Posts

Kasih Yang Melukai

Oleh Jessica Tanoesoedibjo, Jakarta

“Pasti kamu tidak pernah merasakan yang namanya dilukai,” saut seseorang di grup kecil kami pada suatu acara Psychological First Aid Training yang aku hadiri. Aku hanya tersenyum pada Ibu tersebut, dan berkata, “Pasti pernah dong, Bu. Semua orang memiliki pengalamannya masing-masing.” Tanpa ibu itu sadari, pada saat itu juga, persepsinya yang penuh asumsi pun telah menggores hatiku, yang merasa disalahpahami dan dianggap remeh.

Banyak dari kita beranggapan bahwa wajah yang ceria mencerminkan kehidupan yang mudah. Namun, dibalik senyuman terlebar pun, setiap orang punya cerita. Aku berharap setelah membaca ini, kita semua dapat menjadi pribadi yang lebih memiliki empati terhadap orang lain.

Ketika aku merenungkan apa yang dapat aku bagikan tentang pengalaman keterlukaanku, beberapa hal muncul di benakku. Masa-masa patah hati, pengalaman dikhianati, serta perselisihan paham yang pernah dilalui dengan orang-orang yang aku kasihi…namun tidak semuanya perlu diceritakan. Karena tujuanku menulis bukan untuk mendapat belas kasihan, melainkan untuk mengingatkan diriku kembali akan Kasih dan Pengampunan yang telah terlebih dahulu aku terima. Jika aku dituntut untuk mengampuni, sesungguhnya, Tuhan hanya memintaku untuk meneruskan kepada sesama, apa yang telah Ia berikan secara cuma-cuma kepadaku.

Luka yang Memicu Emosi Terdalam

Beberapa waktu lalu, ada suatu kejadian di mana aku mendapati diriku marah besar. Aku sendiri bahkan terkejut, tak mengira emosiku dapat terpancing sedemikian rupa sehingga aku menggebrak meja dan mengangkat suaraku. Pada saat itu, perasaanku bercampur aduk: antara amarah, kekecewaan, kesedihan, dan ketidakpercayaan atas apa yang telah orang tersebut lakukan.

Tanpa menjelaskan dengan detail apa yang orang tersebut perbuat, yang hanya perlu kukatakan adalah orang ini telah mengkhianatiku dan orang yang aku kasihi. Kami telah memberi orang ini kepercayaan yang begitu besar, namun ternyata dibalik raut wajahnya yang polos dan tutur katanya yang penuh sopan santun, ia telah mengkhianati, berbohong, dan membodohi kami selama bertahun-tahun. Dan yang paling aku sesali adalah, ia adalah seseorang yang sering mengutip Firman dan membawa-bawa nama Tuhan dalam percakapan kita. Aku pun selama ini menganggap dan mengasihi orang tersebut sebagai saudara seiman.

Aku mengingat dengan jelas kejadian di malam hari itu, ketika semuanya terungkapkan. Pada awalnya aku masih duduk tenang dan mencoba untuk mendengarkan penjelasannya. Aku pikir, mungkin ada hal yang mendesaknya untuk melakukan hal tersebut. Tetapi, setelah berbagai macam pertanyaan klarifikasi, ia malah bersifat defensif, bahkan menyalahkan keadaan dan orang lain.

Dalam Kemarahan, Berdoa dan Jangan Berdosa

Suatu prinsip yang aku pegang, dan yang kuharapkan Tuhan akan selalu beriku kekuatan dalam menjalankannya, adalah bahwa aku tidak boleh mengutarakan perkataan jahat yang bertujuan melukai orang lain dalam kemarahanku. Lebih baik aku diam sejenak, daripada mengucapkan sesuatu yang akan aku sesali. Firman mengajarkan kita, “hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah,” (Yakobus 1:19).

Tapi apakah artinya sebagai orang Kristen kita tidak boleh marah? Apalagi marah yang besar? Tentu tidak. Karena Yesus sendiri marah, bahkan sampai membalikkan meja-meja dan kursi-kursi para pedagang yang pada berjualan di halaman Bait Allah (Matius 21:12-13). Walaupun Allah memang panjang sabar (Mazmur 103:8), salah satu hal yang dapat kita pelajari dari ayat tersebut adalah bahwa Tuhan tidak mentoleransi dosa. 

Kita memang seharusnya membenci dan marah terhadap dosa—karena sesungguhnya, setiap kejahatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap yang lain, adalah kejahatan terhadap Sang Pencipta sendiri. Orang-orang yang berjualan di halaman Bait Suci bukan hanya sedang merampas orang miskin, melainkan telah mencemarkan dan merampas dari Rumah Tuhan itu sendiri.

Pada saat itu juga, ketika emosi menggebu-gebu dalam diriku, hati kecilku hanya dapat berdoa agar Tuhan juga menolongku dalam kemarahanku itu. Jangan sampai amarahku terhadap dosa orang lain membuatku malah berdosa terhadap Tuhanku sendiri.

Pengampunan Tidak Berarti Membiarkan Dosa

Yang sangat kusesali, setelah konfrontasi, orang tersebut tidak menunjukkan sedikitpun rasa penyesalan atas perbuatannya, bahkan setelah beberapa hari, mencoba untuk melarikan diri dari konsekuensi perbuatannya. Awalnya kami ingin menyelesaikannya dengan begitu saja, namun orang ini malah menunjukkan itikad tidak baik. Setelah berdoa dan bergumul dengan beberapa orang-orang yang aku percayai, kami akhirnya memutuskan untuk bertindak dengan disiplin.

Jujur, hal tersebut sangat menyedihkan bagiku. Karena harapanku adalah agar orang tersebut berpaling dari perbuatannya dan kembali pada Tuhan. Aku tidak ingin melihat orang tersebut harus mengalami yang namanya proses disiplin. Namun, jika aku diamkan dan biarkan perbuatan kejahatannya, yang telah ia lakukan berulang-ulang kali selama bertahun-tahun, berarti aku tidak peduli akan kondisinya di hadapan Tuhan. Sesungguhnya, aku juga memiliki tanggung jawab di hadapan Yang Maha Kudus, untuk menegakkan kebenaran.

Memang, pengampunan tidak bergantung pada penyesalan orang yang telah melukai kita. Sebaliknya, kita harus tetap mengampuni, bahkan jika orang tersebut tidak menyesal. Yesus mengajarkan kita untuk “[mengasihi] musuhmu dan berbuat baiklah kepada orang yang membencimu.” (Lukas 6:27).

Namun, Firman juga mengajarkan bahwa “Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya,” (Ibrani 12:6), dan kadang memang kita perlu menjalankan disiplin, untuk kebaikan orang lain. Mengampuni tidak berarti kita harus selalu diam dan menjadi orang yang nerimo, namun, mencerminkan kondisi hati kita di hadapan Tuhan yang melihat segalanya. Apakah kita bersenang-senang atas kesukaran yang dialami orang lain sebagai konsekuensi perbuatan mereka yang telah melukai kita? Atau sebaliknya—karena kita mengasihi orang yang melukai kita, kita berberat hati, dan bahkan terluka, dalam menjalankan disiplin tersebut?

Salah satu kisah dalam Alkitab yang memberikan kita pandangan sepintas pada hati Tuhan dalam menjalankan disiplin ada dalam kitab Yunus. Sesungguhnya, cerita Yunus bukan tentang seseorang yang ditelan oleh ikan besar, seperti yang banyak dari kita ketahui, melainkan menkontraskan hati seorang nabi Yunus, dengan hati Tuhan. Di mana seseorang nabi Yunus berberat hati untuk memberitakan Firman Tuhan kepada orang-orang bebal di Niniwe, Tuhan berberat hati untuk menghukum orang-orang yang tidak mengenal-Nya itu. Cerita tentang Yunus yang ditelan oleh sebuah ikan besar hanyalah sebuah gambaran kecil tentang tindakan disiplin yang Tuhan berikan, agar hamba-Nya, yang (ironisnya) juga bebal, dapat kembali pada panggilan-Nya.

Apakah hati kita telah menyerupai Tuhan, bahkan ketika kita menjalankan disiplin? Karena disiplin yang sesungguhnya harus bertujuan untuk merekonsiliasi orang yang telah menyakiti kita, bukan hanya pada diri kita sendiri, tapi juga dengan Bapa kita yang Maha Pengampun.

