Posts

Alasan Di Balik Sebuah Keterlambatan

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun, Jakarta

“Memiliki sikap berserah dikehendaki oleh Tuhan kita, meskipun hal itu bukan hal yang mudah. Apa respon kita saat hidup tidak berjalan seperti yang kita inginkan? Bagaimana kita dapat memuji Tuhan di tengah penderitaan yang kita alami? …”

Ucapan pak Pendeta Fardi terpotong ketika bunyi sepatu terdengar dan beberapa orang melangkah masuk dengan santai. Celinguk-celinguk sebentar lalu duduk di barisan ke-2 terdepan.

Mereka lagi. Nyebelin banget. Ini sudah hampir di akhir khotbah. Tapi baru datang. Apa yang sih yang mereka mau? Masa datang ke gereja selalu terlambat.

“… Mari kita berdoa,” kata penutup Pak Pendeta Fardi memotong lamunanku.

Selesai beribadah, aku langsung turun ke lantai paling bawah. Biasanya disediakan makanan kecil dan minuman. Pasti mereka sudah ada di bawah. Menjadi orang pertama yang antri.

Tuh, benar kan? Mereka bahkan sudah terlihat asyik menikmati makanan. Wah, apa itu yang di tangan? Berapa kotak? Masing-masing mengambil 3 kotak. Apakah jemaat lain masih kebagian? 

Aku melangkah menghampiri meja panjang di tengah ruangan. Tanganku meraih sebuah kotak makanan ketika aku mendengar suara yang kecewa. “Yah… Sudah habis. Kita terlambat.” Aku menoleh dan melihat dua orang anak yang berumur sekitar 10 tahun. Aku menatap kotak makanan di tanganku dan menyerahkannya kepada mereka.

“Terima kasih, Kak,” kata mereka. 

Dengan menahan rasa lapar, aku menghampiri Mili, sahabatku. Melihat tampang kecewaku, dia segera tertawa dan menyodorkan kotak makanannya yang terbuka. Masih ada sepotong kue. Aku mengambil dan memakannya. “Thanks.”

“Sudahlah, jangan marah. Bukankah kita sudah terbiasa?” Mili menyenggol tanganku. Dia menyeringai sebentar.

“Tapi ini keterlaluan. Masa sampai 3 kotak?” Mataku tertuju pada pasangan suami istri yang sedang asyik menikmati makanannya. 

“Yaah… Mungkin mereka kelaparan, lupa makan kemarin. Atau sedang puasa, atau apalah gitu,” sahut Mili memberikan alasan.

“Kalau sekali-kali masih OK, tapi ini kan sudah kesekian kalinya.” Nada suaraku bertambah tinggi tanpa kusadari.

“Sst, jangan keras-keras. Nanti kedengaran ama mereka. Kan jadi nggak enak,” tegur Mili dengan lembut.

“Ah…biar saja. Kan kenyataannya gitu, selalu datang terlambat ke gereja tapi paling awal kalau ada makanan,” kataku sebel.

Masih dengan perasaan kesal, aku melangkah mengambil minuman yang ada di meja. Ternyata sudah habis. Tanpa kusadari, aku menoleh ke arah pasangan suami istri itu, dan memperhatikan ada beberapa gelas kosong di bangku dekat mereka. Huh, bukan hanya makanan, minuman pun harus beberapa gelas. Apalagi yang nanti habis?

“Hei, Amel. Kamu nggak kebagian? Sama. Aku juga.”

Aku menoleh dan melihat Vili berdiri di sampingku. Aku mengangguk. “Iya, habis.”

“Pasti mereka yang ambil ya?” Vili seakan membaca pikiranku.

“Kalau nggak, siapa lagi?” jawabku kesal.

“Aku benar-benar nggak ngerti. Kalau ke gereja hanya mau makan, datang saja waktu makan, kenapa harus menggangu ibadah. Ya nggak, sih?” komentar sinis Vili.

“Iya, itulah. Aku juga nggak ngerti. Kayaknya mereka bukan orang yang kekurangan, tapi kok selalu makan seperti orang yang tidak pernah makan? Yang  lebih mengesalkan, terlambatnya itu lho. Aduh, apa sih maunya?”

“Tadinya aku pikir cuma aku yang berpikiran seperti itu. Ternyata kamu juga. Dan aku yakin bukan hanya kita yang berpikir seperti ini. Banyak orang yang juga berpikir sama seperti kita. Kita tegur saja, yuk,” usul Vili, kemudian menggandeng tanganku.

“Kamu yakin?” tanyaku.

Vili menatapku. “Masa mau kita diemin? Kamu mau kelaparan terus tiap Minggu? Atau mau lihat orang lain menderita gara-gara mereka?”

“Iya, sih. Ayolah.” Aku melangkah bersama Vili, menuju pasangan suami istri itu.

Tiba-tiba Mili sudah di sampingku. “Aku rasa sebaiknya kita pergi, Amel. Bukankah kita ada janji?”

“Eh, tunggu dulu, Mili. Amel kan mau bicara ama mereka dulu. Masalah ini perlu diselesaikan,” cegah Vili yang melihatku ditarik pergi oleh Mili.

“Benar, masalah ini perlu diselesaikan. Tetapi ada caranya. Dan caranya tidak seperti ini. Sebaiknya kita tidak lagi membicarakan hal ini dengan orang lain,” jawab Mili tegas. “Yuk, kita pergi. Jangan sampai terlambat.”

Vili terlihat kesal. Aku melambaikan tangan ke arah Vili. “Pergi dulu, ya.”

Di dalam mobil, aku duduk dengan wajah kesal. “Kenapa kamu ngak membiarkan aku menegur pasangan itu?”

“Karena bukan kamu yang perlu melakukannya. Dan tempatnya juga bukan di ruang publik,” jawab Mili pelan.

“Lalu siapa yang melakukannya? Kamu?”

“Bukan. Bukan aku, bukan kamu, bukan juga Vili. Tetapi orang yang punya wewenang dan kapasitas yang melakukannya.” Mili mengarahkan pandangannya kepadaku sebentar lalu fokus kembali pada kemudinya.

“Pak pendeta, maksudmu? Dia kan banyak tugas. Lagian kalau tunggu dia, sampai kapan baru selesai? Sampai kita semua kelaparan?” balasku jengkel.

“Hahaha… Nggak segitunya kali. Aku yakin kita semua nggak akan sampai kelaparan. Aku hanya pikir masalah ini bukan tidak semudah yang kita pikirkan. Kelihatannya seperti itu, tetapi ternyata tidak sesederhana itu.”

“Aku nggak ngerti. Masalahnya adalah mereka selalu datang terlambat untuk beribadah, tetapi selalu tepat waktu untuk makan. Kalau kita kasih tahu apa yang mereka lakukan itu salah, masalah akan selesai.”

Mili tersenyum mendengar penjelasanku. “Kamu selalu bisa merumuskan masalah dengan tepat, hanya saja penyelesaiannya tidak semudah itu. Apa yang terlihat itu hanya fenomena, belum tentu itu yang sebenarnya terjadi.”

Meski aku masih tidak dapat menerima penjelasan Mili, aku tidak lagi memperpanjang masalah ini. Mungkin Mili benar, mungkin tidak sesederhana yang terlihat.

Dua hari kemudian, aku ditelepon oleh sie pembesukan gereja. Mereka memintaku mengambil bagian dalam pelayanan pembesukan jemaat. Kami pun sepakat untuk mengunjungi beberapa jemaat baru yang datang ke gereja kami.

Tidak disangka, rumah pertama yang kami datangi adalah rumah pasangan suami istri yang suka terlambat ke gereja itu. Bertempat dalam kompleks perumahan yang agak kumuh, rumah itu terlihat sangat sederhana. Pintunya terbuat dari kayu, cat rumah terkelupas di sana sini, tetapi halamannya terlihat indah. Kami dipersilakan duduk di ruang tamu yang jauh dari kesan mewah. Disuguhi dengan segelas teh hangat, kami memulai percakapan.

Pak dan Bu Budiman, begitu pasangan suami istri itu biasa disapa. Mereka terlihat senang dengan kunjungan kami. Pak Pendeta Fardi memulai dengan menanyakan kabar dan menyambut baik kedatangan mereka ke gereja kami.

Apakah Pak Pendeta Fardi akan berbicara mengenai keterlambatan mereka? 

Keingintahuanku bertambah seiring waktu terus berjalan. Aku berharap masalah itu dapat segera selesai. Dan aku pikir seharusnya mereka tidak punya alasan untuk keterlambatan mereka.

“Kami memperhatikan sepertinya ada kesulitan bagi Bapak dan Ibu untuk hadir tepat waktu dalam ibadah gereja kami. Apakah ada yang dapat kami bantu?” tanya Pak Pendeta Fardi dengan ramah dan tersenyum hangat. Nah, coba dengar apa alasan mereka. Aku menunggu jawaban mereka dengan tidak sabar.

Dengan wajah yang sedikit memerah, pak Budiman menjawab pelan. “Yah… Sebenarnya memang ada, kalau mau dikatakan hal itu sebagai kesulitan. Tetapi, bagaimana mengatakannya?”

Pak Pendeta Fardi mengangguk, memberikan dorongan untuk meneruskan ucapan pak Budiman.

“Begini, Pak Pendeta. Kami berdua memang dibesarkan dalam budaya yang kurang mengenal disiplin waktu. Bagi kami sekeluarga, datang terlambat adalah hal biasa. Bahkan boleh dikatakan kami tidak pernah datang tepat waktu untuk acara apa saja. Karena memang sudah menjadi kebiasaan kami. Apalagi kami tidak punya anak, sehingga kami pun tidak terikat dengan kewajiban sekolah yang mengharuskan kami untuk belajar tepat waktu. Dan pekerjaan sebagai ojek online pun dapat dilakukan tanpa terikat waktu. Jadi kelihatannya tidak ada alasan kuat mengapa kami tidak boleh terlambat. Bukan kami tidak pernah coba tepat waktu, tetapi ternyata sulit sekali. Dan orang lain biasanya tidak pernah mau mengerti. Kami langsung dihakimi begitu saja.” Pak Budiman mengambil napas sebentar, menunggu reaksi kami. 

“Ya, tentu tidak mudah mengubah sebuah kebiasaan, ya.” Pak Pendeta Fardi kembali tersenyum ramah.

Pak Budiman mengangguk. “Sebenarnya kami sudah pergi ke banyak gereja, dan setelah beberapa kali kami berkunjung, ada gosip tentang kami. Karena merasa tidak enak, maka kami pergi dari gereja itu.” Tanpa kusadari, wajahku memerah mendengar kata gosip. 

Aku pun sudah bergosip hari Minggu lalu. Aku pun menghakimi mereka.

Beberapa kata pak Budiman tidak terdengar karena lamunanku. “Kami mengerti apa yang kami lakukan tidak baik, dan sepertinya menganggu orang lain. Tetapi kami pun baru mengenal TuhanYesus sehingga kami tidak terlalu mengerti Alkitab dan ajaran Kristen, kami berpikir yang penting kami sudah datang ke gereja. Tidak apa terlambat daripada tidak datang. Kami sudah melunasi kewajiban kami untuk beribadah.”

Aku mulai memahami apa alasan di balik keterlambatan pasangan suami istri ini. Oh, ternyata itu alasannya.

“Terima kasih sudah berkata jujur kepada kami. Mendengar apa yang tadi bapak sampaikan, kami dengan senang hati ingin menolong. Ada sesi konseling dan kelas pemahaman Alkitab dalam gereja, yang kemungkinan besar dapat menolong mengatasi kesulitan kalian berdua,” saran Pak Pendeta Fardi.

