Posts

Memenangkan Pertempuran Melawan Diri Sendiri

Oleh Dorkas Febria Krisprianugraha

Beberapa waktu lalu, berbagai media ramai memberitakan pembunuhan berencana yang melibatkan seorang perwira dan para ajudannya. Sang perwira memerintahkan salah satu ajudannya untuk menembak rekan kerjanya sendiri. Serangkaian proses hukum disiarkan dan publik antusias menunggu kelanjutannya, bahkan tak jarang menimbulkan situasi yang tidak kondusif. 

Dalam persidangan, ajudan yang menerima perintah untuk membunuh temannya pun menjadi saksi kunci. Dia bertutur bahwa dia merasakan ketakutan luar biasa, bahkan sempat berdoa saat hendak membunuh. Terdengar kontradiksi, tapi penuturan tersangka menunjukkan bahwa sebenarnya dia tahu apa yang dia lakukan adalah hal yang keji sekalipun dia hanya menjalankan tugas dan dalam hatinya sendiri tidak ada niatan untuk membunuh. Namun, karena intimidasi akhirnya keyakinan hatinya runtuh dan dia memilih menjalankan perintah atasannya. 

Kisah di atas menunjukkan pada kita bahwa menyeleraskan keinginan hati terhadap suatu kebenaran dengan perkataan dan tindakan seringkali jadi sulit karena berbagai faktor dan alasan. Hal ini bukan saja terjadi pada zaman modern, tapi dalam Alkitab pun ada banyak tokoh yang dihadapkan dengan pilihan sulit, bagaimana mereka bergumul menjaga keselarasan pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan. Ada yang pada akhinrya berhasil, namun banyak pula yang pada akhirnya terjatuh. 

Mari kita lihat tantangan apa saja yang seringkali muncul saat kita berusaha menjaga keselarasan hati, pikiran, dan perbuatan.

1. Pontius Pilatus, ingin memuaskan banyak orang 

Dalam kisah penyaliban Yesus, ada satu tokoh yang terlibat di dalam cerita tersebut. Ia adalah Pilatus, seorang wali negeri yang pada saat itu diperhadapkan dengan situasi sulit. Ketika para imam kepala menyerahkan Yesus untuk diadili, Pontius Pilatus mengatakan bahwa dia tidak mendapati kesalahan apapun pada diri Yesus, namun Pilatus tetap mengabulkan tuntutan imam kepala dan orang banyak dengan tetap menyerahkan Yesus dan membebaskan Barabas. Di tengah dilema yang dihadapinya, Pilatus akhirnya menyerah pada tuntutan massa dan memilih untuk memuaskan mereka (Markus 15:15).

Kita pun mungkin pernah berada disituasi yang mirip dengan peristiwa itu. Memilih untuk menafikan keyakinan hati kita agar kita bisa menyenangkan orang-orang disekitar kita. Kita seringkali mengingkari kebenaran untuk bisa diterima oleh banyak orang.

2. Petrus, tidak berani menerima konsekuensi

“Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak.”

Ini adalah kalimat yang diucapkan Petrus dengan penuh kepercayaan diri dihadapan Yesus, namun siapa menyangka kalimat heroik itu gugur ketika orang banyak melihat Petrus dan menanyakan apakah dia murid Yesus. Petrus menyangkal Yesus sesaat sebelum Yesus disiksa (Matius 26:69-75). Di tengah situasi yang mengancam keadaannya, Petrus tidak lagi mampu membuktikan apa yang sempat dia ucapkan dengan lugas, bahkan seolah tidak mengingat kebenaran yang dia yakini. 

Apa yang dialami Petrus pun mungkin pernah terjadi dalam kehidupan kita, saat kita sudah yakin pada suatu kebenaran namun kita memilih untuk menanggalkannya karena situasi yang mengancam atau mengintimidasi kita. Yang kita pikirkan hanya mencari cara bagaimana selamat dari situasi tersebut.

3. Tomas, terlalu menggunakan logika

Alkitab mencatat Tomas sebagai salah satu dari kedua belas murid Yesus. Kisah yang terkenal dari Tomas adalah ketika dia tidak mempercayai kebangkitan Yesus sebelum dia melihat sendiri dan mencucukkan jarinya pada bekas paku di tangan Yesus (Yohanes 20:24-29). Sebagai seorang murid Yesus, tentu Tomas sudah mendapatkan pengajaran tentang bagaimana Yesus akan disalibkan dan bangkit pada hari ketiga namun pada saat hal itu terjadi Tomas masih ragu dan mengabaikan apa yang telah ia imani selama mengikuti perjalanan Yesus.

Keraguan Tomas sekilas tampak buruk, tetapi yang perlu kita lihat lebih jelas adalah bagaimana respons Tomas setelahnya. “Ya Tuhanku dan Allahku!”, ucap Tomas dengan takjub. 

Situasi seperti ini mungkin juga pernah kita alami, saat kita meyakini kebenaran tetapi kita hanya mengandalkan logika dan pengertian sendiri. Mencerna segala sesuatu secara logis dan menuntut adanya bukti empiris adalah baik, tetapi kita perlu memahami bahwa pada perjalanan hidup, terkadang ada hal-hal yang sulit dicerna oleh pikiran, tetapi sangat bisa dicerna dan diserap oleh hati. Oleh sebab itu, Yesus pun menanggapi Thomas dengan berkata, “Karena engkau telah melihat aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (Yohanes 20:29).

Menjaga keselarasan pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan memang bukanlah hal yang mudah, namun bukan berarti tidak bisa diusahakan. Selain ketiga tokoh diatas, kita juga dapat belajar dari tiga tokoh Alkitab dari Perjanjian Lama yang berhasil menang atas dirinya sendiri dalam mempertahankan keselarasan itu, mereka adalah Sadrakh, Mesakh, Abednego. Mereka adalah orang Yehuda yang bekerja untuk Nebukadnezar Raja Babel. Bagaimana mereka dapat menang?

– Berani menerima konsekuensi dari mempertahankan kebenaran

Mempertahankan kebenaran memang bukan hal yang mudah dan terkadang mendatangkan konsekuesi yang harus kita tanggung. Sadrakh, Mesakh, dan Abednego bisa menjadi teladan. Mereka bisa saja memilih untuk mengikuti tawaran Raja Nebukadnezar untuk menyembah berhala dan mereka akan selamat dari hukuman, namun mereka memilih untuk tetap memegang kebenaran yang mereka yakini meskipun diperhadapkan dengan situasi yang mengancam keselamatan mereka. Bahkan keteguhan mereka nampak dalam perkataan mereka ketika menjawab setiap desakan dari Raja Nebukadnezar. Apa yang mereka yakini mereka buktikan dengan perkataan dan tindakan.

“Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu” (Daniel 3:17-18).

– Berharap dan tetap percaya kepada pertolongan Allah meskipun mereka belum melihat

Di tengah situasi yang mencekam, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego tetap berpegang pada keyakinannya, bahwa Allah yang mereka sembah sanggup menolongnya. Namun apakah keyakinan mereka timbul karena melihat tanda-tanda pertolongan Allah pada saat mereka dicecar oleh Nebukadnezar? Tidak. Bahkan dalam perikop tersebut diceritakan bagaimana mereka tetap tidak akan menduakan Allah sekalipun mungkin Allah tidak menyelamatkan mereka. Keyakinan mereka karena mereka mengenal Siapa yang mereka sembah. 

Membaca kisahnya mungkin di antara kita ada yang berpikir mengapa Allah tidak menyelamatkan mereka dengan melunakkan hati Nebukadnezar atau membalikkan keinginan hati Nebukadnezar agar tidak jadi melempar Sadrakh, Mesakh, Abednego ke perapian? Mengapa Allah tetap membiarkan mereka masuk ke perapian yang tujuh kali lebih panas dari biasanya? 

Jawabannya adalah karena Allah ingin Sadrakh, Mesakh, dan Abednego menjadi sarana untuk menyatakan kuasa dan kemuliaan-Nya. 

Di zaman sekarang, mungkin kita tidak lagi diancam dengan perapian yang menyala-nyala seperti yang dialami oleh Sadrakh, Mesakh dan Abednego tetapi perapian yang menyala-nyala itu bisa jadi berwujud hal-hal yang bisa saja menggoyahkan integritas kita seperti tuntutan sosial, iming-iming jabatan atau popularitas, dilema menentukan pasangan hidup, dan lain sebagainya.

Melihat kisah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, kita dapat belajar bagaimana menjaga keselarasan anatara pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan adalah bagian dari perjuangan memenangkan diri sendiri dan lebih dari itu melalui kesemuanya itu ada Kuasa dan Kemuliaan Allah yang sedang dinyatakan melalui diri kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Berani Berdiri Teguh

Kamis, 4 Oktober 2018

Berani Berdiri Teguh

Baca: Efesus 6:10-18

6:10 Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya.

6:11 Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis;

6:12 karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.

6:13 Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri, sesudah kamu menyelesaikan segala sesuatu.

6:14 Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan,

6:15 kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera;

6:16 dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat,

6:17 dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah,

6:18 dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus,

Perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara. —Efesus 6:12

Berani Berdiri Teguh

Teresa Prekerowa masih remaja ketika tentara Nazi menyerang tanah kelahirannya, Polandia, pada awal Perang Dunia ke-2. Masa itu merupakan permulaan terjadinya Holocaust, ketika para tetangganya yang berdarah Yahudi mulai menghilang karena ditangkap oleh Nazi. Teresa dan orang-orang sebangsanya lalu mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan tetangga-tetangga mereka dari ghetto di Warsawa dan pembersihan etnis yang dilakukan pihak Nazi. Kelak Teresa menjadi salah seorang sejarawan penting di bidang Perang Dunia dan Holocaust. Namun, keberaniannya untuk berdiri teguh menentang kejahatan besar itulah yang membuatnya mendapat penghormatan masuk dalam daftar Orang Baik dari Berbagai Bangsa yang tercatat pada Museum Peringatan Holocaust Yad Vashem di Yerusalem.

Keberanian memang dibutuhkan untuk menentang kejahatan. Kepada jemaat di Efesus, Paulus mengatakan, “Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara” (Ef. 6:12). Jelaslah lawan yang tak terlihat itu tidak akan dapat dihadapi dengan kekuatan kita sendiri, karena itu Allah memberi kita sumber daya rohani yang diperlukan (“seluruh perlengkapan senjata Allah”) untuk memampukan kita “bertahan melawan tipu muslihat Iblis” (ay.11).

Apa saja yang mungkin Allah mau kita lakukan dengan berani? Mungkin kita dipanggil untuk menentang suatu ketidakadilan atau ikut membantu seseorang yang terancam menjadi korban. Apa pun bentuk konflik yang mungkin terjadi, kita bisa memiliki keberanian—karena Allah kita telah menyediakan segala hal yang kita butuhkan untuk berdiri teguh bagi-Nya dan bertahan melawan kejahatan. —Bill Crowder

Allah memampukan kita untuk berdiri teguh bagi-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 20-22; Efesus 6

Perseteruan

Selasa, 6 Agustus 2013

Perseteruan

Baca: 1 Yohanes 4:1-6

Sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia. —1 Yohanes 4:4

Ketika sebuah toko buku di tempat kami menata ulang penyusunan bukunya, saya melihat adanya penambahan jumlah judul yang membahas tentang ilmu sihir dan ilmu gaib. Bahkan area yang memuat buku-buku tentang agama seakan menjadi tempat “perseteruan” antara kuasa terang dan kuasa gelap. Buku-buku rohani Kristen ditempatkan di satu rak berhadap-hadapan dengan rak berisi buku-buku tentang ilmu sihir dengan jumlah yang kurang lebih sama banyaknya.

Mungkin kita terkadang berpikir bahwa Allah berhadapan dengan Iblis seperti buku-buku yang saling berhadapan di toko buku tersebut. Kita melihat Allah dan Iblis sebagai dua kuasa yang saling bertentangan, tetapi sama-sama memiliki kuasa yang tak terbatas. Namun Allah adalah Allah, sementara Iblis bukanlah Allah. Allah lebih kuat daripada kuasa gelap apa pun. Dia melakukan yang dikehendaki-Nya (Mzm. 135:6), sementara kuasa Iblis terbatas pada hal-hal yang diperkenankan Allah saja. Ketika Iblis memperkirakan bahwa nasib buruk akan membuat Ayub mengutuk Allah, Allah berkata kepada Iblis, “Nah, segala yang dipunyai [Ayub] ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya” (Ayb. 1:12). Iblis harus mengikuti aturan main Allah.

Karena Allah berkuasa atas segala sesuatu, sebagai pengikut Kristus kita tidak perlu dilumpuhkan oleh ketakutan pada kuasa Iblis terhadap hidup kita maupun hidup orang percaya yang ada di sekitar kita. Sekalipun Iblis mencobai dan berusaha mempengaruhi kita, Alkitab memberi kepastian ini, “Roh yang ada di dalam [kita], lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia” (1Yoh. 4:4). —JBS

Terpujilah nama Yesus,
Malaikat bersujud,
Sembahkan mahkota mulia,
B’ri hormat pada-Nya. —Perronet
(Kidung Puji-Pujian Kristen, No.68)

Kuasa jahat di sekitar Anda tidak dapat menandingi kuasa Yesus di dalam diri Anda.