Posts

Jika Awalnya Saja Sudah Buruk, Sungguhkah Nanti Lebih Baik?

Oleh Chia Poh Fang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Such A Bad Start To 2020?

“Kuharap tahun barumu dimulai dengan baik.”

Sepenggal kalimat itu mengisi sebuah email yang dikirimkan kepadaku, sebuah ucapan yang tulus.

Namun, serentetan kabar buruk yang kubaca dan tonton di media belakangan ini telah mempengaruhi orang-orang yang kukenal sampai ke tataran kehidupan pribadi mereka.

Di hari pertama 2020, hujan lebat di sekitar Jakarta membuat debit air meninggi dan banjir di mana-mana. Seorang temanku sampai terpisah dari anak-anaknya selama beberapa hari karena mereka harus mengungsi di rumah sang nenek. Temanku yang lain, seharusnya terbang ke Malaysia untuk rapat, tapi dia tidak bisa pulang mengambil barang bawaannya karena banjir. Dia harus membeli baju baru di Malaysia.

Kemudian, kita juga mendengar berita tentang gunung meletus di Filipina. Lima relawan penerjemah dari kantor kami tinggal di dekat lokasi bencana tersebut. Rumah mereka ditutupi abu vulkanik. Tiga dari mereka sesak nafas karena debu yang terlampau tebal, dan mereka hidup tanpa air dan listrik selama tiga hari.

Sementara itu, di Australia, kebakaran hutan merambat dengan masif. Seorang temanku yang sedang dalam penerbangan pulang ke Canberra tak dapat mendarat karena asap yang terlampau pekat. Penerbangannya dialihkan dan membuatnya meratap ingin segera pulang ke rumah.

Kabar buruk masih belum berhenti. Berita terbaru yang kita dengar dan menghiasi media di seluruh dunia adalah kabar tentang penyebaran virus Corona yang telah merenggut lebih dari 427 nyawa sejak penyebarannya yang pertama pada 31 Desember 2019.

Meski secara pribadi aku tidak kenal siapa pun yang tertular virus tersebut, namun aku bisa sedikit merasakan bagaimana pedihnya kehilangan. Dalam 17 hari pertama tahun ini, ada tiga kematian yang terjadi di antara orang-orang dekatku. Ada seorang sepupuku yang meninggalkan istrinya selamanya, seorang pria yang kehilangan teman hidupnya selama 40 tahun lebih, dan seorang ibu yang harus meninggalkan anaknya yang berusia lima tahun.

Mengatakan bahwa tahun ini tidak diawali dengan baik rasanya bukanlah pernyataan yang berlebihan.

Mungkin ada di antara kita yang kehidupannya terdampak oleh salah satu dari sekian banyak kabar buruk di atas, diliputi ketakutan, kekhawatiran, kemarahan, atau kesedihan. Jika ya, bolehkah aku mengatakan hal ini kepadamu?

Tidak apa-apa untuk mengatakan kamu sedang tidak baik-baik saja

Adalah wajar untuk marah karena kematian yang merenggut orang yang kamu kasihi. Kamu mungkin merasa takut atau pun panik akan perubahan iklim yang mengakibatkan banjir dan kebakaran hutan, atau mungkin pula khawatir karena penyebaran virus Corona.

Aku berduka karena kematian sepupuku, dan bertanya-tanya mengapa kehidupan seseorang yang masih muda direnggut begitu cepat. Aku dan teman-temanku pun berduka atas penderitaan yang harus dihadapi orang-orang yang berjuang pulang karena kebakaran hutan, atau mereka yang harus bekerja ekstra membersihkan rumah mereka pasca banjir dan letusan gunung berapi.

Jika kita membuka Alkitab kita, kita melihat Yesus pun menunjukkan gejolak emosinya saat berada di pemakaman. Ketika dia mendapati Maria yang saudara laki-lakinya, Lazarus, meningal dunia, “hati-Nya sedih, dan Ia tampak terharu sekali” (Yohanes 11:33 BIS)

Mengapa Yesus bersedih? Mungkin, Yesus kecewa dan marah karena dosa dan konsekuensi yang diakibatkannya. Allah tidak menjadikan dunia supaya dipenuhi dengan kesakitan, penderitaan, dan maut, tapi dosa memasuki dunia dan menodai rencana mulia Allah.

Ketika keadaan tidak baik, ketahuilah ini bukanlah akhir

Ada banyak pertanyaan tentang kesakitan dan penderitaan yang belum kutemukan jawabannya yang paling memuaskan. Namun, ketika aku bergumul dengan keraguan, aku ingat bahwa Yesus hadir ke dunia dua ribu tahun silam dan menunjukkan pada kita bagaimana Allah sesungguhnya.

Tangan-Nya menyentuh yang sakit kusta (Markus 1:41); Pandangan-Nya tertuju kepada janda yang sakit di Nain (Lukas 7:11-17). Dia tersakiti ketika kita merasa sakit. Kita memiliki Juruselamat yang peduli dan menderita bersama kita. Namun, lebih daripada itu semua, Yesus mati dan bangkit dari maut. Dialah satu-satunya Pribadi yang mati, bangkit, dan tidak pernah mati kembali! Dia telah mengalahkan maut. Kita punya harapan yang hidup dalam Yesus, sebab Juruselamat kita adalah Tuhan yang hidup.

Dan, Yesus pun berjanji kelak akan tiba waktunya di mana segala kesakitan akan berakhir (Wahyu 21:4). Ketika kita tak dapat menghentikan kesakitan dan dosa menggerogoti tubuh kita yang fana saat ini, sebagai anak-anak-Nya, kita kelak akan menerima tubuh yang baru dan mulia (1 Korintus 15:42-43). Inilah kisah akhir dari sejarah manusia yang teristimewa dapat kita ketahui saat ini.

Apakah hari-harimu di tahun ini juga dimulai dengan kisah getir? Teguhkanlah hatimu sebab ini bukanlah akhir. Allah sedang bekerja untuk memulihkan; Allah bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi-Nya (Roma 8:28).

Seiring 2020 terus berlanjut, kita mungkin akan masuk ke dalam situasi yang mengharuskan kita hanya dapat bergantung dan percaya pada-Nya. Bersediakah kamu bersama-sama denganku untuk memusatkan pandanganmu kepada Yesus? Harapan kita hanya di dalam-Nya, dan bersama-Nya segala sesuatu dapat kita lalui.

Baca Juga:

Di Balik Hambatan yang Kita Alami, Tuhan Sedang Merenda Kebaikan

Meski kamu melalui jalan yang berbelok-belok, atau bahkan berbatu-batu, dan meski seringkali kamu menemukan dirimu tidak memahami maksud Tuhan dalam hidupmu, tetaplah percaya kepada-Nya. Bila Tuhan yang menyertaimu, Dia pasti akan memberikan pertolongan dan tuntunan-Nya dalam segala sesuatu yang kamu kerjakan.

Karuna Sankara, Ini Suratku Untukmu

Oleh Tri Nurdiyanso, Surabaya

Karuna Sankara, nama yang kupilih untuk bayi perempuanku. Dia lahir di bulan kesepuluh, hari kelima belas, pukul 04:00 pagi di salah satu klinik bidan di Surabaya. Dia anak perempuan yang menggemaskan dengan berat 3,3 kilogram dan panjang 52 cm. Sangat melegakan melihat dia lahir setelah perjuangan istriku melewati proses persalinan yang sungguh luar biasa.

Istriku merasakan kesakitan yang hebat dengan kontraksi-kontraksi yang sering bermunculan di hari Jumat sampai Senin. Selama empat hari itu, dia hampir tidak dapat tidur. Berdasarkan prediksi dokter, seharusnya Karuna lakhir tanggal 7 Oktober 2019, tetapi dia baru lahir di 15 Oktober 2019, pukul 04:00 pagi.

Beberapa jam sebelum Karuna lahir, tepatnya di hari Senin jam tiga sore kami diminta datang ke klinik untuk dilakukan tindakan pacu lewat selang infus. Tindakan ini menimbulkan rasa sakit yang lebih dalam persalinan normal. Tepat jam 12 malam, telah terjadi bukaan sempurna dan harusnya Karuna sudah siap dilahirkan.

Sebelumnya, sudah aku tanyakan berapa lama waktu untuk mengejan agar bayi kami lahir. Jawaban asisten bidan adalah maksimal dua jam, tapi dalam kurun waktu itu pun bayi kami belum lahir. Aku pun mulai panik dan tidak tega melihat istriku yang kesakitan luar biasa dengan merasakan tiap sobekannya.

