Posts

Ketika yang Paling Melekat di Hatiku Bukanlah Tuhan

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Santi datang agak terlambat ke ibadah Minggu siang itu. Baru saja dia duduk, tiba-tiba dirinya berdiri lagi, Ada pokemon di belakang. Sebelum keduluan yang lain, aku ambil dulu,” bisiknya dengan senyum-senyum sambil berlalu ke deretan bangku belakang. Dia kembali ke bangku semula dengan tangan yang tetap asyik memainkan gawai saat pendeta mulai membagikan firman. Aku colek teman di sebelahnya untuk mengingatkan Santi fokus dulu ke ibadah, namun jawabannya membuat gemas. Katanya, dia bisa menyimak khotbah sembari bermain gim. 

Pokemon GO pernah menjadi permainan piranti bergerak yang fenomenal karena menarik minat masyarakat dunia untuk memainkannya. Gim yang diciptakan oleh Niantic dan dirilis di tiga negara pada 2016 itu, mengalahkan popularitas permainan sejenis di masanya; Candy Crush dan Angry Birds. Menariknya lagi, Pokemon Go yang menggunakan konsep augmented reality, teknologi yang menggabungkan benda maya dua atau tiga dimensi ke dalam dunia nyata ini; menurut riset yang dilakukan oleh Clinic Compare, sebuah lembaga kesehatan swasta di Inggris, dapat membantu menguruskan badan! Kok bisa? Katanya, karena permainan Pokemon Go akan membawa penggunanya bergerak mencari pokemon ke luar ruangan…dan pada sisi ekstrem seperti Santi, termasuk berburu di dalam ruang ibadah!

Jawaban Santi yang terasa menggemaskan membuatku berefleksi. Ibadah sejatinya membangun hubungan dekat dengan Tuhan. Tapi, kalau Tuhannya kita cuekin apakah Tuhan tidak tersinggung? 

Contoh sederhananya begini. Ketika kita ngobrol dengan teman dan dicuekin, bukankah kita akan menegur si teman agar menghargai kita, lawan bicaranya? Kalau teman yang terlihat saja tidak kita hargai, bagaimana mau fokus mendengar pesan Tuhan yang kita tidak lihat? Akan lebih menarik melihat gim bukan? 

Kemelekatan yang dalam terhadap sesuatu membuat seseorang susah untuk melepaskan diri. Fokusnya hanya kepada satu hal yang dia sukai. Hal-hal lain di sekitarnya tak lagi menarik minatnya, bahkan cenderung akan diabaikan. Santi yang awalnya hanya iseng bermain Pokemon ketika senggang, lama-lama jam ibadahnya pun terpakai untuk berburu monster-monster virtual dalam layar ponselnya. Responsnya yang berkata dia bisa fokus mendengar khotbah sembari bermain gim mungkin juga jadi sikap hati kita pada hal-hal yang kita lekatkan dalam hati. Mungkin bukan tentang gim, tapi tentang ambisi kita mengejar prestasi, terbuai hubungan romantis, dan sebagainya. 

Kembali pada cerita Santi, apakah benar dia bisa fokus ibadah sementara pikiran dan tangannya sibuk dengan permainan yang seru? 

Jawabannya kutemukan belakangan. Beberapa bulan ini, Santi merasakan kepalanya sering pusing dan bola matanya terasa menusuk-nusuk saat bangun tidur. Ia bahkan sempat masuk rumah sakit selama beberapa hari karena pusingnya itu, namun dokter mengatakan kondisi fisiknya baik-baik saja. Meski sudah diingatkan oleh teman dekatnya pusing itu pengaruh terlalu banyak memelototi layar gawai, Santi tak jua menghentikan kebiasaannya. Memang tidak mudah untuk menghentikan satu kebiasaan yang telah melekat dalam sekejap tapi bukan berarti tidak bisa. Hanya saja diperlukan usaha keras yang harus datang dari dalam diri.

