Posts

Ruang Operasi: Terlihat Menegangkan, Namun Penuh Penyertaan Tuhan

Oleh Febe Valencia

Tahun baru seharusnya dirayakan, makan enak bersama keluarga sepulang ibadah akhir tahun. Seharusnya bersukacita, menuliskan semua hal yang ingin dicapai. Seharusnya aku fokus mendaftar magang. Namun, berakhir di sinilah aku, di ruang inap rumah sakit untuk merawat kakek yang biasa aku panggil Opung Doli. Aku satu-satunya cucu yang tinggal bersama opung di rumah. Sedari kecil aku dirawat dan dibesarkan olehnya dan Opung Boru (nenek). Saat aku sudah dewasa, otomatis akulah yang diandalkan di rumah karena usia mereka yang tak lagi muda.

Sabtu pagi, Opung Doli terpeleset karena lantai licin sehabis hujan. Aku pun bimbang. Sehari sebelum insiden ini, hubunganku dengannya tidak baik. Beliau gelisah, aku dimarahi dan jadi sedikit kecewa. Kuberikan pertolongan pertama lalu berjuang membawanya ke rumah sakit karena opung tidak bisa berjalan, sementara opung boru di rumah saja karena dia memiliki riwayat penyakit jantung.

Di rumah sakit, kupikir pemeriksaan dan hasilnya tidak akan rumit. Tapi, foto rontgen berkata lain. Bonggol paha kirinya retak dan harus dioperasi. Rumah sakit pertama yang kami kunjungi ini tidak bisa melanjutkan tindakan karena keterbatasan alat, ditambah lagi kami pun menggunakan jalur BPJS. Ada dua rumah sakit lain yang direkomendasikan. Saat itu aku takut karena semuanya kuusahakan sendiri. Rumah sakit rekomendasi pertama tidak bisa memberi jadwal operasi yang pasti karena harus menunggu antrean. Aku pun makinlah takut.

Namun, Tuhan begitu setia. Pertolongan-Nya mewujud lewat orang-orang yang tidak kami sangka. Setelah opsi-opsi yang kami coba, opung akhirnya bisa dirawat dengan baik di rumah sakit yang pelayanannya baik pula. Kurasa ini sudah cukup, namun penyertaan Tuhan terus kurasakan tiap hari. Tanpa disangka, jadwal operasi bisa lebih cepat dengan harapan pemulihannya juga bisa lebih cepat dan beliau bisa beraktivitas seperti semula.

Kurasakan Tuhan baik saat aku menemani opung. Mungkin tidak tepat waktunya sakit ketika akhir tahun, tapi justru ini waktu ketika aku liburan semester yang cukup panjang. Sembari menunggu opung, aku juga menjadi pendengar yang baik buat seorang ibu yang sedang menunggu anaknya dioperasi. Ada tumor pada mata dan bibir dalam tubuh sang anak yang baru berusia enam tahun. Ayahnya sudah meninggal. Tangisan anak itu terdengar di ruang bedah sentral. Mendengar itu, ibunya pun meneteskan air mata. Dia sudah menjanjikan anaknya liburan, namun ternyata operasi.

Setelah operasi opung, Tuhan menggunakan momen sakit ini untuk menghancurkan namun membentuk kembali hati kami. Opung dipindahkan ke ICU selama satu malam untuk observasi lebih lanjut. Pasca operasi semuanya normal. Beliau sempat sadar, bisa bicara, terjadi pendarahan. Semua ini wajar. Opung tidak rela ditinggal di ICU sendirian, sehingga malam itu aku pun susah tidur. Jantungku berdebar kencang. Memang sulit rasanya perlahan melepaskan kendali yang selalu kupegang. Tapi, lagi dan lagi, Tuhan baik. Siang harinya opung bisa kembali ke kamar perawatan biasa karena hasil observasinya baik.

Hubunganku dengan opung yang awalnya sempat tegang mulai membaik. Kami saling mengampuni, semua kesalahpahaman diluruskan. Kami juga meminta ampun pada Tuhan, Sang Juruselamat yang sering kami ragukan kesetiaan-Nya karena banyaknya tuntutan yang kami pinta. Aku yakin dan percaya, lewat kejadian ini Tuhan ingin berbicara kepadaku, kepada opung, keluargaku, bahkan buat kamu yang sedang membaca kesaksian ini. Berkat itu bisa sesederhana kita dapat berjalan kaki setiap hari, namun sering lupa kita syukuri, bukan?

Mengurus segala sesuatunya sendiri, aku belajar menjadi pribadi yang mandiri. Aku belajar banyak sabar. Kulihat di kiri-kananku, bagaimana orang-orang sedemikian sabarnya mengurus anaknya, suami atau istrinya, atau orang tuanya.

Menutup tulisan ini ada dua kutipan yang kurasa baik untuk kita renungkan bersama:

“Jika kamu mencoba menyelamatkan hidupmu, kamu akan kehilangannya. Tetapi jika kamu menyerahkan hidupmu karena Aku, kamu akan diselamatkan.” (Lukas 9:24 AMD).

“Dihancurkan supaya jadi utuh, kerajaan Allah berawal di dalam diri Anda. Ketika Anda sampai di akhir ke-aku-an Anda, di mana Anda menyadari bahwa Anda tidak punya apa pun yang bisa Anda berikan.” – Buku The End of Me, Kyle Idleman.

Tuhan Yesus memberkati.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Merangkak Perlahan-lahan, Berjalan Tertatih-tatih

Oleh Elvira Sihotang, Jakarta

Bagiku, Januari tahun ini adalah Desember kedua, atau November kedua, atau Oktober kedua. Aku tidak merayakan malam tahun baru seperti di tahun sebelumnya. Tahun ini aku hanya mengingat bahwa aku berbaring di tempat tidurku jam 12,mendengar gemuruh dan melihat warna-warni meriah kembang api di tengah langit, menerka-nerka apa yang ada di Januari.

Hingga tulisan ini diketik, aku berjalan hanya berbekal moto ‘berjalan pelan-pelan’ sambil sesekali tersedu mengelola rintangan-rintangan.

Desember lalu, aku terdiagnosa mengalami suatu kondisi medis tertentu. Lalu di Januari ini, di tengah-tengah masa pendidikanku, aku mengalami kesulitan-kesulitan di tugas akhirku. Puncaknya kemarin, aku disarankan untuk memetakan kembali bab awalku hingga proses analisa data. Rasa letih yang tertumpuk-tumpuk untuk memahami materi tugas akhir selama sebulan ini rasanya tidak terbayar, porak-poranda dan aku merasa bodoh.

Sebanyak apapun kutipan tentang menjadi kuat dan bersabar nyatanya tidak berhasil membuat air mataku tertahan. Sesering-seringnya aku mendengar ayat dan khotbah tentang bertahan di masa sulit nyatanya tetap membuatku bertanya apakah aku akan berakhir dengan menyedihkan. Hingga kadang dalam tangisku, aku merasa gagal menjadi seorang anak Tuhan. Dalam tangisku, aku merasa sering lalai mempercayai bahwa Tuhan mendampingiku.