Aku minta kepada asisten itu ntuk meminta rujukan saja ke rumah sakit tapi aku tidak tahu kenapa kami belum mendapatkan rujukan tersebut dan harus menunggu maksimal jam empat pagi. Aku keluar masuk ruang persalinan karena kasihan melihat istriku yang berjuang menanggung kesakitannya dalam persalinan ini. Lalu, datanglah anaknya bidan yang juga seorang bidan untuk membantu persalinan istriku.

Tepat pukul empat pagi, Karuna lahir dengan tangisannya. Namun, detak jantungnya kelihatannya tidak beres.

Aku izin pulang sebentar karena ada beberapa pekerjaan yang harus dibereskan terlebih dahulu. Agak berat bagiku untuk meninggalkan dua perempuanku sendirian. Di sini aku merasa sedikit bodoh. Meski aku tahu ada bidan yang menjaga, mengapa aku tetap meninggalkan mereka? Fatalnya, sampai di rumah aku pun ketiduran sampai jam 9 pagi. Sesegera mungkin aku kembali ke klinik dan memohon agar Karuna dibawa ke rumah sakit agar bisa ditangani lebih lanjut.

Aku bersama bidan dan asistennya membawa Karuna ke rumah sakit. Aku tahu istriku mencemaskan Karuna, karena seharusnya bayi yang baru lahir itu mendapatkan ASI dari ibunya, namun Karuna harus berjuang dahulu dengan sakitnya.

“Karuna kenapa, Hun?” pertanyaan itu selalu menempel di pikiranku.

Kucoba menenangkan diri tiap kali pertanyaan itu datang. Bidan menjawabku, “Tenang, Pak. Nanti akan baik-baik saja, karena terlalu lama dalam proses persalinannya.”

Perjuangan selama tiga hari

Setelah mendapatkan pertolongan intensif dari rumah sakit, hatiku sedikit lega. Kami menunggu, menangisi, dan menyesal mengapa ini harus terjadi kepada bayi kami. Padahal, kami selalu rutin cek kehamilan tiap bulan, bahkan seminggu sekali menjelang hari kelahiran.

Rekam medis Karuna dalam kandungan pun sangat baik. Tidak ada tanda-tanda buruk terkait kesehatannya. Namun, ketika dia lahir, yang kudapati malah hal lain. Istriku kesakitan dengan jahitan di perutnya yang cukup banyak, tapi seakan tak peduli akan sakitnya demi menemani Karuna.

Hari Jumat, kami merasa sepertinya Karuna tidak kuat bertahan dengan banyak selang di tubuhnya. Malam harinya, tubuhnya sempat drop dan dibutuhkan tindakan. Selang oksigen dipasang lewat mulutnya supaya dia tetap bisa bernafas.

Aku sungguh takut kalau-kalau memang benar Karuna meninggal. Jumat pukul 22:00, aku menulis sebuah tulisan untuknya:

Dear Karuna,

Kamu sedang apa di sana? Kenapa kamu masih suka dengan alat-alat bantu pernafasan itu? Tidakkah kamu ingin lepas itu semua untuk bermain denganku? Iya…bermain dengan bapak. Menunggumu terlahir adalah penantian terbesarku, tapi kenapa saat kamu lahir, kamu malah main sendiri dalam box itu?

Bapak gak bisa ikut main di situ, Karuna. Bapak gak mungkin bisa. Bapak melangkah masuk ruangan terluar saja sudah dilarang. Kenapa? Kenapa? Kau masih asyik di situ… AYOOO Karuna, come!

Bapak pengen pegang tangan mungilmu itu. Tapi, kenapa kamu pegang selang buat mainanmu?
Bapak pengen mencium bibirmu itu. Tapi kenapa kamu tak mau lepaskan selang itu?

Apa boleh bapak jadi selangmu, Karuna? Menggantikan apa yang kamu pegang dan kamu cium itu.

Apa boleh bapak jadi perbanmu, Karuna? Menggantikan apa yang melingkupi tubuhmu itu.

Mungkin bapakmu ini sudah gila, menginginkan dirinya menjadi benda mati hanya untuk menyentuhmu dan melingkupimu.

Mungkin bapakmu ini sudah tak waras, mengharapkan sesuatu yang mustahil dan bodoh.

Tapi, untuk apa ejekan gila dan tak waras itu jika bapakmu ini bisa menemanimu setiap waktu?

Waktu yang akan selalu berharga dan bernilai.
Tapi, ketika banyak orang ngomong, “Berarti anakmu lebih penting dari Tuhanmu ya?”
Pertanyaan itu memang tidak bisa aku jawab, karena secara teoritis pastilah Tuhan itu lebih penting darimu
Tapi hati bapakmu tidak membohongi kalau aku memilihmu.
Fakta ini menunjukkan kesalahan dalam diriku, sebagai manusia dan sebagai Bapak yang mengajarimu untuk takut akan Tuhan.

Bagian terakhir surat ini sangat berat bagiku, karena dari hal ini aku belajar memahami bagaimana perasaan Ayub yang tertulis dalam Alkitab. Benar apa yang Ayub katakan, bahwasannya manusia lahir dengan telanjang dan mati dengan telanjang pula; Allah yang memberi, Allah yang mengambil, terpujilah nama TUHAN (Ayub 1:21). Ayub mengatakan, kita harus menerima apa yang diberikan Allah, entah itu baik atau buruk menurut kita (Ayub 2:10b). Aku yang kehilangan seorang anak saja sakitnya luar biasa, apalagi Ayub yang kehilangan segalanya, sampai-sampai kesehatannya pun buruk. Namun, Ayub masih memandang Allah dengan benar.

Aku tahu aku menangisi anakku dengan keras, namun aku tahu juga Allah memiliki rencana yang baik menurut Dia, bukan menurutku. Aku belajar bersyukur di titik terendahku sekarang. Meski dulu mudah sekali aku mengucapkannya, tapi menerima kenyataan ini memang mengajarkanku banyak hal. Aku dan istriku belajar untuk tidak menyalahkan siapa pun, bahkan diri kami sendiri. Meskipun sering muncul penyesalan dan intimidasi, kami berusaha untuk mengutarakan hati kami sejujur-jujurnya dalam perbincangan kami dan dalam doa-doa kami.

Sebuah anugerah yang luar biasa untuk hadiah setahun pernikahan kami. Karuna meninggal di tanggal 19 Oktober 2019 pukul 00:00. Tangis dan kenangannya selalu kami simpan dan teladannya pun kami jaga.

Apakah Tuhan itu jahat terhadap kami? Nyatanya tidak. Tuhan tetap baik dalam ke-Mahakuasaan-Nya. Aku belajar dari anakku untuk mengampuni, sesuai dengan nama yang kami pilihkan untuknya pada bulan April 2019. Karuna berarti ‘mengampuni dan berbelas kasihan’. Karuna pergi untuk mengajari kami bagaimana untuk mengampuni diri kami, situasi, dan orang-orang yang terlibat dalam proses persalinan kemarin.

Karuna Sankara adalah anugerah indah yang Tuhan berikan kepada kami, meskipun kami mengantarkannya pergi dengan kesedihan dan tangisan.

“Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! TUHAN adalah bagianku, kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya” (Ratapan 3:22-24).

Baca Juga:

Memang Lidah Tak Bertulang, Tapi Firman-Nya Ada di Lidahku

“Kata-kata yang diucapkan sejatinya bukanlah sekadar ucapan, Yakobus berkata kata-kata kita bisa berkuasa memberikan berkat tapi juga bisa merusak (Yakobus 3:9-10).

Lantas, kata-kata seperti apa yang seharusnya keluar dari mulut kita?”

Kini dan Nanti, Penyertaan-Nya Tetap Ada

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT

Begitu pesan yang muncul di laman pengumuman SBMPTN 2019. Hari itu adalah salah satu hari yang paling kuingat di sepanjang hidupku. Sebagai kakak perempuan dari adikku satu-satunya, aku turut sedih dengan pengumuman itu. Kutenangkan hati dan pikiranku, lalu ku-screen shot pengumuman itu dan kukirimkan pada adikku. Tidak ada kata-kata atau emotikon apa pun yang kusertakan selayaknya kami biasanya saling chat. Bukan sedang tidak mau memberi semangat atau enggan menulis kalimat supaya adikku tidak putus asa, tapi kali itu aku menyadari kalau hal itu sepertinya tidak akan menolongnya untuk tidak bersedih atau pun bingung.

Memoriku saat mengantar dan menemani adikku mengikuti ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri kembali terngiang.

“Kayakmana lah aku kalau nggak lulus ke kampus negeri,” adikku bertanya padaku saat perjalalan pulang.

Aku sengaja mengajak adikku pulang jalan kaki, selain karena lokasi ujian yang dekat dengan kosku, aku juga jadi punya kesempatan untuk menanyakan bagaimana pengalamannya ikut ujian itu.

“Optimislah dek, kalau memang bagianmu yang kuliah itu, jalannya akan tersedia,” nasihatku padanya.

Saat aku mengantarnya ikut ujian itu, kami memang tidak punya rencana alternatif jika dia tidak lulus. Kuliah di negeri menjadi satu-satunya rencana kami karena biaya kuliah yang relatif lebih murah. Walau sudah punya penghasilan, aku belum bisa membantu adikku secara finansial karena aku masih mengerjakan tugas akhirku. Tidak kuliah dan mencari pekerjaan adalah satu-satunya cara yang harus diterima adikku jika dia gagal seleksi.

Kami tiga bersaudara. Ayah dan ibuku bukan orang yang mengenyam bangku kuliah. Ibuku tamatan SMP dan ayah tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Kuliah adalah hal yang baru bagi keluarga kami, termasuk juga dalam keluarga besar maupun masyarakat di kampung kami. Bagi banyak orang tua di tempat kami, kuliah itu identik dengan biaya mahal: uang studi, uang kos, uang bulanan, belum lagi lokasi kampus yang jauh dari kampung. Setelah menyelesaikan SMA, merantau ke kota besar seperti Batam, atau menjadi tenaga kerja di Malaysia seolah jadi kebiasaan yang diturunkan antar generasi. Jika tidak beruntung menyelesaikan SMA, menjadi buruh tani, kernet mobil tanah, atau menjadi buruh bangunan adalah hal yang umum di keluarga besar kami.

Aku masih ingat bagaimana respons kedua orang tuaku ketika mendengar kalau aku akan kuliah. Mereka terkejut, tapi tidak berani melarangku. Mungkin mereka tak tega karena aku sering berprestasi dalam bidang akademik maupun non-akademik di sekolah. Singkat cerita, dengan beberapa usaha, khususnya dalam dana dan beberapa perjanjian tentang hal yang boleh dan tidak boleh kulakukan selama kuliah, aku bisa mengenyam pendidikan tinggi di salah satu kampus negeri di kota Medan. Keputusanku untuk kuliah terinspirasi dari abang sepupuku. Dia menjadi orang pertama dalam keluarga besar kami yang kuliah. Dia kuliah di kampus keguruan yang ada di bagian selatan Tapanuli.

Nggak pernah aku nggak makan, dek. Tuhan mencukupkan setiap hal yang kubutuhkan,” begitu dia menasihatiku setipa kali aku bercerita tentang kekhawatiranku.

“Kuliah tidak menjamin pekerjaan yang baik untukmu, tapi ada pola pikir yang lebih luas terbentuk selama proses itu.” Perkataan ini merupakan bagian yang selalu kuingat sampai saat ini. Dan, benar, sampai di penghujung waktu kuliah, aku merasakan bagaimana Tuhan memelihara hidupku seperti yang Dia janjikan dalam Ibrani 13:5b.

Sama seperti aku yang terinspirasi dari abang sepupuku tersebut, tampaknya adikku juga mengalami hal yang sma. Dulu dia sempat menyatakan kalau dia akan bersekolah di SMK karena tidak mau kuliah. Bisa jadi dia terdorong memutuskan itu karena dia menyaksikan bagaimana keluarga kami berjuang agar kuliahku bisa terus berlanjut. Sebagai kakak, tentu aku berharap setiap kebaikan Tuhan terjadi pada adikku, termasuk harapanku kalau dia juga bisa berkuliah. Sembari berharap, aku mengingat firman Tuhan dari Yeremia 1:5, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau.”

Semua yang terjadi adalah bagian dari rencana Tuhan. Pandangan yang sama mengenai perkuliahan serta sharing pengalamanku selama kuliah tetap kubagikan padanya. Seiring waktu berlalu, aku tidak mengerti bagaimana Tuhan bekerja. Alih-alih mendaftar ke SMK, adikku malah mengikuti beberapa seleksi masuk SMA dan berhasil menamatkan studinya dari bidang IPS. Lagi-lagi, aku belajar bahwa banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana (Amsal 19:21).

Ketika hal-hal terjadi sesuai dengan yang kita inginkan atau harapkan, mungkin tidak sulit untuk menerima dan menyatakan itu sebagai bagian dari penyertaan Tuhan. Namun, ketika semua terjadi di luar perencanaan kita, maka kekecewaan dan kekhawatiran sering menjadi teman setia kita, dan Tuhan pun terasa jauh. Ketika menerima kabar ketidaklulusan adikku, itu bukanlah hal yang mudah bagiku dan keluarga besarku.

Mungkin, saat ini semuanya masih tampak belum jelas. Adikku belum bisa berkuliah, tapi dia berencana untuk ikut seleksi kembali di tahun 2020 ini. Namun, kegagalan ini bukan berarti Tuhan tidak merestui rencananya berkuliah. Seperti aku yang dahulu merasakan bagaimana Tuhan menyertai perjalanan hidupku melewati suka dan duka, aku juga belajar percaya bahwa rancangan Tuhan adalah yang terbaik buat adikku dan keluargaku (Yesaya 55:8-9).

Perencanaan-perencanaan untuk mencapai hal-hal yang lebih baik tentu menjadi harapan kita di awal tahun 2020 ini. Resolusi pada karakter diri, karier, asmara, serta hal-hal lainnya kiranya tidak meluputkan kita dari menyerahkan diri kepada Tuhan.

Melewati setiap musim kehidupan yang sudah kita alami, atau yang akan kita lalui kelak, biarlah kita tetap percaya bahwa Allah akan memenuhi segala keperluan kita menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus (FIlipi 4:19).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Bersyukur dan Percaya di Tengah Kesulitan, Sanggupkah?

Sepanjang tahun 2019 lalu, rasanya mudah sekali menuliskan “kejutan-kejutan” yang tak terduga karena begitu banyak hal yang terjadi di luar perkiraanku dan tak terbayangkan sebelumnya. Lantas, haruskah aku tetap percaya pada penyertaan Tuhan?

Penyertaan Tuhan Melampaui Segala Ketakutanku

Oleh Ananda, Jakarta

Hari itu hujan sangat lebat. Ramalan cuaca mengatakan kalau hujan akan berlangsung sampai esok pagi. Aku tidak tahu persis mengenai kebenaran ramalan tersebut, aku hanya tahu bahwa aku harus bergegas pulang. Sudah lebih dari satu bulan, aku tidak bertemu maupun berkomunikasi dengan ibuku. Meski aku telah memutuskan untuk beriman kepada Kristus sejak 4 tahun lalu, namun aku baru memberi tahu hal tersebut kepada ibuku secara terus terang sekitar beberapa bulan lalu.

Sejak saat itu, hubungan kami menjadi sangat tidak baik. Mungkin aku terlihat seperti anak yang sangat durhaka dan tidak termaafkan di mata beliau. Pesan terakhirku kepadanya tidak dibalas. Oleh sebab itu, aku takut dan tidak tahu harus berbuat apa selama sebulan terakhir. Bukannya aku tidak pernah pulang, namun aku selalu pulang saat ibuku sedang berada di luar kota. Sebagian orang beranggapan aku melarikan diri, sebagian lain berkata bahwa aku butuh waktu untuk menenangkan diri.

Takut, cemas, khawatir, malas, ingin menyerah, seluruh perasaan negatif muncul menjadi satu. Hari itu aku cukup menikmati firman Tuhan yang kembali meneguhkanku. Imanuel, Tuhan bersamaku. Aku kembali memantapkan niat untuk pulang. Sepotong kue dan kartu ucapan selamat hari ibu sudah kusiapkan untuk kuberikan kepada ibuku. Sepanjang perjalanan, bayang-bayang buruk akan penganiayaan verbal, tidak diterima di rumah, dan lainnya, terus menerus menghantuiku, tapi aku coba mengabaikan itu semua. Aku pun mencoba mengingat kembali kisah-kisah penyertaan Tuhan yang banyak diceritakan teman-temanku sebelumnya. Ada yang baru diterima kembali oleh orang tuanya setelah 16 tahun berdoa sambil terus menyatakan kasih kepada orang tuanya. Ada juga yang rela menelepon orang tuanya setiap hari minggu selama 6 tahun meski tahu akan menerima respon yang tidak baik. Kebaikan dan penyertaan Tuhan kepada mereka semakin memantapkanku. Aku yakin, Tuhan juga menyertaiku sama seperti Tuhan menyertai mereka.

Sesampainya di stasiun tujuan, aku segera memesan kendaraan untuk sampai ke rumah. Keadaan cuaca yang semakin buruk membuatku kesulitan mendapat kendaraan. Lagi-lagi, si jahat mencoba mengganggu pikiranku. “Sepertinya kamu tidak harus pulang hari ini, bagaimana kalau kamu dibilang penjilat? Apakah kamu benar-benar siap menghadapi respons ibumu?“, ujar si jahat. Butuh beberapa waktu untuk kembali menepis dan meneguhkan langkah kakiku. Aku teringat saat teduhku di hari sebelumnya mengenai sukacita memberi (Lukas 2:4-14). Aku meyakinkan diriku bahwa alasanku memberi kue kepada ibuku, bukan untuk menyogok maupun mendapatkan kasihnya kembali, melainkan karena aku mengasihinya. Benar, aku mengasihi ibuku, karena Tuhan sudah terlebih dahulu mengasihiku dengan kehadiran-Nya yang merupakan sukacita bagi dunia. Karenanya, aku sungguh ingin membagikan sukacita dan kasih Tuhan itu kepada ibuku.

Setelah beberapa saat, aku akhirnya mendapat kendaraan untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku bersalaman dan memberikan kue kepada ibuku. Hal yang mengejutkan adalah ketika ibuku memeluk dan menciumku sambil berbisik “Hai sayang, jangan deket ibu dulu ya, ibu masih sakit, nanti ketularan“. Tidak satu kata pun keluar dari mulutku. Aku bergegas menuju kamar dan tak kuasa menahan tangis. Aku tidak tahu harus berkata apa. Tuhan terlalu baik bagiku, dan lagi-lagi Tuhan membuktikan kasih-Nya kepadaku. Tidak ada satu pun ketakutanku yang terjadi pada saat itu.

Aku merasa tertegur karena hampir gagal mempercayai penyertaan Tuhan dibanding ego dan pemikiranku sendiri. Bagaimana bisa, aku percaya kepada anugerah keselamatan dan pengorbanan-Nya, namun hampir gagal mempercayai penyertaan-Nya? Seorang pendeta pernah mengatakan bahwa semestinya iman kita turun seperti air yang mengalir dari atas ke bawah. Ketika kita percaya terhadap sesuatu yang besar, secara otomatis kita akan percaya kepada sesuatu yang kecil. Mungkin analogi sederhananya seperti ketika kita mau menitipkan lima orang anak kepada seseorang, karena kita tahu bahwa orang ini dapat menjaga lima anak tersebut dengan sangat baik. Tentunya secara logika, kita juga akan percaya bahwa dia sanggup menjaga satu orang anak dengan baik. Sangatlah tidak mungkin kalau kita percaya bahwa orang ini dapat menjaga lima anak namun kita tidak percaya bahwa dia dapat menjaga satu anak saja.

Berbalik kepada salib-Nya

Mari sejenak kita kembali ke kitab Keluaran di mana kehadiran Tuhan digambarkan di tempat yang tinggi dan suci seperti gunung Sinai. Dalam pasal 19 diceritakan bahwa kehadiran Tuhan di puncak gunung Sinai merupakan peristiwa yang menyeramkan: ada guruh dan kilat, awan padat di atas gunung, asap yang membumbung dan membuat gemetar seluruh bangsa yang ada di perkemahan. Ketika itu, bangsa Israel harus menguduskan diri untuk menjumpai Tuhan, namun ternyata mereka tetap tidak diizinkan naik ke atas gunung dan hanya boleh berdiri di kaki gunung. Tuhan memperingatkan Musa untuk memasang batas di sekeliling gunung, karena tempat itu adalah tempat yang kudus. Diceritakan juga, bahwa siapa pun yang mendaki atau menyentuh tempat itu akan mati.

Dalam kisah ini, kita dapat melihat bahwa Tuhan adalah Tuhan. “I am Who I am” (Keluaran 3:14). Dia tidak dapat didefinisikan oleh apa pun. Dia tidak dapat mati, tidak dapat menjadi lemah, dan tentunya Dia tidak dapat bersatu dengan dosa. Bangsa Israel tidak dapat naik dan menjumpai Tuhan karena Tuhan terlalu besar, terlalu agung, dan terlalu kudus bagi mereka. Lantas bagaimana? Dalam Mazmur 24 dikatakan bahwa hanya orang yang benar-benar bersih dan tidak bercela yang dapat naik ke atas gunung Tuhan. Mungkin pada saat itu bangsa Israel tidak mengerti, namun di sana Tuhan ingin berkata bahwa rancangan-Nya adalah rancangan yang terbaik. Bukan tentang bagaimana akhirnya mereka dapat naik untuk berjumpa dengan Tuhan, namun tentang bagaimana Tuhan yang pada akhirnya rela merendahkan diri untuk menjumpai mereka.

Perjanjian Baru menggambarkan kehadiran Tuhan dengan cara yang berbeda. Alih-alih dengan peristiwa yang menyeramkan, kehadiran Tuhan justru digambarkan dalam rupa bayi yang lemah. Imanuel, Tuhan beserta kita. Setiap orang yang berjumpa dengan-Nya, bercakap dengan-Nya, menyentuh-Nya, akan merasa lebih baik, bahkan ada yang seketika sembuh dari penyakitnya. Mengapa? Mengapa mereka tidak mati atau binasa seperti yang digambarkan dalam Perjanjian Lama? Karena, segala peristiwa menyeramkan dalam Perjanjian Lama, seperti awan mendung, gempa bumi dan bukit-bukit terbelah, seluruhnya telah ditumpahkan-Nya dalam salib-Nya. Dia yang tidak bercela, Dia yang kudus, Dia yang agung, rela menjadi berdosa dan menanggung segala konsekuensi keterpisahan-Nya dengan Bapa karena kasih-Nya kepada kita semua.

Jika kepercayaan-kepercayaan lain menawarkan berbagai cara untuk dapat berjumpa kembali dengan Tuhan, kekristenan berkata tidak. Kita tidak dapat kembali dengan usaha kita sendiri. Seberapa besar pun usaha kita untuk menyucikan diri, kita tidak akan pernah dapat mencapai-Nya. Mari kita berbalik kepada salib-Nya, melihat bagaimana Dia menyatakan bahwa kita sangat berharga bagi-Nya. Dan ketika kita taat serta percaya dengan sungguh-sungguh, dunia akan melihat kemuliaan-Nya melalui kita.

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, iman kita semestinya seperti air yang mengalir dari atas ke bawah. Jika kita percaya kepada anugerah kasih dan keselamatan-Nya yang begitu besar bagi kita, seharusnya kita juga percaya atas pemeliharaan dan penyertaan-Nya dalam setiap aspek kehidupan kita. Mari kembali belajar untuk percaya kepada-Nya dan berhenti hidup berdasarkan pemikiran kita sendiri, percaya bahwa Tuhan selalu hadir dan menyertai kita.

Meski aku belum mengetahui bagaimana kelanjutan kisahku dengan orang tua dan keluargaku, namun aku percaya bahwa Tuhan mengasihiku dan akan selalu menyertaiku. Apa pun ketakutan dan pergumulan yang akan kita hadapi di tahun yang baru ini, semoga kita semua dapat terus memercayai kasih dan penyertaan-Nya setiap waktu.

Baca Juga:

Kado Awal Tahun

Baru di hari kedua tahun 2020, aku sudah dilanda ketakutan. Banjir yang datang tak diundang seolah jadi kado pembuka tahun yang tak diinginkan. Namun, ada pengharapan yang pasti yang bisa kita pegang dalam menghadapi hari-hari kita.

Sidang di Hari Natal, Ini Perjalananku Bersama Tuhan

Oleh Vina Agustina Gultom, Bekasi

Jika hari Natal adalah hari yang dipenuhi syukur dan sukacita, pernah ada satu masa bagiku di mana Natal menjadi hari yang menakutkan, hari yang menentukan lulus atau tidaknya aku.

Tepat setahun lalu, 25 Desember 2018, Tuhan menganugerahkan hari Natal sebagai hari penentuan lulus tidaknya pendidikan S-2ku. Aku tidak pernah berpikir hari Natal menjadi hari sidangku. Dua puluh empat tahun aku hidup dan merasakan Natal yang penuh sukacita, tapi Natal tahun 2018 menjadi Natal yang rumit, sulit kuungkapkan dengan kata-kata bagaimana perasaanku saat itu. Sukacita, tapi rasanya lebih banyak ketakutannya.

Tepat di bulan Oktober, aku dan profesorku sepakat supaya sidangku bisa diselenggarakan pada tanggal 18 Desember 2018. Profesorku tahu kalau aku orang Kristen dan beliau ingin aku bisa bahagia dan lega sebelum aku merayakan Natal. Aku bersyukur memiliki profesor seperti beliau yang selalu menghargaiku meskipun dia bukanlah orang Kristen. Sebulan berlalu, aku merasa menulis tesis tidak semudah yang kurencanakan. Aku berdoa, memohon Tuhan supaya sidangku bisa mundur dari kesepakatan awal.

Pertengahan November biasanya aku selalu bersukacita karena Natal semakin dekat. Namun, saat itu aku hanya bisa berpikir kalau sidangku sudah semakin dekat. Bukannya semangat, aku malah menyalahkan diri. Kenapa aku tidak bisa menyelesaikan tesisku lebih cepat? Lebih parahnya, aku malah menyalahkan kondisi, kenapa waktu cepat sekali berjalan.

Tanggal 19 November 2018, waktunya aku mengirim email kepada dua dosen pengujiku untuk menanyakan kepada mereka, apakah mereka bisa mengujiku pada tanggal 18 Desember. Satu pengujiku menjawab bisa dan satunya lagi tidak. Aku bahagia ketika salah satu pengujiku tidak bisa pada tanggal 18. Bibirku sontak berkata, “Terima kasih Tuhan.” Aku langsung mengabari profesorku bahwa salah satu penguji tidak bisa hadir pada tanggal 18. Alhasil, profesor memintaku untuk menanyakan kapan penguji tersebut bisa mengujiku.

“25 Desember”, jawabnya.

Email itu kuterima tanggal 27 November. Beliau bersedia mengujiku pada hari Natal pukul 10.00. Membaca itu, aku sangat senang karena sidangku benar-benar mundur. Namun, profesorku kaget dan bertanya. “Apa kamu yakin mau sidang saat Natal?”

“Ya, Prof,” bibirku refleks menjawab.

Beberapa menit setelah jawaban itu terlontar, perasaanku berubah dan aku merenung. “Iya ya, sidangku bakalan di hari Natal. Di saat semua orang Kristen pergi ke gereja dengan sukacita, aku malah harus ke ruang sidang sendirian dengan ketakutan luar biasa.”

Hari terus berganti. H-21, H-14, H-7, sampai akhirnya H-1, air mataku terus mengalir, jantungku terasa berdetak lebih cepat dan tubuhku terasa sangat lelah. Aku ingat, suatu ketika air mataku menetes karena aku memaksa diri begadang. Klimaksnya terjadi pada H-7 di saat aku hanya tidur 3 jam karena berlatih sidang berturut-turut di depan profesor, asisten profesor, juga teman-teman labku.

Jiwaku seperti tidak memiliki Allah

Aku selalu membiarkan diriku hanyut akan ketakutan dan kelelahanku daripada menyadari bahwa aku punya Allah yang berkuasa. Namun, dengan kuasa-Nya, Roh Kudus yang diam dalamku mengingatkanku akan firman Tuhan yang pernah ditabur.

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16).

“Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihat, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat” (Ibrani 10:25).

Aku sangat bersyukur dengan dua benih firman ini. Di tengah waktuku yang terbatas, Tuhan mengingatkanku untuk terus berjuang mengikuti dan menikmati setiap pertemuan komunitas yang dianugerahkan-Nya kepadaku. Mulai dari kelompok tumbuh bersama dengan sesama pelajar Indonesia, sampai ibadah gereja. Aku benar-benar dibentuk untuk tidak egois dengan pengejaranku semata, yaitu hanya berfokus kepada tesisku dan menjauhkan diri dari persekutuan yang ada. Melalui persekutuan ini, selain firman Tuhan yang kudapat, perhatian dan kehadiran teman-temanku seperti pupuk yang tidak hanya menumbuhkan benih firman, tapi juga menumbuhkan kesehatan jasmani yang hampir tak pernah kuperhatikan karena mengejar tesis.

Di hari Natal ini, yang juga bertepatang dengan satu tahun peringatan sidangku, aku tetap menikmati pertumbuhan dari Tuhan lewat firman-Nya yang penuh kuasa. Dia benar-benar Allah yang setia. Kesetiaan-Nya tak hanya berhenti di satu titik kehidupanku, tetapi juga terus mengiringiku melewat titik-titik kehidupanku berikutya. Tuhan menjadi bunga di dalam duri ketakutanku dan Dia juga menjadi buah manis, tidak hanya di saat sidang sampai proses revisiku selesai, tapi juga sampai detik ini ketika aku bisa mendapatkan pekerjaan.

Tuhanlah satu-satunya Pribadi yang selalu berhasrat untuk menabur dan memberi pertumbuhan. Namun, harus ada orang yang bersedia menjadi tempat benih itu bertumbuh, yaitu hatiku dan juga hatimu.

Doaku, kiranya di Natal tahun ini, kita tidak lagi menjadikan Natal sebagai formalitas perayaan semata, pergi ke gereja-gereja untuk mengikuti ibadah perayaan. Biarlah lewat Natal tahun ini, hasrat Tuhan yang besar bisa kita rasakan bersama-sama, sehingga damai sejahtera kelahiran-Nya benar-benar hidup di dalam hati kita.

Selamat hari Natal! Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Natal adalah Pengorbanan dan Pembaharuan Diri

“Lip, pernah nggak kepikiran, kenapa kalau jelang Natal orang sibuk mendandani pohon Natal?” ucap temanku memecah senyap.

Menghadapi Penderitaan Tidak dengan Sikap Cengeng

Oleh Ananda, Jakarta

Masa kecil adalah masa-masa di mana kita mulai belajar dan mengenal berbagai perasaan, salah satunya adalah perasaan takut ketika mainan kita diambil. Namun, ketika kepunyaan kita diambil, biasanya orang tua kita akan memihak pada kita dan memberikan mainan itu kembali.

Ketika kita beranjak dewasa, kita mulai menyadari bahwa dunia tidak selalu berpihak kepada kita. Banyak ketidakadilan yang sering terjadi di sekitar kita dan kita merasa berhak untuk menuntut keadilan jika ketidakdilan itu menimpa kita. Salah satu contoh sederhana yang mungkin sering kita alami adalah kesedihan dan kekecewaaan kita ketika Tuhan tidak mengabulkan doa kita. Atau, ketika banyak masalah yang datang menimpa kita padahal kita merasa sudah melakukan banyak hal untuk melayani Tuhan. Tanpa sadar, kita lupa bahwa kesedihan dan kekecewaan kita tersebut mencerminkan sebuah cara untuk mengatur Tuhan agar Dia memenuhi keinginan-keinginan kita sesuai dengan apa yang kita kehendaki.

Mungkin penjelasan-penjelasan di atas terdengar membosankan karena terlalu sering kita mendengarnya dari pendeta-pendeta di gereja. Mungkin juga, ketika kita mendengarnya lagi, kita merasa hal itu tidak mungkin kita alami karena kita juga sudah terlalu sering mendengar “mengikut Kristus bukanlah perkara mudah”. Mengapa aku berkata demikian? Karena aku mengalaminya.

Selama ini aku memahami bahwa mengikut Kristus merupakan perkara yang tidak mudah dan penuh tantangan. Aku pun selalu mendapatkan penguatan-penguatan dari orang-orang di sekitarku mengenai hal tersebut. Namun, ada kalanya aku tetap merasa sedih dan mempertanyakan kesedihanku kepada Tuhan.

Belakangan aku merasa lelah dengan imanku. Sudah empat tahun aku mengikut Kristus secara diam-diam (Sebelumnya sudah pernah kutuliskan di sini). Sejak kelas 3 SMA, aku menyembunyikan imanku kepada Kristus dari keluarga dan sebagian besar teman-temanku. Awalnya aku sangat menggebu-gebu dan penuh sukacita menjalaninya, namun belakangan aku merasa lelah. Semuanya terasa seperti sandiwara. Aku sedih kehilangan relasi dengan sahabat-sahabatku karena imanku. Aku pun lelah karena ada orang-orang yang justru berburuk sangka tentang imanku. Mereka mengira aku tidak sungguh-sungguh mengikut Kristus. Mereka kira aku sekadar ikut-ikuan dan terpengaruh orang lain. Bahkan, ada juga yang mengira aku mengikut Kristus demi menjalin hubungan dengan seorang laki-laki.

Kelelahanku membuatku bertanya-tanya kepada Tuhan, “Tuhan mengapa aku tidak dilahirkan di keluarga Kristen? Mengapa aku harus melalui semua ini? Mengapa orang-orang itu tidak memandangku dengan baik meski aku telah mengikut Engkau? Mengapa mereka bukannya menguatkan tapi malah menjatuhkan? Mengapa ibuku semakin fanatik dengan imannya dan membuatku sulit untuk mengabarkan Injil kepadanya? Mengapa ayah kandungku meninggal saat aku SD dan aku mendapatkan ayah baru yang fanatik? Mengapa aku harus berpura-pura? Sungguh, aku lelah Tuhan hidup dalam dua ‘dunia’ seperti ini. Sampai kapan Tuhan? Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?” dan sederet pertanyaan lainnya.

Pilihan sikap untuk menghadapi penderitaan

Aku menangis selama beberapa waktu sampai suatu hari aku diingatkan saat ibadah Minggu melalui firman yang ditulis oleh Petrus dalam 1 Petrus 2:11-3:12. Dalam bacaan tersebut, Petrus mengingatkan kembali bahwa identitas baru kita dalam Tuhan tidak mengubah relasi sosial kita dalam kehidupan bermasyarakat. Petrus secara khusus mengingatkan para hamba-hamba (budak) pada ayat 18 untuk tetap tunduk kepada tuan mereka, bukan hanya kepada tuan yang baik namun juga kepada tuan yang bengis. Tidak hanya itu, setelah para budak, Petrus juga menguatkan para istri untuk tunduk kepada suami mereka, bukan hanya kepada suami yang taat, namun juga kepada yang tidak taat.

Jika kita lihat dalam ayat-ayat tersebut, Petrus menghubungkan budak dengan istri melalui teladan Kristus. Mengapa demikian? Pada saat itu, para budak dan istri adalah dua kelompok masyarakat yang penderitaannya paling mirip dengan penderitaan yang Kristus alami (Innocent suffering). Petrus mengingatkan para budak dan para istri agar tetap menghormati tuan dan suami mereka dan tetap berbuat baik kepada mereka agar terang Kristus boleh terpancar melalui setiap perbuatan baik mereka.

Tentunya ini bukan hal yang mudah. Bagi para budak, mereka adalah kaum yang tidak dianggap dan sering mengalami penderitaan. Tetapi, justru secara khusus Petrus menuliskan surat yang menguatkan mereka dan mengingatkan mereka bahwa identitas mereka adalah manusia yang Tuhan kasihi; identitas mereka tidak bergantung kepada tuan mereka dan Tuhan telah rela mengalami penderitaan yang serupa karena kasih-Nya kepada manusia. Begitupun para istri yang menerima identitas baru dalam Kristus. Mereka mungkin tidak bisa mengabarkan Injil melalui perkataaan mereka kepada suami atau keluarga mereka. Mereka dikenal sebagai kaum yang sulit dipercaya dan harus selalu patuh kepada suami mereka. Dengan iman mereka yang baru (iman kepada Kristus), masyarakat akan menganggap mereka telah mencoreng nama baik keluarga, merusak relasi mereka dengan suami dan anak-anak mereka. Bahkan, mereka bisa saja diceraikan, dibuang, dan dibiarkan begitu saja. Oleh karena itu, Petrus menekankan agar mereka, para istri, tetap tunduk menghormati suaminya sebagai bentuk penyembahan mereka kepada Kristus.

Tidak hanya para istri, Petrus juga melanjutkan suratnya kepada para suami yang telah beriman kepada Kristus. Dalam suratnya, Petrus mengingatkan agar para suami yang pada zaman itu sangat berhak memaksa dan mengatur kehidupan keluarganya, tetap berlaku bijaksana dan menghormati istri mereka, walaupun mungkin istri dan anak-anak mereka bukan orang percaya. Petrus mengingatkan bahwa Kristus tidak mengajarkan pemaksaan, meskipun Kristus tentu memiliki kuasa untuk memaksa atau melawan musuh-musuh-Nya dalam penderitaan-Nya.

Mendengar setiap firman yang disampaikan itu, pikiranku benar-benar melayang, membayangkan keadaan pada masa itu dan membayangkan setiap peran yang Petrus sebutkan. Aku membayangkan pasti sangat sulit bagi para budak yang sudah melakukan setiap pekerjaan mereka dengan baik namun tetap harus menerima dengan kasih setiap bentakan, cacian, dan siksaan dari majikan yang kejam. Kemudian, aku mengaitkan kondisiku saat ini dengan kondisi para istri yang mungkin mirip sepertiku. Ya, aku seperti mereka. Aku belum bisa mengabarkan kabar baik secara langsung (lisan) kepada keluargaku. Tapi, aku tetap harus berbuat baik serta menghormati mereka dengan kasih Kristus. Aku juga membayangkan seandainya aku menjadi suami pada zaman itu, mungkin aku akan sangat tergoda untuk memaksa istri dan keluargaku untuk mengikuti iman yang sama seperti yang kuikuti. Akan sangat mudah bagiku untuk menjalani hidup tanpa harus merasakan rasa malu dari masyarakat sekitar maupun teman-teman karena imanku yang berbeda dari keluargaku.

Aku kembali merefleksikan semua itu kepada teladan yang Kristus ajarkan. Aku kembali menangis. Ya, kali ini aku menangis karena aku merasa terlalu cengeng jika dibandingkan dengan mereka semua yang Petrus sebutkan, terlebih lagi jika dibandingkan dengan Kristus. Aku kembali mengingat betapa Kristus sungguh mengasihiku sehingga Dia rela menderita, rela ikut “jatuh” ke dalam lumpur dosa, rela diam ketika dicaci dan dihina, bahkan rela terpisah dengan Bapa untuk menolong kita. Begitupun dengan Bapa yang rela memalingkan pandangan-Nya dari Anak yang sangat dikasihi-Nya, agar pandangan-Nya yang penuh kasih bisa sepenuhnya tercurah kepada kita.

Mungkin penderitaaan yang kita alami saat ini terasa sangat sulit untuk dilalui, namun marilah terus memandang kepada teladan yang Kristus telah berikan kepada kita. Jika Kristus sudah begitu mengasihi kita, maukah kita menerima kasih-Nya dan melalui setiap penderitaan kita dengan tetap berpengharapan dan bersukacita? Jika kita telah merasakan kasih-Nya yang begitu besar bagi kita, maukah kita juga mengabarkan kasih anugerah keselamatan itu kepada mereka yang belum mendengarnya melalui tiap perkataan dan tindakan kita?

Meski terkadang aku masih merasa lelah, namun kini aku selalu berusaha mengingat bahwa setiap kelelahan yang kualami tidak seberapa dengan kelelahan yang Tuhan telah alami. Selain itu, aku juga berusaha untuk melihat orang-orang lain yang mengalami penderitaan lebih berat daripada yang kualami. Semisal, ada beberapa pengungsi dari negara-negara terkoyak perang yang juga pengikut Kristus dan harus menyembunyikan imannya, sama sepertiku. Tak hanya itu, mereka pun harus bergumul dengan hal-hal lain yang lebih berat sepertit empat tinggal, makanan, bahkan kewarganegaraan. Aku tidak sedang menjalani perjalanan ini sendirian, ada Yesus yang menyertaiku juga kita sekalian.

Baca Juga:

3 Pertanyaan untuk Diajukan Saat Kamu Berpacaran

Berpacaran bisa menjadi sebuah petualangan yang mendebarkan, terutama karena berpacaran merupakan langkah awal yang nanti akan membawa kita ke jenjang pernikahan! Namun, sudahkah kamu menguji hatimu dalam menjalani fase ini?

3 Hal yang Tuhan Ajarkan dalam Masa Penantian

Oleh Yosheph Yang, Korea Selatan

Aku adalah salah seorang mahasiswa S3 di salah satu universitas di Korea Selatan. Sebagai mahasiswa S3, aku harus menulis publikasi jurnal untuk dapat lulus.

Dalam proses penelitian dan penulisan jurnalku, aku tidak terlalu bertekun dalam berdoa. Kalaupun berdoa, tujuanku adalah supaya jurnalnya diterima. Motivasi dalam berdoaku ialah untuk mengejar kesuksesan dalam studiku. Sama seperti kebanyakan mahasiswa S3 di sekitarku, aku berpikir apabila banyak publikasi jurnalku yang diterima, aku akan lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan nantinya setelah kelulusanku.

Tahun 2017, aku mencoba mengirimkan publikasi pertamaku. Hasilnya keluar satu tahun kemudian dan ditolak. Tidak mudah bagiku untuk menerima hasil tersebut. Aku kecewa, menggerutu, dan frustrasi dengan kenyataan yang harus kuhadapi.

Aku mencoba lagi mengirim publikasi pertamaku di jurnal lainnya pada bulan Oktober 2018. Dua bulan setelahnya, aku juga mengirim publikasi keduaku. Dalam waktu kurang dari satu bulan, publikasi keduaku sudah ditolak lebih dari dua jurnal.

Aku menjadi kurang percaya diri. Aku mulai membandingkan diriku dengan teman-teman di sekitarku yang publikasinya diterima. Keadaan ini membuatku iri hati dengan pencapaian teman-temanku.

Di tengah kekecewaan yang kualami, aku disadarkan melalui fellowship bersama mentor rohaniku akan tiga hal yang Tuhan sebenarnya inginkan dalam hidupku.

1. Tuhan ingin agar aku memperbaiki motivasi dalam berdoa.

Hasratku sebelumnya mendapat reputasi yang baik dengan menulis sebanyak mungkin publikasi. Namun, Tuhan ingin aku berdoa dengan motivasi yang benar, yaitu agar nama-Nya saja yang dipermuliakan lewat setiap hal yang kulakukan. Aku pun mengubah motivasi doaku sesuai kehendak Tuhan. Dengan diterimanya publikasiku, tujuannya bukan lagi untuk kebanggaan pribadi, melainkan supaya aku bisa menceritakan kebaikan Tuhan dalam hidupku kepada orang-orang di sekitarku.

2. Tuhan ingin agar aku percaya sepenuhnya kepada Tuhan, bukan mengandalkan kekuatanku sendiri.

Dari kecil, dapat dikatakan aku mempunyai hasil akademik yang baik. Lebih mudah bagiku untuk mempercayai kemampuanku sendiri. Mungkin, hal inilah yang membuatku jarang berdoa dengan hati yang percaya penuh kepada Tuhan. Aku pun mengubah sikapku. Terkadang di saat aku berdoa, aku mengutip janji-janji Tuhan bagi kehidupanku, seperti dalam Mazmur 37:3-6 dan Yeremia 29:11.

“Percayalah kepada Tuhan dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena Tuhan; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang” (Mazmur 37:3-6)

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11)

3. Dalam masa penantian, Ia ingin mengubah karakterku agar semakin menyerupai Kristus.

Aku termasuk orang yang jarang sekali melakukan refleksi kehidupan. Melalui penolakan jurnalku, aku menilik diriku kembali. Apakah aku hidup melekat dalam Firman Tuhan? Sudahkah aku benar-benar menghidupi Firman Tuhan? Bagaimanakah persekutuanku bersama Tuhan?

Aku mulai menulis hal-hal yang kupelajari dalam saat teduhku dan menghafal beberapa ayat Alkitab. Dua hal ini membantuku untuk lebih mengenal Tuhan Yesus, betapa besar kasih-Nya bagiku, dan apa yang Ia mau untuk aku lakukan dalam hidupku.

Seperti yang dituliskan dalam Roma 8:29, sedari semula kita sudah ditentukan untuk menjadi serupa dengan-Nya. Tuhan ingin agar aku mengubah sifat iri hati dan belajar untuk mensyukuri apa yang Tuhan sudah berikan kepadaku sampai saat ini. Yohanes 3:27 menguatkanku untuk mengubah sifat iri hati.

“Tidak ada seorang pun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari sorga” (Yohanes 3:27).

Lewat ayat tersebut, aku kembali disadarkan bahwa Tuhan memberi kepada setiap orang bagiannya masing-masing sehingga aku tidak perlu iri hati. Tuhan mau aku berubah, agar hidupku menjadi berkat bagi orang di sekitarku.

Setelah menunggu kurang lebih 6 bulan, aku berterima kasih kepada Tuhan saat publikasi jurnal pertamaku akhirnya diterima untuk diterbitkan.

Di dalam ketidakpastian atau kegagalan dalam kehidupan, kiranya teman-teman bisa melihat maksud dan rencana Tuhan yang baik bagi setiap kita. Ia ingin agar kita semua menjadi semakin serupa dengan-Nya. Tuhan Yesus memberkati.

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Roma 8:28-29).

Baca Juga:

Penyertaan Allah dalam Tantangan Kehidupan

Harus kita akui bahwa tekanan hidup manusia dari waktu ke waktu tidak akan semakin mudah, justru menjadi lebih besar. Namun apa yang harus kita pahami sebagai orang Kristen dalam menjani hidup penuh tekanan?

#10YearChallenge, Hal Apakah yang Tuhan Telah Ubahkan dalam Hidupmu?

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Minggu lalu, dalam kelas diskusi di gereja, pemimpinku mengajukan pertanyaan kepada seluruh murid yang hadir. “Setelah bertahun-tahun menjalani hidup bersama Tuhan, apa sih yang paling berubah dalam hidup kalian?”

Pertanyaan itu membuat seisi kelas jadi hening. Kami saling melirik dan tersenyum. Setelah ditunjuk, barulah satu per satu kami menjawab. Jawabannya beragam. Kebanyakan temanku berkata bahwa secara umum mereka jadi lebih sabar, lebih semangat, dan lebih bersyukur. Lalu, tibalah giliranku untuk menjawab. Karena aku tinggal merantau di luar kota, pemimpin diskusi memintaku untuk sekalian bercerita tentang pengalamanku.

Kalau aku melihat ke belakang, perjalananku selama sepuluh tahun terakhir ini rasanya begitu luar biasa. Banyak hal yang semula begitu kutakuti, ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Tuhan menuntun langkah demi langkah yang kulalui, mulai dari pindah kota untuk kuliah, pindah kota lagi untuk bekerja, hingga masalah keluarga yang sempat membuatku hampir merasa putus asa. Perjalananku kini tentu belum mencapai garis finish, tapi segala pergumulan di belakang itu mengingatkanku akan betapa baiknya Tuhan yang telah menyertaiku.

Menjawab pertanyaan “apa sih yang paling berubah dalam hidupku”, kupikir jawabanku adalah caraku memaknai perjalanan hidupku hari demi hari. Setiap masalah yang datang dalam hidupku bisa saja menghujamku ke bawah, jika aku mengizinkan diriku untuk berlarut-larut di dalamnya. Namun, jika aku menyerahkannya ke dalam tangan Tuhan, Ia mungkin tidak akan menghilangkan masalah itu dengan mengubah situasi hidupku menjadi baik dalam sekejap. Tapi, Ia bisa menggunakannya untuk membentuk diriku menjadi pribadi yang berkenan kepada-Nya.

Tiga tahun lalu, aku mengalami masa transisi yang sempat membuatku terguncang. Setelah lulus kuliah dan bekerja ke kota lain, aku merasa masa depanku kelam. Pekerjaan yang kutekuni pernah terasa amat menjemukan dan kupikir aku telah salah mengambil langkah. Pun, aku dilanda kesepian di kota yang baru ini, hidup jauh dari keluarga dan sahabat. Aku merasa gelombang hidup di depanku terlalu besar, dan aku tidak mampu mengatasinya.

Namun, seiring berjalannya waktu, aku mendapati bahwa sesungguhnya aku tidak sendirian. Ada Tuhan yang menyertaiku. Dan, melalui inilah aku mengubah cara pandangku. Aku menganggap perjalanan hidupku ini ibarat sebuah perjalanan ke puncak bukit dari suatu tempat yang terletak di pesisir pantai. Ketika aku berada di tepian pantai, lautan yang kulihat adalah air yang penuh gelombang. Tatkala badai datang, deburan ombaknya kian besar dan membuatku takut. Namun, aku melangkahkan kakiku, selangkah demi selangkah ke atas sebuah bukit. Tanah yang kupijak tak selalu berumput hijau, kadang dipenuhi kerikil tajam. Pun konturnya tak selalu rata. Kadang menanjak, menurun, datar, juga berkelok-kelok.

Hingga suatu ketika, saat aku tiba di puncak bukit yang tinggi, aku melihat ke bawah. Lautan tak lagi menampakkan deburan ombaknya yang ganas. Yang kulihat hanyalah sebuah kolam biru yang luas membentang, yang menyajikan suatu ketenangan yang tiada berbatas.

Kupikir, seperti itulah perjalanan hidup kita. Tiap kita sedang dalam perjalanannya menuju puncak bukit kita masing-masing. Kita bisa memilih untuk berdiam di tepi deburan ombak dan suatu saat terseret oleh kuatnya gelombang. Tapi, kita juga bisa memilih untuk berjalan ke atas, ke tempat yang lebih tinggi. Bukan untuk menghindari segala permasalahan hidup, melainkan untuk menyikapinya dengan cara pandang yang lebih luas. Kita bisa menghadapi tahun ini dengan segala tantangannya bukan dengan rasa panik dan khawatir, melainkan dengan kedamaian dan ketenangan hati sebab Tuhan senantiasa menyertai kita. Ulangan 32:11-12 memberikan kita gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana cara Tuhan menyertai kita.

“Laksana rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-layang di atas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya, menampung seekor, dan mendukungnya di atas kepaknya, demikianlah TUHAN sendiri menuntun dia, dan tidak ada allah asing menyertai dia.”

Kehadiran Allah dilambangkan sebagai burung rajawali yang dengan sengaja memporakporandakan sarang yang didiami anaknya. Namun, sang rajawali tetap mendampingi dan melindungi hingga anak-anaknya memiliki sayap yang kuat dan mampu terbang tinggi melintasi angkasa.

Sahabatku, sepuluh tahun, atau lebih, Tuhan kita adalah Tuhan yang setia, Tuhan yang tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Jika kita membuka Instagram dan mengikuti #10YearChallenge, jadikanlah itu bukan sekadar momen yang mengingatkan kita akan banyaknya perubahan fisik yang terjadi dalam hidup kita, tetapi betapa Tuhan telah dan terus menyertai kita sepanjang perjalanan hidup kita.

Sahabatku, bagaimana denganmu? Hal apakah yang Tuhan telah ubahkan dalam hidupmu?

Baca Juga:

Surat untuk Sahabatku yang Sedang Berduka

Sahabat, meskipun mungkin ada luka dalam hatimu yang belum mengering, namun aku percaya, bersama Tuhan kamu mampu melangkah di tahun ini. Inilah sepucuk suratku untukmu.

Bapa dan Lappy

Oleh Maria Felicia Budijono, Surakarta

Lappy, demikian aku menyebut laptopku. Benda ini sudah setia menemaniku selama lebih dari tujuh tahun. Aku ingat, pertama kali aku mendapatkan lappy adalah ketika aku sedang menyelesaikan skripsiku dulu. Setelah skripsiku selesai dan aku lulus kuliah, lappy masih setia menemaniku mengerjakan berbagai tugas dan pekerjaan yang harus kuselesaikan setiap harinya.

Selama masa itu, aku bersyukur karena lappy tidak pernah rusak. Tapi, belakangan ini lappy mulai lemot dan muncul beberapa masalah. Aku lalu meminta tolong adikku yang adalah seorang programmer untuk mencoba mencari tahu masalah di balik kondisi laptopku ini. Adikku mencoba meng-install ulang lappy. Tapi, tetap saja lemot-nya tidak berkurang dan ini cukup menggangguku untuk menyelesaikan pekerjaanku.

“Kak, sepertinya laptop ini benar-benar minta pensiun deh. Tapi, coba nanti aku periksa lagi,” kata adikku.

Hatiku terasa berat. Aku lalu berdoa pada Tuhan, “Apakah aku benar-benar membutuhkan laptop baru?” Aku masih berharap lappy akan kembali bekerja seperti sedia kala, atau setidaknya ia tetap bisa kugunakan meski kinerjanya lambat. Tapi, akhirnya lappy benar-benar rusak dan aku tidak dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaanku.

“Tuhan, bagaimana ini? Sepertinya aku benar-benar butuh laptop pengganti, tapi bujetnya dari mana? Caranya gimana?” Sambil berdoa, aku berpikir mencari-cari cara bagaimana nantinya aku bisa mendapatkan laptop baru di tengah kondisi keuanganku yang sedang terbatas.

Namun, hati kecilku berbisik, “Kalau memang Tuhan menghendaki, pasti ada jalan keluar.” Aku mengubah sedikit isi doaku, dari yang tadinya bertanya-tanya akan bagaimana caraku mendapatkan laptop baru menjadi doa yang berisikan penyerahan diri. Aku percaya apapun kelak jawaban Tuhan, itu adalah yang terbaik darinya.

Aku lalu menghampiri adikku dan memberitahunya kalau laptopku sudah tidak bisa digunakan. Aku sempat berpikir kalau nanti lappy kujual tukar tambah saja dengan laptop yang baru. Namun adikku menolak usulku itu.

“Kak, wah, parah itu. Udah nggak usah dipakai lappynya. Sudah faktor U (usia). Gini aja, aku ada laptop yang jarang aku pakai. Bentar aku lihat dulu dan perbaiki sedikit ya, nanti bawa saja dan pakai,” kata adikku.

Aku kaget. Hatiku meluap dengan ucapan syukur kepada Tuhan atas jawaban doa yang Dia berikan kepadaku. Tuhan mengetahui apa yang kubutuhkan. Tuhan tidak memberikanku laptop baru, tapi Dia memberikanku sebuah laptop lama yang dimiliki adikku, yang tentunya dapat kugunakan untuk mengerjakan pekerjaanku.

Peristiwa ini mengingatkanku akan bacaan saat teduh yang kurenungkan beberapa hari belakangan. Dalam buku pendalaman Alkitab pribadiku, terdapat bahan saat teduh yang terambil dari buku “Lady in Waiting”. Kubuka jurnalku, dan ternyata di sana aku pernah menuliskan sebuah kalimat: “Jika Allah mempedulikan kebutuhan-kebutuhanku secara fisik (makanan, minuman, barang, dll), dan kalau Allah juga sudah memenuhi kebutuhanku yang terbesar, yaitu KESELAMATAN melalui salib, mana mungkin Allah tidak memedulikan kebutuhan dan doaku yang lainnya?”

Aku punya beberapa pokok doa yang kunaikkan pada Tuhan. Selama aku mendoakannya, aku belajar untuk menanti jawaban dari-Nya dengan tetap mendekatkan diriku pada Tuhan. Aku pun belajar untuk teguh beriman bahwa apapun jawaban Tuhan atas setiap doaku, itu adalah jawaban yang sesuai dengan kehendak dan rencana-Nya. Dan, apapun jawaban doaku kelak, itu adalah yang terbaik dan terindah yang Tuhan berikan.

Aku bersyukur, jawaban yang Tuhan berikan dari rusaknya lappy mengajariku untuk menghidupi dan mengalami ayat yang menjadi hafalanku beberapa hari belakangan ini:

“…Tidak ada telinga yang mendengar, dan tidak ada mata yang melihat seorang allah yang bertindak bagi orang yang menanti-nantikan dia; hanya Engkau yang berbuat demikian…”
(Yesaya 64:4).

Tuhan, Bapa kita, adalah Tuhan yang selalu peduli akan setiap detail kehidupan kita. Biarlah iman kita semasa kita menantikan jawaban doa dari-Nya menjadi suatu hal yang menyenangkan hati Tuhan.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

3 Hal yang Dilakukan Orang Majus untuk Menyambut Yesus. Sudahkah Kita Juga Melakukannya?

Jika bicara tentang orang Majus, mungkin ada sebagian orang yang berdebat mengenai kapan waktu pasti kedatangan mereka. Tapi, terlepas dari kapan waktu kedatangannya, ada tiga hal menarik dari orang Majus yang bisa kita renungkan.