Mungkin saat ini Santi belum sepenuhnya memahami bahwa kesukaannya dengan permainan akan memberi dampak buruk buatnya di kemudian hari. Bila kamu atau temanmu mengalami keadaan serupa dengan Santi, ada empat hal yang bisa menolongmu untuk lepas dari kemelekatan:

1. Berani berkata TIDAK. Jika sudah tahu dampak yang akan ditimbulkan, jangan coba-coba untuk mendekatinya meskipun rasa penasaran memuncak. Kenali kelemahan diri kita karena godaan itu akan selalu berulang di situ.

Keberanian dan konsistensi untuk berkata tidak sangat erat kaitannya dengan pengendalian diri. Pada praktiknya, menolak sesuatu tidak selalu mudah karena natur kita yang berdosa membuat kita lebih mudah tertarik oleh dosa. Oleh karenanya, kita butuh sesuatu yang ilahi, yang lebih kuat untuk mematahkan kedagingan kita. Kita dapat meminta pertolongan Roh Kudus untuk mengaruniakan kita salah satu buah Roh, yakni pengendalian diri sebagai senjata untuk menahan langkah kita tidak terjatuh pada kubangan dosa.

2. Bangun kebiasaan yang sehat. Bergabunglah dengan komunitas yang di dalamnya kamu dapat bertumbuh secara rohani.

Addiction kita terhadap sesuatu muncul karena kita merasa itulah satu-satunya cara yang bisa membuat kita merasa puas. Pikiran kita pun menjadi sempit dan tertutup dari hal-hal lain yang bisa memberikan kepuasan atau manfaat lebih buat kita.

Kehadiran komunitas yang mendukung kita untuk menikmati hal yang lebih baik seperti persekutuan dan kebersamaan tentu akan menolong kita. Dan, apabila kita memiliki satu kawan yang bisa kita percayai, kita akan lebih leluasa berbagi proses jatuh bangun kita untuk didoakan bersama-sama.

3. Batasi waktu untuk berinteraksi dengan apapun itu yang akan membuatmu lupa dengan hal lain. Paulus pernah berpesan dalam 1 Korintus 6:12 bahwa “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.” Sebuah permainan diciptakan untuk membantu merangsang imajinasi, daya ingat, melatih gerak motorik, juga sarana refreshing bagi penggunanya. Namun, jika penggunaannya sudah tidak terkontrol sehingga menjadikan penggunanya melekat, akan berdampak ke kesehatan mental yang dikategorikan sebagai gangguan perilaku. 

Saat kita asyik menikmati gim atau apa pun yang membuat kita merasa sangat hidup, hendaklah kita selalu ingat untuk tidak menjadikan itu satu-satunya cara kita meraih kepuasan.

Olive Bendon senang bercerita dan mengurai kegelisahannya lewat tulisan. Mampirlah ke www.obendon.com untuk membaca ceritanya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Tak Selamanya Muda, Tak Selamanya Sehat

Oleh Jenni, Bandung

Amsal 20:29 bertuliskan, “Hiasan orang muda adalah kekuatannya, dan keindahan orangtua ialah uban.” Ayat ini benar adanya dan mengingatkan akan diriku yang masih remaja hingga pemudi. Masa itu memang luar biasa. Di sela kesibukanku bersekolah dan bekerja, tubuhku sanggup begadang dan makan makanan pedas sesukaku. Hampir setiap malam, hampir setiap hari. Akan tetapi segalanya punya batas, termasuk tubuhku.

Aku pun jatuh sakit, dan akhirnya setelah memperbaiki gaya hidup, sekarang aku bisa kembali sehat dan berkegiatan. Namun, melihat ke belakang, aku sadar bahwa menjaga kesehatan itu bukan sekadar supaya tidak sakit. Kali ini, dengan tuntunan Tuhan serta pengalamanku, aku ingin berbagi mengenai mengapa kita perlu menjaga dan merawat kesehatan.

1. Kesehatan adalah sebuah anugerah yang perlu kita pertanggungjawabkan

Usia muda-mudi adalah usia gemilang. Tubuh yang kuat, daya serap tinggi, dan organ tubuh beserta metabolisme yang ajaib, semuanya berfungsi dengan maksimal. Aku adalah salah satu pemudi yang merasakan hal yang sama. Akan tetapi berdasarkan pengalamanku, ada satu karakter orang muda yang bisa menjadi kelemahan, yaitu pengendalian diri.

Pada Mazmur 127:4 tertulis, “Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda.” Kemampuan dan kapasitas orang muda yang begitu besar bisa melakukan banyak hal. Namun, tanpa bimbingan dan pengendalian diri, kaum muda bisa jadi tidak terarah. Itulah yang aku abaikan saat remaja. Aku mengabaikan teguran dan peringatan orang tuaku untuk tidak bergadang dan makan sehat. Dan sebelum usiaku mencapai 25, penyakit asam lambung yang tidak terkontrol adalah buah yang aku tuai dari perbuatanku.

Kesehatan adalah anugerah yang kita dapat dengan cuma-cuma. Tapi, tidak selamanya kita sehat. Akan ada saatnya kita menuai apa yang kita konsumsi dan lakukan di masa muda. Karena itulah menjaga kesehatan adalah salah satu tanggung jawab. Namun, sebagai orang muda, ada kalanya kita tidak mampu mencari arah. Dengan emosi yang menggebu-gebu, sulit untuk mengendalikan diri. Karena itulah, selagi bimbingan itu ada untuk kita, yuk lebih dengar-dengaran dan memegang didikan itu.

2. Kita tidak hidup untuk diri kita sendiri

Dulu aku tidak mengerti bahwa menjaga kesehatan diri sendiri memiliki hubungan dengan orang lain. Kukira aku sehat itu untuk diri sendiri. Ternyata aku salah. Setelah jatuh sakit karena asam lambung, barulah aku paham.

Ternyata kalau kita sakit, orang sekeliling kita pun akan terdampak. Perhatian, waktu, dan tenaga mereka akan tercurah pada kita. Saat sakit asam lambung membuatku tidak bisa bekerja, mamaku tanpa mengeluh merawatku hingga sembuh. Karena kecerobohan dan kurangnya pengendalian diri, aku sakit dan mamaku terkena dampaknya.

Sejak saat itu aku sadar arti menjaga kesehatan untuk orang sekitar. Aku pun jadi berpikir lebih jauh mengenai penyakit yang bisa timbul dari pola hidup dan bisa diturunkan risikonya. Menjaga kesehatan manfaatnya tidak hanya buat diri kita sendiri, tapi juga buat orang sekitar kita dan masa depan. Dan, mudah-mudahan dengan tubuh yang kuat kita bisa melakukan rencana Tuhan dalam hidup kita.

3. Bagaikan talenta, dengan kesehatan kita bisa melakukan banyak perbuatan baik

Di Alkitab, Musa tercatat telah melakukan banyak sekali hal. Dari memimpin orang Israel keluar Mesir ke Tanah Kanaan, hingga menulis kitab-kitab di Perjanjian Lama. Bahkan Pada Kitab Ulangan 34:7 tertulis, “Musa berumur seratus dua puluh tahun, ketika ia mati; matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang.” Betapa hebatnya perpaduan tubuh yang kuat dengan rencana Tuhan!

Baru-baru ini ada sebuah kejadian. Saat hendak pulang kerja ternyata ban motorku kempes. Aku jadi harus ke tukang tambal ban. Begitu ditambal, aku bisa pulang tanpa terhambat apa pun lagi. Begitu juga dengan sebuah perjalanan hidup. Saat sakit, kegiatan kita terbatas. Mungkin ruang lingkup perbuatan kita pun jadi tidak seluas saat masih sehat.