Kasih Yang Melukai Yang Memberikan Kita Pengampunan

Ketika kita merenungkan cerita Paskah yang kita rayakan di bulan ini, suatu hal yang perlu kita sadari: Tuhan tidak pernah mentoleransi dosa. Tidak ada dosa yang terlalu kecil untuk Tuhan abaikan dan biarkan begitu saja. Harga dosa begitu mahal, sampai Tuhan harus membayarnya dengan darah-Nya sendiri (Ibrani 9:12).

Kebenaran Firman mengajarkan kita bahwa setiap dosa memiliki konsekuensi (Roma 6:23). Namun Yesus sendiri, Sang Anak Allah yang Kudus, dengan sukarela menyerap segala dosa, segala amarah Allah Bapa yang seharusnya tertuju pada kita semua. Di atas Kayu Salib kita melihat “keadilan dan damai sejahtera [berciuman].” (Mazmur 85:10), karena disanalah murka dan kasih Allah berjumpa, merelakan Anak Allah yang tidak bercela, agar kita dapat memperoleh pengampunan dan keselamatan.

Aku yakin semua pasti pernah mengalami yang namanya dilukai. Semua orang memiliki pengalamannya masing-masing. Namun jika kita dituntut untuk mengampuni, sesungguhnya, Tuhan hanya meminta kita untuk meneruskan kepada sesama, apa yang telah Ia berikan secara cuma-cuma kepada kita di atas Kayu Salib, dimana Yesus menyerahkan diri-Nya untuk dilukai oleh ciptaan-Nya. Sekarang, dengan pengampunan yang telah Ia anugerahkan kepada kita, kita hanya diminta untuk berpaling dari kebebalan kita, dan mengikuti-Nya, dalam kasih dan kebenaran.



Baca Juga:

Satu Penyebab Kekalahan dalam Bertanding

Kita merasa hidup kita di masa kini dan masa depan bergantung pada besarnya kapasitas diri kita sendiri. Namun, di lain pihak, lubuk hati kita sadar bahwa diri ini tidak sanggup diandalkan.

Tuhan, Berikan Aku Pasangan yang Suka Mencuci Piring!

Oleh God’s Little Flower
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 主啊,请赐我一个爱洗碗的丈夫吧!(有声中文

Meski rasanya memalukan, tapi judul artikel ini faktanya adalah doaku bertahun-tahun lalu.

Aku belum lama jadi orang Kristen kala itu dan terdorong untuk mendoakan calon suamiku di masa depan. Aku merinci 10 kriteria yang harus ada pada “suami idealku”. “Suka mencuci piring” ada di nomor 9. Alasan dari tertulisnya kriteria itu adalah, “Tuhan, aku amat tidak suka mencuci piring. Bukankah cocok jika suamiku nanti sangat suka mencuci piring?”

Kupikir kamu bisa menebak kelanjutan ceritanya. Tentunya Tuhan tidak memberiku suami yang suka mencuci piring, namun pada kenyataannya Tuhan menggunakan rutinitas remeh mencuci piring untuk mengajari kami pelajaran penting tentang pernikahan.

Siapa yang akan mencuci piring?

Ketika suamiku dan aku bertunangan, kami menghadiri beberapa seminar dan kelas tentang pernikahan. Banyak pembicara menyebutkan bahwa alasan utama konflik antar pasangan adalah pembagian pekerjaan rumah tangga yang tidak jelas.

Jadi, untuk menghindari ribut-ribut tentang urusan bersih-bersih rumah, aku dan suamiku berdiskusi bagaimana kita nanti membagi tugas saat menikah.

Kami setuju untuk membagi pekerjaan rumah dengan seimbang. Siapa yang bertanggung jawab untuk suatu tugas bergantung pada kekuatan, kepribadian, dan kesukaannya.

Berbicara kebenaran kepada satu sama lain

Berdasar prinsip, “…buanglah dusta dan berkatalah benar..”(Efesus 4:25), aku jujur berkata kepada suamiku kalau aku tidak suka mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ada banyak alasan untuk ini. Pertama, aku tidak punya standar kebersihan yang tinggi. Kedua, aku tidak suka pekerjaan yang simpel tapi berulang-ulang. Ketiga, aku gampang lelah. Alih-alih bersih-bersih rumah, aku lebih memilih menolong suamiku untuk urusan lain, semisal membuatkan slide presentasi dan membaca ulang artikel-artikelnya.

Pandangan suamiku mirip-mirip denganku. Dia bahkan punya standar makanan yang lebih rendah dariku, dan dia juga tidak berekspektasi punya rumah yang selalu rapi dan bersih setiap waktu. Daripada menikmati hidup dalam kemewahan, dia lebih memilih punya hidup sederhana dan istri yang bahagia. Jika aku bisa menolongnya mengerjakan hal-hal kecil dalam risetnya, dia akan amat senang.

Jadi, kami memutuskan bersama tujuan dari pekerjaan rumah tangga yang kami lakukan adalah memastikan bahwa kondisi rumah tidak akan mengganggu keseharian kami. Dengan demikian, kami bisa meminimalkan waktu yang dihabiskan untuk mengurus pekerjaan rumah.

Setelahnya, kami akan mengevaluasi pembagian tugas kami dengan sering, membagikan unek-unek dan perasaan, juga menyesuaikan kembali rencana kami berdasarkan kondisi. Contohnya, kami biasanya makan di rumah setiap akhir pekan, tapi supaya bisa punya waktu istirahat lebih banyak, kami memutuskan makan di luar lebih sering.

Kasih melenyapkan ketakutan

Selain urusan rumah tangga, aku dan suamiku menerapkan prinsip yang sama terhadap aspek-aspek lain dalam kehidupan kami dan dengan jujur mendiskusikannya. Contohnya, bagaimana kami menggunakan uang, meluangkan waktu pelayanan di gereja, seberapa sering kami mengunjungi rumah orang tua, bagaimana kami merespons pendapat keluarga yang lain, bagaimana membina komunikasi saat salah satu pergi dinas, dan sebagainya.

Kami membagikan apa yang jadi pendapat dan pemikiran kami, merumuskan tujuan bersama, mengatur ekspektasi, sampai akhirnya kami menghasilkan kesepakatan. Sering juga kami mengevaluasi rencana-rencana dan menyusunnya ulang jika dibutuhkan.

Banyak hal dalam hidup pernikahan itu tidak sepenuhnya benar tidak sepenuhnya salah. Antara suami dan istri perlu memiliki pengertian dan melihat dari sudut pandang yang sama. Agar pengertian bersama bisa tercapai, kuncinya adalah dua pihak harus bersedia berkomunikasi dengan jujur.

Kasih dari suamiku dan penerimaannya atasku menolongku untuk mengekspresikan pikiran dan perasaanku tanpa sungkan. Dia sering mengakui kelemahannya, dan itu menolongku mengerti kebutuhannya dan bersimpati pada perasaannya. Tujuh tahun hidup dalam pernikahan telah menolong kami mengalami lebih dalam kasih Tuhan seperti yang tertulis dalam 1 Yohanes 4:18, “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan.”

Belakangan ini, aku bercerita pada suamiku tentang doa cuci piring yang kunaikkan bertahun-tahun lalu. Dia tersenyum dan menjawab, “Aku membayangkan sedikit sekali orang yang suka cuci piring. Kalau bisa menebak, mungkin Tuhan Yesus juga tidak suka mencuci piring!” Tapi, selama bertahun-tahun ini, suamiku bersedia mengambil tanggung jawab mencuci piring karena dia memang tahu aku tak suka mencuci piring.

Melihat ke belakang, aku bersyukur karena Tuhan tidak menjawab doaku yang egois itu, malahan Dia mengizinkanku untuk mengalami kasih-Nya melalui suami yang tidak suka mencuci piring, tapi bersedia mengesampingkan kepentingan pribadinya dan berkorban untukku.

Inilah pelajaran amat penting yang kupelajari dalam pernikahan.

Baca Juga:

Apakah Sakit Kankerku Merupakan Bagian dari Rencana Tuhan?

Kanker payudara tidak pernah menjadi rencanaku selama lima tahun, atau rencana-rencana lain yang kubuat dalam hidup. Aku tidak merokok, tubuhku rasanya sehat dan bugar, pun tak ada catatan sejarah keluargaku yang mengidap kanker payudara.

Natal adalah Pengorbanan dan Pembaharuan Diri

Oleh Olive Bendon

Hujan yang baru saja datang, memaksaku kembali duduk lesehan di teras gereja. Desember, bulan di penghujung tahun yang sering basah. Bulan sibuk bagi umat Kristiani menyambut Natal dengan beragam kegiatan yang sering jadi boomerang bagiku, kamu, dan dia yang kebersamaannya dengan orang–orang dekat tersita karena kegiatan bertumpuk–tumpuk yang mungkin (sengaja) diborong. Serupa malam itu, ketika keriuhan di gereja sendiri usai, kuikuti langkah kawan untuk melihat persiapan Natal di gerejanya. Tawaran secangkir teh panas dari ibu pengurus gereja untuk menghangatkan badan tentu saja tak kutampik.

Kami—aku dan Titi, serta beberapa pemuda di gereja tersebut—ngariung menghadap pohon pinus di samping gerbang gereja yang disulap menjadi pohon terang, dihiasi lampu berwarna–warni. Keberadaannya mengingatkanku pada satu hari menjelang Natal 13 tahun lalu, ketika ayah meminta kami, anak–anaknya untuk pulang dan merayakan Natal di rumah. Dua minggu sebelum Natal, ayah kena serangan jantung, dan harus “pulang” sebelum anak–anaknya pulang ke rumah. Saat berkumpul di hari Natal itu tak pernah mewujud, karena tenyata Tuhan telah menyiapkan hari berkumpul lebih awal dalam suasana yang berbeda. Keadaan yang dulu membuatku kesal kenapa Tuhan menjadikan hari berkabung di saat kami merencanakan hari sukacita?

Lip, pernah nggak kepikiran, kenapa kalau jelang Natal orang sibuk mendandani pohon natal? Tanya Titi memecah senyap.

Pertanyaan sederhana yang memotong ingatanku pada hari yang telah mengubah pemahamanku akan arti kehadiran Tuhan di dalam kehidupan ini. Pertanyaan yang mengingatkanku pada benturan di grup WhatsApp paduan suara gereja beberapa hari lalu karena perkara foto diri seorang kawan untuk ID Card kegiatan Natal tak sesuai dengan keinginannya. Dia minta gambar dirinya diganti. Sayang, dirinya lupa, dia hanya fokus memandangi gambar dirinya sendiri. Sedangkan yang mengerjakan pemotretan, pengumpulan hingga editing gambar dirinya dan 50 orang lainnya; satu orang saja.

Meski menyebut diri pelayanan tapi kita sering lupa, sebenarnya pelayanan kita hanya sebatas sebagai aktifis BUKAN melayani. Pelayan itu berarti berada di posisi terendah, bahkan diinjak–injak! Namun, ego sering membuat kita lebih fokus mendandani diri kita sendiri secara fisik. Senangnya komplain dengan mengedepankan keinginan diri. Tidak mau berkorban dan mengambil tanggung jawab. Padahal, jika kita mau membaca dan memahami lebih dalam makna dari kelahiran Kristus, sejatinya Natal adalah pengorbanan!

Kok bisa? Pertanyaan yang sama terlintas di pikiranku ketika mendengar khotbah di satu ibadah sore menjelang Natal beberapa waktu lalu. Setidaknya 4 (empat) pribadi berikutlah yang berkorban untuk natal:

  1. Maria: ia rela dan siap untuk difitnah karena hamil di luar nikah, namun Tuhan menetapkannya menjadi perempuan terpilih untuk melahirkan Putra Tunggal-Nya [Lukas 1:38]
  2. Yusuf: ia mau bertanggung jawab meski anak yang dikandung Maria tunangannya, bukan dari benihnya [Matius 1:24-25]
  3. Tuhan: karena begitu besar kasih-Nya akan dunia yang penuh dosa DIA rela memberikan Putra Tunggal-Nya turun takhta, berdiam di antara manusia bahkan rela disiksa memberikan nyawa-Nya agar manusia yang berdosa diselamatkan [Yohanes 3:16-17]
  4. Kita: siap atau tidak menerima segala konsekuensi menjadi anak Tuhan? [Efesus 5:1-2,8]

Selain pengorbanan, bagiku, Natal adalah pembaharuan! Saat komitmen kembali dieratkan, saat langkah tetap konsisten meski jalan yang dilalui tak selalu rata. Natal adalah saat pundak disorongkan menjadi sandaran bagi yang membutuhkan penyemangat, Natal adalah Kasih.

Sayangnya, sering kita terlalu sibuk dengan ini itu demi mempersiapkan hari untuk merayakan kelahiran-Nya lalu lupa menata hati juga melupakan yang utama, DIA yang lahir untuk kita. Kita terlalu sibuk mendekorasi pohon Natal, menghiasinya dengan lampu kelap–kelip. Lupa, lampu yang berkelap–kelip itu pun berkorban untuk menerangi kegelapan, bukan menerangi dirinya sendiri.

Sudahkah kita melakukan hal–hal baik yang Tuhan inginkan dalam hidup kita dan menjadi terang bagi sekeliling kita? Selamat Natal dan semangat menyongsong Tahun Baru.

Baca Juga:

Bolehkah Orang Kristen Merayakan Natal?

Sebagai orang Kristen, haruskah kita bersikap menentang terhadap segala nuansa Natal yang mungkin tidak berhubungan dengan Natal?

Memandang Salib Yesus, Aku Belajar Mengampuni

Oleh Veronica*, Jakarta

Dalam kehidupan orang percaya, tiap kita punya pergumulan yang berbeda-beda. Ada yang bergumul dengan dosa seksual, masalah keluarga, keuangan, dan lain-lain. Aku sendiri bergumul dengan proses memaafkan, yang awalnya begitu sulit kulakukan, tetapi puji Tuhan aku dimampukan-Nya untuk melakukannya.

Beginilah kisahku.

Aku melayani di sekolah Minggu di gerejaku. Namun, studi S-2 dan bekerja penuh waktu (pukul 8-5 sore) membuat aku kewalahan mengatur jadwalku. Belum lagi untuk menyiapkan sekolah Minggu aku membutuhkan waktu yang cukup banyak: mulai dari kelas persiapan sebulan sekali, kunjungan ke anak-anak pada periode tertentu, games, pemberian hadiah, juga persiapan lainnya untuk acara besar seperti Paskah dan Natal. Itu belum ditambah dengan persiapan membuat cerita tentang firman Tuhan dan membuat aktivitas lanjutannya. Kalau aku mendapat tugas sebagai pemimpin pujian di minggu itu, persiapannya akan lebih banyak lagi.

Suatu ketika, akan diselenggarakan acara tahunan sekolah Minggu. Kelas kecil sampai besar akan digabung untuk bermain games. Untuk bisa mengikuti games ini, tiap anak harus mengumpulkan kupon dalam satu tahun. Banyak yang harus disiapkan, mulai dari jenis games yang akan diadakan sampai hadiah apa yang harus disediakan. Pula kupon yang harus didesain untuk diberikan ke anak-anak dan guru-guru lain. Singkat cerita, persiapannya akan cukup rumit.

Aku pun ditunjuk untuk menjadi ketua. Aku mengelak. Setiap hari Senin sampai Jumat, aku bekerja di kantor pukul 8 pagi sampai 5 sore dan sorenya aku kuliah pukul setengah 7 malam hingga pulang jam 21:30 dari kampus, belum ditambah dengan kemacetan di jalan raya yang menyita waktu. Dengan jadwalku yang sangat padat itu aku tentu tidak akan mampu mengurusi setiap detail persiapan acara. Hari Sabtu kugunakan untuk mengerjakan tugas kuliah dan menyiapkan aktivitas sekolah Minggu. Tetapi, tetap saja aku yang ditunjuk untuk menjadi ketua.

Setiap Minggu, aku ditagih progress yang sudah dibuat. Aku benar-benar kewalahan. Hampir tiap hari, sepulang kuliah aku menyiapkan benda-benda yang perlu dibuat dan baru selesai hampir jam 1 pagi. Aku lelah dan menangis, mengapa beban ini dilimpahkan kepadaku. Aku berkata pada Tuhan kalau aku rasanya tidak sanggup, tapi aku memohon kekuatan dari-Nya.

Ketika rapat persiapan acara berlangsung, ketua sekolah Minggu tidak puas dengan apa yang kusiapkan. Dia berkata kalau aku tidak prepare dan menyindirku atas proses yang lambat. Katanya, aku belum memiliki anak tetapi kok tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Kucoba jelaskan tentang padatnya jadwalku dan aku telah melakukan yang terbaik. Tapi, tetap saja, kurasa rekan-rekanku di panitia itu pun menyalahkanku. Aku merasa terpukul.

Tapi, aku bersyukur karena saat itu ada hamba Tuhan yang menenangkanku. Dia menolongku untuk menyiapkan dan merapikan apa yang perlu kubuat.

Singkat cerita, acara berlangsung. Puji Tuhan bisa terselenggara dengan baik meskipun ada kekurangan di sana sininya. Selepas acara ini selesai, aku pun bergumul untuk mengampuni.

“Jangan menyimpan kesalahan orang dalam hati,” agaknya kata-kata ini mudah diucapkan tapi sulit dipraktikkan.

Aku berdoa, meminta kekuatan daripada-Nya untuk memaafkan dan tidak menyimpan hal-hal yang membuat sakit hati. Secara manusia, kurasa aku tidak bisa dan sulit sekali untuk tidak sakit hati. Tapi, Tuhan memberiku hikmat melalui Matius 5:43-47:

“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?”

Aku diingatkan sekaligus ditegur, bahwa sebagai manusia berdosa, aku tidak boleh menghakimi orang lain. Aku belajar untuk tidak menyimpan kesalahan orang lain dalam hatiku, dan menyerahkan hidupku ke tangan Tuhan. Pun aku berdoa meminta kekuatan dari Tuhan supaya aku diberikan hati seperti hati Yesus yang mengampuni orang-orang yang menyalibkan Dia.

Untuk bisa mengampuni adalah proses yang cukup panjang. Aku tidak ingat berapa lama persisnya. Tapi, sejak aku berdoa memohon kekuatan untuk mengampuni, aku diteguhkan bahwa pelayananku adalah untuk Tuhan, bukan manusia. Mentor rohaniku juga memberitahuku bahwa pertanggungjawaban kita kelak adalah pada Tuhan, dalam hal apapun di setiap aspek kehidupan kita. Ketika aku bertemu dengan mereka yang telah menyakitiku, aku berusaha tidak lagi mengingat-ngingat keburukannya. Aku belajar untuk menumbuhkan dan menunjukkan kasihku dengan cara yang sederhana, menyapa dan senyum pada mereka.

Melayani di gereja bukan berarti akan terbebas dari konflik, karena pada dasarnya kita semua adalah manusia berdosa. Alih-alih menghakimi, aku harus melihat kepada pengorbanan Yesus, Dia mau mengampuniku meskipun sesungguhnya aku tidak pantas mendapatkannya.

Kawan-kawan, mungkin ada di antara kalian ang bergumul untuk mengampuni orang lain. Siapapun itu, entah orang terdekat, atau mungkin orang yang jauh, marilah kita sama-sama belajar menyerahkan apa yang kita rasakan kepada Tuhan. Mintalah Tuhan memperbaharui hati kita, supaya semakin hari kita semakin dibentuk-Nya. Meski secara manusia rasanya sangat sulit, tetapi kekuatan yang melampaui akal pikiran dan hikmat manusia diberikan Tuhan bagi anak-anak-Nya yang mau berserah dan mengandalkan Dia dalam segala hal.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Andrew Hui: Usiaku 32 Tahun dan Aku Menanti Ajalku

Di usia 32 tahun, Andrew hanya memiliki waktu dua hingga tiga bulan untuk hidup. “Aku mau mendorong orang-orang untuk percaya kepada Tuhan di momen-momen tergelap hidup mereka,” ucap Andrew.

Kisah Cinta Eli

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Lapangan El-Marga di kota Damaskus, Siria, begitu ramai dipadati penduduk kota. Langit masih gelap, matahari belum bersinar.

Masih dini hari di kota yang dulu bernama Damsyik itu. Ratusan polisi dan pengawal militer berjaga-jaga di balik pagar berduri.

Di mana-mana terdapat tentara berjaga-jaga. Di atas atap-atap rumah, di pintu masuk hotel, bahkan di selokan bawah tanah. Para prajurit khusus dan penembak jitu terbaik negeri itu berjaga-jaga dengan kesiapan tempur gerak cepat.

Satu hari sebelumnya radio Damaskus mengumumkan hukuman mati bagi seorang penjahat negara.

Seluruh negeri bersorak-sorai, mungkin karena merasa sudah diperdaya dan dipermalukan oleh seorang yang sebentar lagi akan menemui ajalnya di tiang gantungan, di lapangan yang terkenal dengan sebutan lapangan para martir -El Marga-.

Pria itu bernama Eli Cohen.

Ia sudah mempermalukan presiden, jenderal-jenderal, dan para petinggi negara itu dengan kecerdikan yang jarang dimiliki oleh manusia pada umumnya.

Ia salah seorang mata-mata terbaik yang pernah lahir di muka bumi.

Kini, pria yang menjadi perhatian internasional karena kehebatannya di bidang intelijen itu menghadapi tiang gantungan.

Hidupnya tinggal beberapa langkah kaki lagi. Sang algojo menawarkan tutup kepala kepadanya, dengan gelengan kepala ia menolak.

Para wartawan mendengarnya berdoa dalam bahasa Ibrani. Doanya yang terakhir pada Tuhannya, Allah Israel yang ia banggakan, Tuhan yang disembah leluhurnya: Abraham, Ishak, dan Yakub.

Pintu lantai terbuka, Eli Cohen tewas.

Hari itu pukul 03.35 pagi. Seluruh dunia melihatnya. Rakyat negara Israel berkabung. Istri Eli Cohen menonton kematian tragis suami yang dicintainya melalui televisi. Wanita ini terpukul berat, dan mendapatkan perawatan khusus karenanya.

Semua usaha diplomatik dan lobi-lobi internasional yang dilakukan negeri Zion sebelumnya untuk membebaskan intelijen terbaiknya itu tak berhasil.

Sang agen terbaik Israel itu meregang nyawa lebih cepat dari yang mereka kira.

Empat tahun sebelumnya Eli ditugaskan pada misi paling berbahaya. Menyelinap masuk ke jantung informasi rahasia pemerintah dan departemen pertahanan Siria.

Berperan sebagai pengusaha sukses Siria, ia telah berhasil menguasai seluruh rahasia negara itu lebih dari yang presiden negara itu kuasai.

Ia bahkan akan diangkat menjadi Menteri Pertahanan oleh Sang Presiden karena kecerdasan dan karismanya. Misinya berhasil.

Eli memang seorang brilian.

Direkrut dan dilatih dengan baik oleh dinas intelijen Israel, Mossad, pada tahun 1957, untuk sebuah misi yang tak bisa dilakukan oleh agen rahasia biasa. Misi ini memang untuk Eli Cohen.

Dan ia berhasil.

Sungguh menarik jika melihat kehidupan Eli. Sebagai agen intelijen ia memang hebat, tetapi ternyata ia juga seorang pria yang romantis.

Dididik ketat dengan aturan Taurat oleh keluarga Cohen, ia punya satu sisi karakter yang sangat baik.

Ia seorang pria yang setia pada istri dan keluarganya.

Pada awal-awal masa dinasnya di Mossad, Eli bertemu dengan wanita cantik bernama Nadia yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit Hadassah, Tel Aviv.

Eli jatuh cinta padanya. Ia ingin bertemu lagi dengan si perawat cantik itu. Sebagai patriot Israel, Eli dengan wibawa khasnya tak menunda untuk menyatakan isi hatinya pada Nadia, gadis yang menaklukkan hatinya sejak pandangan pertama itu.

Gayung bersambut. Tak sampai seminggu kemudian, di pantai Herzliya, dua sejoli yang dimabuk kasmaran ini memutuskan untuk menikah.

Dari awal Eli sudah mengetahui bahwa wanita ini akan menjadi pendamping hidupnya.

Ia jatuh cinta pada pandangan pertama, dan berani mengambil keputusan untuk menikahi Nadia, gadis yang baru dikenalnya selama tujuh hari.

Pilihannya tak salah.

Dua sejoli ini menikah. Sebagai ekspresi komitmen dalam romantika cinta, mereka berjanji hidup saling setia sampai maut memisahkan.

Mereka memang saling jatuh cinta sejak awal pertemuan mereka di Tel Aviv, di sebuah restoran khusus tentara Israel yang tangguh itu.

Mereka membangun rumah tangga baru dan menikmati hidup yang tenang. Meskipun Eli sering mendapat tugas-tugas penting yang membuatnya harus meninggalkan istrinya dalam jangka waktu yang cukup lama, tapi pria Yahudi kelahiran Mesir ini sungguh mencintai istrinya, Nadia.

Kecintaannya pada Nadia dibuktikan dengan kesetiaanya yang tinggi pada wanita yang dinikahinya pada tahun 1959 itu.

Laporan intelijen mencatat bahwa, ketika sering kali Eli diharuskan berada dalam posisi “menemani” para jenderal dan pejabat tinggi negara Siria yang melakukan pesta pora dan perselingkuhan dengan wanita-wanita simpanan mereka, agen Mossad ini memilih untuk tidak menyentuh satupun dari para wanita cantik nan seksi yang menggoda itu.

Di hatinya hanya ada satu wanita, Nadia, yang sangat dicintainya.

Sejak 1960 operasi rahasia Eli di Siria mulai dijalankan. Perintah ini resmi dan langsung mendapat perhatian dari Isser Harel, sang direktur Mossad yang legendaris itu.

Dalam operasi rahasinya ini, begitu banyak rahasia pertahanan negara Siria yang telah ia bocorkan ke Markas Besar Mossad di Israel -kelak informasi ini yang membuat Israel menang telak atas Siria pada Perang Enam Hari pada tahun 1967-. Eli sangat profesional.

Ia adalah seorang mata-mata yang sukses. Sampai suatu hari sebuah tim elit kontra-intelijen Uni Soviet yang disewa pemerintah Siria berhasil membongkar operasinya.

Kini, Eli Cohen, agen rahasia yang menguasai bahasa Ibrani, Arab, Inggris dan Spanyol ini harus rela mengakhiri hidupnya di tengah lapangan kota Damaskus, di tangan musuh negara yang dibelanya, Israel.

Sebelum ia menemui ajalnya di tiang gantungan, di seberang lapangan El Marga, di sebuah pos polisi yang remang-remang ia diantar masuk ke dalam ruangan yang di dalamnya terdapat meja kayu kosong.

Dengan pengamanan yang super ketat, dan didampingi seorang Rabbi Yahudi, ia diperbolehkan menulis sepucuk surat perpisahan kepada istrinya, Nadia.

*Kepada Nadia, istriku, dan keluargaku yang tercinta. Aku minta agar kalian tetap bersatu. Aku mohon kepadamu Nadia untuk memaafkanku. Aku minta supaya kamu menjaga dirimu sendiri dan anak-anak kita, serta berusaha supaya anak-anak dididik dengan baik. Perhatikanlah dirimu sendiri dan usahakanlah agar anak-anak kita tak kekurangan sesuatu apapun. Peliharalah hubungan baik dengan keluargaku. Aku mau supaya kamu menikah lagi agar anak-anak kita tak bertumbuh tanpa seorang ayah, aku berikan kamu kebebasan penuh untuk berbuat demikian. Aku mohon supaya kamu jangan membuang-buang waktu dengan menangisi aku. Selalu berpikir ke depan! Kukirimkan ciumku yang terakhir kepadamu, Sophie, Iris, Saul, serta anggota-anggota keluarga yang lainnya. Untuk kalian semua, keberikan ciumku yang terakhir dan shalom.*

*Eli Cohen, 18 Mei 1965*

Sementara di luar orang-orang Siria sudah menanti kematian agen terbaik Israel ini, Rabi Andabo mengucapkan doa Shema Israel untuk Eli, *”Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu…,”* suara Rabi itu terhenti dan lama-lama menghilang, orang-orang Siria itu dengan tidak sabar mendorong Eli keluar.

Ia berjalan ke tiang gantungan.

Tak ada ketakutan di matanya.

Ia tau akan segera bertemu Elohim Adonai, Tuhan yang menjadikan leluhurnya sebagai bangsa pilihan.

Menit-menit terakhir terasa begitu cepat.

Pintu Firdaus seakan terbuka di atas lapangan yang sering digunakan sebagai tempat eksekusi itu, dan babak akhir hidup sang intelijen jenius ini ada di situ.

Tak lama kemudian dunia melihatnya mati di tiang gantungan, bersama rasa cintanya pada negaranya Israel, bersama kesetiaanya pada Nadia dan keluarganya.

Tragis? Mungkin saja.

Eli memang mati karena risiko tugas. Tapi yang juga menjadi perhatian kita adalah bahwa ia adalah seorang yang mencintai istrinya dengan kesetiaanya yang tinggi.

Ia mencintai istrinya sama seperti ia mencintai Israel, tanah yang dijanjikan Tuhan bagi leluhurnya. Eli menunjukkan kasih setia pada pasangannya sampai akhir hayatnya.

Memang sejak zaman dahulu, hingga zaman Eli Cohen, hingga zaman kita saat ini, dan bahkan hingga sampai zaman anak cucu kita, kesetiaan selalu melekat pada ungkapan cinta.

Karena cinta sejati adalah kesetiaan, hingga maut memisahkan.

Sebagai agen intelijen, Eli bertekad membela negaranya dari ancaman yang datang dari dalam dan luar negeri.

Sebagai seorang suami, ia mempertahankan cintanya pada sang istri yang telah memberinya 3 orang anak itu.

Nadia menerima surat terakhir suaminya itu, dan melakukan semua permintaan terakhir suaminya, kecuali menikah lagi.

Eli mencintai negaranya, dan ia rela mati demi tugas. Eli mencintai istrinya, dan ia menjaga kesetiaanya sampai tali gantungan memutus nafasnya di lapangan El Marga, di kota Damaskus yang berdebu.

Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah mendapatkannya?” (Amsal 20:6)

Baca Juga:

3 Tips untuk Tetap Menyembah Tuhan di Masa Sulit

Memuji dan menyembah Tuhan terasa mudah ketika segalanya baik-baik saja. Namun, ketika kesulitan melanda, kita merasa Tuhan seolah jauh, atau sepertinya Dia tidak peduli. Sulit pula bagi kita untuk mengasihi, menghormati, dan mengakui Tuhan atas pribadi-Nya, apa yang Dia telah lakukan, dan yang sanggup Dia lakukan.

Pelajaran Berharga dari Penyelamatan 13 Pemain Bola di Thailand

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why I Was Captivated By The Thai Cave Rescue
Foto diambil dari Facebook Video

Seperti banyak orang lain di seluruh dunia, kemarin malam aku bersorak ketika membaca berita bahwa 12 anak lelaki Thailand dan pelatih sepak bola mereka yang berusia 25 tahun akhirnya bisa diselamatkan dari dalam gua di utara Thailand. Mereka sudah terperangkap di dalam sana selama dua minggu!

Sejak membaca berita tentang bagaimana mereka menghilang pada 23 Juni lalu, aku terpaku pada layar ponselku. Aku mencari tahu berita-berita lanjutan tentang penyelamatan mereka.

Hatiku tertuju kepada keluarga dan teman-teman mereka saat aku membaca kalau mereka sudah menghilang selama lebih dari seminggu. Padahal seharusnya perjalanan mereka ke Gua Tham Luang itu hanya berlangsung setengah hari. Dan, hatiku tergerak saat membaca kalau 1.000 orang (dari seluruh dunia, termasuk Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, dan Tiongkok) turut memberikan pertolongan dalam pencarian besar-besaran untuk menemukan mereka.

Ketika mereka ditemukan sembilan hari kemudian (3 Juli) di lokasi yang berjarak 4 kilometer dari mulut gua oleh sepasang penyelam Inggris, aku pun gembira. Tapi, sukacita itu dengan cepat berubah jadi kepedihan saat muncul berita tentang Saman Gunan, mantan Angkatan Laut Thailand yang berusia 38 tahun kehilangan kesadaran dan meninggal dunia Jumat lalu setelah menempatkan tangki-tangki cadangan di sepanjang rute evakuasi.

Misi penyelamatan yang dramatis dan berbahaya ini, yang dimulai pada Minggu pagi, membuatku duduk di kursi sambil merasa was-was, dan setiap notifikasi berita yang aku terima tentang anak lelaki lain yang bisa diselamatkan dari gua yang penuh air itu membuatku merasa lega dan bersukacita.

Aku tidak mengenal anak-anak lelaki itu, pun juga para penyelamat secara pribadi, tapi perasaanku tersentuh sejak dari awal berita ini muncul. Aku pernah mengunjungi sebuah gua di Korea Selatan beberapa bulan lalu. Kunjungan ke gua itu menolongku untuk berempati dan membayangkan seperti apa rasanya berada di dalam lingkungan yang dingin, basah, gelap, berbatu, dan suram seperti yang anak-anak Thailand itu rasakan.

Tapi, seperti yang lain, apa yang kemudian membuatku terperangah adalah cerita-cerita tentang pengorbanan dan tidak mementingkan diri sendiri yang dilakukan oleh banyak orang yang menolong proses evakuasi—mereka menolong atas kemauan dan biaya sendiri. Dari para tentara, insinyur, paramedis, penyelam, koki, dan bahkan relawan-relawan yang mencuci seragam para tim penyelamat itu, jelaslah bahwa penderitaan anak-anak itu tidak hanya menyita perhatian dunia, tapi menggugah komunitas internasional untuk bertindak.

Bahkan di dalam gua, kisah tidak mementingkan diri sendiri itu berlanjut. Asisten pelatih dilaporkan memberikan beberapa bagian dari pasokan makanannya yang sangat sedikit kepada anak-anak itu selama 10 hari. Ketika ditemukan oleh penyelam Inggris, anak-anak itu berada dalam kondisi yang sangat lemah. Juga terungkap bahwa seorang dokter dan tiga Angkatan Laut Thailand telah tinggal bersama anak-anak itu sejak kali pertama mereka ditemukan lebih dari seminggu lalu.

Tapi, mungkin pengorbanan terbesar yang memberi dampak terkuat adalah berita bahwa mantan penyelam Angkatan Laut Thailand, Saman Gunan yang meninggal dunia dalam usahanya menyelamatkan 12 anak dan pelatihnya.

Meskipun tahu bahwa operasi penyelamatan ini sangat berbahaya dan berisiko, itu tidak menghalangi Gunan untuk mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan anak-anak itu. Beberapa hari sebelum kematiannya, dia bahkan merekam video mengharukan yang menunjukkan kalau dia sedang berdiri di dekat anak tangga pesawat dan bersumpah untuk “membawa anak-anak pulang”. Pola pikirnya mungkin mencerminkan apa yang juga dikatakan oleh seorang penyelam Belgia dalam cuplikan berita lain. “Jika kamu adalah seorang angkatan laut, ya, kamu akan mengorbankan dirimu.” Sebuah laporan dari BBC kemudian menyimpulkan kematian Gunan dengan pedih, “Dia mati supaya mereka mungkin hidup.”

Apa yang dikatakan itu terbukti jadi nyata. Tiga belas orang yang terperangkap itu akhirnya berhasil diselamatkan dalam upaya evakuasi yang melelahkan selama tiga hari dan melibatkan 13 penyelam internasional dan 5 Angkatan Laut Thailand. Kematian Gunan tidak hanya menyingkap betapa berbahayanya evakuasi ini, tapi pada akhirnya berkontribusi besar untuk memastikan tindakan keselamatan apa yang perlu diambil supaya tidak ada lagi nyawa yang hilang.

Pengorbanan seperti inilah yang membuat air mata kita menetes, karena melalui inilah kita dapat melihat dua hal: nilai kehidupan dan kemanusiaan yang terbaik—ditunjukkan dalam bentuk cinta dan pengorbanan. Seperti yang Alkitab katakan dalam Yohanes 15:13, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”

Aku tidak bisa memungkiri bahwa ada banyak kesamaan antara penyelamatan anak-anak di gua Thailand ini dengan rencana keselamatan Tuhan untuk umat manusia. Seperti 12 anak lelaki dan pelatihnya yang terperangkap dalam gua, tidak dapat menyelamatkan diri sendiri dari keadaan yang sulit, kita juga terjerembap dalam dosa-dosa kita, tidak berdaya sama sekali dan tidak mampu untuk menyelamatkan diri kita sendiri. Dalam kedua kasus ini, satu-satunya hasil yang menanti kita adalah kematian.

Bantuan harus datang dari luar. Bantuan itu datang melalui penyelam-penyelam ahli yang sudah siap mengambil risiko nyawa dan menyelam ke dalam gua yang dipenuhi air di mana jarak pandang hampir mendekati nol demi menyelamatkan 13 orang. Sama seperti itu, Yesus Kristus harus masuk ke dalam dunia kita yang telah jatuh, tinggal di antara kita, kemudian mati untuk kita di kayu salib. Meski Dia tahu bahwa Dia harus mengorbankan segalanya, itu tidak menghentikannya, karena itulah satu-satunya cara supaya kita dapat hidup.

Jadi, saat kita bertepuk tangan dan mengenali para pahlawan yang telah mengorbankan waktu, usaha, sumber daya, dan bahkan hidup mereka, kiranya ini juga mengingatkan kita sekali lagi tentang pengorbanan terbesar yang pernah dilakukan untuk umat manusia: Yesus memberikan hidup-Nya bagi kita bukan hanya ketika masih menjadi orang asing, tapi ketika kita masih jadi seteru-Nya (Roma 5:8-10).

Marilah kita tidak berhenti hanya di ucapan syukur dan perasaan kagum. Seperti yang dikatakan oleh penulis CNN, Jay Parini, “Dan semua orang berutang budi pada Saman Gunan, penyelam Thailand yang kehilangan nyawanya beberapa hari lalu saat keluar dari kompleks Gua Tham Luang.” Sama seperti anak-anak lelaki yang akan selamanya berutang budi kepada Gunan dan yang hidupnya akan berubah selamanya setelah kejadian ini, demikianlah hidup kita pun harus berubah karena apa yang Kristus telah lakukan untuk kita.

“Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (2 Korintus 5:15).

Baca Juga:

Papa Mama, Terima Kasih untuk Teladan Kalian

Kalau aku melihat kembali kisahku ke belakang, kusadari hidup itu tidak mudah. Tapi, aku bersyukur karena papa dan mamaku memberikan teladan yang baik, yang karenanya aku dapat percaya sepenuh hati kepada Tuhan.

Ketika Tuhan Mengajarku Melalui Anakku yang Cacat Mental

Ketika-Tuhan-Mengajarku-Melalui-Anakku-yang-Cacat-Mental

Oleh Tilly Palar, Jakarta

Sharon Putri. Dia adalah anak bungsu dari tiga orang bersaudara yang sangat aku kasihi. Waktu itu, ketika Sharon baru berumur satu tahun, dia belum mampu berjalan dan sulit berbicara. Aku khawatir melihat perkembangan fisiknya yang cukup terlambat itu, tapi teman-temanku menyemangatiku bahwa terlambat berjalan dan bicara adalah hal biasa untuk seorang balita.

Setiap hari, aku mengajari Sharon untuk melangkahkan kakinya perlahan-lahan dan mengucap beberapa kata sederhana. Lambat laun usahaku mulai membuahkan hasil. Sharon mulai mampu berjalan walaupun sering terjatuh. Sharon juga bisa berbicara walau seringkali ucapannya terdengar kurang jelas. Melihat perkembangan fisiknya, aku merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan darinya.

Tibalah masanya untuk Sharon belajar di bangku sekolah. Aku mendaftarkannya ke sebuah sekolah swasta dekat rumahku. Namun, hanya satu minggu berselang, aku dipanggil oleh kepala sekolah. “Ibu, maaf, anak ibu ternyata tidak bisa mengikuti kelasnya. Dia mengacaukan kelas dan memukul teman-temannya. Kami sangat menyesal anak ibu tidak bisa melanjutkan sekolah di tempat ini.” Aku terkejut mendengar kata-kata itu. Aku terduduk diam dan tidak tahu harus menjawab dengan kata-kata apa. Kemudian, kepala sekolah itu melanjutkan bicaranya, “Coba ibu bawa Sharon ke dokter spesialis untuk diperiksa.”

Pembicaraan yang baru saja berlangsung itu membuatku begitu terpukul, tapi aku juga menyadari bahwa saran yang diberikan kepala sekolah itu ada benarnya juga. Aku memutuskan untuk membawa Sharon ke sebuah rumah sakit. Di sana, Sharon menjalani begitu banyak pemeriksaan hingga akhirnya dokter spesialis memberikan kesimpulan bahwa Sharon adalah seorang anak dengan cacat mental. Sharon dikategorikan sebagai seorang anak yang tergolong mild mentally retarded atau retardasi mental ringan.

Vonis dokter bahwa Sharon adalah anak cacat membuatku terkejut. Aku termenung sejenak, mengapa ini semua harus terjadi? Di tengah perenungan itu, aku mengingat bahwa bagaimanapun juga, Sharon adalah anak yang kulahirkan sendiri. Penyakit ini datang bukan karena kesalahan Sharon. Oleh karena itu, tak peduli apapun keadaannya, aku berjanji untuk selalu mengusahakan yang terbaik untuknya.

Karena permasalahan keluarga, aku terpaksa pindah ke luar negeri dan bekerja untuk menghidupi Sharon dan dua orang kakaknya. Aku tidak tahan dengan omongan-omongan negatif yang sering dilontarkan oleh keluarga dan teman-temanku mengenai Sharon. Mereka seolah tidak mendukungku ataupun menerima Sharon sebagaimana adanya.

Setelah kepindahanku ke luar negeri, aku menyekolahkan Sharon di sebuah sekolah khusus untuk anak-anak yang mengalami retardasi. Di usianya yang semakin menanjak, Sharon harus menjalani banyak terapi. Bahkan, sampai ketika Sharon duduk di kelas 5, cara berpikir Sharon masih sama seperti balita yang belum bersekolah.

Suatu ketika, sekolah tempat Sharon belajar mengadakan sebuah pentas seni yang dilakukan oleh anak-anak dengan retardasi mental. Bersama teman-temannya, Sharon memberikan sebuah persembahan tarian di hadapan orangtua murid. Anak-anak dengan retardasi mental itu berlatih selama berminggu-minggu hingga bisa menampilkan tarian yang amat indah bagiku.

Penampilan Sharon di panggung itu membuatku takjub. Aku kagum atas kegigihan guru-guru di sekolah itu. Dengan sabar mereka melatih anak-anak yang sejatinya berbeda dari anak-anak umumnya. Walau dengan retardasi mental, anak-anak itu mampu menari bergandengan tangan, bergerak seirama dengan lagu. Semua anak-anak itu menari dengan ekspresi datar, tanpa senyum sama sekali. Tapi, itulah yang membuatku dan penonton lainnya menangis terharu. Perasaan kami bercampur aduk, antara rasa gembira melihat penampilan anak-anak itu, namun juga ada perasaan sedih karena belum semua orang mau memandang mereka dengan positif.

Sharon adalah anugerah dari Tuhan

Harus kuakui, sebagai seorang ibu, ada kalanya aku merasa lelah dan bertanya-tanya apa maksud Tuhan atas semua ini. Apabila seseorang mengalami cacat pendengaran, ada alat bantu dengar untuk menggantikan fungsi telinga mereka. Atau, paling tidak ada bahasa isyarat. Apabila seseorang mengalami cacat tangan atau kaki, ada tangan-tangan dan kaki-kaki palsu untuk menolong mereka beraktivitas. Akan tetapi, apabila seseorang mengalami cacat mental, apakah yang dapat menggantikan fungsi otak mereka? Atau, alat apakah yang dapat menolong mereka?

Aku tidak memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Aku hanya mampu terdiam. Aku teringat akan beberapa peristiwa yang pernah membuatku pedih. Suatu ketika, aku sedang berada di sebuah rumah duka dan mendengar suara tangis yang disertai teriakan seorang anak. Aku mengenali dengan jelas bahwa itu adalah tangisan dari seorang anak yang mengalami retardasi mental. Kepada kerabat yang turut hadir di rumah duka itu aku bertanya, “Siapa yang menangis berteriak-teriak itu?” Kerabatku itu menjawab, “Oh, itu anak cacat, bodoh, disuruh minum tapi menolak sampai kayak gitu.” Jawaban kerabatku itu membuatu tertegun. Aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa ada orang-orang yang tidak menghargai mereka yang terlahir dengan cacat mental? Bahkan, keluarga dan teman-teman dekatku sendiri pun sering berkata-kata hal yang buruk mengenai Sharon. Mereka mengatakan bahwa cacat mental yang diderita Sharon adalah kutukan.

Pandangan-pandangan buruk itu ada dalam pikiranku hingga aku bertemu dengan orang-orang lain yang ternyata memiliki pandangan berbeda. Setelah aku pindah ke luar negeri dan mendaftarkan Sharon ke sebuah sekolah, aku bertemu dengan salah seorang gurunya. Guru itu berkata bahwa anak-anak yang tampaknya cacat ini sesungguhnya adalah anak-anak yang istimewa. Anak-anak ini hanya diberikan Tuhan kepada orangtua yang juga istimewa, yaitu orangtua yang memiliki hati yang besar. Kata-kata itu sungguh bermakna buatku. Sejak saat itu aku berkomitmen untuk tidak menghiraukan komentar-komentar negatif tentang Sharon.

Aku menyadari bahwa hal yang paling dibutuhkan Sharon adalah memberinya pendidikan dengan kasih sayang yang tulus. Sepulang sekolah, aku mengajarinya untuk melakukan aktivitas-aktivitas sederhana. Aku mengajarinya bagaimana memakai sabun, mencuci piring, juga mengajaknya berjalan-jalan untuk bergaul dengan orang-orang lain. Aku tidak malu apabila orang-orang lain melihat Sharon itu mengalami retardasi mental.

Setelah bertahun-tahun menetap di luar negeri, aku memutuskan untuk membawa Sharon pulang kembali ke Indonesia dan mengasuhnya setiap hari.

Waktu terus berjalan. Aku melihat Sharon dan kedua orang kakaknya terus beranjak dewasa. Ketika kakak-kakaknya mulai mampu hidup secara mandiri, aku masih tetap mengasuh Sharon dengan penuh kasih. Namun, seiring usiaku yang terus beranjak, tak kusangka aku mengalami serangan jantung. Aku tidak lagi seprima seperti dahulu, dan akibat serangan penyakit itu, aku dan keluarga harus membuat suatu keputusan besar. Aku tak dapat lagi mengasuh Sharon sehingga kami sepakat untuk menitipkannya ke sebuah rumah pemulihan.

Sejak bayi aku telah merawat Sharon. Dia selalu ada dalam dekapanku tatkala air mata mulai menetes membasahi pipinya. Dia tidak pernah lepas dari pengawasanku. Sekarang, semua itu menjadi sebuah kenangan yang amat manis untuk dikenang. Aku tidak lagi sedih karena di rumah pemulihan tempat Sharon bernaung, dia menemukan banyak teman-temannya yang mengalami retardasi serupa dengannya.

Ketika Tuhan mengizinkan Sharon hadir dalam kehidupanku, aku beroleh kesempatan untuk belajar banyak hal. Aku belajar tentang apa arti kasih yang tulus. Aku belajar untuk tidak malu atas cacat mental yang dialami oleh Sharon. Kemanapun aku pergi, termasuk ketika aku harus bekerja dan menemui klien-klienku, Sharon selalu bersamaku. Aku belajar untuk bersyukur dan menerima hal-hal yang memang tidak dapat kuubah.

Tuhan Yesus amat mengasihi kita. Seharusnya kita dihukum karena dosa-dosa kita, akan tetapi Dia memberikan nyawa-Nya sebagai ganti atas dosa-dosa kita (Yohanes 3:16). Pengorbanan Tuhan Yesus adalah teladan sejati bagi hidupku. Sebagaimana Dia mengasihi kita dengan tulus, aku belajar mengasihi Sharon sebagaimana adanya.

Sharon adalah hadiah amat indah yang Tuhan boleh berikan untukku. Sebagai seorang ibu, aku bangga memiliki anak seperti Sharon, dan aku juga teramat bangga memiliki Tuhan yang adalah Yesus Kristus.

“Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1 Korintus 13:13).

Baca Juga:

Persahabatan di Era Digital: Erat di Dunia Maya, Renggang di Dunia Nyata

Menurutmu, teman seperti apakah kamu? Apakah kamu hanya sekadar teman di Facebook yang mencurahkan perhatianmu hanya lewat tombol “Like” di tiap-tiap postingan temanmu tapi tidak pernah menemui mereka secara langsung?

Tuhan Yesus, Terima Kasih untuk Anugerah Keselamatan yang Kau Berikan

Tuhan-Yesus-Terima-Kasih-untuk-Anugerah-Keselamatan-yang-Kau-Berikan

Oleh Suparlan Lingga, Amerika Serikat

“Selamat ya Pak, putri Anda sudah lahir dengan selamat,” ucap sang perawat kepada Steve atas kelahiran anak keduanya. Wajah Steve langsung berseri-seri, dia pun masuk ke ruang bersalin lalu memeluk dan mencium istrinya, Stacy. Hari itu, tanggal 12 Desember 2002, adalah hari yang penuh sukacita karena mereka menyambut kelahiran buah hati yang mereka namai “Katie”.

Semua kelihatan berjalan baik dan normal, namun beberapa jam kemudian tiba-tiba Katie mengalami sesak nafas dan lemas. Katie langsung dilarikan ke unit perawatan khusus bayi (NICU). Setelah diperiksa, ternyata kadar sel darah merahnya sangat rendah. Dokter pun langsung memberitahu orangtuanya bahwa Katie membutuhkan transfusi darah untuk menyelamatkan hidupnya.

Dua bulan kemudian, Katie kembali didiagnosa menderita Diamond-Blackfan Anemia (DBA), sebuah penyakit langka di mana tulang sumsum tidak bisa memproduksi cukup sel darah merah (sel darah merah berfungsi membawa oksigen ke jaringan tubuh). Jadi untuk bertahan hidup, Katie harus selalu mendapat transfusi darah rutin setiap bulan.

Perawatan inipun hanya bersifat sementara karena transfusi darah yang dilakukan secara rutin dapat membuat tubuh Katie menerima zat besi berlebih sehingga akan merusak organ-organ tubuh Katie yang lain. Apabila organ-organ tubuh vital mengalami kerusakan, penderita penyakit ini kemungkinan hanya bisa hidup mencapai usia 30 atau 40 tahunan.

Keluarga Katie sangat terpukul mendengar hasil diagnosa ini. Mereka berusaha keras mencari pengobatan alternatif untuk menyelamatkan Katie. Sambil menjalankan transfusi darah bulanan, mereka berusaha mencari informasi dari berbagai dokter dan pakar kesehatan.

Kemudian ada secercah harapan untuk menolong Katie, yaitu dengan melakukan transplantasi tulang sumsum. Syaratnya, itu harus dilakukan sebelum Katie berumur lima tahun. Transplantasi ini harus diambil dari saudara yang secara genetik memiliki Human Leucocyte Antigen (HLA) persis sama dengan Katie. Setelah diperiksa, ternyata tidak satupun saudara Katie yang memiliki genetik persis sama. Keluarga Katie kembali sedih dan putus harapan.

HLA merupakan suatu protein yang berfungsi mengatur sistem imun tubuh dan biasanya digunakan untuk proses pencocokkan antara donor dan resipien. Sebagian HLA ini diturunkan dari ayah, dan sebagian lagi dari ibu. Jadi, sekalipun saudara kandung, peluang kecocokan HLA ini hanya 25% saja.

Beberapa waktu kemudian, seorang dokter mengatakan bahwa Katie bisa diselamatkan apabila Katie memiliki adik yang genetiknya persis sama. Ini bisa dilakukan dengan metode In Vitro Fertilization (IVF) dan Pre-implantation Diagnosis (PGD). Dengan metode IVF (sering disebut bayi tabung), beberapa embrio akan dibuat dalam laboratorium khusus. Lalu sel embrio ini akan di-screening melalui PGD untuk melihat mana yang memiliki gen sama dengan Katie dan paling sehat.

Embrio terbaik akan dimasukkan ke rahim ibunya. Lalu lahirlah seorang bayi yang disebut ‘savior siblings’; seorang anak yang akan menyelamatkan saudaranya yang sakit dengan berperan sebagai donor hidup.

Meskipun diwarnai pro-kontra, keluarga Katie akhirnya menerima pilihan ini. Bulan Mei 2005, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Christopher. Setelah Christopher berumur setahun, dilakukan transplantasi tulang sumsum dan Katie pun sembuh.

* * *

Kisah Katie merupakan sebuah kisah nyata dari keluarga Steve dan Stacy Trebing yang ditulis lengkap oleh seorang jurnalis bernama Beth Whitehouse. Kisah itu kini dapat ditemukan dalam buku yang berjudul “The Match, Savior Siblings and One Family’s Battle to Heal Their Daughter.”

Sebagai seorang mahasiswa jurusan Health Care Management, kisah Katie ini menjadi bagian dari bahan presentasiku tentang ‘savior siblings’ atau ‘saudara penyelamat’ di kelas Etika dan Hukum Kesehatan, Universitas Massachusetts Lowell, Amerika Serikat. Terlepas dari pro-kontranya, konsep ‘savior siblings’ ini terbukti efektif menyelamatkan anak yang menderita penyakit langka.

Ketika mempersiapkan bahan presentasi, aku merasa diingatkan kembali tentang bagaimana Yesus menyelamatkan manusia. Kalau ‘savior siblings’ berarti harus memiliki genetik yang sama untuk menyelamatkan saudaranya, maka Yesus turun ke dunia dan menjadi sama seperti manusia untuk menyelamatkan kita yang berdosa. Hanya dengan cara seperti itulah, kita bisa diselamatkan dari maut.

Dengan kelahiran Yesus ke dunia, kita bisa melihat Allah dalam rupa manusia. Dengan penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib, dosa kita ditebus sehingga kita tidak binasa. Inilah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita. Tidak ada jalan atau cara lain. Ini semua karena Allah sungguh mengasihi kita. Seperti tertulis dalam Yohanes 3:16, ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadanya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Hanya dengan pengorbanan Yesuslah, kita bisa diselamatkan. Dialah satu-satunya jalan keselamatan. Tidak ada satu makhlukpun atau agama apapun yang bisa menjamin keselamatan selain Yesus. Dialah Tuhan dan Juruselamat kita. Seperti kata Yesus, ”Akulah jalan dan kebenaran dan hidup, tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6).

Jadi kita memang harus bersyukur dan bersukacita dengan anugerah keselamatan yang diberikan Allah melalui kelahiran Yesus ke dunia. Jangan pernah ragu dengan keselamatan yang dijamin Yesus. Mari kita hidupi anugerah keselamatan ini dengan pertobatan sejati dan menjalankan firman Allah dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga:

Ketika Aku Berjuang untuk Jujur Meski Harus Kehilangan Impianku

Kehidupan perkuliahanku berjalan dengan lancar. Aku berhasil mendapatkan IPK di atas 3.50 dan tidak pernah mengulang mata kuliah. Tapi semua berubah ketika aku harus menyusun tugas akhir. Ada banyak masalah yang terjadi dan menghambatku untuk lulus tepat waktu. Dan inilah pengalamanku yang ingin kubagikan kepadamu.

Makna Kasih

Jumat, 31 Oktober 2014

Makna Kasih

Baca: Roma 5:1-8

5:1 Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus.

5:2 Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah.

5:3 Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan,

5:4 dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.

5:5 Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.

5:6 Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah.

5:7 Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar–tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati–.

5:8 Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.

Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. —Roma 5:8

Makna Kasih

Bertahun-tahun lalu saya pernah bertanya kepada seorang pria muda yang sudah bertunangan, “Bagaimana engkau tahu bahwa kau mencintainya?” Pertanyaan tersebut begitu sarat makna, dan dimaksudkan untuk membantu pria itu menyadari maksud hatinya dalam melangkah menuju ke jenjang pernikahan. Setelah memikirkannya sejenak, ia pun menjawab, “Aku tahu aku mencintainya, karena aku ingin menghabiskan sisa hidupku untuk membuatnya bahagia.”

Kami lalu membahas makna dari jawabannya itu, serta harga penyangkalan diri yang harus dibayar ketika seseorang senantiasa rindu mengusahakan yang terbaik bagi orang lain dan mengesampingkan kepentingan dirinya. Kasih sejati memang berkaitan erat dengan kerelaan berkorban.

Pandangan tersebut selaras dengan pelajaran yang terkandung dalam Alkitab. Dalam Kitab Suci kita mendapati sejumlah kata dalam bahasa Yunani untuk kasih, tetapi bentuk tertingginya adalah kasih agape—kasih yang didasari dan didorong oleh sikap rela berkorban. Kasih itu tampak paling nyata dalam kasih yang telah ditunjukkan oleh Bapa kita di surga dalam diri Kristus. Kita semua sungguh berharga di mata-Nya. Paulus menyatakan, “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rm. 5:8).

Bila pengorbanan menjadi ukuran sejati dari kasih, maka tidak ada pemberian yang lebih berharga daripada Yesus: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal” (Yoh. 3:16). —WEC

Akulah pangkal siksa-Nya,
Yang menyebabkan mati-Nya.
Agung benar, ya Tuhanku:
Engkau tersiksa gantiku!. —Wesley
(Kidung Jemaat, No. 31)

Kasih diukur dari apa yang rela kamu lepaskan demi mendapatkan kasih itu.