Posts

Belajar Menantikan Allah

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Menunggu seringkali terasa berat untuk dilakukan. Menunggu itu sangat membosankan. Menunggu seakan tidak ada kepastian yang akan terjadi. Tetapi mau tidak mau, menunggu adalah pilihan yang selalu diperhadapkan dalam kehidupan kita setiap hari. Saat ini aku harus menunggu tangan kananku sembuh untuk bisa melanjutkan kompetisi novel yang sedang aku ikuti, pun aku harus menunggu kapan pandemi Covid-19 akan berakhir sehingga aku bisa pulang ke kampung halaman. Setiap hari kita dituntut untuk belajar menunggu.

Mungkin hal-hal menunggu yang aku sampaikan ini masih terbilang remeh. Lalu bagaimana jika kita harus menunggu hal-hal yang lebih serius? Kita yang masih lajang dan rindu berpasangan menunggu Allah mempersiapkan pernikahan buat kita; pasangan suami istri yang sudah menikah lama rindu membesarkan keturunan; atau mungkin juga ada di antara kita yang sedang menanti pekerjaan, namun tidak kunjung memperolehnya. Tiap-tiap kita, dalam setiap kehidupan yang kita jalani, harus belajar untuk menunggu.

Selama liburan ini, aku sedang menikmati buku “Jika Anda Ingin Berjalan Di Atas Air Keluarlah Dari Perahu” yang ditulis oleh John Ortberg. Dalam bagian buku yang dia tuliskan, ada satu bagian yang membahas tentang MENUNGGU.

John menulis, menunggu bisa jadi merupakan hal paling sulit yang harus kita lakukan. Sungguh mengecewakan ketika kita berpaling kepada Alkitab dan mendapati bahwa Allah sendiri, yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana, terus berkata kepada umat-Nya: Tunggu!

Berdiam dirilah di hadapan Tuhan dan nantikanlah Dia; jangan marah karena orang yang berhasil dalam hidupnya, karena orang yang melakukan tipu daya. (Mazmur 37:7)

Nantikanlah Tuhan dan tetap ikutilah jalan-Nya, maka Ia akan mengangkat engkau untuk mewarisi negeri, dan engkau akan melihat orang-orang fasik dilenyapkan (Mazmur 37:34)

Allah mendatangi Abraham ketika ia berumur 75 tahun dan mengatakan bahwa ia akan menjadi seorang ayah, leluhur dari suatu bangsa yang besar. Berapa lama sebelum janji itu digenapi? 24 tahun Abraham harus menunggu.

Allah memberi tahu bangsa Israel bahwa mereka akan meninggalkan perbudakan di Mesir dan menjadi suatu bangsa. Namun bangsa itu harus menunggu 400 tahun.

Allah memberi tahu Musa bahwa Dia akan menuntun umat-Nya ke Tanah Perjanjian. Namun mereka harus menunggu selama 40 tahun di padang gurun.

Sebanyak 43 kali dalam Perjanjian lama, orang diperintahkan, “Nantikanlah. Nantikanlah Tuhan.” Lalu pertanyaannya, mengapa Allah membuat kita menunggu? Jika Dia dapat melakukan sesuatu, mengapa Dia tidak memberikan kelegaan dan jawaban sekarang? Salah satu alasannya—meminjam penjelasan dari Bet Patterson—apa yang Allah kerjakan di dalam diri kita saat menunggu itu sama pentingnya dengan apa yang kita tunggu.

Menantikan Tuhan bukan berarti menanti dengan pasif, artinya bukan tidak melakukan apa-apa. Kadang kita mengatakan kalau kita sedang menantikan Tuhan sebagai dalih untuk tidak memikul tanggung jawab atau mengambil tindakan yang diperlukan. Menantikan Tuhan itu berarti terus melekat kepada Allah dengan penuh keyakinan, berdisiplin, penuh pengharapan, aktif dan kadang-kadang menyakitkan. Paulus mengatakan bahwa selama kita menunggu Allah memulihkan segala sesuatu, kita mengalami penderitaan. “Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita dan oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Roma 5:3-5). Menunggu itu bukan hanya sesuatu yang kita lakukan sebelum kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Menunggu adalah bagian dari proses menjadi pribadi yang sesuai dengan rancangan Allah.

John Ortberg menjelaskan ada tiga sikap yang harus kita lakukan ketika menantikan Tuhan:

  1. Kepercayaan yang sabar
  2. Petrus menulis dalam 2 Petrus 3:8-9, “Akan tetapi, saudara-saudaraku yang kekasih, yang satu ini tidak boleh kamu lupakan, yaitu, bahwa di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari. Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.”

    Terlalu sering kita menginginkan berkat-berkat dari Allah, namun kita tidak menginginkan penentuan waktu-Nya. Kita lupa bahwa pekerjaan-Nya di dalam diri kita saat kita menunggu itu sama pentingnya dengan apa yang kita pikir sedang kita nanti-nantikan. Mungkin saat ini kita memiliki impian tentang pencapaian tertentu yang berkaitan dengan pekerjaan. Apa yang kita harapkan tidak terjadi. Kita tidak tahu penyebabnya, tetapi kegagalan itu menyakitkan diri kita. Kita menjadi tergoda untuk berusaha memaksakannya, kita mendesak, memanipulasi atau menyusun siasat untuk memperoleh apa yang kita inginkan itu.

    Saat menunggu, tugas kita adalah bukan meraih dengan penuh kecemasan. Menunggu memerlukan kepercayaan yang sabar.

  3. Kerendahan hati yang penuh keyakinan
  4. Dalam Yesaya 32:17, “Di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketentraman untuk selama-lamanya.”

    Dari ayat ini buah dari kebenaran menghasilkan dua kualitas karakter. Pertama adalah keyakinan. Bukan keyakinan terhadap diri sendiri, melainkan terhadap Dia yang menopang kita. Yang kedua adalah ketenangan, dengan rendah hati kita mengakui keterbatasan kita.

    Menunggu itu perlu dilakukan dengan rendah hati, kita membutuhkan anugerah Tuhan untuk melakukannya. Sembari menunggu, kita dapat berdoa, sebab doa dapat menolong kita mengatasi perasaan khawatir.

  5. Menantikan Tuhan memerlukan pengharapan yang tidak terpadamkan
  6. Dalam Roma 8:24-25, “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun.”

    Pengharapan itu sendiri sebenarnya adalah sebuah bentuk penantian. Bila saat ini kita sedang menantikan Allah, jika kita menaati Allah tetapi belum melihat hasil yang kita harapkan, kita perlu tahu di Alkitab ada janji indah yang berkaitan dengan penantian ini:

    “Orang-orang muda menjadi lelah dan lesu dan teruna-teruna jatuh tersandung, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (Yesaya 40:30-31).

    Teman-teman, aku tidak tahu apa yang menjadi pergumulan kalian saat ini. Tetapi kita dituntut untuk belajar menantikan Allah. Belajar menantikan Allah yang akan menjawab seturut dengan cara dan waktu-Nya. Mari menikmati pembentukan dari Allah dalam masa-masa penantian kita masing-masing.

    “Penundaan kepuasan adalah proses menjadwalkan penderitaan dan kegembiraan hidup sedemikian rupa guna meningkatkan kegembiraan” (M. Scott Peck).

Baca Juga:

Bosan Tidak Selalu Jadi Pertanda untuk Berhenti

“Ahk, aku capek. Bosan! Daripada kukerjakan tapi tidak dari hati” belaku dengan berbagai alasan pembenaran atas keputusanku.

Tapi, sungguhkah solusi dari bosan dan lelah hanyalah menyerah?