Judul tulisan ini aku dapatkan ketika aku menaiki ojek motor untuk menempuh perjalanan yang aku lupa, entah ke gereja, entah ke tempat bekerjaku. Di perjalanan itu pun, pengemudi motor beberapa kali hampir menabrak motor di depannya. Namun entah apa yang terjadi, reaksiku datar, tidak ketakutan dan mengelus dada seperti biasanya. Kupandang datar motor di depan motor kami dan tersenyum tipis sendiri; rupanya aku masih diberi kesempatan hidup, pikirku saat itu.

Perjalanan itu memutar ulang semua kejadian perjalanan yang pernah aku tempuh, termasuk dalam seminggu terakhir ini. Mungkin sudah berulang kali aku menemukan diriku berada di belakang supir yang hampir menabrak kendaraan di depannya, menyenggol pengemudi sampingnya, atau mungkin hampir terhalang truk saat membelok ke tikungan. Dalam beberapa kesempatan aku berpikir bahwa saat itu terjadi, aku merasa memilki kemungkinan besar untuk tertabrak atau tersenggol, tapi ternyata sampai tulisan ini aku ketik, aku terselamatkan oleh hal-hal itu semua; satu hal yang sungguh aku syukuri di tengah semua kejadian di bulan Januari ini. Dalam kesempatan kesekian kalinya di atas  motor dengan segala kebrutalannya, aku merasa bahwa kesempatan untuk hidup inilah yang harusnya membuat aku terdorong untuk berjalan, tidak peduli seberapa pelan langkah kaki ini bergantian maju.

Kujalani hari-hari dengan rutinitas seperti biasa, tapi itulah yang mungkin Tuhan inginkan, berjalan sebisanya sambil berharap kepada Tuhan. Kupandang bangunan tempat pendidikanku dengan lekat walau datar. Mungkin inilah yang Tuhan inginkan. Bersyukur untuk kesempatan yang ada di tengah kesulitan lain yang ada. 

Setiap hari, di akhir-akhir hari ini, aku selalu merasa ada yang mengancam nyawa dan jiwaku. Mulai dari perjalanan dengan ojek online yang selalu brutal sampai pada tangisan berulang-ulang saat merawat diriku dan mengerjakan tugas. Kadang aku berpikir, saat aku di tengah motor itu, Tuhan akan mengambil nyawaku. Ia pasti sudah lelah melihatku hanya menangis dan bertanya sendu tentang rencana-Nya. Tapi nyatanya kejadian brutal berulang kali itu tak membuatku mati, menghembuskan nafas terakhir, atau hilang mendadak. Aku masih dengan sadar membuka mata di pagi hari, melihat jam di HP, menyibak korden dari jendela, dan bersiap-siap untuk mandi. Pernah aku tanyakan kenapa Tuhan tak selesai denganku, tapi rasanya tak kutemukan suara dalam tiap pertanyaan itu.

Sampailah aku di momen bahwa mungkin Tuhan tak akan menjawab pertanyaanku. Ketika aku membuka mata di pagi hari aku tersadarkan bahwa Tuhan masih memberiku nafas dan lambat laun menyadari bahwa izin-Nya atas hidupku tidak mungkin salah. Bahwa Tuhan mengetahui pasti kapan aku akan pergi dan sampai kapan aku masih dapat beraktivitas di dunia ini. Sampailah aku tersadar bahwa nafasku di pagi hari adalah jawaban Tuhan untuk diriku yang selalu bertanya apakah aku masih kuat menjalani ini semua.

Kutangisi kesadaran itu dengan memahami bahwa langkah kakiku mungkin akan berat atau bahkan enggan bergerak di momen-momen tertentu, namun dalam segala rintangan itu, kutemui jawaban bahwa bukan kakiku yang menjadi andalanku, atau motivasi yang kubuat, atau otakku untuk semua rencana yang kubuat. Kutemui jawaban bahwa harapan pada Tuhanlah yang memampukan kakiku berjalan atau otakku bekerja mencari cara. Bahwa Tuhan akan memberikan kesanggupan yang cukup saat aku berjalan atau hikmat yang cukup saat aku berpikir. Dalam kelemahanku, aku belajar mendongak sungguh-sungguh pada Tuhan. Jika hari ini aku diberikan kesempatan hidup, maka Tuhan mengizinkan itu terjadi dan padaku ada tanggung jawab untuk menjalaninya sepenuh hati, dengan harapan yang kuat akan pertolongan Tuhan.

Pada teman-teman yang mungkin mengalami hal yang sama, aku berdoa semoga kita semua terus mau berjalan walaupun tertatih-tatih, bahkan merangkak, jika perlu, dengan perlahan-lahan. Karena jika kita melihat rintangan yang tak mudah dan kita belum menyelesaikan rintangan, namun olehnya kita masih diberi kesempatan hidup, apakah yang perlu kita pikirkan selain rasa syukur bahwa Tuhan melihat kita masih mampu untuk menghadapinya?

Semoga di ujung segala rintangan, kita temukan cahaya dan kasih Tuhan memeluk kita lembut, menepuk pundak kita untuk menyelamati kita, bahwa kita tidak menyerah untuk segala pergumulan yang pernah kita temui.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Dalam Kesulitan Hidup, Pertolongan Tuhan Tak Ada Habisnya

Oleh Rosnani Sagala, Medan

Apa yang pertama kali terlintas di benakmu ketika mendengar kata “sulit”?

Bagiku, kata “sulit” adalah sesuatu yang jika memungkinkan, ingin kujauhi dari perjalanan hidup. Mauku, segala sesuatunya berjalan mudah dan lancar. Namun, kenyataannya perjalanan hidupku tidaklah semulus itu. 

Tahun 2020 aku menerima kabar mengejutkan. Ada penyakit yang terdeteksi dalam tubuhku setelah aku mengeceknya ke dokter. Hasil diagnosis menunjukkan penyakitku bukanlah penyakit ringan. Kondisi ini membuatku terpuruk karena takut jika penyakitku tak bisa sembuh, dan segala impian, rencanaku, tidak akan bisa lagi aku raih.

Namun, kejutan untukku tidak berhenti sampai di sana.

Tahun berikutnya (2021), tepat di bulan Juli dan September, aku mengalami nyeri yang sangat hebat di bagian perut. Aku pun memutuskan untuk mengeceknya. Hasilnya benar-benar di luar logikaku. Ada penyakit lain lagi yang terdeteksi di dalam organ reproduksiku.

Dua tahun berturut-turut Tuhan mengejutkanku dengan kenyataan yang sulit kuterima dan benar-benar membuatku terpuruk secara emosional. Dalam upayaku memahami kenyataan ini, ada masa-masa ketika aku bertanya-tanya mengapa Tuhan mengizinkanku mengalami ini. Ada juga masa ketika aku mengasihani diri sendiri dan ingin dimengerti oleh orang-orang terdekatku. Kurang lebih dua tahun aku menjalani hidup dengan dinamika emosinal yang tidak terlalu baik.

Dalam pergumulan berat itu, aku teringat ayat dari Filipi 1:29 yang berkata, “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia.”

Kalimat kedua di ayat itu sungguh menggugah hatiku. Aku menginterpretasikan kalimat “menderita untuk Dia” sama halnya dengan ketika aku melewati masa sulit, aku belajar untuk tetap hidup sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan.

Dan itulah yang sedang kupelajari saat ini, walaupun tidak mudah.

Tapi, syukur kepada Tuhan! Dalam setiap masa dan kondisiku, Dia tetap setia.

Dia sungguh-sungguh menunjukkan kasih-Nya dengan selalu mengingatkanku lewat saat teduh, doa, dan pembacaan firman bahwa masih ada harapan untuk sembuh. Dia juga menunjukkan kasih-Nya melalui orang-orang sekitar yang peduli kepadaku. Orang-orang yang selalu mendorong dan menguatkanku, serta mendoakanku. Juga ketika aku butuh cash di waktu yang singkat, aku meminta bantuan temanku dan dia memberikan dukungan dana yang tidak sedikit, namun aku berjanji akan mengembalikannya.

Setiap hari, Dia selalu mengingatkanku bahwa dalam kondisi dan situasi apa pun, Dia tetap baik dan sungguh-sungguh peduli kepadaku. Itu terbukti dari apa yang sudah terjadi dalam hidupku. Kasih Tuhan sungguhlah nyata dan Dia turut berkerja untuk mendatangkan kebaikan dalam hidup kita. Dia tak pernah berhenti melakukannya. (Roma 8:28).

Selama 2 tahun perjalanan hidup yang sulit itu, aku bisa merasakan bahwa Tuhan selalu merangkulku dan memapahku untuk bisa bangkit, berjalan, bahkan berlari melewati masa-masa sulit. Tuhan menumbuhkan harapan di hatiku lewat pengertian baru, di mana penyakitku (yang pertama terdeteksi) masih bisa sembuh. Hal ini kuketahui lewat pertemuanku dengan seorang dokter. Dan itu menjadi titik awal bagiku untuk berani bermimpi lagi, untuk membangun harapan.

Selama kurang lebih satu bulan setelahnya, aku berdoa memohon agar Tuhan mempertemukanku dengan dokter yang tepat dan kompeten untuk menangani penyakitku. Puji Tuhan, pada Maret 2022 Tuhan jawab doaku, dengan begitu aku bisa menjalani pemeriksaan lanjutan dan mengikuti prosedur pengobatan untuk menyembuhkan penyakitku yang pertama.

Di tengah proses pengobatan yang aku lalui, aku sungguh tak berhenti mengucap syukur karena aku masih bisa bekerja dan beraktivitas dengan baik. Dan lagi-lagi, Tuhan menunjukkan pertolongan-Nya kepadaku. Pada saat aku memutuskan untuk menjalani pengobatan, aku sudah bekerja selama 3,5 tahun dan hanya memiliki sedikit tabungan. Dengan keadaan seperti ini, tidaklah mudah bagiku untuk membeli obat dan melakukan pemeriksaan tiap bulan karena biayanya besar, apalagi pengeluaranku tidak hanya untuk pengobatan ini. Tapi, kali ini Tuhan tidak hanya memberi, Dia juga mendidikku untuk mengatur keuangan dengan lebih baik.

Tiap bulan, aku mengalokasikan 30-50% penghasilan bulananku serta tabungan yang aku miliki untuk biaya pengobatan. Kalau dulu aku selalu mengalokasikan dana untuk tujuan sosial dan juga untuk orang tuaku, sejak mulai pengobatan aku bicara baik-baik kepada mereka tentang fokusku untuk pengobatan dulu. Sebenarnya kebutuhan orang tuaku tetap tercukupi tanpa aku beri, tapi memang sudah menjadi keinginanku memberikan sedikit dari penghasilanku kepada mereka.

Di tengah itu semua, lagi, lagi, dan lagi Tuhan kembali memberikan lebih dari yang kubutuhkan.

Pada bulan Desember 2020, aku mendapatkan promosi di pekerjaan. Dan tentunya, hal ini berpengaruh pada nominal penghasilan yang kuterima tiap bulannya. Kenaikan penghasilanku tidak signifikan, namun aku bisa kembali menabung. Aku tidak bisa mengatakan promosi ini untuk persiapan pengobatanku. Namun, satu hal yang kuyakini, Tuhan sudah mempersiapkan segala sesuatunya bagiku dan bagi setiap orang kalau Dia mengizinkan sesuatu terjadi.

Sejujurnya, di tengah berkat yang Tuhan berikan, terkadang aku menyayangkan uang yang aku gunakan untuk berobat itu. Tapi, aku kembali diingatkan oleh Tuhan melalui orang-orang terdekatku bahwa pemikiran seperti itu tidaklah baik.

Selama proses pengobatan dan dalam kekhawatiranku, aku juga pernah bilang ini kepada Tuhan:

“Tuhan, jika Tuhan mengizinkan sakit ini kualami, dan Tuhan mengizinkan penyakit ini sembuh, aku percaya kalau Tuhan akan cukupkan dana untuk aku bisa jalanin pengobatan sampai aku sembuh.”

Tuhan mendengar doaku! Aku kembali bersyukur karena sampai bulan November 2022 ini semua kebutuhan masih terpenuhi. Pengobatanku juga masih berlangsung sampai aku menuliskan tulisan ini, dan kondisi kesehatanku pun kian membaik. Memang aku tidak langsung serta-merta sembuh, tapi proses yang kulalui ini mengajarkanku hal-hal yang lebih dari sekadar sembuh. Tuhan juga mau imanku tumbuh di dalam-Nya.

Pertolongan Tuhan tidak ada habisnya untuk menguatkanku dalam setiap musim yang aku lalui. Dari yang tidak ada harapan, Dia tumbuhkan harapan dalam hatiku. Dia menolong aku untuk mengubah cara pandangku selama 2 tahun ini. Penerimaan-Nya terhadapku dengan segala kekurangan dan responsku yang tidak benar, sungguh-sungguh menyentuh hatiku untuk bangkit dan bisa menjadi pribadi yang lebih bersyukur dalam setiap situasi.

Terima kasih kepada Tuhan untuk kasih-Nya yang begitu besar!

Di akhir  tulisan ini, aku ingin menutup dengan satu ayat dari 1 Korintus 10:13 yang berkata, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai, Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”

Apapun yang sedang kita alami, ingatlah bahwa Tuhan selalu menyertai dan memberikan yang terbaik untuk kita.

Aku berdoa bagi kita yang membaca tulisan ini. Kiranya kita dapat melihat dan merasakan kekuatan serta pertolongan Tuhan dalam tiap musim hidup kita.

Soli Deo Gloria!

Ini Pesan Tuhan untuk Kita Semua di Tahun 2021

Oleh Minerva Siboro

Natal dan Tahun Baru yang belum lama kita rayakan terasa berbeda. Semua orang kini memakai masker dan selalu mencuci tangan. Maklumlah, adanya virus yang baru saja ditemukan menjadi momok yang sangat menakutkan bagi banyak orang. Mungkin saja, salah satu di antara kita yang membaca artikel ini mengalami “kehilangan” akibat pandemi ini. Banyak kicau tweet dari twitter yang mengatakan bahwa tahun 2020 hanyalah bulan Januari dan Februari saja, sedangkan sisanya hanyalah rebahan, karena akhirnya tidak terasa sudah dipenghujung tahun lagi. Banyak orang yang berharap bahwa hidup akan semakin baik di tahun 2020 yang cantik, tetapi malangnya tahun 2020 tidaklah menjadi tahun cantik seperti yang diharapkan oleh banyak orang.