Untuk melakukan hal besar maupun yang terlihat kecil, kita memerlukan tubuh dan pikiran yang kuat dan sehat. Jasmani dan rohani yang sehat akan memperlengkapi kita dalam melakukan perbuatan baik, yang bisa Tuhan pakai untuk menyentuh hati seseorang dan berdampak berlipat ganda dalam kehidupannya.

***

Masa muda adalah pemberian Tuhan yang berharga. Di sana ada semangat yang menggebu-gebu, dan kekuatan fisik yang luar biasa. Bagian kita adalah mengelola dengan menjaga dan merawatnya. Dengan tubuh dan pikiran yang sehat, kita bisa melakukan dan menghasilkan hal baik dalam pimpinan Tuhan. Semoga sharing tadi bisa memberikan hal yang baik bagi teman-teman!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Memiliki Iman Juga Artinya Memelihara Tubuhmu

Oleh Jovita Hutanto, Jakarta

Duduk, pinggang lelah. Berdiri, lutut ga kuat…

Tidur telentang, ga enak. Tidur miring, pegel…

Makan daging, kolesterol. Ga makan daging, darah rendah…

Begini amat ya hidup gue kalau dipikir-pikir…

Umur sih boleh 25, tapi badan terasa seperti umur 65. 

Enam bulan lalu aku sempat melakukan check up darah, dan cukup kaget dengan hasil rapor dari pak dokter. Ternyata nilai kolesterol aku merah, dan angkanya cukup jauh dari nilai standar kelulusan. Maklum… Waktu lagi korbeq-an, suka lupa diri heheLalu, apa aku menyesal dengan hasil rapor yang merah ini? Sejujurnya tidak terlalu. Hahaha… Mungkin karena konsekuensi belum terasa sih ya. Bukan berarti kesehatanku saat ini kuat dan fit banget, tapi dikarenakan rasa sakitnya masih bisa ditolerir sehingga sering kuabaikan. Bisa kutebak, kalau kalian juga pasti sering mengabaikan penyakit-penyakit kecil yang sifatnya belum terlalu mengganggu, ya kan??

Kalau mengingat masa pas kita K.O, di mana kita sudah terkapar di kasur, barulah mulai ada rasa penyesalan akan pilihan kita yang kurang bijak, seperti tidak berolahraga, makan makanan yang tidak sehat, sering begadang, dan sebagainya. Contoh kasus yang sering terjadi padaku adalah kegalauan ketika mau makan cabe, suka banget makan cabe tapi perut selalu ga kuat. Walaupun aku tahu besoknya bakal mules-mules dan diare seharian, dengan jujur aku katakan, aku tetap memilih untuk bahagia di momen itu, alias makan cabe tanpa batas. Memang penderitaan di keesokan harinya masih sebanding dengan rasa enaknya si cabe, tapi apakah worth it untuk kesehatanku dalam jangka panjang? Kurasa jawaban logisnya adalah tidak. Mungkin kasus makan cabe ini hal sepele, namun cukup mencerminkan pilihan-pilihan kurang bijakku dalam hal lain. Karena aku manusia berdosa dan penuh kelemahan, tentunya artikel penulisan ini berlaku untukku juga. 

Sebagai food lover and exercise hater, aku tahu beratnya memilih untuk memiliki gaya hidup yang sehat. Bosan juga kalau sering diingatkan kalau tubuh ini adalah bait Allah. Tahu sih, tapi kok rasanya hidup kurang pol ya kalau menjalankan apa yang baik untuk kesehatan jangka panjang tubuh ini di masa muda ini. Awal aku berpikir bahwa ini mungkin hanyalah sekadar kemalasanku dalam berolahraga atau kurangnya self control (pengendalian diri) saat sedang makan bersama teman-teman. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, mungkin ini menyangkut pada mindset yang kurang betul selama ini. Ternyata perilaku kita terhadap tubuh kita memiliki kaitan yang erat dengan iman kita.

Dalam ilmu eksakta, tubuh ini terdiri dari jiwa (rohani) dan raga (jasmani). Memang benar, tapi ada perbedaan unik dalam konsep ‘jiwa dan raga’ ini yang dimiliki pemikiran orang Kristen. Banyak orang non-Kristen menekankan bahwa tubuh jasmani ini adalah media perwujudan pemikiran (rohani) manusia. Adanya strata di mana pikiran (the mind) itu memiliki posisi lebih tinggi dari tubuh jasmaninya (the body), karena dari pikiran manusialah tubuh ini melakukan tugasnya. Sebagai orang Kristen, tubuh jasmani dan rohani kita merupakan satu kesatuan yang utuh tanpa menekankan mana yang lebih unggul, karena keduanya sudah diserahkan kepada Kristus. Sehingga, stratanya merupakan Kristus sebagai tuan atas tubuh jasmani dan rohani kita.

“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Roma 12:1).

Di ayat ini, Paulus mengartikan ‘tubuhmu’ sebagai keseluruhan tubuh manusia, yang terdiri dari tubuh jasmani dan rohani (penjelasannya ada di ayat-ayat berikut). Dalam konteks Roma 12, ia ingin menyampaikan buah dari hidup yang sudah diperbaharui oleh dan dipersatukan dengan Kristus (Roma 6 & Roma 8), di mana tubuh jasmani dan rohani kita sudah menjadi instrumen kebenaran Kristus. Pikiran kita sudah ditundukkan oleh Roh dan tertuju pada kebenaran; sehingga posisinya bukan lagi sebagai penguasa yang selalu memenuhi kesenangan daging (kesenangan tubuh jasmani yang fana). Di sini, tubuh jasmani dan pikiran kita sudah ada dalam kuasa kendali Yesus. Jasmani dan rohani kita, sebagai kesatuan yang utuh, sudah dipersatukan dengan visi misi yang sama, yaitu untuk Yesus. Pada akhirnya, keduanya akan bekerja sama berusaha berpikir dan berbuat hal yang menyenangkan hati Tuhan, bukan keinginan daging yang dahulu sering kita puaskan demi kebahagiaan sesaat.

Dalam terjemahan bahasa Inggris, ‘persembahan yang hidup’ artinya living sacrifice.’ Living artinya hidup; sacrifice merupakan sebuah tindakan yang melibatkan pembunuhan (sacrifice involves the act of killing). Dibunuh, tapi tetap hidup… Sungguh sebuah kalimat paradoks yang penuh makna! Di sini Paulus mau menekankan bahwa ‘persembahan yang hidup’ atauliving sacrificemerupakan sebuah proses penanggalan (pembunuhan) keinginan daging kita, agar dapat menghidupi apa yang menjadi kemauan Kristus. Lalu kalimatnya dilanjuti dengan ‘yang kudus.’ Di dalam bahasa Ibraninya, ‘Yang kudus’ adalah Kodesh, yang artinya ‘dipisahkan untuk sebuah tujuan.’ Sehingga, ‘yang kudus’ dengan kata lain merupakan mereka yang sudah dipisahkan, dipisahkan dari cara berpikir yang duniawi.   

“Itu adalah ibadahmu yang sejati” (Roma 12:1b), yang melibatkan seluruh tubuh jasmani dan rohani kita sepenuhnya untuk pekerjaan Tuhan. Kita tidak bisa mengaku bahwa kita telah menyerahkan diri sepenuhnya pada Kristus jika kita tidak menundukkan tubuh jasmani kita pada kemauan Kristus. Kalau aku boleh simpulkan poin lainnya, pikiran yang tertuju pada Roh dan kebenaran (atau singkatnya ‘iman’) itu berbanding lurus dengan perlakuan kita terhadap tubuh (jasmani dan rohani) kita sendiri; karena kita tahu bahwa perbuatan dan pikiran yang dihasilkan tubuh jasmani dan rohani kita menjadi cermin, media, dan representasi dari Kristus dan pekerjaanNya (Roma 12:2-3). 

Sekarang kita tahu bahwa tubuh jasmani dan rohani ini merupakan media yang dipercayakan oleh Tuhan agar kita dapat memenuhi tugas dan panggilan kita untuk memuliakan nama Tuhan. Sehingga, pemeliharaannya sangat penting jika kita menganggap serius iman kita. Empat tahun lalu, sejak aku bergabung dan bekerja dengan orang tuaku (membantu usaha keluarga), aku mengalami perubahan gaya hidup yang cukup drastis. Aku terpaksa mengikuti jadwal dan rutinitas orang tuaku, dimulai dari bangun pagi, karena harus berangkat bareng; lalu makan siang juga sudah ditentukan, tentunya makanan yang sehat dan pastinya kurang lezat, sampai mengikuti kedisiplinan waktu bekerja. Cukup berat, karena sebelumnya senang begadang dan bangun siang, lalu makan tidak teratur dan juga tidak sehat, dan tentunya sering mengerjakan tugas sampai benar-benar last minute. Walau diawali dengan berat hati dan dengan cara dipaksa, lama-lama aku terbiasa. Mungkin ada kalanya, memelihara tubuh yang sehat ini hanya memerlukan kedisiplinan and habit, karena setelah dijalankan dalam jangka waktu yang lama, tubuh kita juga mulai terbiasa dengan gaya hidup yang baik.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Cara Mengendalikan Diri

Subtitle oleh Marselina Rusli

Pengendalian diri adalah salah satu dari buah roh. Tapi, mengendalikan diri bukanlah hal yang mudah. Kadang kita membiarkan diri kita larut dikuasai hawa nafsu dan emosi. Adakah cara yang bisa kita lakukan untuk mengendalikan diri?

Ayo temukan jawabannya di dalam video rekaman Instagram Live WarungSaTeKaMu bersama Kak Alex Nanlohy.

Lihat video series lainnya:
Bagaimana Caranya Agar Saat Teduh Bisa Konsisten?
Cara Mengatasi Jenuh Bersaat Teduh
Puasa Orang Kristen
Tips untuk Berhasil Menjalani Puasa

Siapa yang Memegang Kendali?

Hari ke-25 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Siapa yang Memegang Kendali?

Baca: Yakobus 4:13-17

4:13 Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung”,

4:14 sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.

4:15 Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.”

4:16 Tetapi sekarang kamu memegahkan diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah.

4:17 Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.

Siapa yang Memegang Kendali?

Beberapa tahun lalu, aku merencanakan perjalanan besar ke Amerika Utara yang agenda utamanya menelusuri beberapa jalur pendakian terkenal di wilayah itu. Aku membeli semua perlengkapan yang dibutuhkan—sebuah ransel yang kokoh, sebuah tenda yang bagus, dan juga buku-buku panduan untuk setiap jalur pendakian yang akan kutempuh. Menjelang perjalanan itu, pikiranku dipenuhi bayangan indah tentang alam bebas yang akan aku jumpai. Pada saat kuliah, fokusku tertuju pada layar komputer, mencari-cari perlengkapan terbaru untuk berkemah di situs web Amazon, atau membaca pengalaman para pendaki lain saat menempuh jalur pendakian yang sama.

Namun, dua bulan sebelum berangkat, sebuah kecelakaan saat berolahraga membuat rencanaku porak-poranda. Jaringan pengikat sendi lututku robek, memupuskan semua harapanku untuk menaklukkan rimba pendakian Amerika Utara. Semua imajinasi dan rencana yang sudah aku persiapkan selama enam bulan terakhir menjadi sia-sia. Aku benar-benar kecewa. Waktu yang aku lewatkan di Amerika Utara diwarnai kegetiran karena apa yang seharusnya bisa terjadi selama aku di sana tidak bisa terwujud.

Yakobus berbicara terus terang tentang betapa rapuhnya rencana dan kehidupan manusia di dunia ini. Sebuah kenyataan yang bertentangan dengan naluri kita. Seperti contoh yang diberikan Yakobus, kita kerap begitu sibuk membuat rencana-rencana untuk hidup kita sehingga kita bisa lupa melakukan perbuatan baik yang seharusnya kita lakukan (ayat 17). Parahnya lagi, kita bisa merasa rencana kita begitu hebatnya, seolah-olah kita adalah pengendali kehidupan ini. Sebaliknya, Yakobus menggambarkan hidup ini sama seperti uap—sebentar saja kelihatan lalu lenyap (ayat 14).

Gambaran ini mengingatkan bahwa kita sebenarnya tidak punya kendali atas hidup kita sebanyak yang kita bayangkan. Kita boleh membuat banyak rencana dan menata hidup kita menurut ambisi dan asumsi kita tentang kesuksesan, tetapi tak satu manusia pun yang bisa menjamin semua itu akan terwujud. Rencana yang paling pasti pun rentan buyar karena hidup ini memang rapuh. Lebih jauh, Yakobus mengingatkan kita bahwa Tuhan sendirilah yang memegang kendali penuh atas hidup kita. Kehendak-Nya atas hidup kita, itulah yang paling menentukan, lebih dari rencana apa pun yang kita pikirkan.

Menganggap diri bisa memegang kendali hidup bisa menggembungkan ego kita, membuat kita merasa tidak lagi membutuhkan apa-apa di luar diri kita. Yakobus menyebutnya congkak. Orang yang congkak tidak lagi memperhatikan kehendak Tuhan, tetapi hidup menurut apa yang menyenangkan hatinya.

Jelas, menurut Yakobus, ini bertentangan dengan cara hidup seorang pengikut Kristus. Iman yang sejati menghormati kehendak Tuhan yang berdaulat. Artinya, pertama-tama kita harus mengakui bahwa keberadaan kita ini bergantung pada Tuhan dan masa depan kita terutama ditentukan oleh kehendak-Nya. Ayat 15 juga menunjukkan bahwa itu berarti menempatkan rencana-rencana kita di kursi penumpang, dan membiarkan Tuhan yang mengarahkan kehidupan kita untuk melakukan apa yang Dia mau.

Ini tidak berarti kita harus berhenti membuat rencana. Yakobus memanggil kita untuk membuat rencana dengan dipandu oleh firman Tuhan. Menengok ke belakang, aku sendiri menyadari betapa aku sangat sedikit melibatkan Tuhan dalam merencanakan perjalananku. Bukannya hidup tunduk pada firman-Nya, aku menempatkan kehendakku di atas kehendak-Nya. Pengalaman ini menunjukkan kepadaku bahwa meski sudah dipersiapkan sebaik mungkin, rencana-rencana kita itu bisa gagal. Sebab itu, kita harus berupaya sungguh-sungguh untuk menjadikan Tuhan sebagai pusat dari semua rencana yang kita buat. —Andrew Koay, Australia

Handlettering oleh Robby Kurniawan
Photo Credit: Blake Wisz

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Seberapa banyak kamu melibatkan Tuhan dalam rencana-rencanamu? Apakah kamu membuat rencana dengan mengingat hal-hal yang dikehendaki Tuhan?

2. Apa yang kita ketahui tentang panggilan Tuhan bagi para pengikut Kristus di dalam firman-Nya? Akankah kamu menjawab, “Ya Tuhan, aku bersedia”?

3. Jika tidak, apa yang menghalangimu untuk menjawab panggilan-Nya?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Andrew Koay, Australia | Andrew meluangkan empat tahun waktunya untuk belajar Ilmu Sosial Politik dan Sosiologi dan segera setelah lulus dia berharap bekerja di McDonald’s. Namun, dia tahu bahwa pekerjaan yang sejati adalah bekerja demi Injil.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus