaku ditolak oleh seseorang yang kuyakini tepat menjadi pasangan hidupku, aku belajar untuk percaya bahwa apa yang menurutku terbaik itu belum tentu terbaik menurut Tuhan. Tuhan pasti menyediakan seorang lain yang sepadan untukku.

Tatkala aku gagal mengikuti seleksi pekerjaan, aku pun belajar untuk percaya bahwa kegagalan ini bukanlah akhir dari perjalanan hidupku. Aku perlu berusaha lebih keras dan tidak menyerah. Kelak, perjuanganku inilah yang akan menjadi bekal supaya aku dapat menjadi seorang pekerja yang tangguh.

Pada akhirnya, aku percaya bahwa meski Tuhan menjawab permohonanku dengan jawaban “tidak”, itu tidak berarti bahwa Dia sedang tidak mempedulikanku. Tapi, Dia sedang meyakinkanku bahwa Dia memiliki sesuatu yang lebih baik untukku. Sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagiku.

Baca Juga:

Roh Kudus dan Indikator Tangki Bensin

Suatu ketika, motor yang kami tumpangi kehabisan bensin di tengah jalan akibat kami mengabaikan indikator yang berkedip-kedip sedari sebelum kami berangkat. Peristiwa tak terduga ini mengingatkanku kembali akan peran Roh Kudus dalam kehidupan kita.

Pergumulanku Melawan Rasa Iri Hati

Oleh Peregrinus Roland Effendi, Cilacap

Apa yang kamu pikirkan jika kamu melihat temanmu lebih berhasil daripada dirimu? Mungkin jawabannya ada dua; kamu ikut berbahagia bersama temanmu dan termotivasi untuk berusaha lebih, atau kamu justru merasa iri hati dan curiga.

Siang hari itu, ketika aku sedang mengumpulkan berkas revisi skripsiku di ruangan dosen, aku tak sengaja melihat papan pengumuman jadwal ujian skripsi. Kebetulan, letak papan pengumuman itu tidak jauh dari ruangan dosen. Ketika aku mengamati tulisan-tulisan di sana, perhatianku tertuju pada nama seorang temanku yang ternyata akan segera melaksanakan ujian skripsi.

Setahuku, temanku itu baru empat bulan lalu memulai proses pengerjaan skripsinya. Namun, sangat mengherankan buatku karena dia sudah menyelesaikan skripsinya dan siap untuk mengikuti ujian. Dalam hatiku mulai timbul rasa iri hati dan marah melihat keberhasilan temanku itu. Aku merasa bahwa Tuhan seolah berlaku tidak adil terhadapku. Sudah lebih dari satu tahun aku berkutat dengan skripsiku, berusaha dengan tekun mengerjakannya, namun tak kunjung selesai. Selalu saja ada revisi demi revisi dan hambatan lain yang membuat skripsiku terasa begitu sulit untuk dikerjakan. Namun, temanku hanya dalam empat bulan bisa menyelesaikan skripisnya.

Melihat pencapaian temanku yang seolah tampak lebih berhasil itu membuatku curiga dan berprasangka buruk terhadapnya. Aku menebak-nebak bagaimana caranya dia bisa menyelesaikan skripsinya begitu cepat. “Ah, dia sih dapat dosennya bukan killer. Topik penelitian dia gampang sih, jadi cepat.” pikirku dalam hati.

Sebenarnya, pada tahun 2016 aku sudah memulai proses pengerjaan skripsiku. Aku mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh kampus, mulai dari mencari topik penelitian hingga menentukan dosen pembimbing. Namun, perjalananku tidak mulus. Berkali-kali judulku ditolak, juga aku sempat dipindah ke dosen pembimbing yang lain. Kuakui bahwa aku bukanlah tipe seorang yang gigih dan cermat dalam mengatur waktu. Ketika kendala yang datang seolah tak kunjung usai, aku sempat merasa down hingga akhirnya membuat pengerjaan skripsiku sempat terbengkalai.

Malam itu aku mencoba untuk merenung, berdoa, dan membaca bacaan saat teduh. Di sini Tuhan menunjukkanku sebuah ayat:

“Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat” (Yakobus 3:16).

Ayat ini menamparku. Rasa iri hatiku pada dasarnya adalah perasaan yang jahat. Ketika aku memelihara rasa iri hati, aku merasa bahwa aku sedang membuka pintu bagi Iblis untuk masuk ke dalam kehidupanku. Lalu, iri hati kepada temanku yang maju ujian lebih dulu juga tidak akan membuat skripsiku tiba-tiba selesai. Yang seharusnya kulakukan adalah melepaskan iri hati itu, mengintrospeksi diri, dan menerima dengan lapang dada pencapaian yang telah diraih olehku sendiri.

Namun, meski aku sudah merasa tertegur dan tahu akan kebenaran bahwa iri hati adalah jahat, pikiranku masih bertanya-tanya mengapa temanku bisa begitu cepat dan begitu lama? Di tengah lamunanku, Tuhan kembali menegurku melalui ayat-ayat yang terlintas di benakku. “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (Matius 20:15). “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.” (Yesaya 55:8).