Aku terlahir dari keluarga Batak, dan kami punya tradisi setiap akhir tahun, yaitu Mandok Hata, artinya menyampaikan pesan yang ingin disampaikan kepada seluruh anggota keluarga. Biasanya dimulai dari adik bungsu lalu sulung, kemudian diakhiri oleh orang tua. Pesan yang disampaikan beragam, seperti ucapan salam selamat Natal dan tahun baru, permintaan maaf selama satu tahun berjalan mungkin ada perilaku yang tidak baik, meminta doa restu untuk resolusi di tahun yang baru, dan harapan-harapan yang baik untuk saudara/i serta orang tua.

Pada saat giliran orang tuaku yang Mandok hata, suasana menjadi sedih. Hatiku memang hancur, bahkan air mata pun jatuh karena aku tak kuasa lagi membendungnya. Papa bercerita bagaimana sulitnya menjalani tahun 2020. Profesi Papaku adalah seorang pedagang, sedangkan mamaku tidak bekerja. Pandemi membuat aktivitas jual-beli menurun, sehingga penghasilan pun ikut menurun. Aku sedih karena aku tak bisa banyak membantu. Namun, hal yang membuat air mataku jatuh adalah ketika Papaku berkata, “Tapi sejauh ini Tuhan selalu mencukupkan (menyediakan)”. Mamaku juga berkata, “Tiap malam kami selalu berdoa dan menangis di hadapan Tuhan, supaya kalian sehat, supaya Tuhan selalu jaga (menyertai) kalian yang jauh dari kami.”

Dari dua kalimat yang diucapkan oleh kedua orang tuaku, kini aku mengerti pesan apa yang ingin Tuhan sampaikan melalui tahun 2020. Jangan lupakan! Bahwa Allah adalah Sang Penyedia dan Sang Penyerta. Meski terasa suram, tahun 2020 adalah tahun di mana kita belajar melihat bahwa Allah sungguh-sungguh menyediakan dan sungguh-sungguh menyertai. Ia tetap berotoritas dan berdaulat meski di tengah-tengah pandemi yang menakutkan. Tuhan juga ingin mengingatkan ciptaan-Nya, bahwa banyak hal di bawah langit adalah sia-sia, tetapi penyertaan Tuhan itulah yang paling penting karena dengan bersama Allah, segala sesuatu yang kita butuhkan dicukupkan-Nya.

Aku teringat pada sebuah lagu yang berjudul “God Will Provide”, liriknya yang sangat menyentuh membuatku semakin kuat untuk terus berharap di dalam Tuhan sepanjang perjalanan 2021 ini.

The time has come to journey on and go where God leads me
And though the road may seem to long
I know God’s love will keep me
I may not know how the road will turn or where God will send me
So by Faith I’ll trust and with grace I’ll learn
God’s mighty hand will defend me
I may not see all the things that are waiting just ahead
But I know God’s watching over me
And in God’s strength I’ll stand
God will provide strength for journey
Bread for the morning and shelter for the night
God will provide hope for the weary
God will sustain me all the days of my life

Aku tahu bahwa kasih Tuhan menyertaiku. Aku tahu bahwa Tuhan menjagaku. Melalui kekuatan yang dari Tuhan, aku dapat berdiri tegak. Tuhan akan menyediakan! Allah sang Penyedia dan Allah sang Penyerta. Pada tahun 2021 yang datang ini pun, Allah tetap sang Penyedia, dan Allah tetap sang Penyerta. Aku mau berjalan terus bersama dengan-Nya.

Saat menulis ini, aku teringat pada kisah kepercayaan Abraham yang diuji oleh Allah. Aku sungguh-sungguh tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati Abraham saat “harta” yang berharga baginya, yaitu anaknya, Ishak, yang sudah lama ia tunggu-tunggu, tetapi Tuhan memintanya untuk mempersembahkannya sebagai korban bakaran. “Sebenarnya mau Tuhan apa?” – mungkin itulah yang keluar dari dalam hatiku jika aku menjadi Abraham. Aku mengerti sekali bahwa pada sepanjang perjalanan tahun 2021 ini pun mungkin akan banyak situasi yang membuatku akan terus bertanya “Sebenarnya mau Tuhan apa?”

Benar sekali bahwa Ishak adalah harta yang berharga bagi Abraham, tetapi jauh melebihi itu semua, Abraham menunjukkan bahwa harta yang lebih berharga adalah ketaatan pada Firman Tuhan. Melalui ketaatanlah, kita dapat melihat bahwa Allah itu sang Penyedia, bahwa Allah itu sang Penyerta. Saat Ishak bertanya, “Di mana anak domba korban bakarannya?”, maka dengan Iman, Abraham menjawab bahwa Allah yang akan menyediakannya. Iman yang besar menunjukkan ketaatan kita kepada Tuhan (Kejadian 22:1-19). Ketaatan membawa kita pada kepercayaan bahwa Allah sang Penyedia dan Allah menyertai.

Jika pada tahun 2020, Tuhan mengingatkanku bahwa segala sesuatu tecukupkan (Allah menyediakan) dan Ia selalu menjagaku (Allah menyertai), maka pada tahun 2021, Tuhan mengingatkanku untuk semakin taat pada apa yang Ia telah “hidangkan” di mejaku. Begitu juga dengan semua orang yang membaca artikel ini. Mari belajar taat pada apa yang Tuhan telah “hidangkan” di meja pribadi milik kita. Ketaatan menunjukkan kualitas iman kita, apakah kita mau terus percaya dan berserah pada kehendak-Nya. Tuhan menyediakan, Tuhan menyertai! Terpujilah Tuhan.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

2 Cara untuk Berhenti Membanding-bandingkan Diri Sendiri

Membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain seringkali berujung pada rasa kecewa dan tidak puas. Jika kita terjebak dalam jerat membanding-bandingkan diri, inilah dua cara untuk keluar.

Tembok Bata dari Jaring Laba-laba

Oleh Aryanto Wijaya

Alkisah ketika Perang Dunia II berlangsung di Pasifik, seorang marinir Amerika Serikat (AS) terpisah dari pasukannya. Berawal dari keterpisahan dan nyaris mati, sang marinir malah mendapati ‘mukjizat’ pertolongan. Tak diketahui siapa nama marinir tersebut, tetapi kemungkinan besar kisah ini terjadi di Saipan, salah satu pulau di Kepulauan Mariana.

Perang di Pasifik antara AS dengan Jepang jauh berbeda dengan palagan di Eropa. Tentara AS menghadapi medan berupa hutan belantara yang hawanya lembab, dan prajurit Jepang yang lebih memilih mati daripada menyerah. Tentara musuh memanfaatkan belantara sebagai tempat yang tepat untuk sembunyi dan menyerang tiba-tiba.

Ketika sang marinir terpisah dari pasukannya, dia mendaki ke bukit yang tanpa dia ketahui adalah teritori musuh. Langkahnya tetiba berhenti. Dia mendengar seorang prajurit Jepang berpatroli. Jika ketahuan, tentu kematian adalah jawabannya. Sang marinir lalu berusaha mencari tempat sembunyi. Tak jauh dari posisinya, dia melihat sebuah goa. Dia berdoa agar goa itu kosong, dan doanya pun terkabul.

Goa itu punya kedalaman yang lumayan, tetapi tetap saja pasukan musuh bisa sewaktu-waktu merangsek masuk. Cahaya matahari dari luar pun masuk dengan berlimpah ke dalam. Ini berbahaya. Prajurit jepang bisa dengan mudah melihat ada musuh di dalam goa. Dia pun berdoa kembali, memohon Tuhan memberikan tembok bata supaya prajurit musuh tak mampu melihatnya, atau tak bisa masuk ke dalam goa itu.

Bermenit-menit sang marinir memasang telinga, dengar-dengaran terhadap suara sekecil apa pun. “Krak…krak..” dia mendengar langkah kaki yang mematahkan ranting dan dedaunan kering. Itu langkah kaki pasukan Jepang! Lagi-lagi sang marinir berdoa agar Tuhan memberinya tembok bata, tapi tak ada yang terjadi. Tak mungkin ada pasukan marinir lain menolongnya, jadi dia pun menyiapkan senjata. Wajah pertama yang muncul di dalam goa akan dia tembak. Selama dia bersiaga, muncul seekor laba-laba besar. Laba-laba itu menjalin jaring persis di mulut goa. Menit demi menit, jaring itu bertambah besar dan besar, menutupi hampir seluruh mulut goa.

Sang marinir lantas tertawa, “Tuhan, aku perlu sebuah tembok bata dan Engkau mengirimkanku laba-laba?”

Tak lama menjelang, langkah kaki pasukan Jepang semakin dekat. Sang marinir bersembunyi di balik cerukan, sudah siap menembak sembari melihat bahwa sarang laba-laba itu nyaris selesai sempurna. Langit sedikit mendung sehingga pandangan ke dalam goa menjadi gelap. Pasukan Jepang yang telah tiba di depan goa berbicara. Mereka ragu untuk mengecek ke dalam karena jaring laba-laba tersebut. “Kita tidak perlu memeriksa goa ini. Tidak seorang pun dapat masuk ke dalam tanpa merusak jaring ini.” Benarlah apa yang prajurit itu katakan. Jika memang ada orang yang masuk ke dalam goa, tentu dia harus merobek jaring laba-laba tersebut. Mengira goa itu kosong, mereka pun lantas pergi.

Butuh beberapa saat bagi sang marinir untuk mencerna peristiwa itu. Dia tertegun dan mengucap syukur pada Tuhan untuk ‘tembok bata’ yang dibuat dari jaring laba-laba itu.

Keadaan tertekan, takut, dan hampir putus asa pun pernah dialami Habakuk pada zaman Perjanjian Lama. Habakuk mempertanyakan apakah Allah masih setia terhadap bangsa Israel yang hidup ditindas oleh orang Kasdim. Namun, di tengah keadaan yang sepertinya suram dan tak lagi ada harapan, Habakuk meneguhkan imannya dengan kembali berfokus pada Allah sumber keselamatan, kekuatan, dan keteguhan (Habakuk 3:18-19). Dari Habakuk kita dapat belajar bahwa siapa pun yang percaya kepada Allah tidak dikecewakan-Nya.

Kisah sang marinir juga sekelumit tentang Habakuk ini menggemakan pertanyaan di hati kita: berapa banyak ‘jaring laba-laba’ yang sudah Tuhan bentuk dalam hidup kita, tapi kita malah bersikap seperti sang marinir, sangsi dan merasa laba-laba itu cuma buang-buang waktu dan upaya tak berguna. Hingga kemudian, kita menyadari bahwa itu sesungguhnya adalah berkat yang terselubung. Ketika kita mengizinkan Tuhan bekerja dalam hidup kita, itu tidak berarti jalan kita akan jadi mulus dan nyaman. Setiap orang, bahkan orang Kristen sekalipun, akan mengalami penderitaan dan kesukaran dalam hidup mereka. Cobaan-cobaan itu bisa datang dalam rupa relasi yang karam, kehilangan pekerjaan, krisis keuangan, sakit keras, atau kematian orang yang dikasihi.

Kita lantas berfokus pada bahaya yang menyergap di luar dan mengabaikan ‘goa’ yang sesungguhnya cukup untuk menjadi tempat perlindungan kita. Kita getir, tak melihat bagaimana sesungguhnya Tuhan bekerja. Kita acuh tak acuh ketika Tuhan memberi cerukan dalam goa itu sebagai tempat kita bersembunyi, atau tatkala Dia membuat langit sedikit mendung agar kita diluputkan dari musuh. Kita pun mengernyit ketika seekor laba-laba dipakai Tuhan untuk menciptakan jaring yang lemah, tetapi mampu menahan kita dari kesukaran yang lebih besar.

Kisah marinir tersebut mungkin bisa dianggap sebagai kisah mukjizat, tapi bisa juga sebagai kisah kebetulan biasa. Tapi jaring laba-laba itu bisa jadi sungguh menyelamatkan. Setelah prajurit Jepang pergi, pasukan AS akan segera datang dan menyelamatkan dia.

Tuhan jauh lebih tahu apa yang kita butuhkan, dan terkadang apa yang Dia beri melampaui apa yang kita pikirkan. Sungguh, Tuhanlah “tempat perlindungan dan kubu pertahanan” kita (Mazmur 91:2).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Siapakah Yesus bagi Kita? Sebuah Perenungan Menyambut Natal

Para sahabat pernah bertanya kepadaku, “Mengapa kamu beragama Kristiani?” Pertanyaan itu perlu kujawab dengan bertutur tentang siapa sosok Yesus yang ingin kubagikan dalam tulisan panjang ini. Selamat membaca!

Di Mana Kita Bisa Mengetahui Pimpinan Tuhan?

Oleh Minerva Siboro, Tangerang

Setiap hari kita selalu diperhadapkan dengan pilihan-pilihan. Entah itu kita harus bertahan atau pergi, kita dipaksa untuk memilih suatu keadaan yang sulit, yang mau tidak mau harus dipilih. Terkadang kita dengan yakin merasa bahwa pilihan kita merupakan hasil pimpinan Tuhan. Jadi, tidak salah apabila banyak orang yang yang menyalahkan Tuhan dalam hidupnya, karena merasa bahwa Tuhan telah memimpinnya ke jalan yang tidak benar. Atau mungkin kita marah, karena Tuhan seakan dengan sengaja membiarkan kita hidup tersesat. Bukankah Tuhan mengetahui segalanya, lalu mengapa Ia membiarkan kita untuk hidup di jalan yang yang seolah bukan pimpinan-Nya? Semua orang pasti pernah mengalami hal yang serupa—begitu juga dengan aku—tetapi tidak semua orang memiliki respons yang benar.

Sering sekali kita merasa bahwa Tuhan telah memimpin kita karena kita melihat kesan-kesan baik yang bisa kita terima. Tuhan bisa saja memakai petunjuk menggunakan kesan-kesan yang ada di dalam pikiran dan hati kita—toh, Dia adalah Allah yang berkuasa, yang dapat melakukan apa pun.

Tapi, pernahkah kita menyelidiki sungguhkah kesan yang baik itu pasti menunjukkan ke situlah jalan yang harus kita ambil? Bukankah iblis juga mampu untuk melakukan keajaiban-keajaiban demi membuat pandangan kita buram saat melihat Allah?

Iblis pernah mencoba untuk menggoda Tuhan Yesus dengan hal-hal yang ajaib yang bisa dilihat oleh mata (Matius 4:1-11, pencobaan di padang gurun). Sebenarnya cara kerja Iblis tidak pernah berubah, yaitu selalu memperlihatkan hal-hal yang ajaib dan indah, namun palsu untuk mengelabui kita dan membuat kita meninggalkan Tuhan.

Aku teringat akan sebuah lagu anak sekolah minggu “Firman Tuhan ada di hatiku ada di langkahku ada di hidupku selalu bertumbuh sirami jiwaku berbuah berbuah berbuah berbuah lebat”. Ternyata jawaban tentang bagaimana sebenarnya pimpinan Tuhan itu sudah lama kita ketahui, yaitu semenjak lagu ini dikumandangkan pada saat kita belajar firman Tuhan di sekolah Minggu. Untuk mengetahui pimpinan Tuhan dalam hidup kita hanya ada satu cara yaitu melalui Firman Tuhan yang terus bertumbuh di dalam diri kita. Jikalau Firman Tuhan itu ada di hati, di langkah, dan di hidup kita, maka apa pun yang menjadi keputusan atas pilihan yang kita pilih merupakan hasil dari kesan-kesan kuat yang ditimbulkan dari dalam hati kita melalui kerja Roh Kudus—bukan kesan-kesan palsu yang yang dikerjakan oleh tipu muslihat Iblis.

Mazmur 119:105, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku”.

Firman Tuhan merupakan landasan dan jawaban yang tepat untuk setiap pilihan yang kita pilih jikalau kita mau hidup di bawah pimpinan Tuhan. Itulah betapa pentingnya membaca Firman Tuhan setiap hari, bukan hanya di saat kita ingin mengetahui pimpinan Tuhan yang baik dan yang benar itu. Sama seperti tanaman yang disiram setiap hari akan tumbuh subur dan kita dapat melihat bunga yang cantik, begitu juga dengan orang-orang yang setiap hari mendengarkan Firman Tuhan. Mereka akan terus bertumbuh menghasilkan bunga yang cantik yaitu kehidupan yang indah di bawah pimpinan Tuhan. Hidup dibawah pimpinan Tuhan berarti memilih kesan-kesan yang kuat yang berasal dari pada Roh Kudus.

Richard L. Strauss dalam bukunya “Bagaimana memahami kehendak Tuhan” mengatakan Tuhan meletakkan hal-hal tertentu dalam pikiran kita ketika kita membaca Alkitab dengan hati terbuka dan kemauan kita diserahkan pada-Nya. Apa pun yang menjadi pengorbanan pribadi kita, dan kalau kita membuka Firman-Nya untuk mencari apa yang Dia ingin katakan kepada kita daripada hanya sekadar mencari apa yang ingin kita dapati, kita dapat percaya bahwa Dia akan berbicara kepada kita melalui Firman-Nya. Dia sudah berjanji bahwa Firman-Nya akan menjadi terang bagi jalan kita.

Kebingungan akan timbul apabila terlalu banyak pilihan yang terbuka bagi kita. Apalagi saat ini kita menghadapi zaman relativisme, yaitu setiap orang dapat melakukan apa pun yang baik menurut pengertian mereka. Meskipun pola ini adalah pola dosa yang berulang dari zaman perbudakan sampai pelepasan bangsa Israel dari Mesir—hingga saat ini—belum tentu semuanya adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu, setiap keadaan harus dipertimbangkan di bawah penerangan Firman Tuhan, dalam sikap berdoa, disertai kepekaan terhadap kesaksian Roh Kudus di dalam batin kita, dan berdasarkan penyerahan total untuk mematuhi rencana-Nya daripada rencana kita sendiri (kutipan buku Bagaimana memahami kehendak Tuhan oleh Richard L. Strauss).

Aku menyelesaikan studiku di Pendidikan Biologi. Tetapi aku ditempatkan mengajar SD. Awalnya aku menangis karena aku tidak mengerti mengajar SD itu harus apa dan bagaimana. Di sisi lain juga karena kesombongan hatiku yang tidak mau mengajar SD dan merasa tidak percaya diri. Seolah-olah Tuhan tidak “mempercayakanku” untuk mengajar Biologi di senior (SMP-SMA) karena aku tidak layak. Tetapi saat itu tidak ada pilihan lain. Namun, aku meyakini itulah kehendak Tuhan. Tetapi, pilihan untuk menjalani kehendak Tuhan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Pilihan untuk bertahan dan bertekun dalam kesetiaan serta sukacita menjalani panggilan pelayanan mengajar SD atau memilih pergi saja. Tetap mengajar demi menuntaskan masa penempatan karena beasiswa yang kuterima sewaktu kuliah, tetapi dengan setengah hati. Toh, semua ini akan berlalu dengan cepat. Keputusan yg aku ambil yaitu memilih untuk taat serta bersuka pada kehendak Tuhan. Saat ini aku mengajar kelas 1 SD dan aku menikmati setiap proses belajar yang Tuhan berikan padaku.

Beberapa minggu lalu, aku dipanggil oleh kepala sekolahku. Ternyata, mereka memberikanku kesempatan mengajar Biologi di SMA. Aku merasa bingung dan benar-benar tidak tau harus memilih apa. Aku teringat pada keinginanku dulu, tetapi aku juga sudah mencintai pengajaran dan anak-anak SD. Dengan pertimbangan yang terus aku gumulkan dan doakan, akhirnya aku menetapkan pilihanku. Bukan suatu keputusan yang mudah. Aku yakin dan percaya Tuhan sedang “mendidik” aku untuk mau terus merendahkan hatiku dan taat pada Kehendak-Nya.

Kini, aku mau terus berjalan di dalam kehendakNya, sampai selama-lamanya.

Mari menikmati setiap proses kehidupan kita dengan selalu mengejar hidup kudus di bawah pimpinan Tuhan. Kiranya apa pun yang kita pilih, biarlah hal itu merupakan pilihan yang tepat dan sudah dipertimbangkan di bawah penerangan firman Tuhan yang kita baca setiap hari.

Selamat bertumbuh dan menghasilkan buah. Tuhan Yesus menyertai kita sekalian.

Baca Juga:

Mengatasi Burnout di Tempat Kerja

WHO yang merupakan organisasi kesehatan dunia mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang dihasilkan stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola dengan baik. Bagaimana mengatasinya?

Kemarin Aku Gagal, Hari Ini Aku Memilih Mengucap Syukur

Oleh Novita Melianti Manurung, Bangka Belitung

Sore itu aku duduk di teras rumah sambil memandang air hujan yang membasahi tanah dan hampir menggenangi seluruh halaman rumah. Aku suka dengan hujan, tetesan airnya mengingatkanku akan Tuhan—sang pencipta hujan itu sendiri—serta bagaimana berkat-Nya melimpah bagiku. Hari belum terlalu sore sebenarnya, tapi karena hujan yang amat lebat dan pekatnya awan, membuat hari seolah sudah malam.

Hari itu pula, sudah enam minggu lamanya aku di rumah saja. Hari-hariku membosankan. Tak banyak kegiatan kulakukan. Dalam lamunanku sore itu, aku ingat pada kegagalan beberapa bulan lalu. Memori akan kegagalan itu membuat bibirku mengucap syukur. Aku tahu tak ada satu pun yang terjadi secara kebetulan. Tuhan merencanakan semuanya dengan baik.

Tahun lalu, setelah aku lulus dari jurusan Tata Boga di salah satu universitas negeri di Medan, aku dan teman-teman Kelompok Tumbuh Bersama-ku (KTB) merintis usaha kuliner kecil-kecilan di Pulau Samosir, namun usaha kami cuma bertahan beberapa bulan saja. Awalnya kami menikmati prosesnya, tapi seiring waktu, pendapatan kami semakin menurun hingga kami pun kesulitan keuangan. Saat itu aku juga mengalami sakit yang sejak awal tahun 2019 semakin terasa. Aku sudah tiga kali ke klinik sebelum kami membuka usaha kuliner itu, namun belum ada kepastian mengenai penyakit apa yang sebenarnya aku derita.

Kami mencoba banyak cara supaya bisnis kami bisa bertahan karena modal besar sudah kami keluarkan. Kami coba buat menu baru yang menarik, lalu mempromosikannya ke orang-orang yang kami jumpai. Tapi, usaha itu tidak membuahkan hasil. Tabungan kami semakin menipis dan teman-temanku mulai pesimis untuk melanjutkan usaha ini. Ditambah lagi terjadi selisih paham dengan pemilik tempat yang kami sewa.

Mendengar kisah usahaku yang tak berhasil, orang tuaku menyuruhku untuk pulang saja ke kampung halaman supaya aku sekalian bisa berobat. Empat minggu kami bergumul, akhirnya aku dan teman-temanku sepakat menyudahi bisnis ini. Kami pulang ke Medan lalu berencana merintis usaha daring saja.

Tapi, lagi-lagi yang sudah kami rencanakan ternyata tak sesuai kenyataan. Usaha daring kami kembali terkendala saat kami mendaftarkan menu-menu.

“Sudah bagaimana prosesnya?” pertanyaan ini sering diajukan orang tua kami, tapi kami bingung mau menjawab apa. Berhari-hari kami menanti kepastian, tapi tak jelas pula.

Setiap hari di dalam doaku, aku bertanya apa sebenarnya yang Tuhan ingin kulakukan untuk aku kerjakan? Apa maksud dari semua ini? Jika dituliskan, ada banyak pertanyaanku kala itu. Namun aku tergerak untuk berdoa dan membaca Alkitab. Kutemukan satu ayat dari Amsal 23:18, “Karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang.”

Ketika memutuskan pulang kampung dan menceritakan kegagalan ini ke orang tua, rasanya aku tak siap. Tapi, kuingat bahwa di balik kegagalan itu, Tuhan tetap memeliharaku. Kebutuhanku dicukupkan-Nya. Orang tuaku pun ternyata tidak marah, mereka malah memotivasiku. Masa-masa aku berdiam di kampung dipakai-Nya menjadi kesempatan untukku berobat. Puji Tuhan sekarang kesehatanku sudah mulai pulih.

Karena kesehatanku mulai membaik, aku pergi ke rumah kakak pertamaku di Bangka Belitung. Seminggu setelah aku tiba di sini, pandemi virus corona dinyatakan telah masuk ke Indonesia.

Memang sampai saat ini aku belum mendapatkan pekerjaan atau merintis usaha baru lagi. Namun aku bersyukur karena masa-masa ini bisa kugunakan untuk melayani kakakku yang saat ini sedang mengandung anak pertamanya.

Meski di awal usahaku meniti karier pil terasa getir, tapi aku mau tetap membuka hatiku untuk mengecap kebaikan-Nya.

Teruntuk saudara-saudariku, di balik usaha dan rencana kita yang kandas, Tuhan tengah menyiapkan yang baik bagi kita. Tugas kita adalah menikmati perjalanan bersama-Nya, mengucap syukur, dan berserah.

Baca Juga:

Aku Meninggalkan Pekerjaanku, Tetapi Tuhan Merancangkan Sesuatu yang Indah Bagiku

Aku pernah menghadapi dua pilihan yang membuatku bingung. Ketika aku sedang dalam proses pemulihan pasca operasi yang kujalani beberapa tahun silam, aku bergumul tentang pekerjaanku. Aku sulit memilih di antara dua pilihan.

Dinyatakan Positif COVID-19: Sepenggal Ceritaku Menjalani Isolasi Bersama Tuhan

Oleh Dian Mangedong, Makassar
*Kisah ini ditulis berdasarkan kesaksian dari NA

“Hasil tes swab pegawai sudah keluar, dan kamu hasilnya positif…”

Aku NA, salah satu anggota tim perawatan isolasi Covid di rumah sakit swasta. Mendengar kabar itu dari balik telepon, seketika duniaku runtuh. Aku menangis sejadi-jadinya. Bahkan sakit sekali, mengabari bapak di kampung yang hari itu tepat berulang tahun. Aku tiba-tiba menyesal, kenapa mesti menjadi bagian tim Covid di rumah sakit tempatku bekerja. Masa depanku kurasa hilang begitu saja. Semangat yang biasa kuberi kepada pasien Covid yang kurawat, sekarang hanya sekadar kata-kata belaka. Sebab aku sudah tertular dan positif!

“Jangan panik, jangan stress, percaya saja Tuhan selalu lindungi..” suara direktur rumah sakit dari balik telepon. Walau pagi itu ucapan semangat bertubi-tubi datang kepadaku, baik dari orang tua, sahabat, teman kerja, sungguh tidak ada pengaruhnya. Kukunci kamar dan kubanjiri kasurku sampai basah dengan air mata. Rasa bersalah karena dapat menjadi pembawa virus bagi orang sekitar. Rasa hancur karena diberikan cobaan seperti ini dari Tuhan. Bahkan marah! Kenapa saat aku memberi diri melayani sebagai petugas medis isolasi Covid, Tuhan malah membiarkanku terjangkit virus ini.

Melalui beberapa waktu sendiri, aku bangkit dan bersiap menuju rumah sakit. Aku akan menjalani perawatan isolasi. Di saat itu aku bahkan kesal saat orang-orang hanya mengirimkanku pesan tanpa berani menjengukku. Seketika ilmu yang kupelajari mengenai Covid hilang begitu saja. Aku panik, khawatir, egois, bahkan marah oleh karena pikiran yang kuciptakan sendiri.

Setelah melalui hari yang panjang. Aku merasa lelah dan tetap tidak damai. Aku masuk kategori orang tidak bergejala (OTG) dan perlahan mulai menerima keadaan ini. Satu-satunya cara adalah kembali kepada Tuhan. Seorang pendeta meneleponku dan mengingatkanku lagi tentang kisah Yusuf. Ia dibuang saudaranya, dijual, difitnah, tetapi di balik itu semua Tuhan punya rencana yang besar. Pula tentang Ayub yang tetap bersyukur dan memuliakan Tuhan di setiap pergumulan yang ia hadapi.

Di ruang isolasi aku merenungi semua yang terjadi. Saat itu aku berdoa dan mencurahkan semua kesedihanku kepada Tuhan. Air mata mengalir tetapi hati benar-benar damai. Kutahu Tuhan sudah menunggu saat-saat seperti ini bersamaku. Berdua saja. Intim dan khidmat. Kuingat lagi kata mamaku bahwa kejadian ini bukan petaka namun menjadi waktuku bersama Tuhan, untuk lebih dekat lagi, membaca Alkitab, berkomunikasi dengan-Nya, bahkan berserah penuh.

Sebagai manusia biasa, aku sadar telah melalui masa-masa penolakan dan stress luar biasa. Tetapi dibalik semua aku sangat bersyukur dan jiwaku lega menyadari ada satu jalan tempatku kembali dan merasakan damai, yaitu di dalam Tuhan. Bahkan Tuhan bukannya membuatku terasing di ruangan isolasi ini. Setiap hari kulihat bagaimana cinta nyata-Nya terwujud melalui sesama manusia terhadapku. Mendukungku dengan segala macam cara dan bentuk. Sungguh manis dan mengharukan kasih Tuhan melalui kehadiran kasih mereka.

“Perang baru dimulai!” kataku dengan penuh kekuatan. Aku berusaha menjalani hari-hariku di ruang isolasi dengan energi positif dari firman Tuhan yang senantiasa menguatkan dan menemaniku setiap hari. Hari-hari kulalui dengan bersyukur. Selain menjalani terapi fisik, perbaikan hubungan bersama Tuhan adalah yang paling kurasakan. Bagaimana sempurnanya kasih Tuhan yang bahkan mencintaiku disaat-saat terpuruk sekalipun.

“Satu kali Allah berfirman, dua hal yang aku dengar: bahwa kuasa dari Allah asalnya, dan dari pada-Mu juga kasih setia, ya Tuhan” (Mazmur 62:12-13a).

Ya, aku percaya Tuhan berkuasa atas hidupku, maka aku tenang.

Hari-hari isolasiku telah usai. Hasil tes swab keduaku sudah negatif. Puji Tuhan… Masih perlu satu kali swab lagi untuk menyatakan aku benar-benar bersih dari virus ini. Sampai kumenulis ini tidak ada gejala sama sekali yang kurasakan. Sungguh Tuhan teramat baik terhadap umat-Nya.

Baca Juga:

Kehendak-Nya Tidak Selalu Tentang Mauku

Ketika sesuatu terjadi tak sesuai mau kita, kita mungkin membombardir Tuhan dengan deretan pertanyaan kenapa. Tapi, mengapa tidak menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk melihat dari sudut pandang-Nya?

Cerpen: Mamaku Terkena Stroke Tiba-tiba

Oleh Eka Arapenta Ginting, Medan

Pagi hari itu, Jumat, 8 Agustus 2014, aku terbangun dari tempat tidurku. Aku terkejut melihat mamaku tergeletak di ambal dan sedang diurut oleh ahli urut. Di samping mamaku, ada papa dan kakak.

“Mama kenapa, Pa?” aku bertanya.

“Mama kena stroke. Tangan dan kaki kirinya tidak bisa digerakkan,” jawab papaku.

Jawaban itu menyakitkan hatiku. Air mataku tak terbendung. Aku pergi ke kamar dan menangis tersedu. Hari itu aku harus masuk sekolah, tapi rasanya aku ingin bolos saja. Aku mengambil handuk lalu mandi, tapi di kamar mandi pun aku masih menangis. Seusai mandi, aku pergi ke kamar, mengganti bajuku, dan aku pun berdoa, “Tuhan, aku tidak percaya kalau mama terkena stroke. Sembuhkanlah mama, amin.”

Sesampainya di sekolah, hari itu ada kegiatan olahraga senam. Aku tidak serius mengikuti tiap gerakannya. Lalu di jam-jam setelahnya pun aku banyak diam sampai sahabatku heran dan bertanya, “Eka, kamu kenapa?” Pertanyaan itu tidak kujawab.

Waktu terasa berjalan lama, aku ingin segera pulang. Setelah jam pelajaran usai, aku mengirim sms ke kakakku. “Kak, bagaimana keadaan mama?”

“Sekarang mama lagi dirawat di IGD RS Adam Malik.”

Aku langsung pergi ke rumah sakit. Temanku bersedia mengantarku naik motor, tapi sesampainya di rumah sakit, dia langsung pulang ke rumahnya. Aku segera menjumpai mamaku di IGD.

Di situ aku mau menangis lagi, tapi mamaku bilang, “Jangan nangis, Ka. Tuhan pasti akan memberi jalan.”

Aku memberikan sedikit kataku untuk menyemangati mama, “Ma, kami bertiga belum sukses, Ma. Masa mama sakit? Mama harus bisa sembuh. Apalagi kakak dan abang bentar lagi wisuda, Ma.”

Mama cuma diam dan merenung saja. Sementara itu, kawan mama dan abangnya mengurus semua administrasi di rumah sakit. Aku berterima kasih karena ada orang-orang yang mempedulikan mama. Aku juga bersyukur kepada Tuhan karena seluruh biaya opname dan pengobatan ditanggung sepenuhnya oleh BPJS.

Kepada kawan mamaku, aku bertanya, “Kok mama bisa kena stroke?”

“Karena mamamu tensinya sampai 200, ditambah lagi jantungnya bengkak. Karena tensinya tinggi, pembuluh darahnya yang di otak mengalami pendarahan.”

Lagi-lagi air mataku ingin menetes, tapi aku berusaha sebisa mungkin menahannya. Waktu tak terasa sudah pukul 16:00, barulah mamaku mendapatkan ruangan opname, di lantai 2. Sekali lagi aku bersyukur karena mamaku mendapatkan ruang menginap dan tidak perlu menunggu sampai besok pagi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21:00. Aku pamit kepada mama, bapak, dan kakakku. Abang saudaraku mengantarku pulang. Tapi sesampainya di rumah, aku tidak bisa tidur karena terus memikirkan mama.

Aku berdoa pada Tuhan, “Tuhan, kenapa mamaku bisa terkena stroke ya Tuhan. Ampunilah dosa mama dan keluarga kami ya Tuhan, karena Engkaulah Allah yang paling berkuasa di dunia ini ya Tuhan! Amin.”

Setelah itu kudengarkan lagu rohani dan air mata kembali mengalir deras sampai aku tertidur.

* * *

Sudah dua hari mamaku dirawat di ruang Rindu A lantai 2. Mamaku tidak bisa tidur karena di ruangan itu ada 8 orang. Siang harinya, mama pindah ke lantai 3. Kali ini ruangannya kelas VIP, mama bisa tidur karena di ruangan itu hanya ada dua orang yang dirawat.

Setiap pulang sekolah aku selalu datang ke rumah sakit untuk menjenguk mama. Setiap malam juga aku terus berdoa pada Tuhan dan air mataku selalu mengalir. Hati ini tak bisa menahan perasaan yang menyedihkan.

Puji Tuhan, setelah 6 tahun mama sakit, Tuhan menyembuhkan mama perlahan demi perlahan. Namun, mama masih sering sesak nafas dan harus diopname di rumah sakit karena pasca stroke mama mengalami komplikasi penyakit lainnya.

Hikmah yang aku dapatkan melalui peristiwa ini adalah Tuhan tetap peduli kepadaku dan menjadikanku alat untuk menyatakan kemuliaan-Nya lewat tulisan singkatku ini.

“Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan” (Roma 15:13).

Baca Juga:

Buatlah Pilihan untuk Melakukan Perkara Surgawi

Di dalam mengambil sebuah pilihan, apa pun itu, ingatlah bahwa semuanya memiliki dampak yang signifikan dalam hidup kita, cepat atau lambat. Itu sebabnya sebagai seorang anak Tuhan berhati-hatilah dalam memilih.