Posts

Kamu Gpp? 5 Alasan Kita Sulit Mengungkapkan Perasaan

Mana nih tim yang selalu bilang “Aku gapapa” (padahal gak baik-baik aja)?

Sobat Muda, kita boleh dan perlu terbuka tentang perasaan kita kepada orang yang kita percayai.

Artspace ini didesain oleh @verses_illustrated dan diterjemahkan dari @ymi_today

Pergumulanku untuk Belajar Menyayangi Diriku Sendiri

Oleh Paramytha, Surabaya

Tak kenal maka tak sayang”, ungkapan yang tak lagi asing di telinga kita. Jika dicermati, rasanya memang tidak mungkin menyayangi seseorang jika kita belum mengenalnya. Mengenal adalah langkah pertama untuk dapat menyayangi.

Bagiku, menyayangi diri sendiri tidak lebih mudah dari menyayangi orang lain. Jika aku menilik ke dalam diriku sendiri, rasanya seperti berjalan di lorong panjang yang menyuguhkan gambaran karakter diri yang menakutkan pada dinding kiri dan kanannya. Tentunya sama sekali tidak seperti tamasya yang menyenangkan.

Aku selalu berpikir, apakah salah bila aku menyembunyikan kelemahan demi kelemahanku di sudut ruang paling pojok hingga tak terdeteksi lagi? Bukankah pada umumnya manusia ingin terlihat baik dan kuat dimata orang lain? Bukankah kita semua ingin diterima, dihargai, dan dikasihi? Mungkin salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan sesedikit mungkin menunjukkan ketidakberdayaan dan keburukannya di depan orang lain.

Pergumulanku mengenali diriku sendiri

Sekitar 2 tahun terakhir, aku memang sedang berada dalam posisi yang labil dan kacau. Persiapan pernikahan, urusan keluarga, dan pekerjaan memenuhi pikiranku. Banyak kejadian yang membuatku bertengkar dengan banyak orang. Orang-orang terdekatku seringkali berkomentar bahwa aku aneh, membesar-besarkan masalah yang sepele, terlalu sensitif, dan meresponi segala sesuatu secara berlebihan.

Aku pun frustasi. Aku jadi menyalahkan keadaan, diriku sendiri, dan orang lain. Aku tidak merasa aman dan tenang, sehingga aku memilih untuk menyendiri. Kucoba meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja. Anehnya, hal itu hanya membuat keadaanku semakin parah, relasiku dengan orang lain semakin kacau, dan membuatku semakin sulit memahami diriku sendiri. Aku sendiri tidak tahan dengan sikapku yang berlarut-larut dalam keadaan. Tetapi, aku pun tidak tahu cara yang tepat untuk mengatasinya.

Dalam kondisi seperti itu, aku dapat merasa marah, kecewa, bahkan merasa tertolak apabila ada orang yang tidak meresponku ketika aku menyapa atau memberi senyuman. Padahal, orang tersebut belum tentu orang yang aku kenal. Tetapi, kejadian seperti itu terasa sangat menyakitkan. Aku pun menanyakan pada adikku tentang hal ini.

“Dek, apa responmu saat kamu tersenyum dan menyapa orang lain tapi orang itu tidak menyapa atau senyum balik?”

“Ya biasa aja toh, Mba. Mungkin orang itu ndak lihat atau ndak perhatiin,” jawab adikku.

Aku pun mulai menyadari hal yang tidak wajar dalam diriku. Di waktu lain, aku mulai merasakan perasaan yang sama. Saat aku berada di tengah kerumunan orang banyak tanpa ada yang memperhatikanku atau mengajakku ngobrol, aku langsung merasa disingkirkan, ditolak, bahkan merasa sangat sakit hati. Perasaan tersebut terus aku rasakan setiap menghadapi keadaan yang serupa.

Aku sungguh-sungguh ingin lepas dari perasaan yang menyiksaku, tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku memberanikan diri untuk meminta saran dari temanku yang dewasa secara rohani, dan ia menyarankanku untuk bertemu dengan seorang konselor. Awalnya aku merasa takut, karena aku bukanlah orang yang mudah bergaul dengan orang yang baru kukenal. Namun, aku melawan rasa takutku demi mendapatkan jalan keluar dari apa yang tengah kualami.

