Posts

Berbuat atau Berbuah?

Oleh Ezra Abednego Hayvito, Tangerang Selatan

Jika kita sering ke gereja atau ikut persekutuan, judul artikel ini mungkin tak terasa asing. Kita, orang Kristen dipanggil untuk berbuah dalam hidup. Tapi, bagaimana sih caranya berbuah? Bukankah supaya bisa berbuah kita perlu berbuat sesuatu?

Berbuat dan berbuah. Dua kata ini cuma berbeda di satu huruf, namun perbedaan maknanya sangat menentukan perjalanan kehidupan kita sebagai pengikut Yesus. Aku berdoa agar tulisan ini bukan berasal dari aku, namun benar-benar berasal dari isi hati Bapa kita di Surga.

Selama masa pandemi, aku jadi terinspirasi untuk membaca. Sudah beberapa minggu terakhir aku membaca sebuah buku karya Chris Burns, Pioneers of His Presence. Secara garis besar, buku ini berbicara tentang pemulihan identitas anak-anak Tuhan sebagai bait Allah yang seharusnya juga menjadi pembawa hadirat Tuhan. Judul tulisan ini menjadi pertanyaan yang aku renungkan ketika aku membaca salah satu bab dalam buku ini yang mengatakan:

“Berbuah berbeda dengan melakukan pekerjaan baik. Jika pekerjaan baik disebut sebagai buah, kita bisa berbuah tanpa Yesus. Buah yang tetap adalah pekerjaan baik yang dilakukan bersama dengan Yesus, bukan tanpa Yesus.”

Aku mengambil beberapa saat untuk tenggelam dan merenungkan kata-kata ini. Selama ini, cukup sering aku berpikir berbuat baik itu cukup untuk menjadikanku seorang Kristen. Aku berusaha hidup lurus sesuai peraturan gereja, menjadi anak yang baik di keluarga, mengikuti norma yang ada di masyarakat. Tapi lama-lama aku menjadi lelah untuk melakukannya. Ada masa-masa ketika diriku sendiri enggan untuk melakukan perbuatan baik itu.

Untuk memahami paragraf di atas, izinkan aku menulis sebuah contoh yang mungkin pernah teman-teman alami. Begini skenarionya, kita baru saja tiba di kamar setelah perjalanan jauh dari luar kota. Tiba-tiba seorang teman menghubungi kita dan meminta bantuan kita untuk mengantarnya pergi ke stasiun karena ada urusan mendesak. Kita tahu bahwa menolong teman kita itu baik, tapi hati kita enggan menolongnya karena kita lebih ingin segera merebahkan diri di kasur. Pada momen-momen seperti ini, berupaya berbuat baik dengan mengandalkan kekuatan sendiri terasa berat.

Lalu aku teringat sebuah perikop dari Yohanes 15: tentang ranting dan pokok. Membandingkan ranting yang Yesus bicarakan di situ, beberapa pertanyaan mulai membuatku berpikir. Apakah ranting perlu memaksakan dirinya untuk berbuah? Bukankah buah yang dihasilkan ranting itu keluar karena ada suplai makanan yang lebih? Lantas, apakah selama ini aku sudah berbuah dengan alami?

Yesus mengatakan di luar Dia kita tidak dapat berbuah. Ini memunculkan pertanyaan lagi bagiku. Semua perbuatan baikku selama ini, apakah itu dapat disebut buah? Tunggu, kondisi “di luar Yesus” itu kondisi seperti apa? Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku tertarik untuk menggali lebih dalam tentang berbuat dan berbuah. Dalam bukunya, Chris Burns juga mengatakan:

“Buah bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk dimakan. Buah yang kita berikan dalam pelayananan kita, seharusnya memberikan kehidupan untuk orang lain. Tetapi tanpa menjalani hidup di dalam Tuhan, tidak mungkin kita memiliki buah kehidupan yang dapat diberikan untuk orang lain.”

Lagi-lagi pernyataan yang menarik dalam buku Pioneers of His Presence membuatku sadar bahwa sekadar berbuat tidak dapat memberikan kehidupan untuk orang lain karena itu dilakukan untuk diri sendiri, sedangkan berbuah pasti memberikan kehidupan karena dilakukan untuk orang lain. Inilah persimpangan antara berbuat atau berbuah, antara pamer atau mengalirkan vitalitas.

Jika kupadankan lagi ke contoh yang sebelumnya kutulis, bayangkanlah skenarionya begini: meski tubuh kita lelah dan ingin segera rebahan, kita tahu menolong teman kita adalah perbuatan yang sangat baik. Dari banyak orang yang dia kenal, dia memutuskan untuk menghubungi kita. Penjelasan yang dia berikan menunjukkan bahwa dia sangat membutuhkan pertolongan kita. Lantas, kita menjemputnya naik motor dan mengantarnya ke stasiun. Dia pun berterima kasih dan segera berlari ke dalam peron.

Mari mundur sedikit dan teliti bagaimana kita merespon. Apa motivasi yang akhirnya mendorong kita untuk memutuskan menolongnya? Apakah untuk pamer kesetiakawanan kita? Apakah untuk menunjukkan impresi baik kepada saudaranya yang mungkin sedang kita sukai? Atau justru kita menyadari kita yang sudah ‘diantar’ Tuhan dengan selamat sekarang diberi kesempatan untuk ‘mengantar’ teman kita? Ingatkah kita bahwa kita baru saja tiba dengan selamat sampai rumah dan disertai Tuhan sepanjang perjalanan? Sadarkah kita kalau sekarang Dia juga memberi kita kesempatan untuk bisa mengantar orang lain dengan selamat sampai ke stasiun?

Orang lain mungkin tidak tahu apa motivasi kita memutuskan untuk melakukan suatu perbuatan baik, tapi Tuhan tahu. Berusaha dari diri sendiri akan membuat kita merasa capek dan menganggap teman kita ini hanya menyusahkan saja. Tetapi ketika fokus kita bergeser, dari sekadar berbuat menjadi berbuah, tindakan sederhana kita itu mengalirkan vitalitas untuk teman kita ini.

Merasa belum puas dengan apa yang kudapat dari buku ini, aku penasaran dengan kebenaran apa yang tertulis dalam alkitab. Apa yang Yesus katakan tentang berbuat dan berbuah? Buah seperti apa yang seharusnya dihasilkan? Bagaimana buah itu bisa keluar alami?

Yesus adalah Pokok dan Kita Ranting

Aku menemukan jawaban tentang berbuat dan berbuah dalam Yohanes 15. Keseluruhan pasal ini sangat kaya dengan kebenaran yang perlu kita rengkuh mengenai apa kata Yesus tentang berbuah.

“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yohanes 15:4).

Tanpa Yesus kita hanya bisa berbuat, tapi dengan Yesus kita bisa berbuah. Berbuat akan membuat kita lelah karena kita berusaha memberi dari diri kita sendiri, sedangkan berbuah tidak datang dari usaha kita, melainkan dari kelimpahan hidup yang kita terima sebagai ranting dari Yesus yang adalah pokok.

Aliran Air Hidup dan Buah Roh Kudus

Ranting yang tidak menyatu dengan pokok tidak mungkin berbuah karena ia tidak menerima aliran kehidupan dari pokoknya. Dalam Yohanes 7, Yesus mengatakan sesuatu yang menarik.

“Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup.”
Yang dimaksudkan-Nya ialah Roh yang akan diterima oleh mereka yang percaya kepada-Nya. (Yohanes 7:38-39).

Aku percaya, aliran-aliran air hidup inilah yang kita perlukan untuk bisa berbuah. Seperti yang dikatakan dalam Galatia 5:22-24, Roh Kudus, yang kita terima sebagai orang yang percaya kepada Yesus, akan menjadi sumber air hidup agar ranting dapat berbuah. Aliran air hidup ini memberikan kehidupan, pertama bagi kita, lalu untuk orang di sekitar kita melalui buah yang kita hasilkan.

Tinggal dalam Kasih-Nya

Membutuhkan waktu cukup lama bagiku untuk merenungkan apa arti “tinggal di dalam Yesus”, atau apa makna “tinggal dalam kasih-Nya”. Akhirnya, aku membandingkan beberapa versi terjemahan dan aku mendapatkan makna yang saling melengkapi.

Yohanes 15:9 (TB)
Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu;
tinggallah di dalam kasih-Ku itu.

Yohanes 15:9 (TSI)
Seperti Bapa selalu mengasihi Aku, begitu juga Aku selalu mengasihi kamu.
Hendaklah kamu terus hidup sebagai orang yang Aku kasihi.

Yohanes 15:9 (BIMK)
Seperti Bapa mengasihi Aku, demikianlah Aku mengasihi kalian.
Hendaklah kalian tetap hidup sebagai orang yang Kukasihi.

Terjemahan Sederhana Indonesia (TSI) dan Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK) menginterpretasikan “tinggal dalam kasih-Ku” sebagai “terus/tetap hidup sebagai orang yang Aku kasihi”. Ini sangat membukakan mataku!

Selama ini aku berbuat, berusaha melakukan perbuatan baik untuk dikasihi oleh Yesus, padahal Yesus sendiri menyuruhku untuk terus dan tetap hidup sebagai orang yang Dia kasihi agar dapat berbuah! Sungguh, ini dua perbedaan makna yang sangat mendasar dan sangat menentukan perjalanan kehidupanku sebagai pengikut Yesus.

Ini yang kulakukan sekarang: Ketika aku mulai merasa lelah, menghadapi argumen dengan teman, berkonflik dengan diriku sendiri, atau mungkin dimarahi karena kesalahan orang lain, aku akan mengembalikan pandanganku pada Yesus dan hidup sebagai orang yang Dia kasihi. Kesadaran ini membantuku melihat bahwa sebagai orang yang Dia kasihi, aku memiliki kasih-Nya yang tidak terbatas di dalamku, sehingga aku bisa mengasihi sesama dan berbuah bukan dengan kasihku sendiri, tapi dari kasih-Nya.

Ini yang menjadi imanku, sebagai orang yang percaya kepada Yesus, aku perlu terus menyadari dan menjalani hidup sebagai orang yang sudah, sedang, dan akan tetap dikasihi oleh Yesus. Bagiku, ini adalah kunci untuk berbuah, bukan berbuat.

Sekarang, judul tulisan ini datang kepadamu sebagai pertanyaan: Berbuat atau Berbuah?

Kalau kamu juga tertarik dengan hal ini, jangan berhenti di sini! Ayo renungkan kembali ayat-ayat yang kubagikan dan minta Roh Kudus untuk membukakan kebenaran untukmu secara pribadi. Haleluyah!

Immanuel, God with us!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Cerpen: Hanya Sebuah Sepatu

“Nak, sepatu yang kamu pakai itu belinya di mana?”

“Kata ibu, ini belinya dari pasar, Pak”

“Kamu tahu harganya berapa?”

“Tiga ribu, Pak.” Kepalaku semakin menunduk. Aku tahu harganya sangat murah. Merek pun tak tertempel di sepatuku. Hanya berbahan kain berwarna abu-abu, yang tingginya tidak sampai mata kakiku. Betapa memalukan aku ini!

Perkataan dan Perbuatan

Hari ke-9 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Berbahagia dalam Pencobaan

Baca: Yakobus 1:26-27

1:26 Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.

1:27 Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.

Perkataan dan Perbuatan

Kita semua tentu pernah mengucapkan sesuatu yang kemudian kita sesali. Mungkin kita pernah keliru bicara di depan banyak orang, atau mengucapkan sesuatu yang menyakiti seorang teman atau orang yang kita kasihi. Mungkin kita pernah melontarkan guyonan kasar, ungkapan kemarahan, atau komentar tanpa pikir panjang di akun media sosial kita.

Dalam lingkungan yang makin hari makin kurang bersahabat dengan kekristenan, instruksi yang diberikan Yakobus kepada umat percaya untuk mengekang lidah mereka (ayat 26) menjadi kian relevan dan diperlukan. Sangat penting bagi kita untuk menyatakan kasih Kristus dalam cara kita berbicara kepada orang lain—termasuk dalam media sosial.

Tidak berhenti di sana, Yakobus berkata lebih lanjut bahwa jika kita menganggap diri kita beribadah—mungkin kita rajin ke gereja, berdoa, berpuasa, melayani—tetapi gagal mengendalikan perkataan kita, sebenarnya kita sedang menipu diri sendiri dan ibadah kita “sia-sia” (ayat 26).

Ibadah yang dianggap Tuhan murni dan tak bercacat melibatkan baik perkataan maupun perbuatan kita. Dalam ayat 27, Yakobus memberitahu kita—selain untuk mengekang lidah—kita juga harus memperhatikan para “yatim piatu dan janda-janda”, serta menjaga agar diri kita sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.

Para yatim piatu dan janda-janda di zaman Yakobus adalah kelompok yang paling rendah statusnya dalam masyarakat. Jika instruksi itu diberikan pada zaman sekarang, Yakobus mungkin akan menyebutkan kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat seperti para tuna wisma, para penyandang cacat mental, dan orang-orang miskin. Kita dipanggil untuk memperhatikan dan melayani orang-orang yang membutuhkan, tidak hanya kerabat dan teman-teman kita semata. Poin ini berkaitan dengan tema yang terus berulang dalam kitab Yakobus, yaitu bagaimana iman dan perbuatan harus seiring sejalan dalam kehidupan seorang Kristen.

Di akhir pesannya, Yakobus menambahkan sebuah instruksi lagi: jaga agar perilaku dunia yang berdosa tidak merusak perilaku kita (ayat 27). Dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat kita berusaha berbuat baik dalam nama Tuhan Yesus, kita harus secara konsisten menjaga diri kita dari berbagai godaan dan pengaruh. Bila kita membiarkan dosa menyelinap dalam perbuatan baik kita (misalnya ketidakjujuran atau motivasi yang tidak murni), kita merusak perbuatan baik kita sendiri dan menodai nama baik Tuhan Yesus.

Perintah ini tidak mudah dilakukan. Namun, ketika kita mengendalikan lidah kita, memperhatikan kaum yang terpinggirkan, menjaga sikap dan perilaku kita dari kecemaran, dunia akan melihatnya dan terheran-heran mengapa orang-orang Kristen hidup demikian. Kita pun akan mendapat kesempatan untuk membagikan kebaikan kasih Kristus yang sudah kita alami dan mengundang mereka untuk menjadi bagian dari keluarga Allah. —Caleb Young, Australia

Handlettering oleh Catherine Tedjasaputra
Background image oleh Aryanto Wijaya

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dalam hal-hal apa kamu gagal “mengekang” lidah?

2. Langkah-langkah nyata apa saja yang bisa kamu ambil untuk mulai menolong mereka yang tak berdaya di lingkungan sekitarmu?

3. Bagaimana kamu dapat menjaga diri agar tidak “dicemarkan oleh dunia” (ayat 27), terutama dalam perbuatan baikmu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Caleb Young, Australia | Caleb adalah seorang pecinta film, makanan, dan juga hiburan. Caleb lahir di Selandia Baru, dibesarkan di Kepulauan fiji, dan sekarang tinggal di Australia. Dia punya tiga buah paspor! Caleb suka bercerita, dia menuangkan ceritanya dalam bentuk video yang berkisah tentang pekerjaan Tuhan dalam kehidupan seseorang, ataupun menuliskannya dalam sebuah artikel. Terlebih dari segalanya, Caleb adalah seorang dewasa muda yang berjuang untuk menjadi serupa dengan Kristus, dan amat bersyukur memiliki Juruselamat yang begitu mengasihinya meskipun dia memiliki banyak kelemahan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus