Posts

Membuka “Tabir” Bernama Gosip demi Bersamamu

Sebuah cerpen oleh Tabita Davinia Utomo

Cerpen ini merupakan sekuel dari kisah “Sebuah Pelajaran dari Galon Air”.
Kamu bisa membaca kisahnya di sini.

“Dan terjadi lagi…”

Cukilan lirik dari lagu band Peterpan itu sudah cukup menggambarkan kisah cintaku yang kandas bahkan sebelum dimulai. Bagaimana tidak? Baru saja aku membulatkan tekad untuk membuka hatiku pada seseorang, yang bersangkutan justru digosipkan sudah punya orang lain yang tertambat di hatinya.

“Masa’, sih, Alex udah ada pacar!?” tanya Deanna tak percaya.

“Sumpah, aku lihat sendiri dia lagi ngobrol sama cewek di telepon!” Jennifer mengeraskan suaranya sambil mengangkat kedua jarinya membentuk huruf “V”.

“Ah, paling-paling itu adiknya, kalii,” sanggah Deanna.

Jennifer malah menggeleng. “Dia enggak punya saudara perempuan, De. Siapa lagi coba, cewek yang bisa diajak ngobrol dengan nada lembut kalau bukan ibu, saudara perempuan, atau pacarnya sendiri? Aih, kecewa lah aku ini…”

“Duh, diam-diam menghanyutkan, ya, ternyata… Sekali ada kabar, malah bikin heboh,” Deanna mendesah. “Apa dia jadian sama sesama anak asrama, ya? Gimana, nih, Bi? Kamu suka sama dia, kan?”

“Eh?” aku gelagapan untuk memilih kata, tetapi kemudian menjawab, “Enggak lah. Ya kali suka sama sahabat sendiri…”

Padahal dalam hati, aku mencoba mati-matian untuk menekan kekecewaanku. Aku kira, bersahabat dengan Alex akan menolong kami punya satu batu pijakan untuk relasi yang lebih serius. Plus, pengalaman dan nilai hidup kami juga sebanding: Sama-sama merantau pertama kali, punya pengalaman 11:12 dengan keluarga, nilai kehidupan yang sejalan, ngobrol juga nyambung. Kukira, itu cukup untuk mengenal Alex dan melihatnya sebagai salah satu orang yang potensial menjadi (calon) pasanganku, sekaligus berharap dia juga punya pikiran yang sama.

Ternyata ekspektasiku terlalu tinggi, dan aku kecewa berat.

“Yang bener? Mukamu kek kecewa gitu abisnya,” kata Jennifer sambil mengerutkan dahi.

“Sumpah, aku enggak suka dia, Jen.” Aku tersenyum masam, berharap momen menyakitkan ini cepat berlalu agar bisa membenamkan diri di kasur.

“Yah, ya sudahlah. Semoga dia pun jadian sama orang yang bener, ya.” Jennifer menghembuskan napas dengan keras. “Soalnya aku temen dari zaman SMA-nya, jadi tahu gimana pergumulannya buat cari jodoh.”

“Wah, apa kamu berharap kamu yang jadian sama Alex, ya?” goda Deanna.

“Ishh. Ya kalii… Aku udah punya pacar, jangan ditambah-tambah. Hahahaha…” Tawa Jennifer pun sedikit menular padaku, meskipun aku belum bisa menghilangkan kegelisahanku sepenuhnya.

***

Kata orang, cinta butuh perasaan dan logika. Namun, bagaimana kalau cinta justru jadi terbutakan oleh perasaan, hingga mau berpikir pun tak berdaya?

“Hahhh…” aku mendesah keras di lab komputer, lalu mengerucutkan bibir. “Kenapa, sih, mau jadian sama orang yang disukai ada aja dramanya? Udah move on, siap buka hati, eh malah luput. Maunya Tuhan apa, sih?” keluhku seorang diri. Oh, ya. Aku batal ke kamarku karena ada renovasi di sana.

“Eh, Bianca!”

Jantungku hampir lepas saat melihat Alex sedang nyengir di sampingku. Sambil setengah membungkukkan badannya, dia bertanya, “Boleh ngobrol sebentar, enggak?”

“Uhmm…” Aku menggigit bibir sesaat, tetapi segera tersenyum untuk menutupi kegelisahanku.

“Boleh. Satu menitnya lima ribu, ya. Hehehe…” jawabku.

“Yeeee… pejuang cuan emang, ya. Eh, di luar aja, deh, biar enggak ganggu yang lagi kerjain tugas,” ajak Alex di sela-sela tawanya.

Kami menuju ruang makan dan duduk berhadapan di salah satu meja yang ada di dekat taman kampus. Duh, badanku langsung panas-dingin karena ini pertama kalinya kami bisa ngobrol seperti ini setelah sekian lama. Hatiku senang, sekaligus bingung. Kalau Alex sudah punya pacar, kenapa dia masih mengajakku mengobrol, sih? Atau ini karena dia ingin minta pendapat dariku sebagai wanita? Hehe. Sok ide, dah.

“Bi, kamu enggak apa-apa, kan?” tanya Alex dengan suara cemas.

Jawab kalau kamu kenapa-napa, Bi! Enak kali dia bisa nanya gitu setelah Jennifer bikin kamu hampir pingsan!

Iya, perasaanku jahat kalau aku sudah overthinking, tetapi untunglah otakku masih bisa berpikir sedikit lebih logis. “Aman, amann… Kenapa, nih?” balasku sambil tersenyum paksa.

“Aku mau konsultasi soal cewek, nih.”

DUAR!

“Oh… jadi udah jadian sama siapa, Lex?”

Detik berikutnya, aku langsung menutup mulut, sementara Alex mengerutkan dahi lalu terdiam cukup lama. Duh, mulutku kenapa, sih!? batinku heran sekaligus kesal pada diri sendiri karena sudah mengiyakan ajakan Alex untuk mengobrol.

“Gosip dari mana kalau aku jadian?” akhirnya Alex kembali bersuara, tetapi nadanya terdengar kesal. “Aku enggak ngerti… Orang-orang di sini kenapa, sih, kalau ada sedikit gosip langsung cepat menyebar? Kayak enggak ada kerjaan lain aja.”

“Sorry…” kataku pelan.

Mendengarku meminta maaf, Alex tersentak. “Eh, aku yang minta maaf karena bikin kamu kaget, Bi. Jujur, aku kesal sama gosip yang bilang kalau aku udah punya pacar. Gimana mau pacaran, kalau nembak aja belum?”

“HAH?” Aku terperangah tak percaya.

“Makanya aku konsultasi dulu sama kamu, Bi. Kamu, kan, anak psikologi. Bisa, dong, tolongin aku biar enggak salah pilih… Apalagi… tahu lah, ya, aku kadang-kadang suka minder.”

“Oh… aku tolongin sebisaku aja, ya,” balasku, sementara mempersiapkan hati untuk mendengar nama orang yang berhasil memikat hati Alex.

“Thank you, Bi.” Alex tersenyum, lalu bertanya, “Menurutmu, apa, ya, yang bikin cewek sulit buat jujur sama perasaannya sendiri?”

“Waduh, langsung ke inti permasalahan, ya, Lex? Hahahahaha…”

“Iya, karena kalau dari cerita temen-temenku, cowok, tuh, enggak berani maju kalau ceweknya enggak kasih sinyal kalau juga suka sama dia. Nah, aku mau tahu dari sisi cewek, nih.”

“Hmmm… ini dari pengalamanku aja kali, ya, Lex,” kataku, dan disetujui Alex melalui anggukannya. Yah, kalau bukan dari pengalaman sendiri, mau cerita dari mana lagi? Hehe…

“Dulu kalau aku suka sama cowok, dianya enggak suka balik. Udah berkali-kali abisnya kayak gitu, jadi malas kalau polanya keulang lagi. Kayak buang-buang waktu aja mikirin cowok yang perasaannya enggak berbalas sama aku. Tapi kalau ada cowok yang suka sama aku, akunya yang enggak suka karena bukan tipeku. Sedih banget, ya, jadi orang. Hahahaha…” aku bercerita sambil menertawakan “penderitaan” diri sendiri.

“Ah, iya… Itu menyakitkan, sih,” Alex menanggapi ceritaku. “Kalau boleh tahu, akhir-akhir ini kamu udah coba mulai buka hati lagikah?”

“Udah, tapi kayaknya kunci buat ke hatiku udah beku.” Aku nyengir.

“Kenapa gitu?”

“Yah, malas aja kalau kejadiannya sama lagi kayak sebelum-sebelumnya. Apalagi kalau udah jadian lalu ternyata ceritanya enggak seindah ekspektasiku. Aih, malas.”

“Hmmm… Oh, ya. Emang tipemu yang kayak gimana, sih, Bi?”

Yang kayak kamu, batinku, tetapi mulutku berkata, “Yang cinta Tuhan, seiman, cinta aku…”

Di luar dugaan, Alex tertawa. “Iyaa, itu mah udah harus, ya. Tapi maksudku kriteria spesifiknya. Ada enggak, nih?” tanyanya lagi.

“Hmmm… kalau aku bilang “satu frekuensi sama aku”, nanti kamu bilang itu juga harus.” Aku tersenyum masam, lalu melanjutkan, “Jadi… dia harus adalah orang—yang kalau aku sama dia—yang bisa merasa nyaman dan aman dalam relasi kami. Ngobrol juga nyambung. Bukan berarti harus saling nyambung kalau bahas tentang filsafat atau apa aja yang biasa bikin overthinking, tapi bisa aja hal-hal yang receh kayak video meme dan kegiatan sehari-hari. Kalau ada pergumulan di tempat kerja nanti, aku dan dia bisa saling bercerita tanpa takut dihakimi.”

I see… Lalu, kamu ada preferensi khusus enggak buat latar belakang pendidikan dan suku? Atau preferensi keluargamu?”

“Minimal dia lulus sarjana, sih, dan paham sama apa yang dia pelajari. Asal sukunya—kalau bisa—yang sama kayak aku. Tahu sendiri, kan, keluargaku cukup tegas soal itu.”

“Oke, paham.” Alex mengangguk.

Aku mengerutkan dahi. “Emangnya kenapa, Lex? Kamu mau bantuin aku cari cowoknyakah? Hahahaha…”

“Yahh… Cuma memastikan aja, sih, Bi.”

“Memastikan apanya?”

“Siapa tahu yang di depanmu ini bisa “fit in” sama kriteriamu.”

“HAH!?”

Kali ini aku benar-benar kehilangan kata-kata. Ini Alex mau nembak aku atau cuma main-main aja!? Tapi karena tidak berani berharap banyak, aku memilih diam dan mendengarkan penjelasan Alex.

“Ehm, aku mau berelasi lebih serius denganmu. Tapi…” Suara Alex mulai terdengar grogi.

Kemudian, dia melanjutkan, “Bi, aku tadi enggak sengaja lihat kamu lagi ngobrol sama Jennifer dan Deanna. Aku kesal waktu tahu ada gosip yang bilang kalau aku udah pacaran karena telepon dari adik sepupuku itu…”

“Beneran adik sepupu?” selidikku curiga.

Alex mengangguk. “Dia telepon aku karena orang tuanya bertengkar dan dia butuh teman cerita yang bisa dipercaya. Akhirnya dia meneleponku. Ternyata itu yang dilihat beberapa orang di sini, dan mereka mengira aku sudah punya pacar karena—eh, jangan ketawa, ya—nada bicaraku yang lebih lembut daripada biasanya. Kamu tahulah, aku kalau ngomong kadang-kadang suka ceplas-ceplos.”

“Oh…” Tanpa sadar, aku menghela napas lega.

“Sejujurnya, Bi…” Tiba-tiba Alex kembali berbicara, “aku kaget waktu kamu bersumpah kayak tadi, padahal kalau dari gelagatmu, aku bisa lihat kalau kamu ada perasaan sama sepertiku. Ah, tapi mungkin aku salah karena banyak berharap. Hehe…”

Lagi-lagi aku terdiam. Berarti Alex melihatku menyangkali perasaan di depan Jennifer dan Deanna. Duh, apakah setelah ini Alex membatalkan perasaannya terhadapku? Kok, konyol.

“Aku bingung,” akhirnya aku membalas, “tapi aku juga butuh waktu buat mikirin ini kalau kamu memang benar-benar suka padaku.”

“Aku mengerti.” Alex tersenyum. “Dengan ceritamu tadi, aku bisa maklum kalau kamu butuh waktu memikirkan ini, Bi. Terima kasih udah mau jujur, ya…”

“Maaf, ya, kalau tadi aku kelepasan bersumpah konyol tanpa aku sadari,” kataku.

“Enggak masalah.” Dia tertawa kecil. “Malu, ya, kalau ketahuan suka sama sahabat sendiri yang dikira udah punya pacar?”

“Iyaaaa. Apalagi kalau jadi canggung.” Aku mengangguk. “Terima kasih, ya, Lex, karena kamu juga udah klarifikasi gosip tadi. Kayaknya PR banget kalau di sini semuanya tahunya kamu udah punya pacar dari tempat lain, lalu ada yang lihat kamu ngobrol sama aku.”

“Wah, iya. Gosipnya berlipat ganda itu.” Alex menggaruk-garuk kepalanya dengan salah tingkah. “Tapi tolong jangan sangkali perasaanmu sendiri, ya, Bi. Apa pun itu yang jadi keputusanmu, tetaplah selaraskan hati dan pikiranmu. Kalau iya, katakan iya. Kalau enggak, katakan enggak. Apa yang lebih dari itu…”

“… asalnya dari si jahat,” sambungku.

“Berarti sumpah konyol gitu juga dari si jahat, dong?” Alex nyengir.

Kami tertawa karena sama-sama teringat Matius 5:37. Namun, di dalam tawa, aku bersyukur karena mungkin ini akan jadi pembuka cerita yang baru untuk kami. Sebuah cerita yang di dalamnya kami akan belajar bersama untuk jujur pada perasaan sendiri di hadapan satu sama lain, dan berani mengakuinya walaupun risikonya tidak mudah untuk ditanggung.

Eh, yah, semoga demikian. Kiranya Tuhan, Sang “Ya dan Amin”, memampukan kami.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengapa Kita Harus Melaraskan Hati dan Pikiran Kita

Oleh Raphael Zhang

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris: Why We Must Engage Both Mind and Heart

Ketika baru percaya Tuhan, aku diajari bahwa kita tidak bisa mengandalkan perasaan. Aku belajar bahwa Tuhan tetap mengasihiku bahkan ketika aku tidak merasakan kasih-Nya—seperti halnya kursi yang sebenarnya menopang berat badanku meskipun aku tidak merasa seperti itu.

Aku diingatkan bahwa perasaanku tidaklah menentukan suatu kenyataan, dan perasaan juga tidak boleh mengatur apa yang harus kulakukan. Untuk berdoa, aku tidak perlu menunggu sampai aku merasa ingin berdoa untuk melakukannya; aku harus berdoa karena itu seturut dengan kehendak Tuhan.

Meski aku mencoba untuk selalu mengingat hal ini, tapi ternyata sulit untuk melawan perasaanku sendiri. Ada saat-saat ketika aku harus pergi ke gereja atau kelompok kecil, tapi hati kecilku merasa enggan, bahkan berkeluh-kesah kepada Tuhan. Meskipun secara lahiriah aku patuh, tapi aku tidak merasakan sukacita dalam hati.

Dari sanalah aku menyadari bahwa: selalu bertindak sesuai dengan pikiran tanpa melibatkan perasaan bukanlah kebiasaan yang sehat.

Yesus pun memanggil kita untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, pikiran, jiwa, dan kekuatan kita (Lukas 10:27). Hati dan pikiran kita harus sama-sama dilibatkan dalam mengasihi-Nya. Melibatkan salah satu tanpa yang lainnya adalah tindakan yang kurang bijaksana.

Tapi, bagaimana jika hati dan pikiran kita tidak sejalan? Tuhan mengajarkanku beberapa hal yang membantuku melihat bahwa hati dan pikiran tidak harus selalu menjadi sebuah pertarungan terus menerus, tetapi keduanya bisa senantiasa saling mempengaruhi.

Dengarkanlah perasaan kita

Tuhan menunjukkan bahwa meskipun perasaanku tidak selalu dapat diandalkan, bukan berarti aku mengabaikannya. Meskipun perasaanku mungkin tidak selalu mengatakan yang sebenarnya, tapi perasaan itu memberi tahu sesuatu tentang diriku sendiri.

Jadi, jika aku merasakan adanya penolakan bahkan ketika aku berada di tengah keluarga dan teman-teman yang penuh kasih, aku tidak akan langsung berpikir bahwa mereka benar-benar menolakku. Aku justru akan bertanya pada diriku sendiri, “Mengapa aku merasa seperti ini?” Aku akan mencari pertolongan Tuhan untuk mengungkap lebih dalam penyebab yang membuatku merasa seperti itu. Setelah aku mengenali beberapa hal yang mungkin menyebabkan perasaan itu, aku akan meminta Tuhan untuk menghibur dan menyembuhkanku, dan untuk menunjukkan kebenaran-Nya tentang diriku dan juga keadaan tersebut. Dia mungkin akan mengingatkanku, seperti yang pernah Dia lakukan di masa lalu, bahwa Dia telah menerimaku (Roma 15:7) sebagai anak yang dikasihi-Nya (1 Yohanes 3:1). Dan Dia mungkin menunjukkan kepadaku bahwa aku salah memahami situasi atau maksud orang lain.

Mengolah perasaanku bersama Tuhan dapat membantuku untuk menerapkan kebenaran-Nya pada diri sendiri. Jika aku terluka oleh sesuatu, Tuhan dapat membalut lukaku (Mazmur 147:3). Jika dasar masalahnya adalah perilaku yang berdosa, Dia dapat menunjukkan kesalahanku, sehingga aku dapat mengakui dosaku kepada-Nya dan bertobat.

Dengan menggali lebih dalam tentang apa yang kita rasakan, kita dapat menerima penghiburan dari Tuhan atau penyucian dari dosa. Pikiran kita dapat menggunakan kebenaran yang diungkapkan oleh Tuhan untuk menyelaraskan perasaan kita lebih dekat kepada-Nya dan kebenaran-Nya.

Menghargai Apa yang Benar

Meski perasaan itu penting, bukan berarti kita harus dikendalikan olehnya. Ketika aku masih muda, aku berpikir bahwa perasaanku akan selalu menguasai tindakanku. Jika aku merasa ingin melakukan sesuatu, akan sangat sulit bagiku untuk tidak melakukannya. Aku bahkan percaya bahwa tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengubah perasaanku itu.

Hingga suatu hari Tuhan berbicara kepadaku melalui Matius 6:21: “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Dia mengingatkanku bahwa ayat tersebut tidak mengatakan, “Di mana hatimu berada, di situ juga hartamu berada”—yang berarti apa yang aku cintai bergantung pada apa yang aku rasakan—dan jika aku tidak merasa seperti itu, maka aku tidak bisa mencintainya.

Namun, yang sebenarnya Tuhan katakan dalam ayat tersebut adalah: apa yang sengaja kupilih untuk kuhargai pada akhirnya akan dihargai juga oleh hatiku. Hal ini sangat menguatkanku karena berarti aku tidak harus menyerah begitu saja pada perasaanku!

Sebagai contoh, dulu aku tidak suka berdoa atau membaca Firman. Lalu aku meminta Tuhan menolongku agar mau menghargai apa pun yang menjadi kerinduan hati-Nya. Jadi, dengan pertolongan Tuhan, aku mulai berdoa dan membaca Firman sebagai caraku menghargai hal-hal tersebut, terlepas dari apakah aku ingin melakukannya atau tidak. Seiring waktu, hatiku mulai mengikutinya. Saat ini, aku lebih suka berdoa dan membaca Firman Tuhan daripada sebelumnya. Melalui hal ini, aku belajar bahwa apa yang kupilih untuk kuhargai dengan tindakanku dapat memengaruhi apa yang kuhargai dalam perasaan hatiku.

Ada hal yang sering dikatakan oleh pendetaku yang juga kualami sendiri: “Ketika kamu melihat apa yang Allah lihat, kamu akan melakukan seperti yang Allah lakukan. Namun terkadang, kamu harus melakukan apa yang Allah katakan sebelum kamu dapat melihat apa yang Dia lihat.”

Ketika hatiku tidak selaras dengan isi hati Tuhan, aku sangat bersyukur karena Dia telah memberiku pikiran yang dapat menggerakkan hatiku untuk lebih memilih jalan-Nya. Aku tidak harus lebih dulu merasa setuju atau menghargai apa yang Dia katakan sebelum aku dapat mematuhi-Nya. Sebaliknya, Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa—terlepas dari apa yang aku rasakan—ketika aku memilih untuk melakukan apa yang Dia katakan dan menghargai apa yang Dia mau kuhargai, aku ditolong untuk melihat apa yang Dia lihat, sehingga aku dapat menghargai apa yang Dia taruh di dalam hatiku.

Milikilah Pikiran yang Benar untuk Mempengaruhi Perasaan

Pada akhirnya, kita juga dapat mempengaruhi emosi kita dengan memiliki pikiran yang benar. Aku pernah mendengar sebuah kutipan yang berbunyi, “Kamu bukanlah seperti yang kamu pikirkan, tetapi kamu akan menjadi seperti yang kamu pikirkan.”  Pepatah lain menjelaskannya seperti ini:

Perhatikan pikiranmu, karena akan terwujud dalam perkataan.

Perhatikan perkataanmu, karena akan terbukti dalam perbuatan.

Perhatikan perbuatanmu, karena akan terbentuk menjadi kebiasaan.

Perhatikan kebiasaanmu, karena akan terpatri dalam karakter.

Perhatikan karaktermu, karena itulah yang membentuk masa depanmu.

Hal ini, bagiku, mendasari kebenaran tentang bagaimana pikiran kita memainkan peran utama dalam menentukan jati diri yang kita miliki dan corak kehidupan yang kita jalani. Inilah sebabnya mengapa Alkitab memerintahkan kita untuk “menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus” (2 Korintus 10:5).

Hal ini membantuku untuk lebih menghargai mengapa Firman Tuhan menasihati kita untuk memikirkan segala yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, baik, dan patut dipuji (Filipi 4:8)—dan tidak ada yang lebih baik dan lebih patut dipuji daripada Tuhan dan Firman, kehendak, dan jalan-Nya. Jika hal-hal ini yang lebih sering kita pikirkan, otak kita tidak hanya akan menyimpannya, tetapi pikiran-pikiran itu juga akan mempengaruhi hati kita, dan pada akhirnya, hidup kita.

Dalam keinginanku untuk mengasihi Allah, aku ingin mengasihi Dia dengan hati sekaligus pikiranku. Pendeta dan teolog Amerika, Timothy Keller, berkata, “Hati kita sungguh telah dimurnikan ketika apa yang harus Anda lakukan dan apa yang ingin Anda lakukan itu sama—kesenangan dan kewajiban menjadi hal yang sama.” 

Dalam perjalanan kita untuk membiarkan Tuhan semakin memurnikan hati kita, aku senang Tuhan memberi kita berbagai cara agar hati dan pikiran kita dapat terus saling mempengaruhi, sehingga kita dapat mengasihi Tuhan sepenuhnya. Dia benar-benar layak untuk kita cintai dengan segenap keberadaan kita—karena Dialah yang pertama kali mengasihi kita dengan segenap hati, pikiran, jiwa, dan kekuatan-Nya.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kamu Gpp? 5 Alasan Kita Sulit Mengungkapkan Perasaan

Mana nih tim yang selalu bilang “Aku gapapa” (padahal gak baik-baik aja)?

Sobat Muda, kita boleh dan perlu terbuka tentang perasaan kita kepada orang yang kita percayai.

Artspace ini didesain oleh @verses_illustrated dan diterjemahkan dari @ymi_today

Pergumulanku untuk Belajar Menyayangi Diriku Sendiri

Oleh Paramytha, Surabaya

Tak kenal maka tak sayang”, ungkapan yang tak lagi asing di telinga kita. Jika dicermati, rasanya memang tidak mungkin menyayangi seseorang jika kita belum mengenalnya. Mengenal adalah langkah pertama untuk dapat menyayangi.

Bagiku, menyayangi diri sendiri tidak lebih mudah dari menyayangi orang lain. Jika aku menilik ke dalam diriku sendiri, rasanya seperti berjalan di lorong panjang yang menyuguhkan gambaran karakter diri yang menakutkan pada dinding kiri dan kanannya. Tentunya sama sekali tidak seperti tamasya yang menyenangkan.

Aku selalu berpikir, apakah salah bila aku menyembunyikan kelemahan demi kelemahanku di sudut ruang paling pojok hingga tak terdeteksi lagi? Bukankah pada umumnya manusia ingin terlihat baik dan kuat dimata orang lain? Bukankah kita semua ingin diterima, dihargai, dan dikasihi? Mungkin salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan sesedikit mungkin menunjukkan ketidakberdayaan dan keburukannya di depan orang lain.

Pergumulanku mengenali diriku sendiri

Sekitar 2 tahun terakhir, aku memang sedang berada dalam posisi yang labil dan kacau. Persiapan pernikahan, urusan keluarga, dan pekerjaan memenuhi pikiranku. Banyak kejadian yang membuatku bertengkar dengan banyak orang. Orang-orang terdekatku seringkali berkomentar bahwa aku aneh, membesar-besarkan masalah yang sepele, terlalu sensitif, dan meresponi segala sesuatu secara berlebihan.

Aku pun frustasi. Aku jadi menyalahkan keadaan, diriku sendiri, dan orang lain. Aku tidak merasa aman dan tenang, sehingga aku memilih untuk menyendiri. Kucoba meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja. Anehnya, hal itu hanya membuat keadaanku semakin parah, relasiku dengan orang lain semakin kacau, dan membuatku semakin sulit memahami diriku sendiri. Aku sendiri tidak tahan dengan sikapku yang berlarut-larut dalam keadaan. Tetapi, aku pun tidak tahu cara yang tepat untuk mengatasinya.

Dalam kondisi seperti itu, aku dapat merasa marah, kecewa, bahkan merasa tertolak apabila ada orang yang tidak meresponku ketika aku menyapa atau memberi senyuman. Padahal, orang tersebut belum tentu orang yang aku kenal. Tetapi, kejadian seperti itu terasa sangat menyakitkan. Aku pun menanyakan pada adikku tentang hal ini.

“Dek, apa responmu saat kamu tersenyum dan menyapa orang lain tapi orang itu tidak menyapa atau senyum balik?”

“Ya biasa aja toh, Mba. Mungkin orang itu ndak lihat atau ndak perhatiin,” jawab adikku.

Aku pun mulai menyadari hal yang tidak wajar dalam diriku. Di waktu lain, aku mulai merasakan perasaan yang sama. Saat aku berada di tengah kerumunan orang banyak tanpa ada yang memperhatikanku atau mengajakku ngobrol, aku langsung merasa disingkirkan, ditolak, bahkan merasa sangat sakit hati. Perasaan tersebut terus aku rasakan setiap menghadapi keadaan yang serupa.

Aku sungguh-sungguh ingin lepas dari perasaan yang menyiksaku, tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku memberanikan diri untuk meminta saran dari temanku yang dewasa secara rohani, dan ia menyarankanku untuk bertemu dengan seorang konselor. Awalnya aku merasa takut, karena aku bukanlah orang yang mudah bergaul dengan orang yang baru kukenal. Namun, aku melawan rasa takutku demi mendapatkan jalan keluar dari apa yang tengah kualami.

Aku membuat janji untuk bertemu dengan konselor tersebut dan mulai menceritakan semua masalah dan perasaanku. Sang konselor mendengarkan dengan saksama, lalu memintaku untuk menuliskan seluruh kejadian yang aku alami dari aku kecil hingga dewasa. Ia juga memintaku untuk menuliskan apa yang aku rasakan di setiap kejadian yang kualami. Aku pun melakukannya. Tidak terasa, aku mulai menangis di setiap bagian cerita yang kutulis. Tumpahlah seluruh perasaan—senang, sedih, marah, kecewa, dan tertolak. Kuakui, butuh keberanian untuk menulis kejadian demi kejadian dalam hidupku.

Tak kusangka, banyak hal tentang diriku yang baru kuketahui setelah mengikuti sesi dengan konselor tersebut. Aku baru tahu, bahwa ternyata aku lebih suka memendam perasaan kecewa dan sakit hati terhadap orang lain. Sebaliknya, aku juga tidak berani menyampaikan isi hatiku pada orang lain, karena khawatir mereka akan sakit hati karena perkataanku. Aku juga takut bila orang lain merespon aku dengan buruk, sehingga aku selalu berusaha menyenangkan orang lain meskipun aku tidak merasa nyaman melakukannya. Aku juga ingin orang lain memperhatikanku dan memberi waktu untukku, karena aku jarang memiliki waktu dengan orang tua di masa kecilku.

Aku bersyukur karena konselor yang kutemui adalah sesama orang percaya. Beliau memintaku untuk belajar berani menghadapi dan mengakui apa yang kurasakan terhadap suatu kejadian atau terhadap orang lain. Saat aku merasa kecewa atau tertolak, aku perlu menyatakan dan mengakuinya. Setelah itu, aku diminta untuk memaafkan diri sendiri dan orang lain yang terlibat, kemudian menyerahkan semua yang kurasakan kepada Tuhan dan menerima kasih karunia dan anugerah-Nya bagiku dengan iman.

Pengalaman ini membuatku belajar untuk menyayangi diri sendiri. Langkah awal yang kulakukan adalah memberanikan diri untuk menghadapi masa laluku, berani untuk mengakui perasaan-perasaanku, berani menyerahkan perasaanku kepada Tuhan, serta menerima dengan iman pengampunan dan kasih-Nya yang tak bersyarat bagiku. Apakah setelah itu aku langsung berubah menjadi pribadi yang tidak lagi memiliki perasaan-perasaan itu? Tentu saja tidak. Sampai saat ini, aku masih terus berproses dan berjuang. Namun, satu hal yang kuyakini—Tuhan mengerti dan memahami setiap proses yang kulalui. Ia mengetahui dan menerimaku dengan segala kelemahan dan perasaan yang kualami. Ia juga selalu bersedia menguatkanku saat aku datang kepada-Nya.

Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya” (Ibrani 4:14-16).

Baca Juga:

Kejenuhan, Celah Si Jahat Untuk Hambat Produktivitas

Rutinitas seringkali membuat jenuh. Tapi, sadarkah kita bahwa di balik kejenuhan yang tampaknya biasa, hal ini bisa dipakai si jahat untuk menjatuhkan kita?

3 Tanda Hidupmu Dikendalikan oleh Perasaanmu

Oleh Rachel Moreland
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Signs Your Emotions Are Ruling Your Life

Butuh perjuangan berat untukku tidak segera membalas chat yang dikirim kepadaku. Kumatikan ponselku. Aku tidak akan membiarkan emosiku mempengaruhi tindakanku. Aku tidak ingin jadi orang yang ceroboh karena melontarkan kata-kata yang tidak tepat saat emosiku sedang tidak stabil.

Aku tahu chat dari temanku itu sebenarnya tidak berarti apa-apa. Tapi sebagai orang dengan kepribadian INFJ, aku pun tahu bahwa aku mudah terbawa emosi dan perasaan. Oleh karenanya, aku menjaga diriku agar aku tidak mudah terbawa oleh emosi itu.

Kawanku, emosi adalah hal yang sangat penting, tetapi kita tidak bisa membiarkannya mengendalikan hidup kita. Mungkin beberapa di antara kita adalah orang yang mudah “baper”, dan mengendalikan emosi adalah hal yang amat sulit. Tapi, inilah pelajaran berharga yang telah kupelajari selama beberapa tahun belakangan.

Belajar untuk mengendalikan emosi akan memberikan kepenuhan di setiap aspek kehidupan kita. Lagipula, hidup kita sesungguhnya tidak ditentukan dari perasaan kita sendiri. Jadi, bagaimana caranya kita tahu apabila hidup kita sudah dikendalikan oleh emosi kita sendiri?

1. Kita seketika bereaksi tanpa berpikir

Ketika emosiku telah mengendalikan diriku, aku sering mendapati diriku seketika bereaksi (kadang reaksi yang sebetulnya tidak perlu) ketika situasi sedang ‘panas’. Biasanya itu terjadi ketika aku mendapatkan balasan email yang tidak menyenangkan dari rekan kerjaku, atau mendapati piring-piring kotor menumpuk di dapur. Mudah rasanya untuk segera meluapkan emosiku dan mengatakan kata-kata pertama yang muncul di benakku.

Segera menghakimi orang lain kadang jauh lebih mudah daripada berusaha menunjukkan kasih dan memberi ruang untuk percaya kepada mereka. Tapi, aku menantang diriku untuk menghindari reaksi emosi yang buruk semacam itu. Aku belajar untuk bagaimana aku dapat merespons dengan positif alih-alih meremehkan.

Aku dan suamiku menciptakan beberapa “peraturan” yang harus kami pertahankan jika suatu saat kami bertengkar. Salah satu aturannya adalah “Jangan memantik kebakaran yang nanti akan sulit dipadamkan.” Dalam kata lain, kami tidak boleh ceplas-ceplos, bicara tanpa berpikir ketika emosi kami sedang meninggi. Bisa saja perkataan yang diucapkan itu nantinya malah menyakiti hati kami dan perlu upaya keras untuk dapat saling memaafkan.

Bereaksi secara spontan rasanya adalah respons alami, tetapi memahami bahwa perasaan kita tidak seharusnya mengatur hidup kita adalah langkah pertama untuk mencapai kehidupan emosional yang lebih sehat. Selagi menanti situasi yang panas menjadi dingin, aku memohon Roh Kudus untuk menunjukkan kepadaku akar dari reaksi emosionalku. Mengundang Tuhan untuk hadir dalam tiap reaksi yang kuberikan menolongku untuk dapat merespons dengan lebih baik lagi setiap kali aku mengalami gejolak emosi.

2. Kita begitu percaya akan perasaan kita seolah-olah itu adalah kenyataan

Satu hal yang konselorku ajarkan adalah perasaan itu sesungguhnya tidak benar atau salah, perasaan hanyalah perasaan. Temanku, ketika aku membagikan tulisan ini, aku juga ingin memberitahumu bahwa perasaan kita tidak selalu dapat dipercaya. Pada kenyataannya, perasaan kita seringkali berbohong pada kita. Kita menemukan kebenarannya di Yeremia 17:9 yang mengatakan bahwa hati adalah sumber kelicikan: “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatnya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Masalah dapat terjadi ketika perasaan kita membuat kita tidak lagi mampu melihat kenyataan di depan kita. Dalam kata lain, kita telah menjadikan perasaan kita sebagai berhala kita, dan kita mulai mempercayai perasaan itu lebih daripada kita percaya akan apa kata Tuhan buat kita. Jika kita tiba dalam momen seperti itu, itulah saatnya buat kita melakukan proses soul-searching, atau pencarian jiwa. Tapi, alih-alih mengikuti apa yang hatiku katakan, aku perlu mengikuti teladan Yesus dan mengupayakan buah-buah roh—yang di dalamnya juga terkandung penguasaan diri—dihasilkan dalam hidupku (Galatia 5:22-23).

3. Kamu merasa tidak terkendali

Ketika emosi kita mempengaruhi kita, kadang kita bisa saja jadi berperilaku seperti anak-anak, atau kita menarik diri dari situasi yang sedang kita hadapi. Emosi kita dapat secara langsung mempengaruhi pikiran dan tindakan kita, dan kadang-kadang dengan cara yang tidak sehat.

Jika kamu membaca tulisan ini, aku yakin kamu memiliki tingkat kecerdasan emosi yang cukup untuk mengenali apakah emosimu sedang bergejolak atau tidak. Tapi, jika ada di antara kamu yang merasa kesulitan mengendalikan emosimu, kamu perlu mencari tahu apa yang kira-kira menjadi penyebabnya. Apakah itu gejala FOMO (Fear of Missing Out) yang sering membuatmu merasa putus asa ketika kamu menjelajahi Instagram, atau perasaan tertolak ketika lawan bicaramu di telepon hanya merespons dengan hening. Sangat penting untuk mencari tahu apa yang jadi penyebab gejolak emosi kita, karena ketika kita tahu apa yang jadi penyebabnya, kita dapat lebih cepat menyerahkannya pada Tuhan dan kita dapat segera mengendalikan emosi tersebut.

Di hari-hari ini, ketika budaya kita mendorong kita untuk semakin terbuka tentang perasaan kita—sesuatu yang dibutuhkan untuk membina suatu relasi-—dalah penting untuk kita belajar hidup melampaui apa yang kita rasakan.

Menyadari emosi diri kita sendiri itu penting untuk perkembangan diri kita. Namun, kita tidak dapat mengizinkan emosi kita menentukan jalan mana yang hendak kita ambil. Kita perlu bertanya pada diri kita sendiri: Apakah aku membiarkan emosiku mengendalikanku? Apakah perasaanku membawaku ke jalan yang salah? Jika jawabannya adalah ya, kita mungkin perlu memikirkan kembali di mana kita meletakkan peran emosi dalam kehidupan kita.

Dan, jika kamu mendapati dirimu merasakan salah satu dari ketiga poin yang kutuliskan, jangan khawatir. Aku ada di sini bersamamu. Emosi adalah salah satu bagian yang menjadikan kita manusia. Kita tidak perlu berusaha menghilangkan perasaan itu dengan menguburnya dalam-dalam, tapi kita bisa membawa seluruh perasaan dan emosi kita kepada Bapa yang penuh kasih, yang mau menuntun dan menantang kita untuk menjalani hidup yang terbaik buat kita.

Tuhan ingin kita menyerahkan segala aspek kehidupan kita kepada-Nya, termasuk emosi kita. Semakin kita mencari tuntunan Tuhan dalam kehidupan emosional kita, semakin kita dapat bertumbuh dengan kepekaan untuk mengetahui perasaan mana yang dapat kita percayai dan perasaan mana yang harus kita pakukan di kayu salib.

Jadi, janganlah takut, kita semua sedang melalui perjalanan emosional yang kita sebut sebagai kehidupan. Dan yang paling utama adalah kita semua sedang menempuh perjalanan menuju pemulihan yang sejati bersama Yesus. Jadi, yuk katakan ini bersamaku: “Emosiku bukanlah raja atas hidupku. Tidak ada raja apapun dalam hidupku selain Yesus.”

* * *

Tentang penulis:

Rachel adalah warga negara Amerika Serikat yang tinggal di Edinburgh, Skotlandia. Dia adalah penggemar digital media dan juga seorang penulis. Kamu bisa membaca lebih banyak karya-karyanya tentang iman dan kesehatan mental di blognya, With Love from Rachel. Ketika Rachel tidak sedang menulis, dia meluangkan harinya untuk mencari secangkir kopi terbaik di sebuah kafe yang nyaman, merencanakan tujuan perjalanan selanjutnya, dan menikmati hidupnya besama James, suaminya.

Baca Juga:

Ketika Aku Terjerat Dosa Memegahkan Diri

Aku pernah melayani dengan semangat, namun tanpa kusadari pelayanan ini membuat celah bagiku untuk memegahkan diri. Pelayanan tak lagi kulakukan buat Tuhan, tapi untuk diriku sendiri.

Saat Aku Belajar untuk Berhenti Mengikuti Perasaanku

Oleh Debra Ayis, Nigeria
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When (Not) To Follow Your Feelings

Sebagai orang Kristen yang berjuang untuk berjalan mengikuti jejak Yesus, kita akan menjumpai momen-momen yang mengharuskan kita melawan kedagingan kita. Momen itu bisa berupa saat-saat di mana kita dengan sengaja harus melawan perasaan atau emosi kita, semisal: memilih untuk memaafkan orang yang sudah menyakiti kita, berbuat baik kepada orang yang jahat kepada kita, atau mengendalikan amarah agar kita tidak melakukan kekerasan.

Perjuangan untuk melakukan itu semua terasa sulit. Kita tahu bahwa perasaan kita itu salah, dan apabila kita mengikutinya, kita bisa saja melakukan tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Tapi, seringkali kita berusaha untuk menganggap benar perasaan kita.

Beberapa tahun lalu, aku pernah berada di situasi seperti itu. Semuanya adalah tentang seorang lelaki. Seorang lelaki yang kepadanya aku jatuh cinta, seorang lelaki yang membuatku lebih memilih manusia daripada Tuhan. Mungkin sekarang kamu menggeleng-gelengkan kepala, sebab sepertinya ada terlalu banyak kisah tentang perempuan-perempuan Kristen yang baik yang “disesatkan” oleh pacar-pacar mereka yang tidak seiman. Tapi, aku bersyukur untuk kisah ini, karena inilah yang kemudian mengingatkanku untuk tidak selalu mengikuti perasaanku.

Aku bertemu lelaki itu di tempat kerja, dan seperti yang orang-orang katakan, ada chemistry yang tumbuh cepat di antara kami. Aku tertarik kepadanya. Bukan cuma karena penampilannya saja, tapi juga karena karakternya. Dia adalah orang yang lucu, baik, bijaksana, pekerja keras, murah hati, dan juga pintar. Dengan segera, aku mulai mengembangkan perasaanku padanya. Tapi ada satu masalah: dia adalah seorang ateis dan membenci Kekristenan.

Setiap kali dia memuji pekerjaanku atau kebaikan hatiku, aku memberitahunya bahwa itu bukan aku yang melakukannya—Kristuslah yang melakukannya. Tapi, dia tidak setuju dengan apa yang kukatakan. Katanya, itu semua hanyalah “jargon agama”. Dia bersikeras kalau segala kebaikan di dalam diriku itu ada karena aku memang orang yang baik, bukan karena Tuhan. Aku coba mengundangnya datang ke gereja, tapi dia selalu menolak dan berkata bahwa orang-orang beragama itu “sudah dicuci otak dan naif”.Dia tidak pernah memberiku alasan mengapa dia tidak menyukai Tuhan—ataupun agama. Dia selalu menghindar untuk mendiskusikan topik ini, dan aku pun akhirnya berhenti bertanya. Aku hanya percaya (dan sampai kini masih percaya) bahwa Tuhan akan menyentuh hatinya suatu hari kelak.

Meskipun aku tahu betul bahwa Alkitab menginstruksikan orang Kristen untuk tidak memilih pasangan yang tidak sepadan dengan orang yang tidak percaya (2 Korintus 6:14), aku menganggap diriku sendiri yang paling benar. Contohnya, aku percaya bahwa dengan berpacaran aku bisa membawa seseorang pada Kristus. Kupikir selama aku berdoa untuknya dan menjaga diriku sebagai orang Kristen yang baik, dia akan menyadari bahwa ada Kristus di dalam diriku. Hatiku mengatakan bahwa aku bisa mengubahnya. Lagipula, bagaimana caranya kita membawa orang lain kepada Kristus jika kita tidak berteman dengan mereka?

Tapi, pikiranku mengingatkanku bahwa hanya Tuhan yang bisa mengubah hati, bukan manusia (Yehezkiel 36:26). Semua yang bisa kulakukan hanyalah terus menjadi saksi Kristus sepanjang hidupku. Pada akhirnya, mengikut Kristus atau tidak, itu kembali lagi kepada pilihan lelaki itu.

Melalui kenyataan ini, aku tahu bahwa melibatkan diriku dalam relasi bersama seseorang yang punya standar dan kepercayaan yang berbeda dariku hanya akan membawaku kepada sakit hati di masa depan. Ketika aku berdoa untuknya, juga berdoa agar kehendak Tuhan dinyatakan dalam diriku, aku mulai memikirkan beberapa pertanyaan serius: Apa yang sesungguhnya aku inginkan dari sebuah relasi? Lelaki itu sudah memberitahuku bahwa dia tidak percaya bahwa seks itu hanya boleh dilakukan dalam pernikahan, jadi maukah aku mengkompromikan imanku untuknya? Bisakah aku terus menahan semua tekanan ini? Apakah aku ingin menikah? Apakah kelak anak-anak kami akan dididik secara Kristen? Apakah kami memberikan persembahan persepuluhan? Apakah kami bergabung dalam gereja lokal? Apakah kami akan mendasari nilai-nilai hidup kami dalam firman Tuhan? Apakah Kristus akan menjadi bagian dari rumah kami? Apakah kami mengizinkan diri kami dipimpin oleh Roh Tuhan?

Jawabannya jelas. Tidak.

Aku berdoa memohon anugerah dari Tuhan agar aku dapat mengendalikan perasaanku. Sulit untuk menghindari lelaki itu di tempat kerja, tapi Tuhan memberiku rahmat untuk secara bertahap mengalihkan pikiranku dan menganggap relasiku dengan lelaki itu tak lebih dari dari pertemanan. Aku melakukannya dengan cara lebih fokus dengan pekerjaanku, dan berelasi lebih erat dengan perempuan-perempuan lain di tempat kerjaku. Aku mengambil kesempatan untuk memindahkan posisi tempat kerjaku ke ujung kantor, menjauhi diri darinya dan membatasi percakapan kami hanya dalam lingkup pekerjaan saja.

Apakah keputusan untuk berpisah dengan seseorang yang kusukai tetapi tidak seiman itu sulit? Ya. Apakah aku menyesali keputusan itu? Tidak. Aku tidak menyesal karena aku tahu segala sesuatu terjadi untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Tuhan (Roma 8:28). Aku juga tahu bahwa Tuhan ingin melindungiku dari sebuah relasi yang kelak akan melukaiku.

Meski hatiku waktu itu merasa sakit, aku percaya bahwa pengalaman inilah yang menguatkan imanku. Sekarang, aku bisa lebih mengendalikan perasaanku, seperti kita aku merasa marah atau kesal, atau ketika aku tergoda untuk meletakkan cinta dan kesetiaanku pada orang yang salah. Meskipun tidaklah mudah untuk mengatasi perasaanku sendiri, aku tahu bahwa Tuhan tidak akan membiarkanku dicobai melampaui apa yang dapat kutanggung (1 Korintus 10:13). Aku telah belajar untuk menantikan Tuhan dan menjaga hatiku dengan segala kewaspadaan (Amsal 4:23), sungguh-sungguh mempercayai-Nya dan menanti petunjuk-Nya sebelum aku membuat suatu keputusan dalam hidupku (Amsal 3:5-6).

Baca Juga:

Apakah Denominasi Gerejaku Penting Buat Tuhan?

Aku berasal dari gereja karismatik, tapi setelah menikah aku mengikuti suamiku ke gereja yang lebih tradisional. Perpindahan ini awalnya terasa sulit dan kaku. Namun, seiring waktu aku belajar untuk memahami apa yang jadi kerinduan Tuhan bagi setiap umat gereja-Nya.