Kedua ayat ini kembali menamparku dan membuatku menyadari bahwa selama ini aku terlalu memaksakan ego dan kehendakku sendiri. Akhirnya malam itu aku memutuskan untuk membuat komitmen dengan Tuhan dan diriku sendiri. Aku mau belajar untuk tidak membandingkan-bandingkan diriku dengan orang lain, melainkan aku mau belajar bersyukur akan setiap tahap dan proses yang dapat aku lalui. Aku juga mau belajar untuk percaya, bahwa Tuhan memiliki rencana dan rancangan yang terbaik untuk masa depanku, janji-Nya selalu tepat pada waktu-Nya. Aku juga mau bersungguh-sungguh dalam mengerjakan skripsiku dan melakukan manajemen waktu dengan baik.

Sejak saat itu, alih-alih berprasangka buruk kepada temanku, aku menjadikan pencapaian temanku itu sebagai sebuah tamparan buatku sendiri. Aku mengintrospeksi apakah ada yang salah dari proses yang kulakukan dan bagaimana aku memperbaikinya. Kemudian, aku mulai menyusun strategi manajemen waktu dan juga mengucap syukur atas pencapaian yang telah diraih olehku sendiri. Setelah beberapa bulan, puji Tuhan karena saat ini proses pengerjaan skripsiku telah mengalami banyak kemajuan. Aku sedang menyelesaikan bab terakhir dan sedikit lagi siap untuk mengikuti ujian kelulusan.

Melalui tulisan ini aku ingin berbagi bahwa iri hati adalah kenyataan yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita melihat pencapaian orang lain yang tampaknya lebih berhasil daripada kita, mudah bagi kita untuk merasa iri dan kecewa. Namun, sebagai anak Tuhan, kita bisa memilih apakah kita mau memelihara atau menolak rasa iri hati itu. Ketika kita memelihara rasa iri hati, itu berarti kita sedang mengundang Iblis untuk masuk dan menguasai kehidupan kita. Akan tetapi, ketika kita menolak iri hati, itu berarti kita sedang mengundang Tuhan untuk berkarya dan berdaulat dalam kehidupan kita.

“Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang” (Amsal 14:30).

Baca Juga:

Satu Hal yang Kulupakan Ketika Semua Impianku Tidak Terwujud

Setiap orang boleh memiliki keinginan dan cita-cita. Tetapi, pada kenyataannya, terlepas dari sekeras apapun upaya kita untuk mewujudkannya, tidak semua yang kita harapkan bisa terjadi sesuai keinginan kita. Inilah realita kehidupan. Pernahkah kamu mengalaminya? Aku pernah.

Di Balik Kepergian Papa yang Mendadak, Ada Pertolongan Tuhan yang Tak Terduga

Oleh Peregrinus Roland Effendi, Cilacap

Di Minggu pagi yang tenang, tiba-tiba duniaku seakan runtuh. Dari balik telepon, suara mamaku bergetar, “Papa sakit keras, kamu cepat pulang ke rumah!” Namun, belum sempat aku beranjak pulang, Mama kembali menelepon. Kali ini suaranya berubah lirih, “Papa sudah meninggal.”

Peristiwa mendadak ini membuat perasaanku tidak karuan. Aku tertegun dan tak habis pikir. Mengapa Tuhan memanggil pulang Papa begitu cepat? Papa tidak punya riwayat sakit penyakit yang dideritanya. Papa juga bersahabat baik dengan semua orang. Tapi, mengapa? Pertanyaan itu terus menggantung di benakku seraya aku menyiapkan diri untuk segera pulang ke rumahku di Sidareja, sebuah kota kecamatan kecil di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Kesedihanku tidak berhenti sampai di sini. Siang itu tidak ada angkutan umum yang tersedia untuk mengantarku pulang. Tiket kereta api, bus, juga angkutan travel semuanya ludes dan baru tersedia keesokan harinya. Aku sempat berpikiran untuk nekat saja pulang mengendarai sepeda motor supaya bisa melihat wajah Papa sebelum upacara tutup peti. Tapi, ketika aku menceritakan rencana ini kepada sahabatku, dengan tegas dia mencegahku. Katanya, perjalanan naik motor itu berbahaya, apalagi jika ditambah dengan kondisi perasaanku yang penuh kesedihan. Namun, karena aku tetap bersikukuh untuk segera pulang, akhirnya dia menawarkan diri untuk mengantarku naik motor hingga ke Sidareja.

Perjalanan sejauh kurang lebih 200 kilometer itu tidak berjalan mulus. Dalam keadaan normal saja biasanya dibutuhkan waktu sekitar 7 hingga 8 jam untuk tiba di rumahku. Tapi, siang itu hujan turun dengan deras dan membuat perjalanan kami jadi lebih sulit. Aku jadi tambah bertanya-tanya pada Tuhan. “Kok tega sih, Tuhan?” Tapi, Tuhan seolah bergeming. Hujan tetap turun, malah bertambah deras tanpa ada tanda-tanda akan berhenti. Lalu, sahabatku yang mengendarai motor pun salah jalan sehingga kami tersesat dan berputar-putar selama satu jam di daerah yang sama.

Sudah empat jam berkendara, hari mulai gelap dan hujan masih mengguyur. Perjalanan ini membuatku lelah secara fisik maupun rohani. Badanku terasa pegal dan hatiku pun bertambah sedih karena ingin segera melihat Papa. Namun, ada sebuah peristiwa yang tidak terduga terjadi. Saat sahabatku sudah berhasil menemukan jalan utama yang menuju Cilacap, ada sebuah mobil yang berada di depan motor kami. Ketika aku melihat pelat nomornya, aku yakin bahwa itu adalah mobil saudaraku dari Jakarta. Kutepuk pundak sahabatku dan memintanya memposisikan motor tepat di samping mobil itu. Ternyata, benar, di dalam mobil itu ada rombongan saudara-saudaraku yang juga akan melayat Papa. Lalu, kami pun menepi sejenak. Sahabatku memutuskan untuk kembali lagi ke Jogja karena keesokan harinya dia harus bekerja dan aku melanjutkan perjalanan ke rumah bersama saudara-saudaraku.

Perisitiwa tak terduga ini sedikit menjawab pertanyaanku akan di mana kebaikan Tuhan ketika aku sedang berduka. Tuhan menjawabnya dengan memberikan sebuah pertolongan. Tuhan tahu bahwa perjalanan menuju rumahku masih jauh, lalu aku dan sahabatku pun pasti kelelahan mengendarai sepeda motor. Ketika aku bertemu dengan mobil saudaraku di tengah jalan, aku tahu ini adalah cara Tuhan menolongku. Tuhan tidak menghapus perasaan dukaku begitu saja, tetapi Dia ingin di balik duka ini, aku bisa mempercayai-Nya yang jauh lebih besar daripada setiap masalah yang kuhadapi.

Setibanya di rumah, di depan jenazah Papa aku termangu. Papa adalah seorang ayah yang berpendirian keras. Namun, dia tidak pernah sekalipun memukul Mama ataupun anak-anaknya. Lewat kerja keras berjualan sembako di toko kelontong, Papa mewujudkan cintanya untuk ketiga anaknya. Dari setiap Rupiah yang Papa kumpulkan, Papa sanggup membiayai aku dan kedua kakakku untuk mengenyam pendidikan tinggi di luar kota hingga bisa lulus menjadi sarjana.

Mamaku bertutur, katanya sekitar dua minggu menjelang kematian Papa, ada sesuatu yang unik terjadi. Papa adalah seorang Katolik, tapi jarang pergi ke gereja karena harus bekerja menjaga toko. Namun, entah mengapa belakangan ini dia begitu bersemangat pergi ke gereja. Gaya bicaranya yang biasanya keras pun berubah menjadi lemah lembut. Aku tidak tahu apa yang Papa rasakan saat itu hingga Dia begitu bersemangat untuk menyambut Tuhan dalam tiap ibadah di gereja. Hingga suatu ketika, di Minggu pagi yang cerah, Tuhan memanggil pulang Papa ketika dia sedang beribadah dan menerima perjamuan kudus di gereja.

Di tengah perasaan dukaku, Tuhan mengingatkanku dengan sebuah ayat. “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan” (Yesaya 41:10).

Seperti peristiwa pertolongan Tuhan yang tak terduga saat aku dalam perjalanan menuju rumah, aku percaya bahwa Tuhan terus akan menolongku dan keluargaku dalam menghadapi kehidupan sepeninggal Papa.

Waktu itu, ketika aku dalam hati memohon supaya hujan berhenti, tapi hujan malah bertambah besar. Namun, Tuhan menyediakan pertolongan lain berupa pertemuan dengan saudaraku yang berada dalam mobil. Kadang, ketika kita memohon pertolongan Tuhan dalam masalah yang kita hadapi, Tuhan tidak mengubah keadaan begitu saja. Tuhan tidak mengubah keadaan dukacitaku menjadi sukacita dalam sekejap. Tapi, Tuhan mengubah hati dan pikiranku melalui cara dan pertolongan-Nya yang jauh di luar pemikiran kita.

Tuhan adalah Tuhan yang mengagumkan. Dia berjanji bahwa Dia akan menghibur setiap orang yang berdukacita (Matius 5:4). Hari ini, maukah kamu menyerahkan rasa dukamu kepada Tuhan dan mengizinkan-Nya menolongmu dengan cara-Nya?

Baca Juga:

Pelajaran Berharga dari Skripsi yang Tak Kunjung Usai

Ketika aku masih menjadi mahasiswa tingkat akhir, aku menganggap skripsi sebagai momok yang begitu menakutkan. Tatkala teman-teman seangkatanku begitu bersemangat untuk segera lulus, aku malah membiarkan waktuku selama satu semester pertama terbuang percuma tanpa hasil apapun.