Aku membuat janji untuk bertemu dengan konselor tersebut dan mulai menceritakan semua masalah dan perasaanku. Sang konselor mendengarkan dengan saksama, lalu memintaku untuk menuliskan seluruh kejadian yang aku alami dari aku kecil hingga dewasa. Ia juga memintaku untuk menuliskan apa yang aku rasakan di setiap kejadian yang kualami. Aku pun melakukannya. Tidak terasa, aku mulai menangis di setiap bagian cerita yang kutulis. Tumpahlah seluruh perasaan—senang, sedih, marah, kecewa, dan tertolak. Kuakui, butuh keberanian untuk menulis kejadian demi kejadian dalam hidupku.

Tak kusangka, banyak hal tentang diriku yang baru kuketahui setelah mengikuti sesi dengan konselor tersebut. Aku baru tahu, bahwa ternyata aku lebih suka memendam perasaan kecewa dan sakit hati terhadap orang lain. Sebaliknya, aku juga tidak berani menyampaikan isi hatiku pada orang lain, karena khawatir mereka akan sakit hati karena perkataanku. Aku juga takut bila orang lain merespon aku dengan buruk, sehingga aku selalu berusaha menyenangkan orang lain meskipun aku tidak merasa nyaman melakukannya. Aku juga ingin orang lain memperhatikanku dan memberi waktu untukku, karena aku jarang memiliki waktu dengan orang tua di masa kecilku.

Aku bersyukur karena konselor yang kutemui adalah sesama orang percaya. Beliau memintaku untuk belajar berani menghadapi dan mengakui apa yang kurasakan terhadap suatu kejadian atau terhadap orang lain. Saat aku merasa kecewa atau tertolak, aku perlu menyatakan dan mengakuinya. Setelah itu, aku diminta untuk memaafkan diri sendiri dan orang lain yang terlibat, kemudian menyerahkan semua yang kurasakan kepada Tuhan dan menerima kasih karunia dan anugerah-Nya bagiku dengan iman.

Pengalaman ini membuatku belajar untuk menyayangi diri sendiri. Langkah awal yang kulakukan adalah memberanikan diri untuk menghadapi masa laluku, berani untuk mengakui perasaan-perasaanku, berani menyerahkan perasaanku kepada Tuhan, serta menerima dengan iman pengampunan dan kasih-Nya yang tak bersyarat bagiku. Apakah setelah itu aku langsung berubah menjadi pribadi yang tidak lagi memiliki perasaan-perasaan itu? Tentu saja tidak. Sampai saat ini, aku masih terus berproses dan berjuang. Namun, satu hal yang kuyakini—Tuhan mengerti dan memahami setiap proses yang kulalui. Ia mengetahui dan menerimaku dengan segala kelemahan dan perasaan yang kualami. Ia juga selalu bersedia menguatkanku saat aku datang kepada-Nya.

Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya” (Ibrani 4:14-16).

Baca Juga:

Kejenuhan, Celah Si Jahat Untuk Hambat Produktivitas

Rutinitas seringkali membuat jenuh. Tapi, sadarkah kita bahwa di balik kejenuhan yang tampaknya biasa, hal ini bisa dipakai si jahat untuk menjatuhkan kita?

3 Tanda Hidupmu Dikendalikan oleh Perasaanmu

Oleh Rachel Moreland
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Signs Your Emotions Are Ruling Your Life

Butuh perjuangan berat untukku tidak segera membalas chat yang dikirim kepadaku. Kumatikan ponselku. Aku tidak akan membiarkan emosiku mempengaruhi tindakanku. Aku tidak ingin jadi orang yang ceroboh karena melontarkan kata-kata yang tidak tepat saat emosiku sedang tidak stabil.

Aku tahu chat dari temanku itu sebenarnya tidak berarti apa-apa. Tapi sebagai orang dengan kepribadian INFJ, aku pun tahu bahwa aku mudah terbawa emosi dan perasaan. Oleh karenanya, aku menjaga diriku agar aku tidak mudah terbawa oleh emosi itu.

Kawanku, emosi adalah hal yang sangat penting, tetapi kita tidak bisa membiarkannya mengendalikan hidup kita. Mungkin beberapa di antara kita adalah orang yang mudah “baper”, dan mengendalikan emosi adalah hal yang amat sulit. Tapi, inilah pelajaran berharga yang telah kupelajari selama beberapa tahun belakangan.

Belajar untuk mengendalikan emosi akan memberikan kepenuhan di setiap aspek kehidupan kita. Lagipula, hidup kita sesungguhnya tidak ditentukan dari perasaan kita sendiri. Jadi, bagaimana caranya kita tahu apabila hidup kita sudah dikendalikan oleh emosi kita sendiri?

1. Kita seketika bereaksi tanpa berpikir

Ketika emosiku telah mengendalikan diriku, aku sering mendapati diriku seketika bereaksi (kadang reaksi yang sebetulnya tidak perlu) ketika situasi sedang ‘panas’. Biasanya itu terjadi ketika aku mendapatkan balasan email yang tidak menyenangkan dari rekan kerjaku, atau mendapati piring-piring kotor menumpuk di dapur. Mudah rasanya untuk segera meluapkan emosiku dan mengatakan kata-kata pertama yang muncul di benakku.

Segera menghakimi orang lain kadang jauh lebih mudah daripada berusaha menunjukkan kasih dan memberi ruang untuk percaya kepada mereka. Tapi, aku menantang diriku untuk menghindari reaksi emosi yang buruk semacam itu. Aku belajar untuk bagaimana aku dapat merespons dengan positif alih-alih meremehkan.

Aku dan suamiku menciptakan beberapa “peraturan” yang harus kami pertahankan jika suatu saat kami bertengkar. Salah satu aturannya adalah “Jangan memantik kebakaran yang nanti akan sulit dipadamkan.” Dalam kata lain, kami tidak boleh ceplas-ceplos, bicara tanpa berpikir ketika emosi kami sedang meninggi. Bisa saja perkataan yang diucapkan itu nantinya malah menyakiti hati kami dan perlu upaya keras untuk dapat saling memaafkan.

Bereaksi secara spontan rasanya adalah respons alami, tetapi memahami bahwa perasaan kita tidak seharusnya mengatur hidup kita adalah langkah pertama untuk mencapai kehidupan emosional yang lebih sehat. Selagi menanti situasi yang panas menjadi dingin, aku memohon Roh Kudus untuk menunjukkan kepadaku akar dari reaksi emosionalku. Mengundang Tuhan untuk hadir dalam tiap reaksi yang kuberikan menolongku untuk dapat merespons dengan lebih baik lagi setiap kali aku mengalami gejolak emosi.

2. Kita begitu percaya akan perasaan kita seolah-olah itu adalah kenyataan

Satu hal yang konselorku ajarkan adalah perasaan itu sesungguhnya tidak benar atau salah, perasaan hanyalah perasaan. Temanku, ketika aku membagikan tulisan ini, aku juga ingin memberitahumu bahwa perasaan kita tidak selalu dapat dipercaya. Pada kenyataannya, perasaan kita seringkali berbohong pada kita. Kita menemukan kebenarannya di Yeremia 17:9 yang mengatakan bahwa hati adalah sumber kelicikan: “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatnya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Masalah dapat terjadi ketika perasaan kita membuat kita tidak lagi mampu melihat kenyataan di depan kita. Dalam kata lain, kita telah menjadikan perasaan kita sebagai berhala kita, dan kita mulai mempercayai perasaan itu lebih daripada kita percaya akan apa kata Tuhan buat kita. Jika kita tiba dalam momen seperti itu, itulah saatnya buat kita melakukan proses soul-searching, atau pencarian jiwa. Tapi, alih-alih mengikuti apa yang hatiku katakan, aku perlu mengikuti teladan Yesus dan mengupayakan buah-buah roh—yang di dalamnya juga terkandung penguasaan diri—dihasilkan dalam hidupku (Galatia 5:22-23).

3. Kamu merasa tidak terkendali

Ketika emosi kita mempengaruhi kita, kadang kita bisa saja jadi berperilaku seperti anak-anak, atau kita menarik diri dari situasi yang sedang kita hadapi. Emosi kita dapat secara langsung mempengaruhi pikiran dan tindakan kita, dan kadang-kadang dengan cara yang tidak sehat.

Jika kamu membaca tulisan ini, aku yakin kamu memiliki tingkat kecerdasan emosi yang cukup untuk mengenali apakah emosimu sedang bergejolak atau tidak. Tapi, jika ada di antara kamu yang merasa kesulitan mengendalikan emosimu, kamu perlu mencari tahu apa yang kira-kira menjadi penyebabnya. Apakah itu gejala FOMO (Fear of Missing Out) yang sering membuatmu merasa putus asa ketika kamu menjelajahi Instagram, atau perasaan tertolak ketika lawan bicaramu di telepon hanya merespons dengan hening. Sangat penting untuk mencari tahu apa yang jadi penyebab gejolak emosi kita, karena ketika kita tahu apa yang jadi penyebabnya, kita dapat lebih cepat menyerahkannya pada Tuhan dan kita dapat segera mengendalikan emosi tersebut.

Di hari-hari ini, ketika budaya kita mendorong kita untuk semakin terbuka tentang perasaan kita—sesuatu yang dibutuhkan untuk membina suatu relasi-—dalah penting untuk kita belajar hidup melampaui apa yang kita rasakan.

Menyadari emosi diri kita sendiri itu penting untuk perkembangan diri kita. Namun, kita tidak dapat mengizinkan emosi kita menentukan jalan mana yang hendak kita ambil. Kita perlu bertanya pada diri kita sendiri: Apakah aku membiarkan emosiku mengendalikanku? Apakah perasaanku membawaku ke jalan yang salah? Jika jawabannya adalah ya, kita mungkin perlu memikirkan kembali di mana kita meletakkan peran emosi dalam kehidupan kita.

Dan, jika kamu mendapati dirimu merasakan salah satu dari ketiga poin yang kutuliskan, jangan khawatir. Aku ada di sini bersamamu. Emosi adalah salah satu bagian yang menjadikan kita manusia. Kita tidak perlu berusaha menghilangkan perasaan itu dengan menguburnya dalam-dalam, tapi kita bisa membawa seluruh perasaan dan emosi kita kepada Bapa yang penuh kasih, yang mau menuntun dan menantang kita untuk menjalani hidup yang terbaik buat kita.

Tuhan ingin kita menyerahkan segala aspek kehidupan kita kepada-Nya, termasuk emosi kita. Semakin kita mencari tuntunan Tuhan dalam kehidupan emosional kita, semakin kita dapat bertumbuh dengan kepekaan untuk mengetahui perasaan mana yang dapat kita percayai dan perasaan mana yang harus kita pakukan di kayu salib.

Jadi, janganlah takut, kita semua sedang melalui perjalanan emosional yang kita sebut sebagai kehidupan. Dan yang paling utama adalah kita semua sedang menempuh perjalanan menuju pemulihan yang sejati bersama Yesus. Jadi, yuk katakan ini bersamaku: “Emosiku bukanlah raja atas hidupku. Tidak ada raja apapun dalam hidupku selain Yesus.”

* * *

Tentang penulis:

Rachel adalah warga negara Amerika Serikat yang tinggal di Edinburgh, Skotlandia. Dia adalah penggemar digital media dan juga seorang penulis. Kamu bisa membaca lebih banyak karya-karyanya tentang iman dan kesehatan mental di blognya, With Love from Rachel. Ketika Rachel tidak sedang menulis, dia meluangkan harinya untuk mencari secangkir kopi terbaik di sebuah kafe yang nyaman, merencanakan tujuan perjalanan selanjutnya, dan menikmati hidupnya besama James, suaminya.

Baca Juga:

Ketika Aku Terjerat Dosa Memegahkan Diri

Aku pernah melayani dengan semangat, namun tanpa kusadari pelayanan ini membuat celah bagiku untuk memegahkan diri. Pelayanan tak lagi kulakukan buat Tuhan, tapi untuk diriku sendiri.

Saat Aku Belajar untuk Berhenti Mengikuti Perasaanku

Oleh Debra Ayis, Nigeria
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When (Not) To Follow Your Feelings

Sebagai orang Kristen yang berjuang untuk berjalan mengikuti jejak Yesus, kita akan menjumpai momen-momen yang mengharuskan kita melawan kedagingan kita. Momen itu bisa berupa saat-saat di mana kita dengan sengaja harus melawan perasaan atau emosi kita, semisal: memilih untuk memaafkan orang yang sudah menyakiti kita, berbuat baik kepada orang yang jahat kepada kita, atau mengendalikan amarah agar kita tidak melakukan kekerasan.

Perjuangan untuk melakukan itu semua terasa sulit. Kita tahu bahwa perasaan kita itu salah, dan apabila kita mengikutinya, kita bisa saja melakukan tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Tapi, seringkali kita berusaha untuk menganggap benar perasaan kita.

Beberapa tahun lalu, aku pernah berada di situasi seperti itu. Semuanya adalah tentang seorang lelaki. Seorang lelaki yang kepadanya aku jatuh cinta, seorang lelaki yang membuatku lebih memilih manusia daripada Tuhan. Mungkin sekarang kamu menggeleng-gelengkan kepala, sebab sepertinya ada terlalu banyak kisah tentang perempuan-perempuan Kristen yang baik yang “disesatkan” oleh pacar-pacar mereka yang tidak seiman. Tapi, aku bersyukur untuk kisah ini, karena inilah yang kemudian mengingatkanku untuk tidak selalu mengikuti perasaanku.

Aku bertemu lelaki itu di tempat kerja, dan seperti yang orang-orang katakan, ada chemistry yang tumbuh cepat di antara kami. Aku tertarik kepadanya. Bukan cuma karena penampilannya saja, tapi juga karena karakternya. Dia adalah orang yang lucu, baik, bijaksana, pekerja keras, murah hati, dan juga pintar. Dengan segera, aku mulai mengembangkan perasaanku padanya. Tapi ada satu masalah: dia adalah seorang ateis dan membenci Kekristenan.

Setiap kali dia memuji pekerjaanku atau kebaikan hatiku, aku memberitahunya bahwa itu bukan aku yang melakukannya—Kristuslah yang melakukannya. Tapi, dia tidak setuju dengan apa yang kukatakan. Katanya, itu semua hanyalah “jargon agama”. Dia bersikeras kalau segala kebaikan di dalam diriku itu ada karena aku memang orang yang baik, bukan karena Tuhan. Aku coba mengundangnya datang ke gereja, tapi dia selalu menolak dan berkata bahwa orang-orang beragama itu “sudah dicuci otak dan naif”.Dia tidak pernah memberiku alasan mengapa dia tidak menyukai Tuhan—ataupun agama. Dia selalu menghindar untuk mendiskusikan topik ini, dan aku pun akhirnya berhenti bertanya. Aku hanya percaya (dan sampai kini masih percaya) bahwa Tuhan akan menyentuh hatinya suatu hari kelak.

Meskipun aku tahu betul bahwa Alkitab menginstruksikan orang Kristen untuk tidak memilih pasangan yang tidak sepadan dengan orang yang tidak percaya (2 Korintus 6:14), aku menganggap diriku sendiri yang paling benar. Contohnya, aku percaya bahwa dengan berpacaran aku bisa membawa seseorang pada Kristus. Kupikir selama aku berdoa untuknya dan menjaga diriku sebagai orang Kristen yang baik, dia akan menyadari bahwa ada Kristus di dalam diriku. Hatiku mengatakan bahwa aku bisa mengubahnya. Lagipula, bagaimana caranya kita membawa orang lain kepada Kristus jika kita tidak berteman dengan mereka?

Tapi, pikiranku mengingatkanku bahwa hanya Tuhan yang bisa mengubah hati, bukan manusia (Yehezkiel 36:26). Semua yang bisa kulakukan hanyalah terus menjadi saksi Kristus sepanjang hidupku. Pada akhirnya, mengikut Kristus atau tidak, itu kembali lagi kepada pilihan lelaki itu.

Melalui kenyataan ini, aku tahu bahwa melibatkan diriku dalam relasi bersama seseorang yang punya standar dan kepercayaan yang berbeda dariku hanya akan membawaku kepada sakit hati di masa depan. Ketika aku berdoa untuknya, juga berdoa agar kehendak Tuhan dinyatakan dalam diriku, aku mulai memikirkan beberapa pertanyaan serius: Apa yang sesungguhnya aku inginkan dari sebuah relasi? Lelaki itu sudah memberitahuku bahwa dia tidak percaya bahwa seks itu hanya boleh dilakukan dalam pernikahan, jadi maukah aku mengkompromikan imanku untuknya? Bisakah aku terus menahan semua tekanan ini? Apakah aku ingin menikah? Apakah kelak anak-anak kami akan dididik secara Kristen? Apakah kami memberikan persembahan persepuluhan? Apakah kami bergabung dalam gereja lokal? Apakah kami akan mendasari nilai-nilai hidup kami dalam firman Tuhan? Apakah Kristus akan menjadi bagian dari rumah kami? Apakah kami mengizinkan diri kami dipimpin oleh Roh Tuhan?

Jawabannya jelas. Tidak.

Aku berdoa memohon anugerah dari Tuhan agar aku dapat mengendalikan perasaanku. Sulit untuk menghindari lelaki itu di tempat kerja, tapi Tuhan memberiku rahmat untuk secara bertahap mengalihkan pikiranku dan menganggap relasiku dengan lelaki itu tak lebih dari dari pertemanan. Aku melakukannya dengan cara lebih fokus dengan pekerjaanku, dan berelasi lebih erat dengan perempuan-perempuan lain di tempat kerjaku. Aku mengambil kesempatan untuk memindahkan posisi tempat kerjaku ke ujung kantor, menjauhi diri darinya dan membatasi percakapan kami hanya dalam lingkup pekerjaan saja.

Apakah keputusan untuk berpisah dengan seseorang yang kusukai tetapi tidak seiman itu sulit? Ya. Apakah aku menyesali keputusan itu? Tidak. Aku tidak menyesal karena aku tahu segala sesuatu terjadi untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Tuhan (Roma 8:28). Aku juga tahu bahwa Tuhan ingin melindungiku dari sebuah relasi yang kelak akan melukaiku.

Meski hatiku waktu itu merasa sakit, aku percaya bahwa pengalaman inilah yang menguatkan imanku. Sekarang, aku bisa lebih mengendalikan perasaanku, seperti kita aku merasa marah atau kesal, atau ketika aku tergoda untuk meletakkan cinta dan kesetiaanku pada orang yang salah. Meskipun tidaklah mudah untuk mengatasi perasaanku sendiri, aku tahu bahwa Tuhan tidak akan membiarkanku dicobai melampaui apa yang dapat kutanggung (1 Korintus 10:13). Aku telah belajar untuk menantikan Tuhan dan menjaga hatiku dengan segala kewaspadaan (Amsal 4:23), sungguh-sungguh mempercayai-Nya dan menanti petunjuk-Nya sebelum aku membuat suatu keputusan dalam hidupku (Amsal 3:5-6).

Baca Juga:

Apakah Denominasi Gerejaku Penting Buat Tuhan?

Aku berasal dari gereja karismatik, tapi setelah menikah aku mengikuti suamiku ke gereja yang lebih tradisional. Perpindahan ini awalnya terasa sulit dan kaku. Namun, seiring waktu aku belajar untuk memahami apa yang jadi kerinduan Tuhan bagi setiap umat gereja-Nya.