Posts

Marriage Story: Mengapa Relasi yang Hancur Tetap Berharga untuk Diselamatkan?

Oleh Jiaming Zheng
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Marriage Story: Why Broken Relationship Are Still Worth Saving
Gambar diambil dari official trailer

Aku menonton film Netflix, Marriage Story yang dibintangi oleh Adam Driver dan Scarlett Johansson di suatu malam di akhir minggu yang santai. Film itu menceritakan tentang sepasang suami istri, Nicole dan Charlie (diperankan oleh Johansson dan Driver dengan apik) ketika mereka sepakat untuk bercerai dan bertengkar tentang hak asuh anak mereka, Henry. Film ini menarik perhatian dan masuk nominasi Oscar serta sangat direkomendasikan oleh Netflix. Oleh karena itulah, aku memutuskan untuk menontonnya.

Kupikir aku tidak asing dengan kata ‘perceraian’, tapi tak kusangka film itu malah membuatku menangis memikirkan tentang relasi yang gagal, pengampunan, dan penebusan selama 2 jam 17 menit.

Nicole dan Charlie telah memutuskan untuk bercerai karena ‘perbedaan yang tak bisa dipersatukan’. Charlie digambarkan sebagai sosok egois yang menyerap energi orang lain. Ia tidak peduli dengan Nicole dan bahkan berbohong bahwa ia telah berselingkuh. Nicole mengorbankan banyak hal demi Charlie, namun permintaan dan keinginannya tak digubris—sampai pada akhirnya, ia tak tahan lagi.

Sebagai seorang wanita, aku mudah bagiku bersimpati kepada Nicole. Namun tidak mudah juga untuk membenci Charlie. Ia adalah seorang direktur jenius, bos yang hebat, ayah, menantu yang terluka akibat perceraian yang sangat terluka karena perceraian.

Namun seiring dengan kisah yang mulai terungkap, aku melihat Nicole sebagai sosok pribadi yang juga memiliki kesalahan. Ia kurang percaya diri, tidak tahu apa yang ia inginkan dan dengan mudah dipengaruhi oleh pengacara perceraiannya, Nora. Diperdaya Nora di masa-masa rapuhnya, ia membawa para pengacara—yang menjadi satu-satunya pihak yang mungkin menyukai situasi ini—ke tempat kejadian.

Dalam film, nampaknya kebenaran yang dikenal secara umum ialah bahwa pernikahan mau tidak mau akan berakhir dalam perceraian. Kita melihat hal ini lewat kehidupan saudara perempuan Nicole, rekan kerjanya serta para pengacara. Meskipun semuanya setuju bahwa prosesnya menyusahkan, perceraian dianggap sebagai satu-satunya opsi dan hampir seperti seremoni dalam proses kedewasaan.

Namun kenyataannya ialah: tidak ada satu pun pemenang dari masing-masing pihak pada akhirnya. Nicole akhirnya menandatangani surat perceraian. Ia menjadi “mercusuar harapan untuk para wanita” karena ia menentang stereotip gender bahwa seorang istri harus selalu berlaku lembut dan selalu menyediakan apa pun untuk suaminya. Nicole menunjukkan kepada dunia bahwa ia layak mendapatkan yang lebih baik. Namun apakah ia benar-benar menang? Apakah ia menemukan sukacita dan kebahagiaannya?

Apakah perceraian adalah satu-satunya jalan?

Marriage Story adalah film yang menggambarkan kehidupan di mana Tuhan tidak pernah ada, seperti ditekankan dalam monolog Nora, “Tuhan adalah Bapa. Dan Ia tak pernah muncul” ketika Maria melihat anak-Nya, Yesus mati. Dalam dunia itu, tidak ada kebangkitan dan penebusan. Satu-satunya jalan untuk pernikahan yang hancur adalah perceraian.

Seiring dengan alur film yang terus berjalan, aku mulai menyadari betapa rumitnya kehancuran relasi Charlie dan Nicole. Meskipun mereka sudah menikah selama bertahun-tahun lamanya, mereka tidak bisa berkomunikasi satu sama lain. Ada banyak momen di dalam film di mana aku berpikir, jika seandainya Charlie melihat betapa Nicole sangat tidak ingin melakukan hal ini, jika seandainya Nicole membaca suratnya sejak awal dan mereka bisa melihat betapa mereka saling menyakiti satu sama lain… Jika seandainya...

