Posts

Tak Terduga

Jumat, 15 Juli 2016

Tak Terduga

Baca: Matius 10:35-42

10:35 Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya,

10:36 dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.

10:37 Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.

10:38 Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.

10:39 Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.

10:40 Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku.

10:41 Barangsiapa menyambut seorang nabi sebagai nabi, ia akan menerima upah nabi, dan barangsiapa menyambut seorang benar sebagai orang benar, ia akan menerima upah orang benar.

10:42 Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya.”

Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. —Matius 10:39

Tak Terduga

Pada suatu siang yang terik di musim panas, dalam perjalanan ke wilayah selatan Amerika Serikat, saya dan istri berhenti sejenak untuk membeli es krim. Pada dinding di belakang kedai itu terpasang sebuah papan yang bertuliskan, “Dilarang Berseluncur Es”. Saya pun tertawa karena sama sekali tidak menduga akan melihat larangan itu di musim panas.

Terkadang suatu pernyataan yang tak terduga punya pengaruh yang luar biasa. Coba lihat kembali kalimat yang diucapkan Yesus ini: ”Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Mat. 10:39). Dalam Kerajaan Allah di mana Sang Raja juga adalah pelayan (Mrk. 10:45), kehilangan nyawa menjadi satu-satunya cara untuk memperolehnya. Itu pesan tidak terduga yang ditujukan bagi dunia yang mendorong manusia untuk meninggikan dan melindungi diri sendiri.

Namun apakah bentuk nyata dari “kehilangan nyawa”? Jawabannya dapat dirangkum dalam satu kata: Berkorban. Ketika kita berkorban, kita sedang menerapkan gaya hidup Yesus. Dengan berkorban, kita mengesampingkan keinginan dan kebutuhan kita sendiri dan lebih mengutamakan kebutuhan dan kesejahteraan orang lain.

Yesus tidak hanya mengajar tentang pengorbanan, tetapi Dia juga menerapkannya dengan mengorbankan diri-Nya bagi kita. Kematian-Nya di atas kayu salib merupakan perwujudan paling nyata dari hati Sang Raja yang berbuat sesuai dengan perkataan-Nya sendiri, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). —Bill Crowder

Bapa yang penuh kasih, ajarku memiliki hati seperti hati Kristus, agar aku lebih menghargai pengorbanan-Nya bagiku dan aku pun bersedia berkorban bagi orang lain.

Hidup berkorban tidak akan pernah membuat kita rugi. —Henry Liddon

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 13-15; Kisah Para Rasul 19:21-41

Artikel Terkait:

Bagaimana Jika Orang yang Kukasihi Tidak Diselamatkan?

Imanku tergoncang hebat saat harus kehilangan kedua pamanku. Mereka adalah orang yang sangat baik, namun mereka belum percaya kepada Kristus. Aku tahu itu berarti kami akan terpisah selama-lamanya. Aku mulai bertanya: Mengapa Allah membiarkan seorang yang begitu baik meninggal seperti ini?

Romawi yang Indah

Minggu, 5 Juni 2016

Romawi yang Indah

Baca: Yohanes 17:1-5

17:1 Demikianlah kata Yesus. Lalu Ia menengadah ke langit dan berkata: “Bapa, telah tiba saatnya; permuliakanlah Anak-Mu, supaya Anak-Mu mempermuliakan Engkau.

17:2 Sama seperti Engkau telah memberikan kepada-Nya kuasa atas segala yang hidup, demikian pula Ia akan memberikan hidup yang kekal kepada semua yang telah Engkau berikan kepada-Nya.

17:3 Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.

17:4 Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya.

17:5 Oleh sebab itu, ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada.

Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar. —Yohanes 17:3

Romawi yang Indah

Kemegahan kekaisaran Romawi Romawi, melatarbelakangi peristiwa kelahiran Yesus. Pada tahun 27 sm, Kaisar Agustus, kaisar pertama Romawi, mengakhiri perang saudara yang telah berlangsung 200 tahun dan mulai membangun banyak monumen, kuil, gelanggang, dan kompleks pemerintahan di atas wilayah-wilayah yang terbengkalai. Menurut Plinius Tua, seorang sejarawan, semua itu merupakan “bangunan-bangunan terindah yang pernah ada di dunia”.

Namun, meskipun indah, kota Roma dan kekaisarannya menorehkan sejarah kekejaman yang terus berlangsung sampai pada masa Kejatuhannya. Ribuan budak, orang asing, kaum pemberontak, dan tentara yang membelot disalibkan pada tiang-tiang di pinggir jalan sebagai peringatan keras bagi siapa saja yang mencoba-coba menentang kekuasaan Romawi.

Maka alangkah ironisnya ketika kematian Yesus di atas kayu salib justru menyingkapkan suatu kemuliaan abadi yang membuat kemegahan Romawi terlihat begitu fana!

Adakah yang pernah membayangkan bahwa di dalam kutukan orang dan kesengsaraan penyaliban, kita menemukan kemuliaan abadi dari kasih, kehadiran, dan kerajaan Allah kita?

Adakah yang pernah menyangka bahwa suatu hari kelak, seluruh isi surga dan bumi akan bernyanyi, “Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!” (Why. 5:12). —Mart DeHaan

Bapa di surga, tolonglah kami untuk mencerminkan hati-Mu yang rela berkorban bagi dunia. Kiranya kasih-Mu menjadi kasih kami, hidup-Mu menjadi hidup kami, dan kemuliaan-Mu menjadi sukacita kami yang kekal.

Anak Domba yang mati itu adalah Tuhan yang hidup!

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 23-24; Yohanes 15

Artikel Terkait:

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Seorang Kristen hanya perlu percaya kepada Tuhan, dan kelak saat meninggal kita akan masuk surga, bukan neraka. Benarkah demikian? Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak setelah hidup kita di dunia ini berakhir? Temukan jawabannya dalam artikel ini.

Awal Paskah

Minggu, 27 Maret 2016

Awal Paskah

Baca: Yohanes 20:24-31

20:24 Tetapi Tomas, seorang dari kedua belas murid itu, yang disebut Didimus, tidak ada bersama-sama mereka, ketika Yesus datang ke situ.

20:25 Maka kata murid-murid yang lain itu kepadanya: “Kami telah melihat Tuhan!” Tetapi Tomas berkata kepada mereka: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.”

20:26 Delapan hari kemudian murid-murid Yesus berada kembali dalam rumah itu dan Tomas bersama-sama dengan mereka. Sementara pintu-pintu terkunci, Yesus datang dan Ia berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu!”

20:27 Kemudian Ia berkata kepada Tomas: “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah.”

20:28 Tomas menjawab Dia: “Ya Tuhanku dan Allahku!”

20:29 Kata Yesus kepadanya: “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.”

20:30 Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini,

20:31 tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.

Ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah. —Yohanes 20:27

Awal Paskah

Ada satu bagian dalam kisah Paskah yang selalu membuat saya bertanya-tanya. Mengapa Yesus membiarkan bekas-bekas luka dari penyaliban-Nya tetap ada? Yesus tentu dapat memiliki apa pun tubuh kebangkitan yang diinginkan-Nya, tetapi Dia memilih suatu tubuh yang mudah dikenali orang terutama melalui bekas luka-Nya yang dapat dilihat dan disentuh. Mengapa demikian?

Saya percaya bahwa kisah Paskah belumlah lengkap tanpa bekas-bekas luka pada tangan, kaki, dan lambung Yesus (Yoh. 20:27). Manusia memimpikan gigi seputih mutiara, kulit yang bebas keriput, dan bentuk tubuh yang ideal. Kita memimpikan kondisi yang tidak alami, yaitu tubuh yang sempurna. Namun bagi Yesus, dibatasi oleh tulang dan kulit manusia justru merupakan kondisi yang tidak alami. Bagi-Nya, bekas-bekas luka tersebut menjadi pengingat yang permanen terhadap keterbatasan dan penderitaan yang dialamiNya selama berada di planet kita.

Dari sudut pandang surga, bekas-bekas luka tersebut mewakili peristiwa paling mengerikan yang pernah terjadi dalam sejarah alam semesta. Meski kelam, peristiwa itu akan menjadi kenangan masa lalu. Oleh karena Paskah, kita dapat berharap bahwa setiap air mata yang kita cucurkan, penderitaan yang kita tanggung, luka batin, dan kesedihan yang dialami saat kehilangan sahabat dan orang yang kita kasihi— semua itu akan menjadi kenangan masa lalu, seperti halnya bekas luka Yesus. Bekas luka mungkin tidak akan pernah dapat dihapus, tetapi kepedihannya tidak akan terasa lagi. Kelak kita akan memiliki tubuh yang baru, surga dan bumi yang baru (Why. 21:4). Kita akan mengalami suatu awal yang baru layaknya Paskah. —Philip Yancey

Tuhan Yesus, terima kasih untuk pengharapan yang Engkau berikan lewat kebangkitan-Mu, dari masa sekarang sampai selamanya. Hari ini aku mau percaya kepada-Mu.

Kebangkitan Kristus menjadi jaminan bagi kebangkitan kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Hakim-Hakim 1-3; Lukas 4:1-30

Tidak akan Pernah Ditinggalkan

Sabtu, 26 Maret 2016

Tidak akan Pernah Ditinggalkan

Baca: Mazmur 22:2-11

22:2 Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku.

22:3 Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.

22:4 Padahal Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel.

22:5 Kepada-Mu nenek moyang kami percaya; mereka percaya, dan Engkau meluputkan mereka.

22:6 Kepada-Mu mereka berseru-seru, dan mereka terluput; kepada-Mu mereka percaya, dan mereka tidak mendapat malu.

22:7 Tetapi aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi manusia, dihina oleh orang banyak.

22:8 Semua yang melihat aku mengolok-olok aku, mereka mencibirkan bibirnya, menggelengkan kepalanya:

22:9 “Ia menyerah kepada TUHAN; biarlah Dia yang meluputkannya, biarlah Dia yang melepaskannya! Bukankah Dia berkenan kepadanya?”

22:10 Ya, Engkau yang mengeluarkan aku dari kandungan; Engkau yang membuat aku aman pada dada ibuku.

22:11 Kepada-Mu aku diserahkan sejak aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku.

Berserulah Yesus dengan suara nyaring: . . . Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? —Matius 27:46

Tidak akan Pernah Ditinggalkan

Penulis asal Rusia, Fyodor Dostoyevsky, pernah berkata, “Tingkat peradaban suatu masyarakat dapat dinilai dengan melihat isi penjaranya.” Sambil mengingat pernyataan itu, saya membaca sebuah artikel di dunia maya yang mengupas tentang “8 Penjara Paling Mematikan di Dunia”. Dalam salah satu penjara yang disebutkan, setiap tahanannya dikurung dalam sel isolasi.

Manusia dimaksudkan untuk menjalani hidup dan berhubungan dengan sesamanya dalam suatu komunitas, bukan dalam isolasi. Alasan itulah yang membuat sel isolasi menjadi hukuman yang sangat berat.

Isolasi adalah bentuk penderitaan yang ditanggung Kristus pada saat hubungan-Nya yang kekal dengan Bapa-Nya terputus di kayu salib. Kita mendengarnya dalam seruan Yesus yang tertulis di Matius 27:46: “Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: ‘Eli, Eli, lama sabakhtani?’ Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Ketika Yesus menderita dan mati dengan menanggung beban dosa-dosa kita, tiba-tiba saja Dia ditinggalkan sendirian, terisolasi, dan terputus dari hubungan-Nya dengan Bapa. Namun isolasi yang diderita-Nya itu telah memberi kita jaminan dari janji Bapa: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibr. 13:5).

Kristus telah menanggung penderitaan dan diabaikan di kayu salib demi kita, agar kita tidak pernah dibiarkan sendirian atau diabaikan oleh Allah kita selamanya. —Bill Crowder

Bapa, terima kasih Engkau telah membuka jalan bagiku untuk menjadi anak-Mu. Selamanya aku bersyukur untuk harga yang dibayar Yesus agar hubungan itu dapat terjalin. Terima kasih karena Engkau berjanji tidak akan pernah meninggalkan aku.

Semua yang mengenal Yesus tidak pernah dibiarkan sendirian.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 22-24; Lukas 3

Obituarium Tiga Kata

Jumat, 25 Maret 2016

Obituarium Tiga Kata

Baca: Roma 8:28-39

8:28 Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.

8:29 Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.

8:30 Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.

8:31 Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?

8:32 Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?

8:33 Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka?

8:34 Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita?

8:35 Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?

8:36 Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.”

8:37 Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.

8:38 Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang,

8:39 atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah. —Roma 8:34

Obituarium Tiga Kata

Sebelum Stig Kernell meninggal dunia, ia menitipkan pesan kepada rumah duka setempat bahwa ia tidak menginginkan obituarium (berita kematian) yang seperti biasanya. Sebaliknya, pria asal Swedia itu menginstruksikan supaya mereka hanya menerbitkan tiga kata untuk memberitakan tentang kematiannya: “Aku sudah mati.” Ketika Kernell wafat di usia 92 tahun, benar-benar hanya tiga kata itulah yang dicantumkan. Keberanian dan kesederhanaan dari pemberitaan tentang kematiannya yang tidak lazim tersebut telah menarik perhatian surat kabar di seluruh dunia. Ironisnya, keingintahuan dunia internasional tentang pria dengan obituarium tiga kata itu justru membawa lebih banyak perhatian pada kematiannya daripada yang ia kehendaki.

Ketika Yesus disalibkan, obituarium-Nya dapat saja mencantumkan, “Dia telah mati.” Namun setelah tiga hari, pemberitahuan itu tentu digantikan oleh tajuk berita utama yang berbunyi, “Dia telah bangkit!” Sebagian besar isi Perjanjian Baru secara khusus menyatakan dan menjelaskan dampak dari kebangkitan Kristus. “Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita? Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? . . . kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita” (Rm. 8:34-37).

Obituarium tiga kata tentang Yesus, “Dia telah mati”, sudah tergantikan dengan kidung pujian bagi Juruselamat kita yang berkumandang selamanya. Dia bangkit! Dia sungguh telah bangkit! —David McCasland

Ya Tuhan, kami bersukacita untuk kemenangan-Mu yang dahsyat atas dosa dan kematian melalui kebangkitan-Mu. Kiranya kami selalu hidup dalam terang kebangkitan itu setiap hari.

Yesus mengorbankan nyawa-Nya demi nyawa kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 19-21; Lukas 2:25-52

Pemeras Minyak

Kamis, 24 Maret 2016

Pemeras Minyak

Baca: Markus 14:32-39

14:32 Lalu sampailah Yesus dan murid-murid-Nya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Kata Yesus kepada murid-murid-Nya: “Duduklah di sini, sementara Aku berdoa.”

14:33 Dan Ia membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes serta-Nya. Ia sangat takut dan gentar,

14:34 lalu kata-Nya kepada mereka: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah.”

14:35 Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa supaya, sekiranya mungkin, saat itu lalu dari pada-Nya.

14:36 Kata-Nya: “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.”

14:37 Setelah itu Ia datang kembali, dan mendapati ketiganya sedang tidur. Dan Ia berkata kepada Petrus: “Simon, sedang tidurkah engkau? Tidakkah engkau sanggup berjaga-jaga satu jam?

14:38 Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah.”

14:39 Lalu Ia pergi lagi dan mengucapkan doa yang itu juga.

Lalu sampailah Yesus dan murid-murid-Nya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. —Markus 14:32

Pemeras Minyak

Jika kamu mengunjungi pedesaan Kapernaum di sebelah Danau Galilea, kamu akan melihat pameran alat pemeras minyak kuno. Dengan bahan dari batu basal, alat pemeras minyak itu terdiri atas dua bagian: bagian dasar dan roda penggiling. Bagian dasarnya berbentuk bundar, berukuran besar dan mempunyai cekungan yang terpahat di dalamnya. Buah zaitun ditaruh dalam cekungan itu, lalu roda penggiling yang juga terbuat dari batu berat digulirkan di atas buah zaitun tersebut untuk mengeluarkan minyaknya.

Pada malam sebelum kematian-Nya, Yesus pergi ke bukit Zaitun yang menghadap ke kota Yerusalem. Di sana, di sebuah taman bernama Getsemani, Yesus berdoa kepada Bapa dengan menyadari apa yang akan dialami-Nya sebentar lagi.

Kata Getsemani berarti “tempat pemerasan minyak”—dan itu dengan tepat menggambarkan masa-masa awal dari penderitaan berat yang dialami Yesus demi kita. Di Getsemani, “Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Luk. 22:44).

Yesus, Sang Anak, menderita dan mati untuk “menghapus dosa dunia” (Yoh. 1:29) dan memulihkan hubungan kita yang terputus dengan Allah Bapa. “Sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya . . . Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh” (Yes. 53:4-5)

Hati kita pun berseru dalam sembah syukur. —Bill Crowder

Bapa, mampukan aku untuk memahami apa yang telah ditanggung Anak-Mu demi diriku. Mampukan aku untuk menghargai kedalaman kasih yang membuat Kristus, Tuhanku, rela diremukkan untuk tiap kesalahanku dan demi keselamatanku.

Lenyaplah segala pelanggaranku, dan kini aku bebas— semua karena Yesus mati bagiku. —W. G. Ovens

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 16-18; Lukas 2:1-24