Aku ingat dengan jelas, malam itu aku mencoba bunuh diri. Setelah merantau beberapa tahun di Jakarta, aku merasa begitu depresi karena semua tekanan. Jakarta bukanlah kota yang mudah ditaklukkan. Kehidupannya begitu keras. Mulai dari tuntutan pekerjaan hingga persoalan relasi dengan teman-teman.
Pada bulan April lalu, aku mendapatkan pelajaran berharga dari peristiwa patah hati yang kualami. Aku belajar bahwa berharap diterima oleh manusia saja tidak akan pernah bisa membuatku merasa cukup atau memperoleh kepuasan sejati (aku sempat menuliskan prosesnya di sini).
Mungkin ketika nilai-nilaimu tak memenuhi keingan orang tuamu? Karena teman-temanmu mengejek dan menertawakanmu? Atau, karena kondisi keluargamu tak sebaik keluarga orang lain? Dunia ini mengajari kita untuk selalu merasa tidak puas. Ibarat secarik kertas putih, kita dinodai oleh pandangan-pandangan buruk yang berkembang di sekeliling kita. Tanpa kita sadari, kita pun menolak diri kita.
Aku lahir bukan sebagai orang Kristen, setidaknya sampai aku berusia 6 tahun ketika ayahku menanyakan apakah aku bersedia mengikuti kepercayaannya. Di masa-masa setelahnya, sangat sulit untuk beradaptasi dengan identitas baruku itu karena budaya serta lingkungan sosial seakan-akan mencap aku ‘berbeda’. Beberapa konflik terjadi karena ‘perubahan’ ini, hingga akhirnya aku menyimpulkan bahwa diriku tidak berharga. Aku ditolak dan aku pantas untuk ditolak.
Siang itu, aku tengah menunggu giliran wawancara user di salah satu perusahaan ritel swasta terkemuka. Di saat yang sama jiwaku bergejolak karena sudah tidak sabar menunggu pengumuman akhir di sebuah perusahaan BUMN besar di negeri ini, untuk menempati posisi staf akuntansi dan keuangan.
Aku dibesarkan di dalam keluarga yang belum semuanya mengenal Yesus. Hanya ayahku seorang yang sudah mengenal Yesus terlebih dulu, namun dia tidak menghidupi imannya dengan sungguh-sungguh.