Dan perlahan, aku mulai bertanya-tanya, apakah perbedaan di antara mereka benar-benar tidak bisa didamaikan?

Di dunia tanpa adanya Tuhan, jawabannya: ya.

Namun di dalam dunia di mana Tuhan hadir, rekonsiliasi adalah kemungkinan yang bisa diraih. Injil memberitahukan kepada kita bahwa pidato Nora yang menggebu-gebu disalahartikan. Tuhan tidak muncul. Tuhan ada di sana bersama Yesus di setiap langkah-Nya. Padahal dalam 3 hari, Ia membangkitkan putra-Nya dari antara yang mati dan ‘didudukkan-Nya di tempat yang tertinggi’ (Filipi 4: 9).

Terlepas dari kekeliruan kita, Tuhan masih mencintai, menolong dan menebus kita dari semua dosa. Injil yang sama juga memiliki kekuatan untuk mengubah relasi kita yang gagal.

Aku percaya bahwa jika Nicole dan Charlie mengetahui cinta ini, mereka bisa belajar dengan bimbingan Roh Kudus untuk menjadi pribadi yang baik hati dan saling mencintai, saling mengampuni kesalahan yang mereka lakukan satu sama lain, dan membangun ulang relasi mereka (Efesus 4: 31-32).

Masing-masing harus melalui perubahan yang serius dan bertobat. Nicole harus melepaskan kepahitan dan amarah di dalam hatinya dan menemukan keberanian untuk berdiri sendiri. Charlie harus lebih rendah hati dan mendengarkan keinginan istrinya juga. Proses ini akan sulit dan menyakitkan, namun berharga untuk diperjuangkan.

Mengapa mereka perlu bersusah payah untuk melakukannya? Satu momen yang paling meretakkan hati dalam film ini ialah tatkala Charlie akhirnya membaca surat Nicole yang mengungkapkan segala detail tentang apa yang ia sukai tentang sang suami. Sayangnya, semua itu terjadi di saat surat perceraian sudah ditandatangani.

Meskipun mereka bertengkar dan saling meneriaki satu sama lain, mereka masih saling mencintai. Dan karena mereka akan selalu terikat lewat putra mereka, Henry, lalu mengapa semua ini harus berakhir dalam satu tragedi?

Mengapa pernikahan layak untuk diperjuangkan

Aku belum pernah menikah. Sebelum kamu menghakimi semua yang aku katakan sebagai seorang wanita yang naif dan idealis, aku akan menceritakan sedikit kisah pribadiku.

Dalam ingatanku, kata perceraian adalah kata yang umum diucapkan di dalam keluargaku. Kapan pun orangtuaku bertengkar—seperti layaknya Nicole dan Charlie saat mereka mencapai puncak pertengkaran dan kebuntuan—ibuku akan berteriak dan meminta cerai.

Di tengah petengkaran itu, aku sering terdiam dan dalam hati berharap apa yang mereka inginkan itu terjadi saja. Apa masalahnya? Ini dunia modern. Kalau kalian merasa tak bahagia, bercerailah saja. Itu akan jauh lebih baik untuk semua orang. Jika jadi kalian, aku akan melakukannya.

“Kau tidak mengerti,” kata ibuku. “Ini sangatlah rumit.”

“Hanya karena ibu tidak bisa menyelesaikannya,” kataku sembari menantangnya.

Sebagai seorang anak, aku pikir ibukulah yang salah. Namun ketika aku semakin dewasa, aku sadar betapa banyak pengorbanannya untuk merawat keluargaku dan ayahku yang baik hati dan luar biasa, meskipun seringkali ia gagal menjadi seorang suami yang peduli.

Sampai akhirnya aku mengamatii dan menjalin relasi dengan orang lain, akhirnya aku memahami bahwa saat kita berelasi, tidak ada di antara kita yang benar-benar tidak bersalah. Tindakan kita bisa secara tidak sengaja menyakiti yang lain dan kita semua harus memberikan hati untuk mengampuni dan mencintai satu sama lain untuk keberlangsungan relasi itu.

Seiring berjalannya waktu, Tuhan telah menunjukkan kepadaku bahwa aku tidak boleh hanya berfokus pada hal-hal yang negatif. Ketakutan dan kesulitan berlebihan karena merasa tidak bahagia atau terjebak dalam sebuah konflik, telah membutakan mataku akan kebaikan dalam relasi keluarga kami. Perlahan, aku mulai melihat momen-momen ketika ayah mempedulikan ibuku, ketika ibu belajar untuk mengampuni dan ketika mereka bekerja sama dengan baik. Aku berhenti membiarkan momen-momen yang gelap itu menutupi segala hal baik yang terjadi di dalam keluargaku.

Tahun lalu, ketika kami merayakan Natal bersama di balkon rumah sewa AirBnB, aku merasa bahagia karena orangtuaku tak pernah bercerai. Aku bahagia karena mereka telah melalui semuanya. Apa pun itu. Entah karena aku dan saudara perempuanku, karena ibuku tidak cukup kuat atau sederhananya, karena mereka memang tidak mampu melakukannya. Apa pun alasannya, aku bahagia karena kami berbagi momen itu bersama sebagai keluarga, dan aku menyesal karena pernah berharap yang sebaliknya.

Dan mungkin momen-momen itulah yang membuat relasi yang hancur layak untuk diperjuangkan. Kita bisa percaya bahwa melalui pengampunan dan perubahan, kita bisa menuliskan ulang narasi dunia tentang pernikahan, menemukan pendamaian, serta mencerminkan kasih dan berkat dari Kristus kepada dunia yang putus asa dan membutuhkannya.

Di dalam dunia yang menyuruh kita untuk memprioritaskan dan memenangkan diri sendiri, mari kita “saling mengasihi sebagai saudara” dan “saling mendahului dalam memberi hormat” (Roma 12:10).

Baca Juga:

Dalam Segala Situasi, Bersekutu Itu Selalu Perlu

Sebagai pemimpin Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) masa-masa ini jadi sulit buatku. KTB online tak semudah yang dikira. Perlu upaya ekstra untuk membeli kuota, mengumpulkan semangat, juga mengatur strategi. Tapi, di balik itu semua, persekutuan antar sesama orang percaya memang perlu senantiasa dibangun.

Dear #SongSongCouple: Mengapa Senandung Cinta Kalian Berakhir?

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Dear #SongSongCouple: Why Has Your Lovesong Ended?
Gambar diambil dari akun Instagram Song Hye-Kyo

Dear #SongSongCouple,

Rasanya belum lama kalian mengabarkan berita tentang pernikahan kalian kepada dunia, setelah kesuksesan serial drama Korea “Descendants of the Sun” (DOTS) di mana kalian berdua berperan sebagai pasangan di sana.

Satu setengah tahun berselang mengarungi pernikahan, mengapa kalian memutuskan untuk berpisah begitu saja?

Aku tidak menganggap diriku sebagai fans berat drama Korea, tetapi aku adalah salah satu dari jutaan penonton yang tercengang oleh kisah romantis dalam balutan militer yang mulai disiarkan di Februari 2016. Dalam tiga bulan aku telah menyelesaikan 16 episodenya (bahkan aku menonton ulang beberapa episodenya berkali-kali), mendengarkan soundtrack-nya, belajar memainkan lagu “You Are My Everything” di piano, dan bahkan menuliskan sebuah artikel tentang tips-tips relasi berdasar drama tersebut.

Aku begitu gembira (seperti penonton yang lain juga) ketika berita tentang kisah cinta kalian dalam drama itu berubah menjadi kisah cinta yang nyata. Tampaknya untuk sekali saja, kisah pengorbanan, romatisme, dan kemurnian cinta yang biasanya menjadi bumbu dalam drama Korea sungguh-sungguh terwujud dalam kenyataan. Jadi, seperti banyak orang lainnya, aku mengikuti berita tentang pernikahan kalian, dan turut bersukacita saat kalian berdua akhirnya resmi menikah di Oktober 2017. Aku dan teman-temanku bahkan berencana untuk membuat pesta perayaan untuk turut bergembira atas kisah dongeng kalian yang menjadi nyata yang sepertinya berlangsung bahagia selamanya.

Atau, setidaknya, itulah yang kami pikirkan bagaimana relasi kalian akan berakhir kelak.

Tetapi, banyak rumor mulai muncul ke permukaan di awal pernikahan kalian ketika Song Hye-kyo kedapatan tampil tanpa mengenakan cincin pernikahannya. Dan meskipun Song Joong-ki berusaha menghilangkan ketakutannya dengan mengatakan bahwa dia lebih “stabil secara emosional” setelah menikah hanya satu bulan yang lalu, ternyata itu tidak cukup untuk menjaga pernikahan kalian bersama.

Pada akhirnya, kisah cinta yang sempurna sekalipun tidak menjamin akan pernikahan yang sempurna. Aku telah mempelajarinya dari kisah Bradd Pitt dan Angelina Jolie. Tapi, kupikir apa yang paling mengguncangku adalah betapa singkatnya waktu pernikahan kalian.

Agensimu telah memberi keterangan bahwa kalian ingin berpisah karena “perbedaan kepribadian” dan meminta kepada media dan publik untuk tidak menulis artikel ataupun komentar yang sensasional dan spekulatif. Tapi, spekulasi pun bertebaran, bahkan di antara teman-temanku. Ada yang mengatakan kalau pernikahan dan perceraian kalian sebagai cara untuk mencari ketenaran, sementara yang lain mengatakan perceraian kalian karena ada perselingkuhan.

Sebagai fans kalian, aku berharap kalian berdua bisa memberikan kesempatan kedua untuk pernikahan ini, atau setidaknya mencoba menyelesaikan masalah kalian dan mempertahankan bahtera ini lebih lama lagi. Atau, mungkin jika kalian telah belajar tentang bagaimana memberi dan menerima seperti karakter yang kalian perankan dulu, mungkin semua ini akan berakhir berbeda?

Kalian mungkin berpikir: Apa sih yang kalian tahu? Pemikiran itu tidaklah salah; semua yang kutahu hanyalah apa yang media beritahukan. Di suatu hari nanti, hanya kalian berdua yang tahu alasan paling utama di balik keputusan untuk mengakhiri bahtera pernikahan kalian. Menjadi individu yang seluruh kehidupannya tak luput dari sorotan media, aku tahu bahwa menjalani hari-hari kalian tidaklah mudah.

Tetapi, suatu hari nanti pula, pemberitaan dari media-media akan usai, dan perhatian dunia akan beralih kepada pasangan lain yang menghadapi kisah yang sama seperti kalian, meratap sekali lagi seraya mengatakan “cinta sudah mati”.

Jadi, kalau bukan karena apapun, inilah satu hal yang kupikir kita semua bisa pelajari: tidak ada seorang pun di dunia ini yang kebal terhadap relasi yang gagal dan dikecewakan oleh orang lain. Dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak akan pernah bisa menjamin bahwa cinta kita kepada pasangan kita akan tetap konsisten dan tidak berakhir.

Lantas, haruskah kita kecewa dan menyerah karena seolah tidak ada “cinta sejati”? Tidak. Cinta kasih yang sesungguhnya tidak akan pernah berakhir, selama kita memalingkan diri kita kepada sumber yang sejati—bukan kepada diri kita sendiri atau sesama manusia. Cinta Sejati itu adalah Yesus. Dialah mempelai yang sejati, dan Dia telah menunjukkan betapa besar kasih-Nya hingga mati di kayu salib bagi kita (Efesus 5:25).

Ketika kalian bersiap untuk berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing, aku berharap kebenaran ini menguatkanmu. Cinta masih sangat hidup, di dalam Pribadi bernama Yesus Kristus. Dan karena cinta kasih-Nya, kita sekarang dapat mengasihi orang lain (1 Yohanes 4:19).

Sebuah Pulang yang Mengubahkanku

Oleh Agustinus Ryanto, Jakarta

Sudah enam tahun terakhir aku tinggal jauh dari rumah karena merantau. Seringkali aku merasa homesick. Tapi, karena latar belakang keluargaku yang broken, pulang bukanlah pilihan yang mudah setiap kali aku merasa homesick.

Sejak aku memutuskan studi dan bekerja di luar kota, hubungan antara ayah dan ibuku berguncang. Ayah yang belum mengenal Tuhan menduakan ibuku. Dia menikahi perempuan lain. Ketika ibuku memberitahuku hal ini, dia menangis, sebab dia bukan hanya kehilangan Ayah, melainkan juga harta benda hasil jerih lelah yang dia upayakan bersama ayahku sejak awal menikah dulu.

Aku tidak tahu harus merespons apa terhadap permasalahan ini. Yang kutahu adalah aku kecewa pada ayahku. Aku harus kuliah sebaik mungkin supaya bisa segera bekerja dan tidak lagi bergantung secara finansial kepadanya. Singkat cerita, Tuhan mengabulkan keinginanku. Aku lulus tepat empat tahun dan diterima bekerja sebelum aku diwisuda.

Setelah bekerja, jarak antara kota tempat perantauanku dengan rumah sebenarnya tidak begitu jauh. Tapi, aku tidak bersemangat untuk pulang. Aku malas jika harus bertemu muka dengan ayahku. Kalaupun aku pulang, motivasi utamaku hanyalah untuk bertemu dengan teman-teman sekolahku dulu.

Sebuah pulang yang tidak terduga

Menjelang libur Imlek yang jatuh di hari Jumat bulan Februari lalu, kantorku memberi kebijakan kepada stafnya untuk pulang kerja lebih cepat di hari Kamis, supaya beberapa staf yang merayakan Imlek bisa bersiap-siap.

“Wah, lumayan, long-weekend nih,” aku bergumam. Aku sudah beride kalau di libur panjang akhir pekan itu aku tidak akan pulang ke rumah. Aku mau beristirahat saja di kos.

Tapi, entah mengapa, aku merasa hatiku tidak tenang. Hati kecilku seolah berbisik, “Ayo, pulang, sebentar saja. Mumpung masih ada kesempatan pulang, pulanglah.”

Jujur, aku enggan untuk pulang. Kutengok tiket kereta api, semuanya ludes. Kulihat tiket travel juga hasilnya sama.

“Masih ada bus kok, ayo pulanglah naik itu,” hati kecilku berbisik lagi.

Aku masih enggan, tapi setelah kupikir-pikir lagi, tidak ada salahnya dengan pulang. Kalaupun nanti aku tidak mau bertemu dengan ayahku, aku bisa pergi ke rumah temanku. Yang penting aku pulang dulu untuk bertegur sapa dengan ibuku, pikirku.

Di hari Kamis, selepas tengah hari, aku pun bergegas ke terminal bus. Setelah sembilan jam perjalanan, aku pun tiba di rumah.

Obrolan yang mengubahkanku

Karena hari itu adalah Imlek, ayahku pun pulang ke rumah. Menjelang tengah malam, saat aku sudah berbaring di kasur, aku mendengar langkah kaki ayahku. Dia berjalan menuju dapur dan bersiap memasak. Selama 25 tahun ini, keluargaku bertahan hidup dengan berjualan makanan yang kami olah sendiri. Ayahkulah yang bertindak sebagai koki utamanya.

Malam itu dia hendak menyiapkan bahan masakan untuk esok. Kutengok dari jendela, lalu aku berjalan menghampirinya. Aku tak tahu apa yang menggerakkanku untuk mendekatinya, karena biasanya aku selalu menghindar untuk mengobrol dengan ayahku.

“Loh, belum tidur kamu?” tanya Ayahku.

“Belum. Aku belum ngantuk.”

Gimana kerjaanmu sekarang?”

Aku terdiam. Pertanyaan ini aneh buatku. Selama enam tahun sejak aku merantau, Ayah tak pernah sekalipun datang menengokku atau sekadar bertanya bagaimana kabarku lewat telepon. Mengapa hari ini dia bertanya begitu padaku, aku jadi bertanya-tanya.

“Ya gitu aja. Senang sih. Tapi sedih karena kalau pulang kerja sepi, gak ada teman.”

“Tahun ini tahun kamu, shiomu kan anjing. Perhitungannya lagi bagus. Kalau kamu mau bikin bisnis sendiri, kamu bisa hoki. Kalau kamu kerja ikut orang, kamu bisa dapet tanggung jawab gede.”

Aku mengangguk meski aku tidak percaya pada hitung-hitungan shio semacam itu.

Bermula dari sekadar basa-basi, tanpa terasa, obrolan itu berlanjut. Aku dan Ayah berbicara tentang banyak hal. Selama enam tahun tak menjalin komunikasi dengannya, Ayah bertutur tentang perjalanan hidupnya, tentang usaha makanannya yang kini merosot, dan bagaimana dia kini terlilit utang karena dia belum bisa terlepas dari dosa judinya.

Setelah dia selesai bertutur, gilirankulah yang bercerita tentang bagaimana perjalanan hidupku di perantauan selama enam tahun. Malam itu, kami berdua untuk pertama kalinya saling berbagi kisah hidup. Saat jam sudah menyentuh angka dua dini hari, aku pamit kepada ayahku untuk tidur duluan.

Di atas kasur, aku tidak langsung tidur. Aku melipat tanganku. Aku tidak percaya bahwa aku bisa duduk berdua dan mengobrol dengan ayahku. Bahkan, dia dululah yang memulai pembicaraan denganku. Melalui obrolan malam itu, aku merasa Tuhan sepertinya menegurku.

Jujur, sejak aku mendengar kabar tentang ayahku yang menikah lagi, aku tidak lagi mendoakan keluargaku pada Tuhan. Kupikir sudah jalan takdirnya keluargaku broken, dan biarlah itu broken sampai akhirnya. Tapi, hari itu ada lilin harapan kembali yang menyala dalamku. Ayahku belum mengenal Tuhan Yesus, dan mungkin inilah yang membuatnya gegabah dalam mengambil langkah kehidupan.

Aku mungkin kecewa dan memutuskan tidak ingin menjalin relasi lagi dengan Ayah. Tapi, aku sadar bahwa bagaimanapun juga, dia adalah ayahku. Terlepas dari status pernikahannya sekarang, yang kutahu tidak pernah ada istilah mantan ayah ataupun mantan anak. Ikatan keluarga itu bersifat permanen. Dan, jika bukan aku yang mulai membuka hati untuk mendekati Ayah, dengan apakah Ayah akan mengenal Tuhan dan diselamatkan? Aku mengimani firman Tuhan yang berkata: “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu” (Kisah Para Rasul 16:31).

Sekarang aku selalu mendoakan ayahku dan beriman bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk Ayah dan ibuku. Aku percaya bahwa meski keluargaku broken, Tuhan bisa menggunakannya untuk kebaikan, seperti ada tertulis bahwa Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Dan, imanku perlu diwujudkan dalam perbuatan-perbuatanku sebagaimana firman-Nya berkata: “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (Yakobus 2:26). .

Jika dulu aku pernah mengeluh bahwa Ayah bukanlah ayah yang baik karena tidak pernah mau menjalin komunikasi denganku, kini aku belajar untuk inisiatif duluan berkomunikasi dengannya. Aku mengiriminya SMS, menanyakan kabarnya. Walau dia kadang lama membalasnya dan tidak mengangkat teleponku, kucoba terus lakukan itu. Hingga akhirnya dia pun mau meluangkan sedikit waktunya untuk menjalin komunikasi denganku. Dan, jika dulu aku selalu enggan untuk pulang, kini aku belajar meluangkan waktuku untuk pulang barang sekali dalam beberapa bulan.

Kalau aku mengingat kembali masa di mana aku enggan pulang dulu, aku tak menyangka bahwa kepulanganku di hari Imlek itu dipakai Tuhan untuk mengubahkanku terlebih dulu. Lewat obrolan hangat dengan Ayah, aku jadi mengerti bahwa sesungguhnya peluang komunikasi itu masih terbuka dan harus dirajut. Aku percaya bahwa sebelum keluargaku diubahkan, Tuhan mau akulah yang berubah terlebih dulu. Dia ingin aku tidak lagi memandang ayahku sebagai sesosok yang membuatku kecewa, tapi sebagai seorang di mana aku harus menyatakan kasih Kristus kepadanya.

Kawan, aku tahu kisahku ini belum selesai. Tapi aku percaya bahwa Tuhan masih terus berkarya dalam keluargaku.

Apabila ada di antara kamu yang mengalami keretakan keluarga dan pergi menjauh, aku berdoa kiranya Tuhan memberimu kedamaian hati supaya kamu pun dimampukan untuk pulang barang sejenak dan menjangkau keluargamu dengan kasih.

Baca Juga:

Pelajaran Berharga dari Penyelamatan 13 Pemain Bola di Thailand

Penyelamatan 13 orang yang terperangkap di dalam gua di Thailand adalah misi yang dramatis dan berbahaya. Ketika misi ini berakhir sukses, ada satu hal yang membuatku terperangah dan mengingatkanku akan sebuah pengorbanan terbesar yang pernah dilakukan untuk umat manusia.

Pelajaran Berharga di Balik Perceraian Kedua Orang Tuaku

Oleh Andrew Koay
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Glory Of My Parents’ Divorce

Ada dua memori dari masa kecilku yang menentukan apa makna sebuah keluarga buatku. Memori pertama adalah aku sebagai balita tengah berlari ke bangsal rumah sakit bersama dengan ayahku. Ibuku baru saja melahirkan adik lelakiku, dan aku berteriak penuh semangat, “Di mana adikku?” Lalu aku melihatnya terbuai dalam pelukan ibuku.

Memori kedua adalah aku sebagai anak berusia 9 tahun sedang berjalan ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar tidur kedua orang tuaku. Sebelum berangkat sekolah aku memang terbiasa mandi di sana. Tapi, saat itu aku mendengar ibuku mengatakan pada ayahku kalau dia ingin pindah dan bercerai.

Kedua memori itu saling berlawanan dalam hidupku. Memori pertama menggambarkan suatu waktu di mana keluargaku sedang bersama, ketika kedua orang tuaku berbahagia, ketika adikku sedang lucu-lucunya dan belum menyebalkan. Tapi, paling utama, semua itu menggambarkan suatu waktu ketika segalanya tampak sempurna. Memori kedua menggambarkan suatu waktu ketika kehidupanku seolah dibalik, ketika waktu-waktu kebersamaan kami ditandai dengan teriakan, dan ketika aku merasa semakin terisolasi dari keluargaku.

Perceraian di hari-hari ini seringkali dianggap biasa; kita sering melihat bagaimana para selebriti bergonta-ganti pasangan seperti layaknya tren pakaian. Statistik menunjukkan bahwa satu dari tiga pernikahan di Australia berakhir dengan perceraian. Kita sepertinya semakin terbiasa melihat pernikahan yang gagal.

Namun, pada kenyataannya, bagi keluarga yang terlibat di dalamnya, perceraian adalah proses yang panjang dan penuh penderitaan.

Sebagai seorang anak, salah satu hal terberat yang harus kuhadapi dengan perceraian kedua orang tuaku adalah bagaimana aku harus bersikap dalam keluarga. Aku jadi orang yang suka melihat ke bawah dan berjalan lunglai di momen-momen canggung saat kedua orang tuaku berada di tempat yang sama. Aku belajar untuk menghilangkan komentar-komentar negatif yang mereka buat tentang satu sama lain. Dan ketika masing-masing mereka menikah kembali, aku belajar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan tentang ibu tiri atau ayah tiri baruku. Singkatnya, aku benci hal ini.

Selama periode waktu yang panjang dalam hidupku, aku benci berada dekat dengan keluargaku, karena itu selalu mengingatkanku akan segala sesuatu yang tidak berjalan semestinya. Aku akhirnya meninggalkan rumah dan tinggal bersama kakek dan nenekku, sementara adikku tinggal bersama ibuku. Kami jarang saling bertemu kecuali di masa-masa liburan. Dan, kalaupun bertemu, yang paling teringat dalam memoriku hanyalah perkelahian dan adu pendapat. Di luar rumah, perilakuku memburuk ketika aku mulai bolos sekolah dan membuat frustrasi orang-orang di sekelilingku.

Perceraian kedua orang tuaku adalah salah satu hal tersulit yang harus kulalui. Perceraian itu jadi masa-masa yang menentukan dalam hidupku dan juga memberiku banyak kenangan pahit. Lima belas tahun setelahnya, peristiwa itu masih dapat kurasakan, seakan itu semua baru saja terjadi.

Namun, belakangan ini sebuah studi Alkitab tentang Kitab Roma yang aku lakukan di kampusku membuka pikiranku kepada fakta yang mengejutkan. Ada suatu kebenaran: bahwa tidak ada apa pun dalam kehidupan ini yang berjalan sebagaimana mestinya. Rasul Paulus dalam Roma 1:18 menjelaskan bahwa kita hidup dalam dunia di mana setiap kita bersalah karena kita menindas kebenaran dengan kelaliman. Hasilnya adalah dunia yang rusak, putus asa, dan berdosa. Terlepas dari gambaran ideal kita akan keluarga, sesungguhnya keluarga kita pun adalah bagian dari dunia ini. Setiap keluarga, entah itu bercerai atau tidak, dibentuk dari orang-orang yang rusak dan berdosa. Kerusakan inilah yang berlanjut ke segala hal lainnya yang kita alami di dunia. Kehidupan di luar kekekalan itu penuh dengan kekecewaan dan kepedihan.

Jadi, bagaimana selanjutnya? Untuk satu hal, cara pandangku tentang suatu relasi telah berubah. Aku memandang relasi dengan lebih realistis tapi juga lebih memaafkan kegagalan orang lain. Ini juga mendorongku untuk lebih berfokus kepada Injil dalam setiap interaksiku dengan orang lain karena aku tahu bahwa satu-satunya solusi dari kehidupan kita yang berdosa hanya ditemukan dalam Yesus. Semua hal ini menolongku untuk menumbuhkan kasihku kepada keluargaku. Terlepas dari segala kekurangan keluargaku, sekarang aku bisa menghargai waktu-waktu bersama yang kami miliki. Keluargaku masihlah jauh dari sempurna, tapi interaksi-interaksi yang dulu membuatku tertekan sekarang jadi satu dorongan buatku berdoa untuk keselamatan keluargaku.

Pada akhirnya, kebenaran ini membuatku merindukan akan bumi yang baru, janji yang Allah telah beri di mana tidak ada rasa sakit atau pun kesedihan di sana. Janji inilah yang mengingatkan kita akan pengajaran Paulus dalam Roma 5:3-5 untuk bermegah dalam penderitaan kita, karena itulah yang menuntun kita kepada harapan; kepedihan hidup ini mengingatkan kita untuk tidak terlalu terikat pada dunia ini, melainkan untuk membuat kita bersiap akan hari di mana Tuhan akan membawa kita kepada bumi yang baru.

Kita dapat yakin bahwa Allah akan melakukan ini, seperti yang dikatakan dalam Roma 5:6-10, karena Kristus. Kematian-Nya bagi kita di kayu salib telah membenarkan kita dan memberi kita kepastian akan keselamatan.

Jadi, jika dulu aku selalu menghindari kenyataan bahwa sesungguhnya segala sesuatu tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya, hari ini aku belajar untuk menerima kenyataan itu. Sesulit apapun, pengalaman karena perceraian kedua orang tuaku adalah satu hal di mana aku bermegah sembari aku menanti bumi yang baru. Inilah yang memberiku kesempatan untuk berbicara tentang Injil dan janji kehidupan kekal. Sekarang, aku berusaha hidup untuk menyiapkan kehidupan selanjutnya dan mengingatkan yang lain untuk melakukan yang sama, karena kehidupan di kekekalan itulah yang penting. Aku belajar lebih menghargai salib Kristus, sebab itulah yang memberiku kepastian bahwa kelak aku akan berada di bumi yang baru. Lima belas tahun telah berlalu, firman-Nya dari Wahyu 21:1-4 terus tumbuh dalam hatiku:

Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi. Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya. Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: “Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.

Baca Juga:

Saat Aku Tak Merasa Puas dengan Kehidupanku

Sejujurnya aku malu untuk mengakui kalau aku masih bergumul dengan ketidakpuasan. Terlepas dari segala hal baik yang mengisi hidupku, ada masa-masa ketika semuanya itu terasa tidak cukup dan pikiran-pikiran penuh kekhawatiran memenuhi benakku.