Wajah bapak dan ibu Budiman terlihat sedikit cerah, dan mereka tersenyum bahwa masih ada harapan untuk mereka mengubah kebiasaan buruknya.

Kami berpamitan untuk pergi ke rumah jemaat lain setelah pak Pendeta Fardi mendoakan pasangan suami istri ini. Dalam perjalanan pulang, aku bersyukur Tuhan membuka pikiranku.

Aku harus belajar untuk tidak lagi mudah menghakimi seseorang. Perkataan Mili benar bahwa apa yang terlihat hanyalah fenomena. Selalu ada alasan di balik segala sesuatu. Jika Tuhan saja selalu beri kesempatan bagi manusia untuk bertobat, mengapa aku tidak melakukan hal yang sama? Lalu bagaimana kebiasaan makan mereka? Ah… Mungkin ada alasan lain yang juga belum dibukakan sekarang. Pelan-pelan. Siapa tahu nanti mereka juga bisa berubah.

Aku Pendeta dan Aku Bergumul dengan Depresi

Ditulis oleh Hannah Go, berdasarkan cerita dari Jordan Stoyanoff
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Confessions Of A Pastor Who Wrestles With Anxiety

Aku memulai perjalanan karierku sebagai pendeta muda yang bersemangat, yang punya mimpi mengubah dunia. Aku mau melakukan apa pun yang bisa kulakukan buat Tuhan… tapi di tahun kedua pelayananku, aku bergumul dengan depresi dan kecemasan.

Setiap hari, aku merasa waktuku tidak cukup untuk memenuhi semua tuntutan. Kesibukan makin banyak dan setiap kritik terasa menyengat. Aku tidak bisa berpikir jernih, dan seringkali merasa frustrasi hanya karena hal-hal kecil.

Bebanku terasa makin berat, ditambah lagi beban dari harapan-harapan yang aku sendiri dan orang lain buat untukku. Aku berpikir bagaimana seharusnya aku memperhatikan orang-orang muda yang Tuhan hantarkan kepadaku. Suatu hari nanti aku harus mempertanggungjawabkan bagaimana aku telah membina dan menggembalakan mereka karena kita sedang berurusan dengan kehidupan kekal mereka kelak.


Semua ekspektasi itu membuatku tertekan. Aku mengalami burnout dan kelelahan. Semua harapanku lenyap. Aku tidak bisa membayangkan keadaanku akan membaik. Penderitaan mentalku terlalu besar, sampai-sampai aku merasa satu-satunya jalan keluar adalah mengakhiri hidupku dan segera bertemu Yesus.

Pemikiran itu membuatku kaget sendiri. Padahal selama ini aku menganggap diriku itu orang yang tabah dan kuat, sehingga gulatan perasaan seperti ini sungguh terasa aneh dan tidak nyaman.

Setelahnya, kupikir aku butuh liburan karena aku kelelahan. Mungkin pergi liburan akan menolongku lepas dari stres dan menjernihkan pikiran untuk menyusun rencana ke depan. Aku perlu mencari tahu bagaimana caranya bertahan melayani di pelayanan anak-anak muda, tidak sekadar jadi pendeta yang cuma hadir lalu gagal. Maka aku pun mengambil cuti seperti yang disarankan oleh salah satu mentorku, dan orang-orang di sekitarku yang mengerti pergumulanku.

Tapi, liburan selama satu minggu tidaklah cukup, dan aku tahu itu. Aku harus kembali lagi ke pekerjaanku, berjibaku kembali dengan rutinitas yang menantang. Meskipun ada sesi follow-up setelahnya, itu tidak menyelesaikan masalah utama. Tidak ada seorang pun yang hadir untuk mengajakku bicara terkait masalahku. Aku tetap tampil ‘baik-baik saja’, sementara dalam diriku bergumul hebat.

Semua hal ini membuatku bertanya-tanya. Aku meragukan imanku dan motivasi pelayananku. Di satu titik, semua beban itu bertumpuk dalam kepalaku.

Sebagai pendeta, aku memiliki kemampuan intelektual yang ‘baik’ tentang siapa Tuhan dan apa yang Dia katakan tentang aku. Namun, yang kutemukan setelahnya adalah justru aku tidak memahami diriku sendiri dengan baik, sehingga tidak dapat menerapkan kebenaran tentang siapa aku di hadapan Tuhan. Aku tahu keadaanku cukup sulit, tapi aku masih merasa cukup kuat untuk mengatasinya. Aku tidak menyadari bagaimana dunia di sekitarku mempengaruhiku dan turut berkontribusi menghadirkan pola-pola negatif di hidupku.

Bagaimana konseling menolongku mengatasi pergumulan

Suatu malam, aku berada di titik nadir. Harapan yang ditumpukan orang kepadaku terasa amat berat, dan aku merasa tidak sanggup lagi. Aku diliputi keputusasaan. Aku yakin aku tidak layak mengemban tanggung jawab di hadapanku. Aku lalu pergi ke sofa, dan tidur meringkuk seperti bola. Aku tak bisa berpikir jernih, tak bisa berbuat apa-apa. Kusadari kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Aku butuh bantuan.

Malam itu juga, atas arahan dari salah seorang pendeta, aku pergi menjumpai seorang dokter umum yang memberiku obat dan menyarankan agar aku berkonsultasi dengan psikolog.

Melihat ke belakang, aku merasa tindakan dokter yang segera memberiku obat bukanlah langkah yang tepat. Kadang obat-obatan memang bisa dipakai Tuhan untuk mengatasi masalah, tapi itu bukan solusi sesungguhnya. Kurasa ada banyak dokter di luar sana juga seperti itu, langsung memberi resep obat antidepresan kepada pasien yang belum pernah menjalani psikoterapi. Meski merasakan banyak progres positif, tetapi setelah sembilan bulan mengonsumsi obat, aku berhenti.

Aku memutuskan menemui konselor Kristen karena aku tahu pada intinya, masalah yang kuhadapi adalah masalah spiritual. Aku membutuhkan Yesus untuk mengubah hati dan pikiranku, sebab konselor sekuler hanya akan menolongku mengatasi gejala-gejala klinis dari masalah yang sebenarnya. Aku perlu memahami diriku seperti cara Tuhan melihatku. Aku perlu menemukan identitasku dalam Kristus, bukan dalam berhasil atau gagalnya pelayananku. Aku membutuhkan pertolongan dari sesama orang Kristen.

Hal lain yang juga menolongku (pada tahun-tahun menjelang pernikahanku), adalah bagaimana aku belajar mengasihi seseorang yang juga pernah mengalami depresi dan kecemasan—istriku sendiri.

Istriku pernah melalui tantangan-tantangan mental seperti yang kualami ini sebelumnya, maka aku pun paham bahwa menemui konselor adalah keputusan yang baik. Aku tahu bahwa aku tak perlu menjadi sempurna—karena pada dasarnya memang kita tak bisa sempurna, dan itu tidak masalah. Melihat sendiri bagaimana istriku melewati masa-masa tersebut, memberiku keberanian untuk mencari pertolongan, meskipun aku masih merasa kaget karena tidak pernah terpikir olehku bahwa aku akan mengalami masalah seperti ini juga. Selama proses konseling berlangsung, aku tetap melanjutkan peranku sebagai pendeta sampai beberapa tahun setelahnya.

Menjalani konseling merupakan hal yang paling penting, pertolongan terbesar yang kudapat dalam perjalananku mengatasi kesehatan mental. Konseling adalah tempat yang aman karena segala data dan informasi kita bersifat rahasia. Dari sana, aku mulai mengerti bahwamasalah yang kualami itu berkaitan dengan identitasku, dan kemudian aku melihat bagaimana identitasku itu menentukan apa yang kulakukan. Sebelumnya, aku punya konsep sendiri tentang siapakah aku, bagaimana dunia itu, dan siapakah Tuhan—beberapa konsepku itu tidaklah sejalan dengan perspektif Yesus. Cara pandangku akan realitas tidaklah benar, baik, dan sejalan dengan apa yang Yesus katakan padaku. Aku butuh Yesus untuk menunjukkan kebohongan yang telah kupercaya selama ini, baik secara sadar maupun tidak. Aku butuh percaya kebenaran dari Yesus melebihi apa yang kupikir dan kurasa.

Sesi-sesi konseling menolongku mengurai masalahku. Aku juga mendapat terapi perilaku kognitif Kristiani yang menolongku untuk mengerti apa yang terjadi dalam pikiranku, alasan mengapa aku melakukan sesuatunya, sehingga aku bisa merespons dengan efektif terhadap pikiran-pikiran, perasaan, tindakan, serta melepas konsep yang keliru.

Sebelumnya, aku tak menyadari bahwa iman berkaitan dengan kesehatan mental. Aku tidak sepenuhnya mengerti bahwa identitasku dalam Kristus juga berkaitan dengan masalahku. Sungguh penting mengetahui siapa kita sebenarnya di dalam Kristus.

Pemulihan dari burnout

Pulih dari burnout adalah proses yang panjang, namun aku tetap menjalankan tanggung jawabku sebagai pendeta sampai Tuhan bilang saatnya untuk pindah. Butuh dua tahun untukku beranjak dari posisiku sebagai pendeta ke tanggung jawabku yang sekarang. Semua karena anugerah-Nya saja.

Masih ada momen-momen ketika aku melihat kendala dalam diriku, entah itu kurangnya rasa belas kasihan, bertindak di luar karakterku, atau bergumul untuk lebih tenang. Semua itu memaksaku berhenti dan berpikir: apa keyakinan yang mendasari di sini? Bagaimana aku bisa menyelaraskan diriku dengan kebenaran Tuhan di situasi ini?

Satu hal yang kupelajari tentang menghadapi masalah kesehatan mental di dalam gereja adalah kurangnya kesadaran akan kesehatan mental dari sudut pandang Kristen. Beberapa orang terlalu serius menanggapi persoalan mental orang lain seolah-olah itu penyakit menular, yang akhirnya malah membuat seseorang semakin takut untuk membuka diri. Sikap ini menunjukkan sebuah tembok yang dibangunoleh orang-orang di gereja—tidak mampu untuk secara terbuka berbagi kisah tentangapa yang sedang dialami, dan tak ada orang yang bisa memvalidasi pengalaman mereka.

Di sisi lainnya, aku juga melihat bagaimana orang bisa begitu berempati dan berbelas kasih terhadap mereka yang bergumul, tetapi pada akhirnya malah terlalu banyak menceritakan pengalaman mereka sendiri, yang belum tentu tepat. Pada kasusku, penting untuk tidak merasa kita adalah juruselamat bagi orang lain dan kitalah yang paling bisa menolong. Aku harus melakukan apa yang bisa kulakukan, tapi aku pun harus percaya bahwa pada akhirnya, Tuhanlah yang memelihara mereka.

Pada akhirnya, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Kita tak bisa memaksa mereka yang bergumul dengan masalah kesehatan mental untuk menemui dokter atau konselor. Biarlah mereka sendiri yang memutuskan. Perjalanan menuju pemulihan adalah urusan orang itu sendiri dengan Yesus. Kita sebagai temannya bertanggung jawab menemani dia. Bukan sebagai juruselamat atau ahli kesehatan mental, tapi sebagai kawan.

Pendeta yang Tidak Aku Sukai

Oleh Elvira Sihotang, Balikpapan

Hari itu hari Rabu. Jam sudah menunjukkan pukul 17.35 ketika aku selesai melakukan suatu kegiatan dan tengah memikirkan apakah aku akan ke gereja atau tidak. Ibadah dimulai pukul 18.00 dan sejujurnya, aku masih ingin beristirahat sebentar lagi.

Kuizinkan diriku mengambil waktu 5 menit untuk istirahat sambil berpikir apakah aku perlu ke gereja atau tidak. Sebenarnya ada pilihan mengikuti ibadah secara virtual namun aku sudah melihat realitanya. Berkali-kali kalimat “Ah nanti ibadah virtual aja deh” berujung pada telat mengikuti atau bahkan tidak mengikuti sama sekali. Maka kuputuskan saja bahwa pada ibadah-ibadah berikutnya, baik hari Rabu maupun hari Minggu, aku akan mengikuti ibadah secara luring di gereja.

Tekad itu tampak kuat di awal-awal namun segera berubah ketika aku tahu pendeta yang akan melayani saat ibadah nanti. “Yah, Pdt. X”, ungkap hati kecilku saat itu.

Pernah mengalami kondisi yang sama sepertiku? Aku adalah orang yang motivasi ke gerejanya bisa berubah karena faktor luar, seperti pendeta yang akan melayani, jam ibadah, akan ada siapa saja di gereja, dan lain-lain. Dulu aku merasa bahwa pertimbangan-pertimbangan ini tidak salah. Aku merasa kadang firman Tuhan yang dibawakan oleh pendeta tertentu kurang mampu kupahami, atau kurang masuk dalam pemahamanku. Dengan kata lain, membosankan. Tidak ada selera humornya. Tidak seru, dan kata-kata lain yang serupa.

Dalam perenungan itu, aku merasakan dua suara: suara untuk pergi ke gereja dan suara negosiasi untuk ibadah di rumah. Toh, kamu capek. Emang bisa bersiap-siap dalam waktu 20 menit lagi, padahal belum juga mandi? Memang enak ya persiapan dalam waktu sedikit? Bukannya gak baik ya El, terburu-buru ke gereja? Kalaupun ke gereja juga, memang bakal sesuai ekspektasi ya?

Sebanyak itu suara yang muncul dan sebanyak itulah aku mulai merasa aku menuruti ego-ku. Aku telah mengalami suatu yang serupa di minggu-minggu kemarin dan rasanya tidak ada yang kudapat dengan mengikuti egoku. Oh, ada. Aku mendapatkan kesenangan sejenak. Tidak perlu buru-buru mandi, bisa main HP dulu, dan sebagainya.

Di segala suara-suara yang lebih banyak mendorongku untuk tidak ke gereja, aku memohon agar Tuhan memberikan jawaban atas situasi yang kuhadapi. Aku memohon pada Tuhan untuk memberikan suatu kesadaran akan apa yang kupertanyakan ini. Lalu aku menyadari suatu hal yang sebenarnya sudah sering muncul di situasi serupa di masa yang lalu. Setiap ada niat untuk tidak pergi ke gereja atau beribadah pada jam yang lain, selalu ada suara yang berkata, “Masa ke gereja karena lihat pendeta? Kamu ke gereja untuk bertemu Tuhan atau untuk mengagumi pendeta?” Suara itu kubalas dengan pikiranku yang bertanya:

“Tapi kalau pendeta nya gak bisa menjelaskan dengan baik firman pada hari itu, ga dapat juga dong pesannya. Sia-sia gak sih…”

Yang menurutku, kembali dijawab oleh Roh kudus dalam hatiku dengan, “Tuhan sendiri yang akan membuatmu mengerti, Tuhan yang membuat otakmu berjalan dan memahami maksud Firman Tuhan dengan baik.”

Suara itu terdengar tegas dan menegur. Saat aku mendapatkan kesadaran itu, aku merasakan bahwa pengertian itu rasanya ada dalam Alkitab. Aku tidak mencarinya pada hari itu, dan sampai pada tulisan ini kuketik, aku akhirnya mencoba mengeksplorasi perkataan yang pernah disampaikan kepadaku itu. Dalam 2 Timotius 2:7, dikatakan:

“Perhatikanlah apa yang kukatakan; Tuhan akan memberi kepadamu pengertian dalam segala sesuatu.”

Dalam rasa sadar itu, aku pun segera mandi dan bersiap, secepat mungkin. Aku akhirnya siap pada 17.50, waktu yang sejujurnya membuatku memprediksi bahwa aku akan telat tiba di gereja. Namun, aku sudah setengah perjalanan, aku sudah mendapat kesadaran. Maka kuputuskan untuk pergi dan berharap yang terbaik. Jika memungkinkan, semoga bisa kutempuh dalam waktu 10 menit, walaupun aku sudah sering mengukur bahwa biasanya perjalananku dari rumah ke gereja memakan waktu 15 menit.

* * *

Aku tiba di gereja dan mengintip bahwa ibadah sudah dimulai dan aku mengecek HP-ku. Pukul 18.05. Telat, tapi aku sudah mengantisipasinya. Untungnya, jemaat sedang dalam posisi berdoa ketika aku masuk. Sesudahnya, aku mengikuti ibadah seperti biasa, bernyanyi dan berdoa, sebelum akhirnya Pendeta mengambil ahli mimbar untuk berkhotbah.

Satu kesadaran masuk lagi, “Kalau mau mendengar khotbah, posisikan dirimu seperti gelas yang kosong. Kamu sering gak ngerti karena apa yang dikatakan oleh Pendeta sering kamu pertanyakan dengan pengetahuan yang sudah kamu miliki.”

Aku kemudian mencoba mengikutinya. Gelas kosong. Tidak ada isinya dan siap untuk diisi.

Tahu apa yang terjadi?

Rasanya seperti click. Pendeta yang sebelumnya menurutku tidak memiliki gaya yang baik dalam menyampaikan pesan di Alkitab mengeluarkan setiap kata per kata yang kubutuhkan pada hari itu, menguatkanku, memberikan pemahaman baru atas persoalan yang saat itu tengah kuhadapi, dan bahkan menyadarkanku akan hal-hal yang selama ini tidak kusadari atau coba kusangkal.

Benar kalau beberapa kali, ada beberapa menit di pertengahan khotbah ketika kata-kata pendeta itu terlewat, aku merasa hampir tenggelam lagi dalam pikiranku. Namun, karena aku memposisikan diriku sebagai gelas yang kosong, aku dengan lebih mudah kembali fokus pada khotbah dan tidak bertanya-tanya atas apa yang sudah aku ketahui sebelumnya tentang topik yang dikhotbahkan oleh Pendeta itu.

Sampai pada khotbah ditutup dan tiba waktunya hampir pulang, aku menggumamkan ucapan terima kasih pada Tuhan sambil sedikit menangis, percaya bahwa keputusanku untuk datang ke gereja pada saat itu adalah satu keputusan baru yang benar.

Beberapa minggu belakangan, hidupku terasa seperti terguncang akibat keputusan yang salah. Tidak satu hari terlewat tanpa aku mempertanyakan bahwa apakah Tuhan kecewa padaku, apakah aku masih mendapat kesempatan kedua, dan hal-hal bernada frustrasi lainnya. Hingga aku pun kadang bertanya apa aku masih bisa memutuskan dengan benar untuk hal-hal yang ada di depanku? Karena jujur, keputusan salah yang kadang masih aku sesali terasa besar dan aku takut itu berdampak besar padaku, dalam hal negatif tentunya.

Perjalananku berdamai dengan penyesalan mungkin akan kuceritakan di lain waktu, tapi saat itu, saat aku selesai ibadah dan keluar dari gereja, aku merasakan ketenangan—semacam campuran perasaan tenang, berserah, dan kekuatan untuk melangkah ke depan.

Pengalamanku ini tentu dapat menjadi momen refleksi bagi teman-teman semua. Aku belajar bahwa mengasihi dan menghormati Tuhan itu sangat luas. Dulu aku kira hal itu sebatas pada bersikap baik dan sopan pada keluarga, teman sekitar, dan orang-orang yang kelihatannya ‘kecil’. Namun, lewat pendeta yang tidak jadi pilihan prioritasku ketika aku datang ke gereja, mengasihi Tuhan juga berarti menghargai, tidak memandang remeh seseorang yang sudah ditunjuk Tuhan. Percayalah, setiap orang, yang bahkan rasanya tidak kita anggap penting, bisa mengajarkan hal yang baik jika diperkenan Tuhan. Sama seperti pendeta itu yang khotbahnya menolongku di tengah pergumulan.

Dan tentu, ujilah niatmu. Jika pada awalnya aku ingin beribadah untuk bertemu Tuhan dalam kondisi yang layak (tidak terdistraksi oleh notifikasi HP, tidak sambil jalan-jalan dan mendengarkan khotbah sambil ngemil ketika ibadah online), maka satu pengecoh seperti pemikiran akan siapa pendeta yang melayani, seharusnya tidak menjadi masalah untukku.

Baca Juga:

Cerpen: Kapan Nikah?

”Coba pegang kepalaku! Panas, kan? Lis, bayangin! Aku harus menghadiri 6 pernikahan tahun ini. Bayangkan minimal 6 kali. Sepertinya semua orang menikah.

Apakah Kamu Merasa Pelayananmu di Gereja Tidak “Sukses”?

Oleh Leslie Koh
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Are You “Unsuccessful” In Church?

Kamu aktif melayani di gereja. Kamu hadir setiap Minggu pagi, datang lebih awal untuk menata bangku dan menyiapkan peralatan kebaktian, atau kamu menjemput jemaat-jemaat yang renta dari rumah mereka, lalu mengantarnya hingga mereka duduk di tempat biasa mereka di ruang ibadah.

Atau, pelayanan yang kamu lakukan secara pribadi adalah mendengarkan curhatan para remaja atau menghibur para lansia. Jadi, setiap minggunya sehabis ibadah, kamu mengobrol dengan mereka sembari menyeruput segelas teh. Kamu mendengar keluh kesah mereka, lalu berdoa bersama mereka. Dan, selama bertahun-tahun, mereka selalu datang padamu, satu per satu, untuk mengucap terima kasih dan memberitahumu betapa kamu berarti buat mereka.

Tapi, tak ada seorang pun yang tahu pelayananmu ini. Namamu tidak muncul di daftar ucapan terima kasih di buletin gereja. Ketika gerejamu mengangkat diakon dan pemimpin baru, kamu tidak masuk di antaranya. Ketika gerejamu menyebutkan nama-nama orang yang telah berjasa, namamu tak muncul pula. Sedikit orang menyapamu dengan memanggil namamu. Entahlah, padahal hampir semua orang sebenarnya tahu siapa namamu.

“Nggak apa-apa,” kamu memberitahu dirimu sendiri. “Tuhan tahu. Aku tidak butuh untuk dikenal; adalah baik untuk tetap rendah hati.”

Namun, mungkin tak selamanya kamu kuat. Setiap orang agaknya membutuhkan sekadar tepukan di punggung mereka, entah sekarang atau nanti. Tak dipungkiri, tentu ada masa-masa ketika kamu lelah; kamu merasa seolah dianggap remeh, dan sedikit pujian atau ucapan terima kasih tentu tak akan menyakitimu. Kamu tidak cemburu karena orang lain yang mendapat pujian atau ketenaran (sungguh!), tapi kamu merasa cukup lelah karena melakukan segalanya tanpa ada sedikit pun apresiasi.

Hei, kita semua sebenarnya “sukses” dalam pelayanan kita di gereja (atau juga di pekerjaan kita). Tapi, sepertinya, cara “sukses” itu bukan sesuatu yang kita nikmati.

Alkisah ada seorang pria yang pergi ke pantai untuk mengambil bintang-bintang laut yang terdampar di pasir. Dia lalu melemparkan satu per satu bintang laut itu ke laut. Seseorang lantas bertanya, “Bagaimana caranya kamu bisa menyelamatkan semua bintang laut ini? Terlalu banyak!” Dia menjawab, “Iya, susah tentunya, tapi aku memberi perbedaan untuk satu bintang laut ini.” Pelajaran umum yang bisa dipetik adalah: kita mungkin tidak mampu menyelamatkan semua orang, tapi kita bisa menyelamatkan satu orang, pada satu waktu.

Bagus. Tapi, inilah masalahnya: Tahukah kamu nama pria itu?

Kamu tentu tidak tahu. Tidak ada satu orang pun yang tahu. Dia tidak disebutkan di buletin gereja atau dipuji dalam sesi pengumuman di ibadah Minggu. Pendeta di gerejanya bahkan tak tahu namanya. Tapi, bagi setiap bintang laut yang dia lemparkan kembali ke laut, dia adalah juruselamat sejati. Tiap bintang laut itu tentu tahu siapa dia. Siapakah dia? Dialah si Pemungut Bintang Laut!

Dan itulah siapa dirimu. Hanya mereka yang kamu tolong yang mengetahuimu. Seorang perempuan yang kamu hibur ketika hatinya remuk. Seorang pria tua yang kamu tolong menaiki tangga setiap minggu. Bagi mereka, kamu adalah dunianya, karena kamulah satu-satunya yang peduli. Orang banyak mungkin tak tahu namamu, tapi mereka tahu. Kamulah “pemungut bintang laut” bagi mereka.

“Tapi, aku cuma menolong lima orang saja,” katamu. Mungkin itulah yang membuatmu berpikir kenapa sedikit orang di gereja yang menyadari pelayananmu. Tetapi, tak peduli lima orang—dua, atau satu—orang yang kamu layani, kamu adalah rahmat dari Tuhan. Di malam hari mungkin mereka mengucap syukur pada Tuhan atas kehadiranmu dalam hidup mereka. Mengapa? Karena kamulah ‘pemungut bintang laut’nya Tuhan.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Kristus dan Liverpool: Pengikut Sejati atau Penggemar Belaka?

Cukup lama Liverpool puasa gelar dan tak selalu aku menggemarinya. Padahal, aku mencap diriku sebagai fans Liverpool. Aku pun terpikir, bagaimana dengan mengikut Kristus? Apakah aku sekadar penggemar atau pengikut-Nya sejati?

Setelah Jarrid Wilson Bunuh Diri: Ke Mana Kita Melangkah Selanjutnya?

Oleh Josiah Kennealy
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Losing Jarrid Wilson: Where Do We Go From Here?
Foto diambil dari akun Instagram Jarrid

Jarrid Wilson adalah seorang pendeta di Amerika Serikat. Dia juga melayani sebagai advokat kesehatan mental. Pada 9 September 2019 dia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Beberapa tahun lalu, aku dan Jarrid Wilson diundang ke acara yang sama dan setelah acara itu usai, kami jadi berteman. Kami mengobrol lewat chat dan saling mendukung satu sama lain. Karena kami sama-sama melayani sebagai pendeta, kami punya banyak kesamaan. Setiap interaksi dengannya selalu membangkitkan semangat.

Hari Senin malam beberapa minggu sebelumnya, kami baru saja mengobrol lewat chat. Dia menutup diskusi kami dengan berkata, “Aku mengasihimu”. Setelahnya aku menulis di Twitter tentang bagaimana dia dan rekan-rekanku lainnya memberkati media sosial dan menjadikan dunia di sekitar mereka lebih baik. Dia membalas tweetku, “Aku mengasihimu”.

Itu adalah kata-kata terakhir yang dia kicaukan di Twitter.

Mengetahui fakta yang terjadi beberapa jam setelah kami berdiskusi membawaku ke dalam kesedihan, syok, kebingungan, dan tidak percaya.

Jarrid WIlson, seorang suami dari istri yang cantik dan ayah dari dua anak lelaki, seorang pendeta yang dikenal baik, penulis, rekan dari banyak orang, mengakhiri hidupnya dengan tiba-tiba dan tragis.

Seminggu belakangan ini aku tidak banyak berkata-kata, pun aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Saat aku menulis tulisan ini, aku merasa tidak memenuhi syarat untuk menuliskan sesuatu yang berharga, tetapi aku mau mencoba untuk memendarkan cahaya dan berbagi harapan.

Aku pun seorang pendeta, dan aku pernah mendatangi seorang konselor untuk kesehatan mental dan emosi. Aku juga pernah mendatangi dokter tulang untuk mengobati sakit tulang belakangku. Setelah kematian bunuh diri pamanku, aku menderita sakit kepala selama tiga tahun. Aku tahu benar rasa sakit yang tak terlihat dari luar namun begitu nyata di dalam—ini tidak ada bedanya dengan depresi.

Jadi, ke mana kita melangkah setelah ini?

Marilah kita jujur. Kita sebagai gereja tidak bisa berdiam di sini lebih lama lagi. Seiring aku bergulat dengan berita tragis kematian Jarrid, inilah beberapa refleksi yang kudapat selama seminggu ini. Kita perlu beranjak dan melangkah:

Dari menghindar ke mengatasi

Bukanlah hal yang baik bahwa 800 ribu orang setiap tahunnya meninggal karena bunuh diri (data dari WHO). Di antara remaja dan dewasa muda, bunuh diri adalah salah satu penyebab kematian terbanyak dan ini seharusnya tidak dapat kita terima.

Tapi, membicarakan kesehatan mental di gereja seringkali dianggap tabu, dihindari, dan disalah mengerti. Ayo katakan selamat tinggal pada anggapan ini. Secara individu maupun kelompok, kita sebaiknya memiliki kemauan untuk memulai percakapan atas isu-isu yang rentan, seperti yang Jarrid lakukan.

Melakukan ini bisa diwujudkan dalam banyak cara, tetapi sebagai langkah awal kita perlu menyadari “It’s okay” untuk membicarakannya. Mungkin tidak ada seorang pun yang memberimu izin untuk mengatakan kalau kamu sedang tidak baik-baik saja, tapi aku mau kamu tahu bahwa sama sekali tidaklah bermasalah untuk jujur akan keadaanmu. Kamu mungkin akan diberondong banyak pertanyaan—tentunya. Tapi, tidaklah masalah pula untuk mengakui kalau kita tidak punya jawaban untuk semua pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang hidup.

Kita perlu berkhotbah lebih banyak tentang kekhawatiran, kesehatan mental, dan depresi; kita perlu membicarakannya di dalam kelompok kecil, pertemuan pemuda; atau di obrolan santai sambil minum kopi atau teh dan membagikan bagaimana perjuangan kita pada seorang teman. Alkitab punya cerita, pedoman, dan jawaban mengenai hal-hal ini. Kita bisa bersandar dan membahas topik-topik di dalamnya.

Seiring kita mulai membiasakan diri berdiskusi tentang kesehatan mental dan kesejahteraan hidup secara utuh, kamu akan melihat bahwa kamu bukanlah satu-satunya orang yang berjuang. Ada banyak orang yang juga menghadapi kekhawatiran, depresi, dan pikiran-pikiran gelap. Dan, bagian dari rancangan Allah bagi gereja adalah untuk saling mendukung satu sama lain dan menolong di masa-masa sulit.

Dari mengurung diri ke membuka diri

Survey terbaru dari lembaga riset Barna menunjukkan mayoritas pendeta tidak punya seseorang yang bisa mereka panggil sebagai teman. Baru beberapa minggu lalu, Barna Group juga memublikasikan riset tentang anak muda. Hanya sepertiga dari manusia yang berusia 18-35 tahun (dari berbagai negara) mengetahui bahwa ada seseorang yang sesungguhnya peduli akan mereka. Artinya, 66 persen orang dewasa muda tidak menyadari kalau mereka dipedulikan dan dikasihi.

Iblis ingin orang Kristen percaya kebohongan bahwa mereka adalah satu-satunya orang yang berjuang dan pemikiran ini ujung-ujungnya akan membawa seseorang pada keadaan mengurung diri. Kita perlu memberi tahu orang-orang di sekitar kita bahwa mereka sungguh berarti buat kita. Kita bisa memulainya dengan mengirimi chat, ataupun menelepon seseorang yang kita kasihi dan bertanya apakah ada sesuatu yang butuh ditolong darinya. Memberi diri untuk mendengar dan hadir adalah hal terbesar yang bisa dipersembahkan seorang teman. Pendetamu juga butuh dorongan dan doa darimu, lebih daripada yang kamu bayangkan.

Tergabung dan terhubung ke dalam komunitas gereja lokal dan memiliki pertemanan yang saleh tidak menyembuhkan segalanya, tetapi itu pasti menolongmu mengatasi kesendirian. Tuhan menciptakan Hawa untuk Adam karena sejak semula Tuhan berkata tidaklah baik apabila manusia itu hidup seorang diri saja (Kejadian 2:18)! Tuhan Yesus pun hidup bersama 12 murid-Nya selama tiga tahun. Gereja mula-mula di Kisah Para Rasul bertambah banyak anggotanya karena setiap orang ingin menjadi bagian dari komunitas yang saling berbagi ini, komunitas yang tumbuh bersama, makan bersama, berdoa bersama, mempelajari Alkitab dan membagikan kebaikan dengan saling memperhatikan (Kisah Para Rasul 2:42-47).

Ayo ambil langkah untuk terhubung dengan teman atau komunitasmu hari ini!

Dari putus asa ke harapan

Tuhan tidak pernah meninggalkanmu, meskipun kamu tidak merasakan kehadiran-Nya. Kamu tidak pernah ditelantarkan sendirian. Lihatlah ke atas bukit-bukit, di sanalah datang pertolonganmu yang berasal dari Yesus. Tuhan Yesus dekat kepada mereka yang patah hati. Dia akan mengusap setiap air mata. Kamu dapat bersandar dan percaya kepada janji-janji-Nya.

Aku pernah putus asa, tetapi Tuhan mengangkat pandanganku. Dia mengubah kesedihan terbesarku menjadi sukacita. Dia membuang kekecewaanku dan menggantinya dengan damai yang baru. Aku masih dalam perjalanan, aku masih berproses. Aku percaya dengan segenap hatiku harapanku ada selama aku ada bersama dengan Yesus, seperti yang Yohanes 15 katakan.

Selama seminggu, pasal ini menolongku mengalami pemulihan, pertolongan, dan harapan. Yesus mengajarkan, “Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar” (Yohanes 15:6). Buatku, dan buat setiap kita, ini adalah janji: kita tidak bisa melakukan apa-apa di luar Yesus. Namun, jika kita terhubung selalu dengan-Nya, kita bisa dan akan melakukan banyak hal.

Bersandar pada Yesus, orang yang kita kasihi, komunitas orang saleh dan sumber-sumber daya lain yang bermanfaat adalah langkah-langkap penting yang kita butuhkan untuk kita melewati hari-hari kita.

Dan akhirnya, aku ingin mengatakan hal ini:

Kepada Jarrid – Aku mengasihimu. Aku berharap seandainya aku bisa membalas pesanmu lebih cepat dan kita bisa mengobrol lebih lama. Aku amat sedih atas keputusan yang kamu buat. Aku mendoakan keluargamu. Aku mengingatmu lewat suaramu untuk orang-orang yang putus asa, rekan-rekanmu, kasihmu kepada Tuhan, keluarga, dan semua orang. Kami menghormatimu dengan mengenakan jubah kepemimpinan yang telah kamu bawa dengan baik untuk sekian lama. Terima kasih atas keberanianmu mengungkapkan perjuanganmu.

Kepada Juli dan anak-anak lelakinya – Kami sangat mengasihimu. Belasungkawa, doa, dan dukungan kami ada untukmu dan keluargamu. Kami ada di sini untukmu. Aku percaya Yesus akan memeliharamu. Aku mendoakan kiranya damai, kekuatan, dan anugerah ada bersamamu sekalian.

Kepada orang-orang yang mengenal Jarrid – aku menerima banyak pesan dan telepon dari teman-teman yang juga mengeal Jarrid. Pertemanan jadi begitu nyata ketika kita bisa berdiskusi sambil ngopi ataupun mengobrol lewat chat. Seiring kita menghadapi duka kehilangan ini, kiranya kita bisa lebih dekat daripada sebelumnya.

Kepada para pendeta – kamu membutuhkan hobimu, teman-temanmu, istirahat dari teknologi. Kamu mengotbahkan tentang pentingnya komunitas, dan sekaranglah waktunya untuk menghidupi itu. Mengakui jika kamu perlu pergi menemui dokter, therapis, atau konselor Kristen bukanlah dosa dan itu bukanlah tanda kelemahan—itu keberanian. Yesus dideskripsikan sebagai seorang muda dalam Lukas 2:52. “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia”. Artinya, Yesus bertumbuh secara mental, fisik, spiritual, juga relasi-Nya dengan orang lain. Marilah kita mengejar kesehatan, kesejahteraan, istirahat, dan keutuhan di setiap area kehidupan kita.

Kepada setiap orang – kita semua akan menghadapi masa-masa sulit, tetapi selalu ada pertolongan, selalu ada pemulihan, dan tentunya juga harapan. Bertahanlah, ada harapan yang besar. Dalam kehidupan selalu ada naik dan turun, gunung dan lembah, gurun dan oase, badai dan ketenangan.

Kamu perlu mengetahui bahwa kamu tidak sendirian di dalam setiap momen-momen hidupmu. Yesus berkata dalam Yohanes 16:33, “Semuanya itu Kukatakan kepadau, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatmu, Aku telah mengalahkan dunia”. Marilah kita sepakat untuk menolong satu sama lain tiba di level pemahaman yang baru ketika kita membicarakan kesehatan mental. Bunuh diri tidak pernah menjadi jawaban.

Doaku adalah kita semua bisa lebih berani membicarakan topik tentang kesehatan mental dan kita mampu melihat orang-orang dengan pandangan yang berbeda. Tidak peduli seberapa baik penampilan orang di luarnya, mungkin saja ada sesuatu yang mereka gumulkan di dalam. Izinkan mereka yang paling dekat dengan kita mengetahui betapa kita mengasihi mereka, dan betapa mereka berarti buat kita tak peduli apapun musim yang sedang mereka hadapi.

Ayo kita tunjukkan kasih dan empati kita.

Baca Juga:

Menghidupi Kepemimpinan dalam “Tubuh Kristus”

Sobat muda, bagaimanakah sistem kepemimpinan di gerejamu? Di artikel ini, teman kita, Ari Setiawan mengajak kita untuk menyelediki model kepemimpinan apa sih yang sesuai dengan teladan Yesus. Yuk kita simak artikelnya.

Menghidupi Kepemimpinan dalam “Tubuh Kristus”

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Buat kita yang mungkin pernah melihat atau mengikuti akun satire seperti @gerejapalsu @pastorinstyle atau @jemaat_gerejapalsu, kita akan merasa geregetan dengan pembahasan para mimin tentang para pastor atau pendeta masa kini. Salah satu pembahasan yang heboh ialah petisi yang dibuat oleh Hanzel Samuel, dengan tudingan bahwa persembahan dan perpuluhan di tempat ia beribadah dipakai untuk keperluan sang pendeta. Dalam petisi tersebut, ia menuntut adanya audit keuangan gereja-gereja besar di Indonesia. Hal ini bahkan dibahas dalam berita online.

Di luar kepentingan untuk mengadili apakah sosok pastor atau pendeta yang diangkat oleh akun-akun satire tersebut benar atau salah dalam melaksanakan kepemimpinan gereja, sebenarnya model kepemimpinan seperti apa sih yang sesuai dengan teladan Yesus?

Aku menemukan satu uraian yang menarik dari Pdt. Joas Adi Prasetya* tentang model kepemimpinan yang bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sebagai umat Kristen, juga dalam kehidupan bergereja.

Kita yang saat ini sedang aktif pelayanan di gereja, memimpin kelompok tumbuh bersama, ataupun memimpin organisasi kerohanian di sekolah atau kampus juga perlu memahami hal ini.

* * *

Aku rasa banyak dari kita yang pernah berada dalam suatu kelompok dengan pemimpin yang otoriter, semena-mena, selalu menyalahkan anggota kelompok, dan hanya ingin menang sendiri. Apakah yang kita rasakan? Tentu kita sebal, bahkan mungkin benci terhadap sifat negatif tersebut. Tidak hanya dalam kelompok, kita juga mungkin merasakan kekesalan yang sama ketika berada di organisasi besar seperti gereja. Sifat “tangan besi” dari pemimpin gereja tidaklah disukai. Perlu digarisbawahi bahwa kita mungkin membenci sifatnya, tetapi harus tetap mengasihi orangnya.

Sifat “tangan besi” yang hadir dalam gereja dikenal sebagai model kepemimpinan-tuan (bahasa Yunani: kyriarki). Model ini menggambarkan sifat dari pemimpin yang ingin berada di puncak piramida organisasi gereja, berkuasa atas jemaat maupun aktivis dan pengurus gereja lain. Hal ini pun pernah terjadi ketika Yakobus dan Yohanes meminta posisi khusus di sebelah kanan dan kiri Yesus kelak saat Yesus dipermuliakan (Markus 10:35-41). Tentu sifat ini menggambarkan bahwa Yakobus dan Yohanes ingin berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan murid-murid Yesus lain.

Narasi pun bergulir dengan jawaban Yesus dalam ayat 43, “Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.”

Pernyataan Yesus tersebut menentang model kepemimpinan-tuan dengan sebuah usulan tandingan, yaitu model kepemimpinan-hamba (bahasa Yunani: doularki). Model ini berangkat dengan harapan bahwa pemimpin seharusnya melayani dan mengayomi orang lain, bukan mencari kuasa.

Model kepemimpinan-hamba ini kerap diperdengarkan dalam gereja, dan status “pelayan” Tuhan dan gereja tersebut ditampilkan terus menerus. Namun, pada praktiknya, sang “pelayan” justru minta diperlakukan khusus karena telah melayani. Sikap seperti ini dapat ditemui pada diri segelintir pastor maupun pendeta yang menyatakan dirinya telah melayani Tuhan dan gereja, sehingga mereka pun meminta hak istimewa, seperti barang-barang branded, mobil mewah, rumah megah, dll. Mungkin kita juga pernah seperti itu, mengaku diri kita telah “melayani” dalam gereja ataupun persekutuan, dengan syarat harus ada konsumsi ataupun uang bensin.

Dalam ketegangan antara model kepemimpinan-tuan dan kepemimpinan-hamba di kehidupan bergereja, tentu kita perlu berefleksi kembali pada Yesus. Memang benar bahwa secara organisasi, beberapa gereja dipimpin oleh pastor ataupun pendeta. Namun, sebagai orang Kristen, Yesus merupakan Kepala Jemaat, pemimpin hidup kita. Sebagai pemimpin, Yesus juga menyatakan dirinya sebagai pemimpin yang bersahabat seperti tertulis dalam Yohanes 15:15, “Aku tidak lagi menyebut kamu hamba karena hamba tidak tahu apa yang dilakukan oleh tuannya. Akan tetapi, Aku menyebut kamu sahabat karena semua yang Aku dengar dari Bapa, telah Aku beritahukan kepadamu.”

Model ideal ini menggambarkan kepemimpinan sahabat (bahasa Yunani: filiarki), sebuah kepemimpinan yang setara. Tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi di antara pemimpin dan yang dipimpin. Yesus meneladankan model kepimpinan ini dengan menebus kita dari dosa. Setelah ditebus, status kita bukan sekedar hamba, pengikut, ataupun murid dari Sang Penebus. Lebih dari itu, Yesus mengangkat derajat kita menjadi sahabat-Nya.

* * *

Model kepemimpinan-sahabat bukan sekadar wacana yang dilontarkan Tuhan Yesus secara sembarangan. Sebagai tubuh Kristus, tentu saja kita bisa menerapkannya dalam kehidupan di organisasi apapun. Model kepemimpinan bisa dilakukan oleh kita semua, tanpa harus menjabat sebagai pemimpin organisasi. Justru, model ini menjadi efektif apabila dipahami bersama-sama oleh seluruh anggota komunitas. Ada tiga hal yang perlu dimaknai untuk menghidupi kepemimpinan dalam tubuh Kristus.

1. Kesetaraan

Setiap pribadi berbeda mengemban tugas dan fungsi yang berbeda, tetapi semuanya setara dan sama pentingnya. Anggap saja dalam suatu peribadatan, terdapat berbagai individu dengan perannya masing-masing. Ada pendeta, liturgos/worship leader, pemandu pujian, pemusik, petugas multimedia, pemimpin liturgi, dll. Bayangkan jika dalam menjalankan perannya, seseorang merasa dirinya harus lebih besar dari yang lain: pemusik merasa dentuman musiknya harus nampak keras yang berakibat suara pemandu pujian terdengar lebih sayup, liturgos/worship leader merasa keinginannya harus dituruti untuk mengulang bagian lagu secara mendadak sehingga pujian menjadi kacau, ataupun pendeta yang tiba-tiba mengubah tema sebelum ibadah dimulai dan memaksa lagu yang sudah disiapkan harus diubah. Kacau balau, bukan? Dari ilustrasi tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam setiap kepelbagaian tugas dan fungsi yang diemban, setiap bagian dari organisasi perlu memaknai kesetaraan dengan bijak.

2. Keterbukaan

Setiap komunitas tentunya memiliki identitas yang berbeda-beda. Yang membedakan kita yang telah menerima rangkulan persahabatan Kristus dengan komunitas lain adalah keterbukaan, yang mengundang seluruh ciptaan masuk ke dalam komunitas ilahi tersebut. Hal ini pun ditunjukkan oleh Yesus yang dalam kehidupan pelayanannya. Komunitas murid Yesus tidak terbatas pada 12 orang saja! Dalam kitab Lukas tercatat bahwa Ia memiliki 70 murid, dan kitab Matius menyatakan bahwa Yesus merupakan sahabat dari pemungut cukai dan orang berdosa.

Menjadi komunitas Kristiani yang terbuka merupakan wujud penerapan model kepemimpinan-sahabat Kristus. Kita memiliki peluang besar untuk menerapkan keterbukaan dalam “tubuh Kristus” di tengah-tengah bangsa kita yang beragam. Ketika bertemu orang-orang baru dengan karakter yang berbeda, stigma negatif harus kita buang jauh-jauh. Sebaliknya, kita harus menunjukkan keramahtamahan sebagai sambutan hangat.

3. Menarik dan Memberi Kehidupan

Seperti yang Yesus katakan dalam Yohanes 12:32 “Dan, jika Aku ditinggikan dari dunia ini, Aku akan menarik semua orang kepada-Ku,” Yesus ingin setiap insan mengenal kasih-Nya. Keinginan tersebut bukanlah sekadar omong kosong, Ia mewujudnyatakan keinginan-Nya dengan mengasihi. Tertulis pada Yohanes 15:13, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seseorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”

Mungkin sebagian komunitas Kristiani bermimpi agar komunitas atau gerejanya memiliki jumlah anggota yang banyak, hingga mencapai ribuan bahkan jutaan jiwa. Namun, Yesus bukan sekadar menginginkan kuantitas anggota dari komunitas, melainkan kualitas pengenalan akan kasih-Nya yang semakin mendalam. Lebih dari sekadar sibuk di dalam komunitas, Yesus ingin kita menerapkan kepemimpinan-sahabat di luar komunitas kita. Ia rindu melihat kita menyatakan kasih persahabatan kepada lingkungan sosial kita, dengan segala ragam konflik yang terjadi.

* * *

Kita semua adalah bagian dari “tubuh Kristus”. Lebih dari sekadar pemegang jabatan dalam komunitas Kristiani, kita adalah sahabat Kristus yang diajak menerapkan model kepemimpinan-sahabat. Kristus sebagai pemimpin hidup kita telah menunjukkan kasih-Nya dan mengangkat kita sebagai sahabatnya, maka sudah seharusnya kita juga menghidupi kasih-Nya—kepada orang-orang yang ada dalam komunitas kita serta kepada seluruh ciptaan.

*Joas Adiprasetya adalah pendeta jemaat GKI Pondok Indah, Jakarta, yang ditugasi secara khusus menjadi dosen penuh waktu di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta untuk bidang Teologi Konstruktif. Tulisan ini mengulas makalah “Memimpikan Sebuah Gereja Persahabatan” yang disampaikan dalam Pembinaan Penatua GKI Klasis Jakarta Satu, di GKI Kelapa Cengkir, Jakarta, 6 April 2019.

Baca Juga:

Memandang Salib Yesus, Aku Belajar Mengampuni

“Jangan menyimpan kesalahan orang dalam hati,” agaknya kata-kata ini mudah diucapkan tapi sulit dipraktikkan. Pernahkah kamu bergumul akan hal ini juga, sobat muda?

4 Pergumulan yang Mungkin Dihadapi oleh Pendeta Gerejamu Lebih Daripada yang Kamu Pikirkan

Oleh Jacob Ng*, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Ways Your Pastor Might Be Struggling More Than You Think

*Jacob adalah seorang hamba Tuhan di Redemption Hill Church, Singapura, juga seorang suami bagi Yvonne, dan ayah bagi Jed dan Justus. Jacob kagum dan bersyukur bahwa Tuhan melayakkannya mengemban tanggung jawab ini. Dia berjuang untuk mengasihi Tuhan dengan cara menikmati dan mengucap syukur atas setiap anugerah yang Tuhan berikan kepadanya setiap hari.

Ketika berita mengenai bunuh diri pendeta Andrew Stoecklein dari Gereja Inland Hills di Amerika merebak, seorang temanku mengirimiku pesan. Dia merasa khawatir akan keadaanku. Dalam pesan itu, dia mengapresiasi kerjaku dan bertanya bagaimana kabarku. Apa yang temanku lakukan ini kupikir adalah tindakan yang baik, yang dipicu oleh rasa kaget yang juga dialami oleh banyak orang lainnya di dunia. Bagaimana mungkin seorang pendeta yang terlihat “baik-baik saja”, ternyata merasa sangat tertekan akibat beban pelayanan pastoral dan pergumulan pribadinya hingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Kita hidup di zaman yang menjunjung celebrity culture, di mana kita semua memiliki kecenderungan untuk memberi perhatian lebih kepada orang-orang yang bertalenta, yang dikenal baik, dan yang punya pengaruh. Di dalam konteks gereja, orang-orang Kristen pun melakukan hal itu. Kita menghormati pemimpin yang berdedikasi dan berbakat, tetapi rasa hormat ini seringkali berkembang menjadi gambaran-gambaran yang tidak realistis. Kenyataannya adalah, pendeta merupakan manusia yang tak sempurna—lemah, dan bisa berbuat salah seperti manusia umumnya.

Injil yang disampaikan oleh para pendeta adalah juga Injil yang mereka butuhkan dan andalkan setiap harinya. Tidak peduli seberapa lama kita menjadi orang Kristen, setiap kita—pendeta atau bukan—selalu membutuhkan dukungan dari sesama anggota tubuh Kristus hingga tiba harinya ketika kita memasuki kemuliaan Tuhan.

Kamu mungkin terkejut, tetapi inilah empat kemungkinan yang mungkin pendetamu sedang gumulkan lebih dari apa yang kamu pikirkan.

1. Kebanggaan dan kepercayaan pada diri sendiri

Banyak pendeta bergumul dengan ekspektasi yang diberikan oleh orang-orang yang mengaguminya—dan mereka berusaha keras untuk memenuhi semua ekspektasi tersebut. Jika dilihat lebih dalam, mungkin mereka melakukan itu karena digerakkan oleh kebutuhan akan penerimaan, atau takut mengecewakan orang lain. Sayangnya, para pendeta bisa sulit menyadarinya karena pergumulan yang menimbulkan rasa gelisah itu berakar pada harga diri dan kepercayaan pada diri sendiri. Suatu tindakan yang awalnya dimulai dari keinginan tulus untuk melayani gereja tanpa pamrih, seiring berjalannya waktu dapat berubah menjadi hal yang digunakan untuk menilai diri sendiri. Beban dari pemikiran “semuanya bergantung padaku” bisa sangat menghancurkan.

Sebagai anggota gereja, adalah penting bagi kita untuk melihat pendeta kita sebagai orang yang “memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Efesus 4:12-13). Meskipun bukan hal yang salah untuk menghargai dan menghormati pendeta, kita harus memiliki pemahaman bahwa pelayanan mereka bukan untuk menuntun kita kepada mereka, tetapi kepada Kristus.

2. Pernikahan dan keluarga

Suatu kali, ada seseorang mengutarakan pendapatnya kepada istriku. Katanya, betapa diberkatinya istriku karena menikahi seorang pendeta. Kami berdua lalu tertawa. Aku berpikir, andai saja mereka mengetahui kekurangan-kekurangan kami dan bagaimana kami bergumul dalam masalah-masalah pernikahan sehari-hari seperti halnya yang orang lain juga alami.

Aku pernah berbincang dengan cukup banyak pendeta dan dari sinilah aku tahu bahwa memimpin sebuah gereja bisa jadi lebih mudah daripada mengurus keluarga kita sendiri dengan baik. Aku bisa menggunakan kemampuan aktif mendengarku dengan baik ketika seseorang menghampiriku di kantor gereja, tetapi di ujung hari aku berjuang untuk melakukan hal yang sama kepada istriku. Meskipun aku yakin 100 persen dalam hatiku bahwa istri dan anak-anakku adalah orang yang paling kusayangi, tindakanku seringkali menunjukkan hal yang sebaliknya. Contohnya, pernah terjadi masa-masa di mana aku mengorbankan waktuku untuk keluarga demi pelayanan. Bahkan, ketika aku secara fisik sedang berada dengan keluargaku, pikiranku bisa saja berada di planet lain.

Selama beberapa tahun belakangan, aku bersyukur atas istriku yang menerimaku pada masa-masa terburukku, yang bahkan masa itu tidak aku sadari. Kami telah menangis, berdoa, mengungkapkan isi hati, bertobat dari dosa-dosa, dan menaruh iman kami pada Kristus lagi dan lagi sembari berusaha mengatasi masalah-masalah kami. Kami memberikan kesaksian tentang kasih Allah yang setia menjaga pernikahan kami dalam anugerah-Nya, dan kami akan terus bergantung pada kasih itu.

Alih-alih berasumsi bahwa pendeta kita dan keluarganya “baik-baik saja”, mungkin kita bisa meluangkan waktu kita untuk memberikan semangat dan mengingatkan pendeta kita untuk memprioritaskan dan mengasihi keluarganya dengan baik.

Mungkin, kita juga harus mengambil inisiatif untuk menuntun kehidupan anak-anak pendeta kita kepada Kristus dengan perbuatan dan perkataan kita. Pendeta kita dan keluarganya membutuhkan anugerah, kasih, dukungan, dan bantuan yang sama seperti anggota jemaat lain di dalam gereja kita.

3. Kelelahan emosional

Kebanyakan pengkhotbah lebih bisa mengajarkan kebenaran daripada melakukannya. Contohnya, “serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya” (1 Petrus 5:7), adalah contoh klasik. Kekhawatiran dan beban emosionalku seringkali masih menempel dalam diriku meskipun aku sudah berusaha keras untuk menyerahkannya pada Tuhan.

Di usiaku yang ke-37 tahun, aku masih merasa sehat dan kuat secara fisik. Yang membuatku lelah sebenarnya bukanlah kelelahan fisik, tapi keletihan secara emosional yang datang dari penggembalaan dan berkhotbah. Aku bergumul mencari kata-kata apa yang tepat untuk menguatkan mereka yang mengalami penderitaan yang sulit dibayangkan, menanggung beban mereka yang bergumul dengan rasa kehancuran yang mendalam, menenangkan diriku untuk merespons dengan santun kepada mereka yang sulit dan seringkali menyakiti hati orang (baik disengaja maupun tidak), dan merenungkan kembali kesalahan-kesalahan apa yang telah kubuat. Pada suatu hari yang penuh tantangan, aku bisa merasa sangat terbebani oleh gelombang emosi dan pikiran yang membuatku kesulitan untuk melakukan atau mendoakan sesuatu. Ketika aku berkata bahwa Tuhan memilih mereka yang lemah dan tidak mengerti sepertiku untuk melakukan pekerjaan-Nya, aku benar-benar mengatakannya dari lubuk hatiku.

Setelah semua perkataanku ini, mohon jangan berhenti datang kepada kami (para pendeta) dengan beban-beban kalian! Mengasihi dan mengurus jemaat dengan baik adalah beban yang semua pendeta tanggung dengan senang hati. Namun, ingatkanlah kami untuk beristirahat dengan baik, dan berpengertian ketika kami sedang tidak dapat dijangkau.

Ketahuilah bahwa pendetamu tidak selalu memiliki semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sulit dalam hidup. Mengertilah juga bahwa dia tidak akan bisa memenuhi semua ekspektasimu. Terakadang, dia mungkin membutuhkan satu sampai dua hari untuk membalas email atau pesanmu. Pada saat kamu melihat pendetamu mengalami kesulitan dalam menjalani pelayanannya, pemberian terbaik yang bisa kamu berikan bisa jadi adalah untuk tetap yakin bahwa pendetamu sedang berusaha sebaik mungkin. Dia bukan sedang tidak peduli.

4. Kondisi kesehatan mental

Menurut Institut Kesehatan Mental Singapura, sekitar 5,8 persen orang dewasa di Singapura menderita penyakit bernama Gangguan Depresi Mayor pada suatu masa dalam hidupnya. Gereja-gereja di Singapura (dan di tempat-tempat lainnya di seluruh dunia) terlihat kurang memperlengkapi dirinya untuk mengerti dan menolong mereka yang mengalami masalah kesehatan mental yang serius. Aku tidak berkata bahwa gereja bertanggung jawab untuk memberikan pengobatan dan penyembuhan. Tapi, kita perlu memiliki pemahaman mendasar tentang masalah penting ini untuk menyadari gejala-gejala yang timbul untuk kemudian kita dapat memberikan bimbingan tentang di mana kita dapat mencari pertolongan yang tepat.

Beberapa gereja yang hiper-spiritual mungkin akan langsung menghubungkan gejala-gejala ini dengan kuasa Iblis. Dan, gereja-gereja yang sangat konservatif mungkin akan menjauhkan diri dari psikolog, psikiater, dan penggunaan obat. Kesenjangan ini, digabungkan dengan ketiga poinku sebelumnya, bisa menjadi alasan mengapa beberapa pendeta mungkin saja secara diam-diam mengalami pergumulan kesehatan mental, seperti depresi dan gangguan kegelisahan, yang dapat terjadi tanpa disadari oleh gereja selama bertahun-tahun. Biasanya gangguan kesehatan mental ini baru terdeteksi ketika masalah besar atau tragis terjadi. Aku berdoa agar gereja kita dapat bertumbuh dalam pengertian dan penerapan teologi Injil yang baik untuk menghadapi masalah-masalah rumit kehidupan di dalam dunia kita yang rusak ini.

Di gereja kami, kami bekerjasama dengan sebuah pelayanan konseling Kristen dan secara berkala mengundang para pemimpin dan jemaat untuk mengikuti kelas online yang mereka adakan. Pelayanan konseling tersebut menawarkan cara-cara praktis yang memiliki dasar yang baik secara teologis untuk membantu kami memenuhi kebutuhan terkait konseling. Jika gerejamu memiliki akses pada hal-hal ini, aku mendorongmu untuk memperlengkapi dirimu dan belajar lebih lagi tentang bagaimana kita dapat memberikan dukungan terbaik untuk satu sama lain dalam menghadapi berbagai tantangan yang kita temui dalam hidup.

Penutup

Jika aku terkesan seperti orang yang sedang mengeluh tentang gereja atau pekerjaanku sebagai pendeta, itu adalah hal yang tidak benar. Aku mencintai pekerjaanku sebagai pendeta. Aku merasa diberikan keistimewaan bahwa Tuhan memanggilku untuk menjalani panggilan memberitakan berita terbaik yang pernah ada—berita tentang Penebus yang datang untuk menyelamatkanku dari diriku dan memulihkan kebobrokan dunia ini. Itulah obat yang terbaik dan abadi untuk menyembuhkan segala masalah kita.

Untuk mengasihi dan memperhatikan pendeta kita dengan baik, kita tidak boleh berasumsi bahwa kita mengerti sepenuhnya seberapa besar dosa-dosa telah mempengaruhi kita. Dosa bukan hanya mempengaruhi tindakan atau sikap, tapi juga mempengaruhi hati dan kasih kita. Asumsi salah inilah yang dapat membutakan orang yang memiliki karunia rohani sekalipun.

Maka itu, pendeta membutuhkan kasih, doa, dan dukunganmu. Mereka perlu diingatkan terus menerus untuk mencari kelegaan dan harapan di dalam Kristus saja. Mereka perlu ditunjukkan kepada Kabar Baik yang mereka sampaikan berulang kali.

Tidak ada satupun dari kita yang tidak berdosa. Hanya Yesus sajalah, Sang Pahlawan yang tak berdosa. Pendetamu bisa saja mengisahkan kisah tentang Ysus dengan sangat baik, namun dia harus benar-benar “memegang” kisah itu dalam lubuk hatinya.

Artikel diterjemahkan oleh Arie Yanuardi

Baca Juga:

Bagaimana Aku Bisa Melayani dengan Sikap Hati yang Benar?

Pada suatu waktu, aku pernah melayani di tujuh pelayanan dan menghadiri lima rapat gereja dalam satu akhir pekan. Aku tidak sedang berusaha menunjukkanmu betapa sucinya aku. Justru, aku sedang memberitahumu betapa konyolnya aku.

Meninggalkan Karier Sebagai Pengacara Terkenal untuk Melayani Tuhan, Inilah Kisah Paul Wong

meninggalkan-karier-sebagai-pengacara-terkenal-untuk-melayani-tuhan-inilah-kisah-paul-wong

Oleh Janice Tai, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Paul Wong: Hotshot Lawyer to Devoted Campus Pastor

Sebagai putra dari seorang pengacara terkenal di Singapura, Paul Wong tampaknya akan mengikuti jejak ayahnya.

Setelah menyelesaikan studi hukumnya di Universitas Cambridge, Paul kemudian bekerja di Linklaters, sebuah firma hukum terkemuka di London yang merupakan salah satu dari lima firma hukum terbaik di Inggris.

Sebagai seorang pengacara korporat, dia membantu perusahaan-perusahaan FTSE 100 (100 perusahaan dengan nilai pasar tertinggi di Bursa Saham London) untuk meraup miliaran dolar dengan membuatkan mereka dokumen yang membantu mereka dalam menjual saham-saham mereka.

Namun di masa keemasannya di usia 30 tahun, Paul memutuskan untuk melepaskan seluruh karier yang telah dibangunnya dan berjalan mengikuti arahan dari Tuhan.

Awalnya dia tidak pernah berpikir bahwa dia mampu atau mau meneruskan jejak ayahnya. Ayah Paul, Lucien Wong, baru-baru ini diangkat sebagai pengacara penasihat negara Singapura pada bulan November 2016. Sebelumnya, Lucien sempat memimpin firma Allen & Gledhill, salah satu firma hukum terbesar di Singapura.

Karier Paul di Inggris juga tampak sangat menjanjikan. Saat dia memutuskan untuk mengundurkan diri dua tahun yang lalu, gajinya sudah mencapai lebih dari Rp 1 miliar setahun. Dia mungkin juga bisa menjalin berbagai kemitraan jika saja dia bertahan selama dua hingga lima tahun lagi.

Namun, Paul memilih untuk mengundurkan diri dan mengikuti sebuah pelatihan untuk menjadi seorang pengkhotbah dan pengajar Alkitab. Di akhir bulan Agustus 2016, dia kembali ke Singapura untuk menjadi pendeta kampus dalam kelompok persekutuan Kristen di Singapore Management University (SMU).

Dari sebuah firma hukum raksasa yang mempekerjakan 2.000 pengacara, Paul pindah ke sebuah tempat kerja yang hanya memiliki seorang karyawan, yaitu dirinya, dan seorang pekerja magang.

Jadi mengapa dia membuat perubahan yang begitu besar ini dalam kariernya?

Paul-Wong-4

Ada di titik terbawah

Coba tanya seorang pemuda berusia 33 tahun, apakah dia pernah berpikir untuk melayani Tuhan sepenuh waktu, dan mungkin kamu akan mendapat jawaban yang cepat: Tidak pernah.

Sewaktu Paul masih remaja, dia juga pernah melakukan kenakalan. Ketika SMP, dia sering bolos sekolah beberapa kali seminggu untuk bermain biliar di Lucky Plaza atau menonton bioskop.

Namun, dia memastikan dia menjalani “kewajibannya” sebagai orang Kristen. Setiap hari Minggu dia pergi ke Gereja Methodist Wesley dan bermain gitar dalam persekutuan pemuda. Ketika dia di London, dia pergi ke sebuah gereja lokal yang berjarak setengah jam perjalanan dari tempat dia tinggal dan bekerja.

“Gereja hanyalah aktivitas hari Minggu pagi bagiku dan tidak berdampak banyak bagi hidupku, keputusan-keputusanku, dan cara pandangku,” kata Paul. “Ketika aku menghadapi dilema antara pekerjaan atau gereja, pekerjaanlah yang selalu menang.”

Paul bekerja sangat keras. Dia ada di kantor enam hari seminggu. Sebuah hari yang baik baginya adalah jika dia dapat meninggalkan kantor sebelum tengah malam dan dapat cukup tidur sepanjang malam. Pernah suatu kali dia bekerja dua malam berturut-turut dan ada di kantor terus selama tiga hari untuk memenuhi tenggat waktu pekerjaannya.

“Dulu aku berpikir, jika Tuhan menempatkanmu di sebuah kampus atau firma hukum, hal terbaik yang memuliakan Tuhan yang dapat kamu lakukan adalah dengan menjadi mahasiswa terbaik atau menjadi pengacara terbaik. Tapi aku kemudian menyadari bahwa itu adalah pemikiran yang salah,” kata Paul.

Menurutnya, kehidupan rohaninya ada di “titik terbawah” ketika dia berhenti hidup dan berpikir seperti yang Tuhan inginkan.

Kebangkitan rohani

Pada sebuah hari Minggu di tahun 2011, Paul merasa malas pergi ke gereja. Dia sudah ada di kantornya, dan dia merasa malas jika dia harus pergi dan kemudian kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Rekan kerjanya menyarankannya untuk pergi ke gereja lain yang hanya berjarak lima menit perjalanan.

Dia akhirnya pergi ke gereja itu dan begitu terkesan dengan apa yang dilihat dan didengarnya di sana. “Aku telah mendengar banyak khotbah-khotbah bagus, tapi semuanya hanya masuk di telinga kiri lalu keluar di telinga kanan. Tapi, di gereja itu aku melihat firman Tuhan diberitakan dengan tegas dan bertujuan untuk mengoreksi diri. Dan orang-orang yang ada di sana menghidupi nilai-nilai itu. Roh Kudus bekerja melalui firman Tuhan yang mengubah segalanya,” kata Paul.

Dia mulai rutin datang ke gereja itu dan juga mengikuti kelompok pendalaman Alkitab yang ada. Mereka sedang mempelajari kitab Markus selama setahun penuh. Itu menjadi sebuah pengalaman yang mengajarkan Paul untuk menjadi rendah hati.

“Waktu itu aku berpikir, kitab Markus adalah kitab Injil terpendek di dalam Alkitab dan aku sudah membacanya setidaknya 10 kali. Mengapa kita perlu waktu setahun untuk mempelajarinya?” dia bertanya. “Tapi dalam prosesnya, aku baru tahu bahwa sesungguhnya aku sama sekali tidak tahu cara membaca Alkitab. Itu adalah pengalaman yang mengajarkanku menjadi rendah hati. Dulu aku berpikir boleh-boleh saja menjadikan Alkitab seperti sebuah buku ajaib di mana aku bisa mengartikan isinya sesuka hati tanpa memperhatikan konteksnya. Ironisnya, sebagai seorang pengacara, aku tahu bahwa itu adalah cara terburuk dalam membaca sebuah tulisan.”

Suatu kali, kelompok pendalaman Alkitab Paul sedang membaca Markus 8, di mana Yesus memberitahukan kepada orang banyak bahwa setiap orang yang mau menjadi murid-Nya harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Dia. “Aku sadar bahwa meskipun aku menyebut diriku Kristen, aku masih hidup bagi diriku sendiri. Itu membuatku berpikir tentang apa artinya mengikut Tuhan, dan aku menyadari bahwa aku sama sekali belum mengerti tentang pemuridan,” kata Paul.

Setelah mendapatkan pencerahan itu, Paul mulai mengubah secara drastis bagaimana dia menggunakan waktunya. Dia mulai melayani dalam persekutuan jam makan siang di Linklaters dan melakukan pendalaman Alkitab privat dengan rekan-rekan di kantor dan gerejanya. Untuk melakukan itu, Paul harus mengurangi jam kerjanya setidaknya tujuh jam seminggu. Keputusannya mengurangi jam kerjanya itu pun mempengaruhi perusahaannya dan prospek kariernya.

“Aku punya seorang atasan yang pengertian dan aku merasa tidak perlu lagi menjadi seorang pengacara terbaik. Yang kuinginkan saat itu adalah menjadi pengacara yang paling setia. Yang harus aku lakukan adalah bekerja keras dan dengan integritas dan membuat Tuhan dikenal oleh orang-orang di sekitarku,” kata Paul.

Perubahan mendadak dalam cara Paul menyusun prioritas hidupnya itu membuat ibunya terkejut. Ibunya bahkan mengira Paul bergabung dengan sebuah kelompok sesat. Ibunya menginginkan Paul lebih berfokus ke kariernya di dunia hukum.

“Aku bisa saja jatuh semakin jauh dari imanku dalam tahun-tahun itu tapi Tuhan mengubah dosa-dosaku menjadi sebuah kebaikan,” kenang Paul. Dia menikahi Angela tiga tahun lalu dan kini mereka telah dikaruniai seorang putri yang telah berusia satu tahun, Elizabeth.

Kehidupan yang baru

Dukungan yang diberikan Angela sangat penting dalam titik balik kehidupan Paul selanjutnya.
Ketika Paul mulai mengajar Alkitab lebih sering, pemimpin gereja Paul mulai memintanya mempertimbangkan untuk melayani sepenuh waktu di tahun 2013. Paul kemudian mendiskusikannya dengan beberapa orang, termasuk Angela, dan mendoakannya.

Paul tidak mendapatkan “panggilan” berupa mimpi atau penglihatan yang supernatural dari Tuhan. “Beberapa orang mungkin mengalami itu, tapi aku pikir tidak semua orang harus mengalami panggilan yang khusus seperti itu. Satu-satunya panggilan yang ada dalam Alkitab adalah panggilan untuk merespons Yesus. Sejak aku diberitahu bahwa karuniaku adalah mengajar dan aku harus menggunakannya, aku memutuskan untuk taat dan menggunakan karunia itu untuk Tuhan,” kata Paul.

Selain itu, Paul berpikir, melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang pengacara akan membuat waktunya untuk mengajar semakin terbatas. Menurutnya, dampak yang dihasilkannya akan lebih besar jika dia menjadi seorang pengajar yang memperlengkapi siswa-siswa, daripada jika dia menjadi pekerja kantoran.

Jadi, di tahun 2014 dia mengambil keputusan untuk mengikuti dua tahun pelatihan untuk pelayanan penuh waktu, sebelum dia bergabung dengan persekutuan Kristen SMU di tahun 2016. Ada sekitar 90 mahasiswa dalam persekutuan itu. Mereka bersekutu setiap hari Selasa dan Paul berkhotbah di sana. Selain itu, Paul juga melatih para pemimpin kelompok mahasiswa untuk memulai kelompok pendalaman Alkitab di kampus. “Sungguh suatu sukacita ketika aku dapat melihat orang-orang yang merindukan Tuhan dan juga membimbing mereka dalam masa mereka membentuk identitas dan pemikiran mereka tentang dunia ini,” katanya.

Paul-Wong-3

Paul masih bekerja selama enam hari dalam seminggu karena dia lebih senang mempersiapkan khotbah di hari Minggu. Tapi menurutnya tekanan yang dihadapinya kini lebih berarti. Daripada mengejar tenggat waktu, dia kini lebih memperhatikan orang-orang dan pertumbuhan rohani mereka.

“Bagian tersulit dari pelayanan penuh waktu bukanlah ketika aku mengambil keputusan itu, tapi ketika aku harus menjelaskan kepada orang-orang di sekitarku mengapa aku mengambil keputusan itu,” kata Paul. Istrinya mendukung keputusannya. Dan yang tidak disangkanya, ayahnya juga mendukungnya dan mengatakan kepadanya untuk melakukan apapun yang dia pikir benar.

Uniknya, justru ibunya—yang adalah seorang pemimpin awam di gereja, dan yang membimbing Paul menjadi seorang Kristen setelah kedua orangtuanya berpisah—yang awalnya paling menentang keputusan Paul. Ibu Paul merasa tidak seharusnya Paul menyia-nyiakan “gelar sarjananya” atau “masa depannya yang cerah”. Seharusnya, Paul bekerja lebih keras untuk mempersiapkan tabungannya untuk masa pensiun kelak. Tapi, ibu Paul kini telah berubah dan akhirnya mendukung pelayanan Paul sepenuhnya.

Selama mengikuti pelatihan, Paul harus menekan pengeluarannya, karena dia tidak mendapatkan penghasilan apapun selama masa pelatihan itu. Itu berarti dia tidak dapat naik taksi atau makan di restoran-restoran. Kini, dia mendapatkan penghasilan rata-rata seorang guru. Istrinya merawat putri mereka dan menjadi ibu rumah tangga.

Paul-Wong-2

Namun bagi Paul, pengorbanan terbesarnya bukanlah karena dia harus melepas gajinya yang besar, tapi karena dia harus menurunkan harga diri dan ambisinya dahulu. “Selain karier dan penghasilan yang jauh berbeda, statusku pun menjadi sangat berbeda daripada teman-teman sepermainanku. Namun aku takkan menukar apa yang kulakukan saat ini dengan apapun yang ada di dunia ini,” kata Paul.

Bagian Alkitab favoritnya adalah Yesaya 25, yang melukiskan sebuah gambaran tentang masa depan dan harapan yang akan datang. Ayat-ayat dalam pasal itu memotivasi Paul untuk mengejar upah yang kekal—bukan harta duniawi.

“Ayat itu membentuk cara pandangku terhadap dunia ini,” katanya. “Dunia yang fana ini hanya akan berakhir pada kehancuran dan satu-satunya yang akan bertahan adalah orang-orang yang diselamatkan Tuhan. Itulah yang membangun alasanku untuk hidup, bagaimana aku hidup, dan mengapa aku melakukan pekerjaan ini.”

Photo credit: Ian Tan dan Paul Wong

Baca Juga:

SinemaKaMu: Silence—Siapkah Kamu Memikul Salib?

Apa yang akan kita lakukan jika kita dihadapkan pada keadaan yang menguji iman kita? Untuk menjawab pertayaan ini, aku ingin mengajakmu untuk berefleksi sejenak dari sebuah film berjudul “Silence” yang bercerita tentang dilema yang harus dihadapi oleh orang-orang Kristen di Jepang beberapa abad lalu.

Jawaban Bijak Ayahku Ketika Aku Mengatakan Akan Menjadi Istri Hamba Tuhan

jawaban-bijak-ayahku-ketika-aku-mengatakan-akan-menjadi-istri-hamba-tuhan

Oleh Ivonne Nataly Pola, Boyolali

Minyak angin merek ini adalah minyak angin yang sering digunakan oleh ayahku. Mencium aromanya dapat mengobati rasa rinduku kepadanya, karena kami sudah tidak tinggal bersama sejak aku menikah.

Ayahku bukanlah seorang yang sempurna, tapi dia adalah seorang ayah yang membawaku mengenal Tuhan Yesus dan bertumbuh di dalam-Nya sejak aku masih kecil.

Ayahku senang bercerita tentang anak-anaknya, termasuk tentang diriku. Pernah suatu kali saat aku sedang berada di Balikpapan karena mengikuti suami yang sedang bertugas di sana, aku mengatakan kepada ayahku bahwa aku kangen donat yang saat itu tokonya baru ada di Jakarta. Tak kusangka, ayahku menceritakannya kepada teman kerjanya. Teman ayahku kemudian membawakanku dua dus donat itu ketika dia ada tugas dinas di Balikpapan.

Ayahku tidak pernah menceritakan tentang kesulitannya kepada anak-anaknya. Suatu kali ketika aku masih mahasiswa dan saatnya membayar uang kuliah, aku menunggu ayahku di kampus. Namun, hingga sore ayahku belum juga datang. Ketika aku menghubunginya, dia hanya berkata, “Sabar yah, Nak…”

Akhirnya, ayahku datang juga ke kampus untuk membayarkan uang kuliahku. Belakangan, aku baru tahu bahwa ternyata saat itu ayahku sedang tidak memiliki uang, tapi syukur kepada Tuhan karena tepat di sore harinya ayah mendapatkan bonus dari perusahaan tempatnya bekerja. Ayah tidak mau menunjukkan kesulitannya di depanku. Dia ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Baginya, membiayai kuliahku adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuhinya sekalipun di tengah keadaan yang sulit.

Aku ingin membahagiakan ayahku

Ayahku begitu baik bagiku. Karena itu setelah aku menikah, aku bercita-cita ingin membahagiakannya dengan memberikan sebagian penghasilanku kepadanya. Saat itu, aku dan suamiku masih sama-sama bekerja. Namun, itu tidak bertahan lama.

Sebuah keputusan yang sulit perlu aku ambil ketika suamiku menjawab panggilan Tuhan dengan menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu dan meninggalkan segala kariernya di dunia sekuler. Aku harus melepaskan karierku untuk mendukung suamiku sebagai istri hamba Tuhan. Aku begitu bergumul. Aku ingin menuruti panggilan Tuhan, namun aku juga ingin memberkati ayahku secara finansial di masa tuanya.

Ketika aku menceritakan pergumulanku kepada ayahku, dia berkata, “Nak, panggilan itu asalnya dari Tuhan sendiri. Jadi, kalau Dia sudah memilih kalian, melangkahlah bersama-Nya. Hidup kami sebagai orangtua pasti akan terus ditopang oleh Tuhan sendiri.”

Aku kemudian bertanya kepadanya apakah ayahku kecewa karena telah susah payah membiayai kuliahku dan aku “hanya” menjadi istri hamba Tuhan. Apakah dia merasa kuliahku menjadi sia-sia? Jawaban ayahku begitu membuatku terharu, “Justru kamu dititipkan kepada kami untuk dipersiapkan menjadi alat-Nya. Jadilah istri hamba Tuhan yang menyenangkan-Nya. Kelak ketika kami bisa melihat kamu setia pada panggilan itu, kami akan sangat bangga karena kami dipercaya untuk mendidikmu.”

Aku pun menitikkan air mata. Dahulu aku mengira bahwa aku baru dapat membahagiakan ayahku jika aku berhasil dalam pekerjaanku dan dapat memberikannya harta yang kumiliki. Namun ternyata kebahagiaan ayahku adalah ketika aku menyenangkan Tuhan. Itulah yang menjadi kebanggaan ayahku.

Aku bersyukur kepada Tuhan atas orangtua yang telah diberikan-Nya bagiku. Orangtua yang menghajarku ketika aku salah untuk kebaikanku. Orangtua yang tetap mengasihiku meskipun aku sering mengecewakan mereka. Orangtua yang selalu mengingat diriku dalam doa-doa mereka. Orangtua yang peduli kepadaku dan suamiku, menanyakan tentang pelayanan yang kami lakukan, dan mengingatkan tentang kasih karunia Tuhan. Meskipun aku dan orangtuaku kini terpisah oleh jarak, aku selalu mengingat nasihat mereka, “Jangan tinggalkan iman, pengharapan, dan kasih.”

Karena mereka, aku dapat merasakan kasih Bapa di surga, kasih yang sempurna. Terima kasih, ayah dan ibu. Terima kasih, Tuhan.

Baca Juga:

3 Hal yang Kudapatkan Ketika Aku Memutuskan untuk Bersaat Teduh Saat Aku Patah Hati

Hubunganku dengan pacarku dahulu membuatku lebih mengutamakan waktu bersama dengannya daripada waktu bersama dengan Tuhan. Di penghujung tahun Tuhan mengizinkanku mengalami patah hati yang pada akhirnya membawaku lebih dekat pada-Nya.