Posts

Iman yang Teguh

Kamis, 26 September 2019

Iman yang Teguh

Baca: Yohanes 19:38-42

19:38 Sesudah itu Yusuf dari Arimatea—ia murid Yesus, tetapi sembunyi-sembunyi karena takut kepada orang-orang Yahudi—meminta kepada Pilatus, supaya ia diperbolehkan menurunkan mayat Yesus. Dan Pilatus meluluskan permintaannya itu. Lalu datanglah ia dan menurunkan mayat itu.

19:39 Juga Nikodemus datang ke situ. Dialah yang mula-mula datang waktu malam kepada Yesus. Ia membawa campuran minyak mur dengan minyak gaharu, kira-kira lima puluh kati beratnya.

19:40 Mereka mengambil mayat Yesus, mengapaninya dengan kain lenan dan membubuhinya dengan rempah-rempah menurut adat orang Yahudi bila menguburkan mayat.

19:41 Dekat tempat di mana Yesus disalibkan ada suatu taman dan dalam taman itu ada suatu kubur baru yang di dalamnya belum pernah dimakamkan seseorang.

19:42 Karena hari itu hari persiapan orang Yahudi, sedang kubur itu tidak jauh letaknya, maka mereka meletakkan mayat Yesus ke situ.

Mereka mengambil mayat Yesus, mengapaninya dengan kain lenan dan membubuhinya dengan rempah-rempah. —Yohanes 19:40

Iman yang Teguh

Desmond Doss dikenai wajib militer pada Perang Dunia II sebagai prajurit yang tidak terjun ke medan perang. Meskipun keyakinan agama melarangnya menyandang senjata, Doss dengan sangat cekatan bekerja sebagai tenaga medis. Dalam suatu pertempuran, ia menerobos tembakan musuh yang bertubi-tubi demi membawa tujuh puluh lima rekannya yang terluka ke tempat yang aman. Kisah heroiknya kemudian diceritakan dalam film dokumenter The Conscientious Objector dan difilmkan lagi dalam Hacksaw Ridge.

Daftar para pahlawan iman di dalam Alkitab mencatat tokoh-tokoh pemberani seperti Abraham, Musa, Daud, Elia, Petrus, dan Paulus. Namun, ada juga sejumlah pahlawan lain yang jarang disebut-sebut, seperti Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus. Mereka mempertaruhkan kedudukan mereka di antara kalangan pemimpin Yahudi dengan menurunkan mayat Kristus dari salib dan menguburkan-Nya secara layak (Yoh. 19:40-42). Sungguh tindakan yang berani dari Yusuf, seorang murid Yesus yang ketakutan dan tidak berani menunjukkan dukungannya secara terbuka, serta Nikodemus, seseorang yang sebelumnya hanya berani mengunjungi-Nya di malam hari (ay.38-39). Yang lebih mengesankan lagi, mereka mengukuhkan iman mereka sebelum Yesus bangkit dengan penuh kemenangan dari kematian. Mengapa?

Mungkin cara Yesus mati dan berbagai peristiwa yang terjadi sesudahnya (Mat. 27:50-54) telah meneguhkan iman yang ragu-ragu dari para pengikut yang ketakutan itu. Mungkin mereka belajar berfokus kepada Allah dan bukan kepada apa yang dapat diperbuat orang terhadap mereka. Apa pun yang menginspirasi mereka, kiranya kita mengikuti teladan mereka dan menunjukkan keberanian untuk melangkah dalam iman kepada Allah demi sesama kita hari ini. —Remi Oyedele

WAWASAN
Adat penguburan Yahudi mengharuskan jenazah dimakamkan dalam waktu dua puluh empat jam. Hukum Taurat memerintahkan bahwa mayat orang yang disalib harus diturunkan dan tidak boleh dibiarkan tergantung semalaman (Ulangan 21:22-23; Yohanes 19:31). Seandainya Yusuf tidak meminta mayat Yesus kepada Pilatus (Yohanes 19:38), maka Yesus akan dikuburkan bersama dua penjahat di kubur yang sama. Yusuf dari Arimatea adalah orang kaya sekaligus pemimpin berpengaruh dalam Sanhedrin, Mahkamah Agung agama Yahudi. Ia orang benar yang sedang menanti Kerajaan Allah. Meskipun ia diam-diam seorang murid Yesus, ia tidak takut melawan keputusan Sanhedrin yang menghukum mati sang Juruselamat (Matius 27:57; Markus 15:43; Lukas 23:50-52). Yusuf membaringkan tubuh Kristus “di dalam kuburnya yang baru” (Matius 27:60). Penguburan Yesus di dalam kubur orang kaya adalah penggenapan Yesaya 53:9 (BIS). —K.T. Sim

Dengan cara apa kamu telah hidup dengan berani bagi imanmu kepada Yesus? Hal berbeda apa yang dapat kamu lakukan untuk menunjukkan imanmu kepada dunia?

Keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, tetapi kemenangan darinya. Nelson Mandela

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 1-2; Galatia 5

Berapa pun yang Harus Dibayar

Sabtu, 14 September 2019

Berapa pun yang Harus Dibayar

Baca: Yohanes 12: 37-43

12:37 Dan meskipun Yesus mengadakan begitu banyak mujizat di depan mata mereka, namun mereka tidak percaya kepada-Nya,

12:38 supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya: “Tuhan, siapakah yang percaya kepada pemberitaan kami? Dan kepada siapakah tangan kekuasaan Tuhan dinyatakan?”

12:39 Karena itu mereka tidak dapat percaya, sebab Yesaya telah berkata juga:

12:40 “Ia telah membutakan mata dan mendegilkan hati mereka, supaya mereka jangan melihat dengan mata, dan menanggap dengan hati, lalu berbalik, sehingga Aku menyembuhkan mereka.”

12:41 Hal ini dikatakan oleh Yesaya, karena ia telah melihat kemuliaan-Nya dan telah berkata-kata tentang Dia.

12:42 Namun banyak juga di antara pemimpin yang percaya kepada-Nya, tetapi oleh karena orang-orang Farisi mereka tidak mengakuinya berterus terang, supaya mereka jangan dikucilkan.

12:43 Sebab mereka lebih suka akan kehormatan manusia dari pada kehormatan Allah.

Mereka tidak berani mengakui itu dengan terus terang, sebab mereka takut. —Yohanes 12:42 BIS

Berapa pun yang Harus Dibayar

Film “Paul, Apostle of Christ” menggambarkan dengan kuat penganiayaan yang dahulu dialami jemaat Kristen mula-mula. Bahkan para tokoh figuran dalam film itu memperlihatkan bahaya besar yang diterima pengikut Yesus. Lihat saja daftar peran yang tercantum di akhir film: Perempuan yang Dipukuli; Lelaki yang Dipukuli; Korban Kristen 1, 2, dan 3.

Keputusan mengikut Kristus acap kali harus dibayar mahal. Pada masa kini, di banyak tempat di dunia, mengikut Yesus masih mendatangkan bahaya. Masih banyak jemaat dianiaya karena iman mereka. Namun, beberapa dari kita mungkin terlalu cepat merasa “teraniaya”—marah ketika iman kita diejek atau curiga bahwa kegagalan kita mendapatkan promosi dalam karier adalah karena iman kita.

Jelas ada perbedaan besar antara mengorbankan status sosial dan mengorbankan nyawa. Namun, pada kenyataannya, kepentingan diri, stabilitas keuangan, dan penerimaan sosial masih terus menjadi motivasi yang kuat bagi manusia. Itu bisa kita lihat dalam tindakan sejumlah orang yang pernah percaya kepada Yesus. Rasul Yohanes menuliskan bahwa, hanya beberapa hari sebelum penyaliban Yesus, meskipun sebagian besar orang Israel masih menolak Dia (Yoh. 12:37), banyak “di antara penguasa Yahudi percaya kepada Yesus” (ay.42 BIS). Namun, “mereka tidak berani mengakui itu dengan terus terang . . . mereka lebih suka mendapat pujian manusia daripada penghargaan Allah”(ay. 42-43 BIS).

Saat ini, sebagian dari kita masih menghadapi tekanan sosial (bahkan mungkin lebih parah dari itu) untuk menyembunyikan iman kita kepada Kristus. Namun, berapa pun harga yang harus dibayar, marilah kita berdiri teguh sebagai umat yang lebih suka menerima penghargaan Allah daripada pujian manusia. —Tim Gustafson

WAWASAN
Ketika Yohanes (12:38-40) mengutip Yesaya 53:1 dan 6:10, mungkin tampaknya ia menyalahkan Allah karena Dia mengeraskan hati orang-orang tertentu sehingga mereka tidak percaya. Namun, bila kita membaca Yesaya dan Yohanes sesuai konteksnya, tampak bahwa sejak semula, Allah telah memberikan kehendak bebas kepada manusia sehingga mereka bisa bertindak sesuai pilihannya sendiri. Sejauh mana mereka melangkah, sejauh itu pulalah Allah akan mengulurkan tangan untuk menyelamatkan manusia dari konsekuensi pilihan mereka sendiri. Yohanes berbicara tentang pemimpin agama yang takut untuk percaya kepada Yesus karena alasan politis dan religius (Yohanes 11:45-53; 12:42-43). Yesaya, nabi yang hidup enam abad sebelum Kristus, menulis tentang seorang Raja yang kelak muncul dalam kemuliaan (Yesaya 6:1-10; Yohanes 12:41) di tengah manusia dengan kehendak bebas yang menolak percaya. Tanpa wahyu ilahi, mereka tidak dapat dan tidak akan percaya bahwa Kristus adalah Juruselamat. —Mart DeHaan

Kita mungkin tergoda menghakimi anggota jemaat mula-mula yang menyembunyikan iman mereka, tetapi apakah kita benar-benar berbeda dari mereka? Apakah kita pernah memilih diam supaya orang tidak mengenali kita sebagai pengikut Yesus?

Tuhan Yesus, aku ingin menjadi sahabat terdekat-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Amsal 19-21; 2 Korintus 7

Melalui Lembah Kekelaman

Rabu, 10 April 2019

Melalui Lembah Kekelaman

Baca: Mazmur 23

23:1 Mazmur Daud. TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.

23:2 Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang;

23:3 Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya.

23:4 Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.

23:5 Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.

23:6 Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.

Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku. —Mazmur 23:4

Melalui Lembah Kekelaman

Hae Woo (bukan nama asli) pernah dipenjara dalam sebuah kamp kerja paksa di Korea Utara karena berupaya menyeberangi perbatasan ke Tiongkok. Siang-malam ia tersiksa, baik secara fisik oleh para penjaga yang kejam maupun oleh kerja paksa yang berat. Ia pun hanya boleh tidur sebentar di atas lantai yang sedingin es bersama tikus dan kutu. Namun, setiap hari Allah menolongnya, termasuk menunjukkan kepadanya tahanan mana yang perlu ia dekati agar ia dapat menceritakan tentang imannya.

Setelah dilepas dari kamp itu dan pindah ke Korea Selatan, Woo mengingat kembali pengalamannya di penjara dan menyimpulkan bahwa Mazmur 23 menjadi rangkuman dari pengalamannya di sana. Walau terperangkap dalam lembah yang kelam, Yesus adalah Gembalanya yang memberi rasa damai: “Walaupun saya merasa benar-benar berada dalam lembah kekelaman, saya tidak takut apa pun. Setiap hari Allah menghibur saya.” Ia mengalami kebaikan dan kasih Allah serta terus meyakini bahwa ia adalah anak yang dikasihi-Nya. “Waktu itu kondisi saya sangat menyedihkan, tetapi saya tahu . . . saya akan mengalami kebaikan dan kasih Allah.” Ia pun tahu bahwa ia akan tetap tinggal dalam hadirat Tuhan sampai selama-lamanya.

Kisah Woo sangat menguatkan kita. Meskipun situasinya sangat buruk, ia tetap merasakan kasih dan pimpinan Allah, dan Allah menguatkan serta mengenyahkan rasa takutnya. Jika kita mengikut Yesus, Dia akan menuntun kita dengan lembut melewati masa-masa yang sulit. Kita tidak perlu takut, karena “[kita] akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa” (23:6). —Amy Boucher Pye

WAWASAN

Di dunia Timur Dekat Kuno, gembala adalah gambaran yang lazim sekaligus memiliki makna yang berkaitan dengan kerajaan. Gambaran gembala kadang dipakai sebagai kiasan untuk menggambarkan peran para dewa dan raja dalam memimpin dan memperhatikan rakyatnya. Jadi, Mazmur 23 bukan hanya gambaran relasi yang hidup dengan Allah, tetapi juga sebuah pernyataan yang tegas bahwa sang pemazmur percaya dan berkomitmen untuk mengikuti “TUHAN” (YHWH) saja, bukan para penguasa duniawi.
Tepat di bagian tengah Mazmur 23 tertulis, “Engkau besertaku” (ay.4). Ini menggemakan tema Alkitab yang terus berulang mengenai hadirat Allah yang menenangkan dan memimpin kita sehingga kita tidak perlu takut (lihat Kejadian 15:1; Yosua 1:9). Ketika Yesus datang, Dia menekankan bahwa Dialah Gembala yang Baik, sebuah penggenapan mutlak dari janji penyertaan-Nya (Matius 1:23; Yohanes 10:11). —Monica Brands

Kapan Anda pernah mengalami kehadiran Allah dalam lembah kekelaman? Siapakah yang dapat Anda kuatkan hari ini?

Ya Allah, saat aku berjalan dalam lembah kekelaman, Engkau menyertai dan mengenyahkan ketakutanku. Engkau menghiburku dan menyediakan hidangan bagiku, dan aku akan tinggal di rumah-Mu selamanya.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 15–16; Lukas 10:25-42

Handlettering oleh Novia Jonatan

Sang Raja Masih Berkuasa

Minggu, 4 November 2018

Sang Raja Masih Berkuasa

Baca: Mazmur 74:4-8,12-23

74:4 Lawan-lawan-Mu mengaum di tempat pertemuan-Mu dan telah mendirikan panji-panji mereka sebagai tanda.

74:5 Kelihatannya seperti orang mengayunkan tinggi-tinggi sebuah kapak kepada kayu-kayuan yang lebat,

74:6 dan sekarang ukir-ukirannya seluruhnya dipalu mereka dengan kapak dan beliung;

74:7 mereka menyulut tempat kudus-Mu dengan api, mereka menajiskan tempat kediaman nama-Mu sampai pada tanah;

74:8 mereka berkata dalam hatinya: “Baiklah kita menindas mereka semuanya!” Mereka membakar segala tempat pertemuan Allah di negeri.

74:12 Namun Engkau, ya Allah adalah Rajaku dari zaman purbakala, yang melakukan penyelamatan di atas bumi.

74:13 Engkaulah yang membelah laut dengan kekuatan-Mu, yang memecahkan kepala ular-ular naga di atas muka air.

74:14 Engkaulah yang meremukkan kepala-kepala Lewiatan, yang memberikannya menjadi makanan penghuni-penghuni padang belantara.

74:15 Engkaulah yang membelah mata air dan sungai; Engkaulah yang mengeringkan sungai-sungai yang selalu mengalir.

74:16 Punya-Mulah siang, punya-Mulah juga malam. Engkaulah yang menaruh benda penerang dan matahari.

74:17 Engkaulah yang menetapkan segala batas bumi, musim kemarau dan musim hujan Engkaulah yang membuat-Nya.

74:18 Ingatlah ini: musuh mencela, ya TUHAN, dan bangsa yang bebal itu menista nama-Mu.

74:19 Janganlah berikan nyawa merpati-Mu kepada binatang liar! Janganlah lupakan terus-menerus nyawa orang-orang-Mu yang tertindas!

74:20 Pandanglah kepada perjanjian, sebab tempat-tempat gelap di bumi penuh sarang-sarang kekerasan.

74:21 Janganlah biarkan orang yang terinjak-injak kembali dengan kena noda. Biarlah orang sengsara dan orang miskin memuji-muji nama-Mu.

74:22 Bangunlah, ya Allah, lakukanlah perjuangan-Mu! Ingatlah akan cela kepada-Mu dari pihak orang bebal sepanjang hari.

74:23 Janganlah lupa suara lawan-Mu, deru orang-orang yang bangkit melawan Engkau, yang terus-menerus makin keras.

Bangkitlah ya Allah, belalah perkara-Mu! —Mazmur 74:22 BIS

Sang Raja Masih Berkuasa

Salah satu tajuk berita menyebutnya sebagai “hari paling mematikan bagi umat Kristen dalam beberapa dasawarsa terakhir”. Dua serangan kepada jemaat Tuhan yang sedang beribadah pada hari Minggu di bulan April 2017 itu sungguh tak masuk akal. Pertumpahan darah di dalam rumah ibadah itu sama sekali tak terjelaskan. Namun, kita dapat sedikit terhibur oleh mereka yang pernah mengalami penderitaan serupa.

Sebagian besar penduduk Yerusalem sedang terbuang dalam pengasingan atau mati dibantai pada saat Asaf menulis Mazmur 74. Dalam ungkapan kepedihan hatinya, Asaf menceritakan penghancuran Bait Suci di tangan para penyerang yang keji, “Musuh-musuh-Mu berteriak-teriak di Rumah-Mu” (ay.4 BIS). “Mereka membakar Rumah-Mu sampai musnah; dan menajiskan tempat Engkau disembah” (ay.7 BIS).

Namun, pemazmur menemukan keteguhan di hadapan kenyataan pahit itu. Keteguhannya itu dapat menguatkan kita juga. Asaf menegaskan, “Sejak semula Engkaulah rajaku, ya Allah, Engkaulah yang menyelamatkan kami” (ay.12 BIS). Kebenaran itu memampukan Asaf untuk memuji kuasa Allah yang dahsyat sekalipun keselamatan-Nya seolah tak terlihat pada saat itu. Asaf berdoa, “Ingatlah perjanjian yang Kaubuat dengan kami, . . . Jangan membiarkan orang tertindas dipermalukan, semoga orang sengsara dan miskin memuji Engkau” (ay.20-21 BIS).

Meskipun keadilan dan belas kasihan seolah tak terlihat, kasih dan kuasa Allah tidak sirna sama sekali. Bersama Asaf, dengan penuh keyakinan kita dapat mengatakan, “Sejak semula Engkaulah rajaku, ya Allah.” —Tim Gustafson

Ya Tuhan, bersama pemazmur kami berdoa untuk kemuliaan Nama-Mu. Kerahkanlah kekuatan dan belas kasihan-Mu. Bangkitlah dan belalah perkara-Mu.

Allah akan membela Nama-Nya sendiri.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 32-33; Ibrani 1

Nyanyian untuk Regu Tembak

Rabu, 10 Oktober 2018

Nyanyian untuk Regu Tembak

Baca: Markus 14:16-26

14:16 Maka berangkatlah kedua murid itu dan setibanya di kota, didapati mereka semua seperti yang dikatakan Yesus kepada mereka. Lalu mereka mempersiapkan Paskah.

14:17 Setelah hari malam, datanglah Yesus bersama-sama dengan kedua belas murid itu.

14:18 Ketika mereka duduk di situ dan sedang makan, Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku, yaitu dia yang makan dengan Aku.”

14:19 Maka sedihlah hati mereka dan seorang demi seorang berkata kepada-Nya: “Bukan aku, ya Tuhan?”

14:20 Ia menjawab: “Orang itu ialah salah seorang dari kamu yang dua belas ini, dia yang mencelupkan roti ke dalam satu pinggan dengan Aku.

14:21 Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.”

14:22 Dan ketika Yesus dan murid-murid-Nya sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Ambillah, inilah tubuh-Ku.”

14:23 Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka, dan mereka semuanya minum dari cawan itu.

14:24 Dan Ia berkata kepada mereka: “Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang.

14:25 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, dalam Kerajaan Allah.”

14:26 Sesudah mereka menyanyikan nyanyian pujian, pergilah mereka ke Bukit Zaitun.

Aku percaya, sekalipun aku berkata: “Aku ini sangat tertindas.” —Mazmur 116:10

Nyanyian untuk Regu Tembak

Dua pria yang dipidana karena mengedarkan obat terlarang telah menunggu waktu eksekusi mereka selama satu dekade. Di penjara itu, mereka mengenal kasih Allah bagi mereka di dalam Yesus Kristus dan hidup mereka pun diubahkan. Ketika tiba saatnya bagi mereka untuk berhadapan dengan regu tembak, mereka menghadapi para eksekutor itu sembari mengucapkan Doa Bapa Kami dan menyanyikan pujian “Amazing Grace” (Sangat Besar Anugerah-Nya). Karena iman mereka kepada Allah, oleh kekuatan Roh Kudus, mereka sanggup menghadapi kematian dengan keberanian yang luar biasa.

Mereka mengikuti teladan iman yang diberikan Juruselamat mereka, Yesus Kristus. Saat Yesus mengetahui kematian-Nya sudah dekat, Dia melewati malam itu dengan bernyanyi bersama sahabat-sahabat-Nya. Sungguh mengagumkan bagaimana Dia dapat bernyanyi dalam situasi seperti itu. Namun, yang lebih menakjubkan adalah apa yang dinyanyikan-Nya. Malam itu, Yesus dan sahabat-sahabat-Nya menikmati jamuan Paskah, yang selalu diakhiri dengan mengucapkan serangkaian mazmur yang dikenal sebagai Hallel, Mazmur 113-118. Menjelang kematian-Nya, Yesus bernyanyi tentang “tali-tali maut” yang melilit-Nya (Mzm. 116:3). Namun, Dia memuji kasih setia Allah (Mzm. 117:2) dan bersyukur kepada-Nya untuk keselamatan (Mzm. 118:14). Pastilah Mazmur itu telah menjadi penghiburan bagi Yesus pada malam sebelum Dia disalibkan.

Kepercayaan Yesus kepada Allah sangatlah besar. Jadi, meski kematian-Nya sudah dekat—kematian yang tidak layak diterima-Nya—Dia memilih untuk bernyanyi tentang kasih Allah. Karena Yesus, kita juga dapat memiliki keyakinan bahwa apa pun yang kita hadapi, Allah selalu menyertai kita. —Amy Peterson

Allah terkasih, teguhkanlah iman kami di dalam Engkau agar di saat kami menghadapi pencobaan, atau bahkan menjelang maut, kami dapat bernyanyi tentang kasih-Mu dengan penuh keyakinan.

Sungguh manis kabar anugerah Allah yang ajaib!

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 34-36; Kolose 2

Harapan di Tengah Dunia yang Penuh Teror

Oleh Aryanto Wijaya

Minggu, 13 Mei 2018. Tiga gereja di Surabaya mengalami serangan bom bunuh diri. Sebanyak 13 orang dilaporkan meninggal dunia dan 43 lainnya luka-luka.

Aku terkejut tatkala membuka ponsel dan menemukan pesan yang dikutip dari sebuah berita tersebut. Tak menyangka, juga tak terbayangkan olehku bagaimana hari Minggu pagi yang cerah berubah menjadi kelam. Orang-orang yang datang ke rumah Tuhan untuk memuji-Nya malah disambut dengan peristiwa pilu.

Serangan bom pagi itu menambah panjang daftar kekerasan, teror, dan duka di negeri kita. Sebelumnya, masih di tahun 2018, tragedi kekerasan terjadi di gereja St. Lidwina, di Sleman. Pelaku penyerangan melukai pastor dan jemaat dengan sebilah pedang. Lalu, di tahun 2017 serangan bom meledak di terminal bus Kampung Melayu di Jakarta, menewaskan setidaknya lima orang dan melukai 10 lainnya. Dua peristiwa ini hanyalah sekelumit dari riwayat kekerasan dan teror yang pernah terjadi.

Masihkah ada harapan di tengah dunia yang penuh teror? Mengetahui data dan fakta tersebut membuat pertanyaan ini kemudian muncul di benakku.

Tim Jackson, dalam bukunya yang berjudul When Tragedy Strikes, Finding Security in a Vulnerable World berkata bahwa tragedi menyerang kita hingga ke titik paling dalam saat kita tidak siap menghadapinya. Jika kita kembali pada Alkitab, sesungguhnya penderitaan dan aniaya bukanlah hal yang asing dalam kehidupan Kekristenan. Yesus sudah terlebih dahulu mengingatkan murid-murid-Nya akan bahaya yang akan mereka hadapi dan bagaimana seharusnya mereka meresponi bahaya tersebut.

“Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yohanes 16:33).

Aku tersentak. Pesan Yesus sungguh jelas. Yesus tidak mengatakan bahwa murid-murid-Nya, akan terbebas dari segala rupa penganiayaan sebab dunia ini memang telah jatuh dan rusak oleh dosa. Sepanjang sejarah Kekristenan bertumbuh, penganiayaan demi penganiayaan pernah terjadi dengan maksud untuk menggoyahkan iman orang-orang percaya. Namun, sejarah juga membuktikan bahwa ada orang-orang percaya yang imannya tidak goyah. Di mana ada penganiayaan, di situ ada rahmat berlimpah ruah.

Kitab Kisah Para Rasul memberikan kita gambaran bagaimana para rasul dan jemaat mula-mula menghadapi penganiayaan. Pada pasal ketujuh, diceritakan bahwa Stefanus mati dirajam batu karena imannya. Kematiannya bahkan disaksikan oleh Saulus, seorang yang sangat anti terhadap orang Kristen. Tapi, kisah itu tidak berhenti hanya di situ. Allah berkarya. Saulus yang tadinya menganiaya dan membunuhi orang-orang Kristen mendapatkan rahmat Allah dan berbalik menjadi murid Kristus, dari seorang pembunuh menjadi seorang yang diburu karena nama Kristus. Dan, melalui kegigihan para rasul dan jemaat mula-mula, Tuhan mengaruniakan mereka dengan lebih banyak orang-orang baru yang diselamatkan (Kisah Para Rasul 2:47).

Pesan yang Yesus berikan kepada murid-murid-Nya dalam Yohanes 16:33 adalah pesan yang juga Dia berikan kepada kita, murid-murid-Nya di masa sekarang. Inilah yang menjadi jawaban atas pertanyaan di pikiranku. Secara manusiawi keraguan yang timbul dalam pikiranku adalah respons yang wajar terhadap sesuatu yang memilukan. Namun, alih-alih takut dan meratap, kita bisa berharap sepenuhnya kepada Yesus, Pribadi yang tak pernah mengingkari janji.

Pasca peristiwa teror kemarin, kita dapat mengusir rasa takut dan menyalakan harapan dengan belajar untuk mempraktikkan teladan Yesus yang telah Dia ajarkan kepada kita: mengasihi dan mendoakan mereka yang telah menganiaya. Kita percaya bahwa Allah bekerja dalam cara-Nya yang tak terselami. Jika Saulus dapat Allah ubahkan menjadi Paulus, bukan tidak mungkin Allah sanggup melakukannya kembali di masa kini.

Peristiwa teror bukanlah alasan bagi kita untuk menjadi ciut hati, sebab harapan kita yang sejati terletak pada Kristus, yang telah menang dan berkuasa atas maut.

“Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia” (Filipi 1:29).

* * *

Teruntuk keluarga korban, kiranya Tuhan memberikan kekuatan dan penghiburan.

Teruntuk aparat-aparat penegak hukum, kiranya Tuhan menyertai kalian agar dapat mengambil keputusan yang bijak.

Teruntuk para pelaku, kiranya kalian beroleh kemurahan Tuhan untuk berbalik dari jalan yang jahat.

Dan, teruntuk rekan-rekan orang percaya, kiranya kita tidak gentar, tetap mengasihi sesama manusia, dan percaya kepada Tuhan.

Baca Juga:

Pertolongan Pertama Ketika Kita Jatuh dalam Dosa

Ketika dosa meninggalkan kita dalam perasaan tak berdaya dan hancur, apa yang seharusnya kita lakukan? Adakah pertolongan pertama untuk menyelamatkan diri saat kita terjatuh ke dalam jurang dosa?

Berani untuk Setia

Minggu, 18 Februari 2018

Berani untuk Setia

Baca: 1 Petrus 3:13-18

3:13 Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik?

3:14 Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar.

3:15 Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat,

3:16 dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu.

3:17 Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, dari pada menderita karena berbuat jahat.

3:18 Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh,

Janganlah gentar. —1 Petrus 3:14

Berani untuk Setia

Ketakutan terus menggayuti Hadassah, seorang remaja putri Yahudi yang hidup pada abad pertama. Ia adalah tokoh fiktif dalam buku karya Francine Rivers yang berjudul A Voice in the Wind. Setelah Haddasah menjadi seorang budak di rumah seorang Romawi, ia takut mengalami penganiayaan karena imannya kepada Kristus. Ia tahu bahwa orang Kristen dibenci, dan banyak yang dihukum mati atau menjadi mangsa singa di gelanggang. Akankah ia tetap berani untuk teguh mempertahankan kebenaran ketika ia diuji?

Akhirnya, ketakutannya yang terbesar pun menjadi kenyataan. Majikannya dan para pejabat Romawi lainnya yang membenci iman Kristen menantang Hadassah. Ia diberi dua pilihan: menyangkali imannya kepada Kristus atau dijadikan mangsa singa di gelanggang. Namun ketika ia tetap menyatakan Yesus Kristus sebagai Tuhannya, ketakutannya pun hilang dan ia menjadi berani untuk menghadapi kematian sekalipun.

Alkitab mengingatkan bahwa adakalanya kita akan menderita karena melakukan kebenaran—baik karena memberitakan Injil atau karena menjalani hidup saleh yang bertentangan dengan nilai-nilai dunia zaman sekarang. Kita diingatkan untuk tidak menjadi gentar (1Ptr. 3:14), tetapi menguduskan “Kristus di dalam hati [kita] sebagai Tuhan” (ay.15). Pergumulan utama Hadassah terjadi di dalam hatinya. Ketika akhirnya ia menetapkan hati untuk tetap memilih Yesus, ia pun memperoleh keberanian untuk setia.

Ketika kita memutuskan untuk menguduskan dan menghormati Kristus, Dia akan menolong kita mempunyai keberanian dan mengatasi ketakutan pada saat iman kita diuji. —Keila Ochoa

Bapa, berikanlah kepadaku keberanian untuk teguh beriman pada saat-saat yang sulit.

Marilah kita berani ketika bersaksi bagi Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 23-24; Markus 1:1-22

SinemaKaMu: Silence—Siapkah Kamu Memikul Salib?

sinemakamu-silence-siapkah-kamu-memikul-salibnya

Oleh Denissa Krisfetson, Jakarta

Apa yang akan kita lakukan jika kita dihadapkan pada keadaan yang menguji iman kita? Untuk menjawab pertanyaan ini, aku ingin mengajakmu untuk berefleksi sejenak dari sebuah film berjudul “Silence” yang bercerita tentang dilema yang harus dihadapi oleh orang-orang Kristen di Jepang beberapa abad lalu.

Silence adalah sebuah film karya Martin Scorsese yang diangkat dari sebuah novel. Pada tahun 1966, Shusako Endo menuliskan sebuah novel yang bercerita tentang dua orang misionaris bernama Rodrigues dan Garupe yang harus menghadapi tantangan ketika mereka memutuskan untuk pergi ke Jepang.

Perjalanan mereka berdua ke Jepang bertujuan untuk mencari guru mereka, Ferreira, yang telah lama hilang semenjak kunjungannya ke Jepang. Bahkan ada kabar yang beredar bahwa Ferreira sudah menyangkal imannya sebagai seorang pengikut Yesus dan beralih kepercayaan terhadap dewa-dewa Jepang.

Untuk melancarkan misi perjalanan mencari Ferreira, mereka dipertemukan dengan seorang Kristen Jepang yang bernama Kichijiro. Awalnya Kichijiro tidak mau membantu mereka untuk menjalankan misi pencarian itu, tapi setelah susah payah diyakinkan akhirnya dia bersedia untuk membantu dan mereka pun pergi ke Jepang dengan cara menyelundup di sebuah kapal.

Pada masa itu, kekaisaran Jepang yang digerakkan oleh Keshogunan Tokugawa sangat menutup diri dari pengaruh dunia luar, termasuk dari kedatangan para misionaris. Kebijakan kekaisaran untuk menutup diri itu juga berdampak kepada orang-orang asli Jepang yang sebelumnya telah memeluk iman Kristen. Jika mereka tetap memegang teguh imannya kepada Yesus mereka akan disiksa perlahan sampai akhirnya mati.

Semua misionaris yang sebelumnya telah datang di tanah Jepang harus memilih untuk menyangkal iman mereka atau dibunuh. Akibatnya, orang-orang Jepang yang telah menjadi Kristen tidak lagi memiliki pemimpin rohani. Ketika Rodrigues dan Garupe tiba di Jepang, mereka disambut begitu hangat oleh orang-orang Kristen yang telah menanti-nantikan pemimpin rohani.

Sambil melayani kebutuhan rohani orang-orang Kristen Jepang, Rodrigues dan Garupe juga berusaha mencari informasi tentang keberadaan Ferreira.

Setelah beberapa waktu berlalu, pihak kekaisaran berhasil menemukan keberadaan mereka berdua dan juga orang-orang Kristen Jepang lainnya. Mereka kemudian memaksa orang-orang Kristen di desa untuk menyangkal Yesus dan juga dianiaya. Rodrigues dan Garupe harus melarikan diri dan berpencar supaya tetap dapat melayani orang-orang Kristen yang masih bertahan.

Tapi, pelarian mereka tidak bertahan lama karena pihak kekaisaran Jepang berhasil menangkap mereka dan mereka pun dipaksa untuk menyangkal Yesus. Mereka berdua menghadapi dilema yang sangat berat, mereka takut kalau penolakan mereka untuk menyangkal Yesus akan menyebabkan orang-orang Kristen Jepang semakin dianiaya.

Setelah pergumulan dan penganiayaan yang sangat panjang, Garupe akhirnya meninggal dunia dan meninggalkan Rodrigues seorang diri. Rodrigues pun dipenjara dan selama itu ia harus melihat orang-orang Kristen yang ditangkap, disiksa lalu dibunuh dengan sadis.

Pada puncaknya, akhirnya ia dipertemukan dengan Ferreira, guru yang selama itu dia cari. Namun pertemuan ini membuat dia sangat terkejut dan hatinya hancur. Ferreira telah menyangkal Yesus dan mengubah namanya dengan nama Jepang. Bahkan dia juga telah menikah dan mempunyai anak serta menjadi pendeta dewa-dewa.

Meskipun hatinya sangat hancur, Rodrigues masih menolak untuk menyangkal Yesus. Akibat keputusannya itu maka lebih banyak orang-orang Kristen Jepang yang dianiaya dengan sadis dan Rodrigues harus menyaksikan itu semua.

Pada akhirnya, Rodrigues menyerah dan memilih untuk menyangkal Yesus. Kemudian dia bergabung dengan Ferreira dan melakukan ritual penyembahan kepada dewa-dewa Jepang. Akhir film ini ditutup dengan adegan ketika Rodrigues meninggal dan memegang salib dalam peti jenazahnya.

Dari kisah ini, ada satu pertanyaan menarik yang bisa kita tanyakan dan renungkan kepada diri kita sendiri. Ketika datang pencobaan bahkan penganiayaan, apa yang akan kita lakukan? Maukah kita tetap setia kepada Yesus?

Mungkin di masa sekarang ini tantangan iman yang kita hadapi tidak selalu berupa penganiayaan fisik. Ada banyak hal yang menggoda dan “memaksa” kita untuk menyangkal iman kepada Yesus. Apakah itu kecanduan kita pada obat-obatan terlarang, pornografi, uang, bahkan hingga ketergantungan pada smart phone.

Tuhan Yesus berkata dalam Matius 16:24, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.”

Ketika kita memutuskan untuk menjadi pengikut Tuhan Yesus, itu berarti kita siap memikul salib-Nya. Memikul salib itu berarti melepaskan segala kenyamanan dan keterikatan kita dengan dosa.

Maukah kita tetap mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan kita dan memberikan seluruh hidup kita kepada-Nya?

Baca Juga:

Tuhan Yesus, Terima Kasih untuk Tragedi Ini

Tak lama setelah aku memutuskan untuk mengikut Tuhan Yesus, ayahku dipanggil pulang ke surga. Ibu harus bekerja mengadu nasib ke luar negeri untuk menopang kehidupan keluarga, sementara itu adikku pun terjerat dalam narkoba. Tapi, itu semua bukanlah akhir, melainkan permulaan dari rencana Tuhan yang indah pada waktunya.

Kerelaan Berkorban

Minggu, 20 November 2016

Kerelaan Berkorban

Baca: Kisah Para Rasul 6:8-15;7:59-60

6:8 Dan Stefanus, yang penuh dengan karunia dan kuasa, mengadakan mujizat-mujizat dan tanda-tanda di antara orang banyak.

6:9 Tetapi tampillah beberapa orang dari jemaat Yahudi yang disebut jemaat orang Libertini–anggota-anggota jemaat itu adalah orang-orang dari Kirene dan dari Aleksandria–bersama dengan beberapa orang Yahudi dari Kilikia dan dari Asia. Orang-orang itu bersoal jawab dengan Stefanus,

6:10 tetapi mereka tidak sanggup melawan hikmatnya dan Roh yang mendorong dia berbicara.

6:11 Lalu mereka menghasut beberapa orang untuk mengatakan: “Kami telah mendengar dia mengucapkan kata-kata hujat terhadap Musa dan Allah.”

6:12 Dengan jalan demikian mereka mengadakan suatu gerakan di antara orang banyak serta tua-tua dan ahli-ahli Taurat; mereka menyergap Stefanus, menyeretnya dan membawanya ke hadapan Mahkamah Agama.

6:13 Lalu mereka memajukan saksi-saksi palsu yang berkata: “Orang ini terus-menerus mengucapkan perkataan yang menghina tempat kudus ini dan hukum Taurat,

6:14 sebab kami telah mendengar dia mengatakan, bahwa Yesus, orang Nazaret itu, akan merubuhkan tempat ini dan mengubah adat istiadat yang diwariskan oleh Musa kepada kita.”

6:15 Semua orang yang duduk dalam sidang Mahkamah Agama itu menatap Stefanus, lalu mereka melihat muka Stefanus sama seperti muka seorang malaikat.

7:59 Sedang mereka melemparinya Stefanus berdoa, katanya: “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku.”

7:60 Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Dan dengan perkataan itu meninggallah ia.

Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. —Matius 5:10

Kerelaan Berkorban

Di suatu Minggu sore, saya sedang duduk di taman rumah kami, yang berada dekat dengan gereja tempat suami saya melayani sebagai pendeta. Saya mendengar sayup-sayup alunan musik pujian dan penyembahan dalam bahasa asing. Gereja kami di London telah menjadi tempat ibadah bagi sekelompok jemaat warga negara asing yang sangat berkembang. Kami merasa takjub melihat semangat mereka di dalam Kristus ketika mereka menyampaikan kisah-kisah tentang penganiayaan yang mereka alami dan juga tentang orang-orang, seperti saudara laki-laki dari gembala senior mereka, yang kehilangan nyawa karena iman mereka. Orang-orang percaya yang setia itu mengikuti jejak Stefanus, martir Kristen yang pertama.

Stefanus, salah seorang pemimpin yang pertama dari jemaat mula-mula, menarik perhatian banyak orang di Yerusalem ketika ia melakukan “mujizat-mujizat dan tanda-tanda” (Kis. 6:8). Ia pun dibawa ke hadapan para penguasa Yahudi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Stefanus menyampaikan pembelaan imannya dengan penuh semangat sebelum menyinggung tentang kekerasan hati para pendakwanya. Namun bukannya bertobat, para penguasa itu justru “sakit hati dan marah sekali kepadanya” (7:54 BIS). Mereka menyeret Stefanus ke luar kota dan melemparinya dengan batu sampai mati, bahkan ketika ia sedang berdoa memohon pengampunan bagi mereka.

Kisah-kisah tentang Stefanus dan para martir di zaman modern mengingatkan kita bahwa pesan Kristus bisa menemui pertentangan yang tajam dan mengancam nyawa. Jika kita belum pernah menghadapi penganiayaan karena iman kita, marilah kita berdoa bagi jemaat di seluruh dunia yang masih teraniaya. Kiranya kita, sekiranya harus menderita, menerima anugerah untuk tetap setia kepada Kristus yang telah menderita jauh lebih banyak demi kita.

Kiranya kita menerima anugerah untuk mengikuti jejak Tuhan kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Yehezkiel 14-15; Yakobus 2

Artikel Terkait:

Masih Adakah Harapan di Tengah Dunia yang Bertikai?

Ingatkah kamu akan serangan teror yang mengguncang Paris pada November 2015 yang lalu? Kita semua berharap situasi akan segera membaik dan dunia ini akan lebih damai. Namun, bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya?