Posts

Bagaimana Jika Aku Menyerobot Antrean Pulang ke Rumah Bapa?

Oleh Aris Budhiyanto

Bulan Oktober kemarin, bertepatan dengan hari peringatan kesehatan mental sedunia yang jatuh pada tanggal 10, aku banyak menemukan artikel yang membahas seputar kesehatan mental. Beberapa artikel yang kubaca membahas tentang kasus bunuh diri. Aku pun tergelitik karena tujuh tahun lalu aku pernah berpikir untuk meninggalkan dunia ini dengan sengaja.

Saat itu usiaku menginjak akhir 20-an, usia di mana seseorang mulai dianggap mapan secara finansial maupun dalam berkarier. Namun, hal itu tidak berlaku bagiku. Saat itu aku baru saja menyelesaikan pendidikan magister dan sudah beberapa bulan bergumul mencari kerja. Sedikit cerita tentang latar belakangku, sebelum memutuskan untuk melanjutkan studi, aku sudah beberapa tahun bekerja di sebuah kantor yang cukup baik di Jakarta, tapi aku meninggalkan pekerjaan lamaku dan melanjutkan studi magister untuk menjadi seorang pengajar. Keputusan ini sudah kudoakan sejak aku masih duduk di bangku kuliah. Tentu saja pilihanku ini kontroversial, terutama bagi orang tuaku karena mereka mengharapkanku bekerja di sektor industri. Namun, mereka tidak menghalangiku.

Berbulan-bulan menganggur dan mencari kerja, yang kudapat hanya penolakan. Orang tuaku yang turut mempertanyakan keputusanku dan mencoba mendorongku kembali ke pekerjaan lamaku membuatku merasa tertekan dan depresi. Bahkan aku mulai meragukan Tuhan dan keputusan yang kuambil. Malam demi malam aku berdoa. Salahkah aku memutuskan meninggalkan pekerjaan lamaku? Apakah hal yang aku doakan selama ini tidak berkenan kepada Tuhan? Jika demikian, mengapa Dia tetap menuntunku dan membawaku sampai di titik ini? Apakah Tuhan menghendaki aku untuk gagal? Apakah Tuhan tidak lagi mengasihiku? Lalu untuk apa aku hidup di dunia ini?

Saat itulah pikiran untuk meninggalkan dunia ini muncul. Aku ingin menghilang dan melepaskan diri dari semua ini. Tak jarang aku bercanda dengan teman-temanku, “bagaimana jika aku menyerobot antrean pulang ke rumah Bapa?”

Namun, puji Tuhan, Dia tidak membiarkanku mengambil keputusan yang salah. Aku masih takut akan Tuhan dan masih menyadari bahwa mengakhiri hidup bukanlah solusi akhir. Melalui teman-temanku, Tuhan menguatkan aku. Dia juga menuntunku untuk berkonsultasi ke psikolog yang melayani di gerejaku. Memang, kami tidak bisa menjawab mengapa Tuhan membiarkanku melewati semua ini, namun imanku semakin dikuatkan dan diteguhkan.

Aku menggunakan waktu menganggurku untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, berdoa, membaca firman dan mendengarkan lagu rohani, serta mengevaluasi diri hingga berserah. Aku sadar aku lebih ingin mengikuti egoku daripada mencari kehendak-Nya. Karena itulah aku marah ketika Tuhan tak kunjung menjawab doaku, hingga aku menolak semua hal baik yang Tuhan karuniakan, termasuk hidupku. Bisa dikatakan Tuhan menggunakan waktu menganggurku untuk membentuk karakterku agar aku tidak menyerah, tetapi berserah. Aku tidak lagi bersikeras untuk bisa menjadi pengajar dan mulai memikirkan pekerjaan lain jika Tuhan tidak menghendaki aku melayani di bidang pendidikan.

Saat itulah Tuhan justru menjawab doaku. Dia memberikan pekerjaan di kampus yang dulu aku menempuh studi S1. Masa-masa pergumulan itu kurasa memang Tuhan siapkan untuk menguji dan membentuk karakterku agar aku siap menjadi seorang pendidik. Setelahnya, barulah Tuhan mengutusku untuk melayani-Nya. Bukan lagi karena keinginanku, tapi atas kehendak dan kedaulatan-Nya.

Sekarang aku sudah hampir menyelesaikan studi doktoralku. Puji Tuhan, atas seizin-Nya aku diberi kesempatan untuk melanjutkan studi keluar negeri. Tentunya kehidupanku selanjutnya tidak mudah, bahkan aku juga mengalami banyak masalah yang membuatku tertekan dan depresi. Tapi, aku tidak lagi berpikiran untuk meninggalkan dunia ini karena aku punya Tuhan yang senantiasa menuntunku dan memegang erat tanganku, bahkan ketika aku melepaskan pegangan tanganku.

Melalui tulisan ini, aku berharap jika kalian sedang mengalami masalah yang sangat berat, hingga pernah berpikiran untuk meninggalkan dunia ini, kiranya ceritaku bisa menguatkan kalian dan menghilangkan pikiran itu. Meskipun aku tidak tahu apa masalah yang kalian hadapi, Tuhan tahu dan mengasihi kita semua, hingga Dia bersedia mati di kayu salib agar kita beroleh keselamatan. Jangan sia-siakan anugerah kehidupan yang tak ternilai ini.

Carilah pertolongan, melalui komunitas gereja yang dapat menjadi support system, atau ke psikolog.

Akhir kata, aku ingin membagikan ayat yang menjadi peganganku selama ini: 

“Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” (Ulangan 31:6).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Saat Menganggur, Imanku Diuji

Pernahkah kamu merasa putus asa saat mencari pekerjaan? 

Mungkin kamu merasa yakin bisa lolos–ijazahmu baik, kamu punya pengalaman, dan kamu sudah berdoa sungguh-sungguh, tapi ternyata kamu ditolak. Menghadapi banyak penolakan tidaklah mudah, terlebih tuntutan dari keluarga atau lingkungan membuatmu semakin tertekan. 

Saat keadaan sulit menghadang dan berat untuk percaya, mungkin di sinilah kita bisa belajar untuk percaya dan patuh, seperti yang dialami oleh salah satu sobat muda. 

Yuk, simak di bawah dan baca selengkapnya di sini.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI (@ymi_today)

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Saat Menganggur, Imanku Diuji

Oleh Michele Ong

Diterjemahkan dari bahasa Inggris: How To Trust God in The Season of Job Hunting

Aku menghabiskan enam bulan hidupku sebagai kaum mageran.

Tiap hari aku bisa dengan bebas menonton serial terbaru, jadi anggota tetap kelompok renang, juga ikut gym. Saking selow-nya, bahkan buku dengan genre crime-thriller Jepang favoritku telah tuntas kubaca sebelum penulisnya mampu menerjemahkan seri berikutnya ke dalam bahasa Inggris. 

Itu adalah gaya hidup yang kunikmati selama tiga bulan pertama, setelah aku mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya yang penuh tekanan dan membuat kepercayaan diriku hancur berkeping-keping. Namun, gaya hidup bersantai ria bukanlah gaya hidup yang cocok untuk dilakukan secara berkelanjutan. Tak lama, aku pun kehabisan uang. Saldoku di bank hampir habis, tagihan menumpuk, dan aku baru saja menggunakan uangku untuk membeli kendaraan. 

Jadi, setelah masuk dalam keadaan kepepet, aku melakukan apa yang akan dilakukan oleh kebanyakan orang: mencari pekerjaan. Tapi, ternyata cari kerja itu susah. Prosesnya panjang dan menyakitkan. Aku seolah dipaksa untuk bergantung pada Tuhan.

Tidak mudah untuk mempercayai Tuhan selama setengah tahun berikutnya. Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengirimkan lamaran pekerjaan hanya untuk menerima balasan email, “Dengan berat hati kami memberitahukan kepada Anda…” Lalu ada kalanya aku mempersiapkan diri untuk wawancara hanya untuk diberitahu, “Kami telah memutuskan untuk memilih kandidat lain…”

Aku menangis. Ibarat air terjun, air mataku tak berhenti mengalir. Namun, selama enam bulan aku mencari pekerjaan, aku belajar lebih banyak tentang Tuhan daripada jika doa-doaku dijawab dengan cepat.

Ketika aku mengundurkan diri dari pekerjaan awalku sebagai wartawan, aku juga siap untuk berhenti menulis. Aku tidak ingin mendekati apa pun yang berhubungan dengan menulis, dan aku cukup senang mencari karier di bidang akuntansi, yang merupakan gelar utama yang kumiliki.

Namun, Tuhan memiliki rencana lain untukku. Pada akhir pekan kepemimpinan di gereja, khotbah dari seorang pendeta Amerika, John Bevere, membuatku menarik kembali keputusanku sebelumnya. Pendeta Bevere berbicara tentang perumpamaan talenta (Matius 25:14-30), di mana sekelompok hamba dipercayakan tuannya untuk menjaga talenta masing-masing selama tuannya pergi. Beberapa orang memelihara dan mengembangkan talenta mereka, tetapi salah satu hamba menyembunyikan talentanya. Ketika tuannya mengetahui hal ini, dia menegur hamba tersebut karena telah jahat dan malas, serta mengambil talenta itu darinya.

Khotbah tersebut mengingatkanku untuk memakai talenta dengan baik, dan meyakinkanku bahwa aku harus sungguh-sungguh mencoba menulis lagi. Kadang ketika kita minta Tuhan menunjukkan jalan pada kita, tanpa sadar kita memelihara keraguan tentang pimpinan-Nya, yang pada akhirnya membuat kita gagal dalam mengambil langkah-langkah kecil. 

Apakah saat ini kamu sedang mencari pekerjaan? Adakah sesuatu yang perlu kamu lakukan saat ini sebelum Tuhan menunjukkan langkahmu selanjutnya? Mungkin kamu rindu menjadi relawan di pekerjaan sosial, atau melayani di gereja? Masa-masa kamu menganggur bisa menjadi waktu yang tepat bagimu untuk melakukan hal-hal yang selama ini tidak sempat kamu lakukan, terutama jika motivasimu adalah untuk memuliakan Tuhan di dunia. Ini juga bisa menjadi cara Tuhan untuk menolongmu mendapatkan keterampilan khusus yang dicari oleh calon atasanmu, atau keterampilan yang kelak menolongmu menjadi saksi-Nya di tempat kerja.

Bagiku sendiri, aku harus mulai menulis lagi sebagai tindakan ketaatan kepada Tuhan. Aku tahu dan yakin menulis adalah talenta yang Tuhan percayakan buatku.

Setelah aku kembali menulis, kupikir akan ada tawaran kerja yang kuterima, tapi ternyata tidak. Email penolakan lagi yang kuterima. Ada malam-malam ketika aku terbangun, khawatir akan masa depanku, dan membandingkan keadaanku dengan teman-teman yang sudah memiliki jabatan bagus.

Namun, Tuhan telah berjanji bahwa Dia akan menjaga kita dan Dia memegang masa depan kita di tangan-Nya. Lukas 12:32 memberiku banyak penghiburan selama masa ini. “Janganlah takut, hai kamu kawanan kecil! Karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu.”

Hal lain yang kupelajari dari proses pencarian kerja ini adalah bahwa identitasku tidak berasal dari jabatan yang terdengar “wow”. Sebaliknya, identitasku ada di dalam Kristus. Meskipun manusia mungkin menilai statusku sebagai pengangguran, Tuhan melihatku sebagai anak-Nya yang berharga, dan nilai diriku di mata-Nya tidak berkurang sedikit pun.

Sangat mudah bagi kita memaknai nilai diri kita dari apa yang tercetak di “kartu nama”. Tetapi, identitas yang kita temukan di dalam Tuhan adalah sesuatu yang tidak dapat diambil oleh siapa pun. Perusahaan kita mungkin menyuruh kita untuk “berkemas dan pergi” karena kondisi ekonomi perusahaan yang suram, tetapi jika kita tahu siapa diri kita di dalam Kristus, kita tidak akan membiarkan hal itu menggoyahkan kepercayaan diri kita.

Aku menunggu untuk waktu yang lama sebelum aku mendapat tawaran pekerjaan yang kulakukan saat ini. Dan tahukah kamu? Itu jauh lebih baik dari apa yang kuharapkan dan doakan sebelumnya. Pekerjaan itu datang dengan gaji yang menarik, lingkungan kerja yang lebih baik, dan jam kerja yang teratur.

Mungkin kamu berada dalam situasi yang sama. Mungkin kamu telah melamar begitu banyak pekerjaan hingga kamu tidak dapat menghitungnya, dan kamu merasa ingin menyerah karena tekanan dari orang tua dan teman sebaya. Namun, tenanglah dan ketahuilah bahwa Tuhan adalah Tuhan yang lebih dari cukup (Efesus 3:20). Dia akan menopangmu dengan tangan kanan-Nya (Yesaya 41:10), dan Dia akan memberikan kekuatan kepada orang yang letih lesu (Yesaya 40:29).

Pencarian kerja mungkin sangatlah sulit. Tetapi aku tahu bahwa Tuhan menjawab doa pada waktu yang telah ditentukan-Nya. Corrie Ten Boom pernah berkata, “Jangan pernah takut untuk mempercayakan masa depan yang tidak diketahui kepada Tuhan yang kita tahu.” Jadi, berpeganglah pada Tuhan dan pengharapan yang Dia tawarkan; Dia akan menemanimu sampai akhir.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

5 Hal yang Kupelajari Saat Aku Tidak Punya Pekerjaan Tetap

Penulis: Chrisanty L.
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: 5 Things I Learned When I Couldn’t Find A Job

5-things-I-learned-when-I-couldnt-find-a-job

Hampir setahun aku tidak berhasil mendapatkan pekerjaan. Berkali-kali lamaran kerja yang aku kirimkan ditolak hingga aku mulai terbiasa mengalami kekecewaan. Selama masa-masa itu, aku terus bertanya pada diriku sendiri: apa yang akan aku lakukan dengan hidupku? Sungguh suatu masa yang penuh tekanan dan rasa frustrasi, masa yang menguji imanku di dalam Tuhan.

Namun ketika mengingat kembali semua yang kulalui, aku menyadari bahwa itu adalah satu tahun yang menolongku bertumbuh dan penuh berkat-berkat tak terduga yang benar-benar aku perlukan di dalam hidupku.

Berikut ini lima pelajaran yang kudapatkan selama masa-masa tersebut, yang mungkin akan menolong kamu ketika menghadapi situasi serupa:

1. Aku jadi lebih mencari Tuhan. Seringkali, aku merasa percakapan di antara aku dan Tuhan berlangsung satu arah. Mengapa sepertinya orang lain itu lebih mudah mendapatkan pekerjaan? Apakah mereka lebih baik dari aku? Mengapa aku selalu sial? Namun, justru karena kesulitan yang kuhadapi itulah aku berdoa lebih banyak dan berusaha lebih keras. Pada saat aku merasa putus asa dan sangat membutuhkan Tuhan, barulah aku sungguh-sungguh mencari Dia. Selama kuliah, aku tidak benar-benar menyediakan waktu khusus untuk Tuhan atau berpikir untuk melayani-Nya. Prioritas hidupku adalah untuk menjadi orang sukses; semua perhatian dan usahaku tertuju untuk mencapai tujuan itu. Satu tahun menganggur itu sangat berat, tetapi merupakan pengingat yang aku perlukan agar kembali menyadari untuk siapa aku menjalani hidupku ini.

2. Aku belajar menyerahkan hidupku kepada Tuhan. Aku senang membuat perencanaan dalam hidup, menyusun target-target untuk dicapai, memegang kendali atas hidupku. Puas rasanya ketika segala sesuatu berjalan lancar. Namun, ketika rencanaku meleset, aku pun merasa sangat terpukul. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya ketika aku harus menyandang status sebagai “pengangguran” dan tidak punya kendali apa pun atas hidupku. Aku merasa sangat tertekan dan malu, ingin menyembunyikan diri dari keluarga dan sahabat-sahabatku. Butuh waktu kira-kira setahun sebelum akhirnya aku bisa belajar berserah dan membiarkan Tuhan mengambil alih kendali atas hidupku. Aku bersyukur aku akhirnya memutuskan untuk berserah kepada Tuhan, karena begitu aku melakukannya, aku tidak lagi merasa sendirian, aku berhenti menyalahkan diriku, dan akhirnya bisa melanjutkan hidupku.

3. Aku mendapat banyak kejutan dari Tuhan. Setelah menganggur sekitar setengah tahun, aku diajak terlibat dalam pelayanan Sekolah Minggu di gerejaku. Jujur saja, aku tidak pernah tertarik dengan apa pun yang berkaitan dengan anak-anak. Namun, karena menganggur, aku bersedia mencobanya. Di luar dugaan, mengajar Sekolah Minggu ternyata sangat menyenangkan. Aku berusaha sebaik mungkin menyiapkan bahan-bahan pengajaran dan aktivitas untuk anak-anak di kelas. Waktu mengajar setiap hari Minggu menjadi waktu yang aku tunggu-tunggu. Apakah selama ini aku telah begitu sibuk dengan impianku menggapai sukses sehingga melewatkan semua ini? Kemungkinan besar aku tidak akan pernah terlibat di gereja jika aku langsung menemukan pekerjaan selepas kuliah. Tetapi, Tuhan mengenal aku, dan punya rencana yang berbeda untukku.

4. Aku memiliki perspektif yang baru tentang kehidupan. Saat aku mulai menyerahkan diri kepada pengaturan Tuhan, aku belajar menjalani hidup dengan perspektif yang baru. Secara bertahap, aku mulai berhenti memusingkan apa yang dipikirkan orang lain tentang diriku. Dan sekalipun lamaran kerjaku masih terus ditolak, aku tidak lagi merasa terlalu tertekan. Prioritasku kini adalah membangun hubungan dengan orang lain, menyediakan waktu membaca Alkitab, berbicara dengan Tuhan, dan melayani di Sekolah Minggu. Meski hidupku tidak berjalan sesuai dengan apa yang aku inginkan, aku merasa puas, tenang, dan bersyukur. Tuhan menyediakan semua kebutuhanku dengan cara yang berbeda.

5. Aku belajar bersyukur atas masa-masa sulit. Menjadi pengangguran selama setahun mengajarkan aku untuk bisa tetap bersukacita dan bersyukur saat mengalami kegagalan. Aku juga bersyukur untuk tantangan dan pembentukan Tuhan yang membawaku makin dekat kepada-Nya.

Merenungkan kembali waktu-waktu yang kulewatkan tanpa pekerjaan tetap, aku takjub melihat bagaimana Tuhan telah memeliharaku, selangkah demi selangkah menapaki perjalananku. Sekalipun aku tidak bisa melihat dengan jelas rencana-Nya untuk masa depanku, aku yakin dan percaya bahwa Dia akan terus memeliharaku. Dalam doa, aku minta Tuhan menolongku untuk tidak melupakan semua pelajaran ini, bahkan setelah nantinya aku mendapat pekerjaan tetap.