Posts

3 Hal yang Tuhan Ajarkan dalam Masa Penantian

Oleh Yosheph Yang, Korea Selatan

Aku adalah salah seorang mahasiswa S3 di salah satu universitas di Korea Selatan. Sebagai mahasiswa S3, aku harus menulis publikasi jurnal untuk dapat lulus.

Dalam proses penelitian dan penulisan jurnalku, aku tidak terlalu bertekun dalam berdoa. Kalaupun berdoa, tujuanku adalah supaya jurnalnya diterima. Motivasi dalam berdoaku ialah untuk mengejar kesuksesan dalam studiku. Sama seperti kebanyakan mahasiswa S3 di sekitarku, aku berpikir apabila banyak publikasi jurnalku yang diterima, aku akan lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan nantinya setelah kelulusanku.

Tahun 2017, aku mencoba mengirimkan publikasi pertamaku. Hasilnya keluar satu tahun kemudian dan ditolak. Tidak mudah bagiku untuk menerima hasil tersebut. Aku kecewa, menggerutu, dan frustrasi dengan kenyataan yang harus kuhadapi.

Aku mencoba lagi mengirim publikasi pertamaku di jurnal lainnya pada bulan Oktober 2018. Dua bulan setelahnya, aku juga mengirim publikasi keduaku. Dalam waktu kurang dari satu bulan, publikasi keduaku sudah ditolak lebih dari dua jurnal.

Aku menjadi kurang percaya diri. Aku mulai membandingkan diriku dengan teman-teman di sekitarku yang publikasinya diterima. Keadaan ini membuatku iri hati dengan pencapaian teman-temanku.

Di tengah kekecewaan yang kualami, aku disadarkan melalui fellowship bersama mentor rohaniku akan tiga hal yang Tuhan sebenarnya inginkan dalam hidupku.

1. Tuhan ingin agar aku memperbaiki motivasi dalam berdoa.

Hasratku sebelumnya mendapat reputasi yang baik dengan menulis sebanyak mungkin publikasi. Namun, Tuhan ingin aku berdoa dengan motivasi yang benar, yaitu agar nama-Nya saja yang dipermuliakan lewat setiap hal yang kulakukan. Aku pun mengubah motivasi doaku sesuai kehendak Tuhan. Dengan diterimanya publikasiku, tujuannya bukan lagi untuk kebanggaan pribadi, melainkan supaya aku bisa menceritakan kebaikan Tuhan dalam hidupku kepada orang-orang di sekitarku.

2. Tuhan ingin agar aku percaya sepenuhnya kepada Tuhan, bukan mengandalkan kekuatanku sendiri.

Dari kecil, dapat dikatakan aku mempunyai hasil akademik yang baik. Lebih mudah bagiku untuk mempercayai kemampuanku sendiri. Mungkin, hal inilah yang membuatku jarang berdoa dengan hati yang percaya penuh kepada Tuhan. Aku pun mengubah sikapku. Terkadang di saat aku berdoa, aku mengutip janji-janji Tuhan bagi kehidupanku, seperti dalam Mazmur 37:3-6 dan Yeremia 29:11.

“Percayalah kepada Tuhan dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena Tuhan; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang” (Mazmur 37:3-6)

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11)

3. Dalam masa penantian, Ia ingin mengubah karakterku agar semakin menyerupai Kristus.

Aku termasuk orang yang jarang sekali melakukan refleksi kehidupan. Melalui penolakan jurnalku, aku menilik diriku kembali. Apakah aku hidup melekat dalam Firman Tuhan? Sudahkah aku benar-benar menghidupi Firman Tuhan? Bagaimanakah persekutuanku bersama Tuhan?

Aku mulai menulis hal-hal yang kupelajari dalam saat teduhku dan menghafal beberapa ayat Alkitab. Dua hal ini membantuku untuk lebih mengenal Tuhan Yesus, betapa besar kasih-Nya bagiku, dan apa yang Ia mau untuk aku lakukan dalam hidupku.

Seperti yang dituliskan dalam Roma 8:29, sedari semula kita sudah ditentukan untuk menjadi serupa dengan-Nya. Tuhan ingin agar aku mengubah sifat iri hati dan belajar untuk mensyukuri apa yang Tuhan sudah berikan kepadaku sampai saat ini. Yohanes 3:27 menguatkanku untuk mengubah sifat iri hati.

“Tidak ada seorang pun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari sorga” (Yohanes 3:27).

Lewat ayat tersebut, aku kembali disadarkan bahwa Tuhan memberi kepada setiap orang bagiannya masing-masing sehingga aku tidak perlu iri hati. Tuhan mau aku berubah, agar hidupku menjadi berkat bagi orang di sekitarku.

Setelah menunggu kurang lebih 6 bulan, aku berterima kasih kepada Tuhan saat publikasi jurnal pertamaku akhirnya diterima untuk diterbitkan.

Di dalam ketidakpastian atau kegagalan dalam kehidupan, kiranya teman-teman bisa melihat maksud dan rencana Tuhan yang baik bagi setiap kita. Ia ingin agar kita semua menjadi semakin serupa dengan-Nya. Tuhan Yesus memberkati.

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Roma 8:28-29).

Baca Juga:

Penyertaan Allah dalam Tantangan Kehidupan

Harus kita akui bahwa tekanan hidup manusia dari waktu ke waktu tidak akan semakin mudah, justru menjadi lebih besar. Namun apa yang harus kita pahami sebagai orang Kristen dalam menjani hidup penuh tekanan?

Ketika Tuhan Mengizinkanku untuk Menunggu dalam Masa Mencari Pekerjaan

Oleh Jefferson, Singapura

Jika kamu membaca judul artikel ini, mungkin kamu sudah bisa menebak alurnya. Jeff berdoa agar diberikan pekerjaan setelah lulus kuliah. Tuhan lalu meminta Jeff untuk menunggu terlebih dulu. Tak lama kemudian, barulah Tuhan memberikan Jeff pekerjaan. Tamat.

Mungkin alurnya terdengar klise. Tetapi, di dalam alur tersebut terselip sebuah kisah yang menarik: tentang apa yang kulakukan dan apa yang Tuhan ajarkan kepadaku selama aku menunggu.

Begini ceritanya.

Awal yang baik

Kurasa aku memulai perjalananku melamar pekerjaan dengan baik. Aku sudah menyiapkan segala macam persiapan yang dibutuhkan. Tips-tips penulisan CV dan surat pengantar kerja? Aku berdiskusi beberapa kali dengan konsultan karier dan dosen pembimbing di kampus untuk memastikan keduanya menarik perhatian HRD perusahaan. Kiat-kiat menjawab pertanyaan dalam wawancara? Aku berlatih intensif dengan konsultan karier. Cara berpakaian dan etika wawancara? Semuanya sudah termasuk dalam daftar hal-hal yang harus kukerjakan sebelum, selama, dan sesudah menghadiri wawancara.

Dengan seluruh persiapan ini, aku mulai mengirimkan lamaran sejak September 2017, di tahun terakhirku di universitas. Targetku adalah mendapatkan pekerjaan sebagai konsultan lingkungan hidup, tapi aku juga terbuka terhadap kesempatan di bidang lain seperti analisis data, konsultasi manajemen, engineering, ataupun komoditas. Di tahap ini, aku tidak begitu memusingkan akan langsung diterima atau tidak. “Kelulusan masih setahun lagi”, pikirku. Terlebih lagi, statistik kampus menyatakan bahwa lulusan baru pada umumnya baru mendapatkan pekerjaan setelah melamar ke 20 hingga 30 posisi. Maka kumulai perjalanan ini dengan optimis, mengirimkan lamaran setiap 1-2 minggu sekali.

Memasuki 2018, aku lebih giat mencari dan melamar sembari menyelesaikan tugas magang di semester terakhir kuliah. Lamaran yang kuajukan pun mulai membuahkan hasil. Aku dipanggil untuk mengikuti beberapa wawancara, tentunya atas seizin kantor magangku. Namun, tidak ada yang memberikanku tawaran atau bahkan memanggilku untuk wawancara tahap kedua.

Melewati titik jenuh dan titik nadir

Enam bulan kemudian, kontrak magangku selesai. Yang tersisa dari kehidupan kampus hanya upacara kelulusan sekitar dua bulan setelahnya. Di masa-masa menunggu ijazah ini, aku mengirimkan CV dan surat pengantar hampir setiap harinya, kadang bisa untuk lima posisi sekaligus dalam sehari! Jumlah panggilan wawancara pun meningkat, tapi aku tetap belum menerima tawaran pekerjaan.

Dua bulan setelah upacara kelulusanku, kira-kira di awal September, dan setelah 60-an posisi yang kulamar, akhirnya aku mencapai titik jenuhku. Aku merasa ditekan dari segala arah–oleh teman-teman seangkatan yang satu kos denganku dan semuanya sudah mulai bekerja, oleh orang tua yang terus menanyakan tentang pekerjaan baik lewat telepon maupun chat, dan oleh teman-temanku dari gereja dan kampus. Di antara semua tekanan ini, yang paling besar kurasakan dari orang tua. Aku pernah dengan kesal memutus sambungan telepon dengan mereka karena kurasa mereka terlalu medesakkku.

Semua tekanan ini membuatku merasa lelah, putus asa, dan mempertanyakan kebaikan Tuhan yang sepertinya terus menerus menjawab doaku dengan “Tunggu”. Aku pun mulai bermalas-malasan di kos. Aku tidak mempersiapkan pelayanan dengan serius, aku malah menonton serial TV dan membaca komik dan buku terus menerus. Saking malasnya, aku pernah sampai menonton satu serial film yang kutonton habis dalam dua hari! Selama periode ini, saat teduh dan waktu doaku pun mengalami kekeringan, meskipun aku tetap melakukannya. Dan, masa-masa ini menjadi masa yang menguji imanku dengan keras.

Namun, aku bersyukur kepada Tuhan karena aku tidak dibiarkan-Nya berlama-lama berada di fase ini. Tuhan membangkitkan semangatku melalui satu perikop dalam Alkitab yang dikisahkan ulang dalam buku “Not by Sight” karangan Jon Bloom.

Sampai di sini kamu mungkin bertanya-tanya mengapa aku bisa dengan yakin menyimpulkan kalau Tuhan sedang menyuruhku untuk menunggu. Aku sendiri tidak begitu mengerti, tapi dalam kasih anugerah-Nya, Tuhan memberikanku iman untuk terus menunggu dan berharap pada-Nya.

Kisah para nelayan dan kebangkitan

Yohanes 21:1-14 mencatat peristiwa penampakkan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya di tepi Laut Tiberias. Dari pasal sebelumnya, kita mengetahui bahwa penampakkan ini bukanlah yang pertama bagi para murid. Tuhan Yesus bahkan sudah pernah menemui mereka dua kali: pertama-tama pada malam hari kebangkitan-Nya (Yohanes 20:19), kemudian delapan hari setelahnya (Yohanes 20:26).

Tidak ada catatan lebih lanjut dalam kitab Yohanes tentang apa yang terjadi di antara ketiga penampakkan ini, tapi yang pasti para murid sedang “menunggu”. Dari mana kita tahu? Di penampakkan pertama, kita menyaksikan Tuhan Yesus mengus murid-murid dengan cara yang sama seperti Bapa mengutus-Nya (Yohanes 20:21). Ia menjanjikan Roh Kudus dan memberikan mereka perintah untuk mengabarkan Injil pengampunan dosa dalam nama-Nya (Yohanes 20:22). Penampakkan pertama berakhir di sini, tetapi dari Lukas 24:49 kita mengetahui bahwa Tuhan Yesus juga menyuruh para murid untuk tinggal di sekitar Yerusalem hingga Roh Kudus turun atas mereka (Kisah Para Rasul 2).

Dalam konteks menunggu kedatangan Roh Kudus inilah peristiwa penampakkan ketiga dicatat. Bayangkan apa yang dirasakan oleh para murid sambil mereka menunggu. Mereka pertama-tama dikejutkan dan didukakan oleh pengkhianatan Yudas, salah satu dari mereka sendiri, yang berujung pada penyaliban Sang Guru. Belum lama Tuhan Yesus dikubur, wanita-wanita di antara mereka mengklaim bahwa Ia telah bangkit. Masih dalam duka, mereka pergi untuk memastikan bahwa para wanita telah berhalusinasi karena mendapati kubur yang kosong.

Malam itu juga, Tuhan Yesus yang sudah bangkit hadir di tengah-tengah mereka. Lubang-lubang bekas tusukan di lengan, kaki, dan lambung-Nya sebagai penanda bahwa Ia memang pernah mati dan kini bangkit. Sang Guru dengan penuh kasih kemudian memberkati dan mengurus mereka, namun sebelum mereka dapat pergi, mereka harus menunggu kedatangan Sang Penolong yang Ia janjikan. Ia lalu menampakkan diri beberapa kali lagi kepada mereka. Dan, di antara penampakkan-penampakka itu, para murid terus menunggu.

Tapi, menunggu sampai kapan?

Tuhan Yesus, yang waktu itu belum naik ke surga, tidak diketahui keberadaan-Nya dan tidak memberikan instruksi apapun selain yang Ia telah sampaikan dalam perikop-perikop lain di Alkitab. Roh Kudus yang dijanjikan juga tak kunjung datang. Di tengah masa penantian yang seperti akan berlangsung selamanya, seorang dari para murid memecah keheningan: “Aku akan pergi menangkan ikan” (Yohanes 21:3). Petrus tidak tahu harus melakukan hal apa lagi sambil menunggu. Menangkap ikan adalah profesi yang ia geluti sejak jauh sebelum ia menjadi murid Tuhan. Baginya, mengerjakan sesuatu yang familiar sambil menunggu adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan ketimbang hanya berdiam diri saja tanpa melakukan apapun. Murid-murid yang lain menangkap maksud Petrus, kemudian pergi bersamanya ke tengah Laut Tiberias untuk menangkap ikan.

Semalaman mereka mencari, namun tak menemukan satu ikan pun. Mendekati tengah hari, mereka mendengar suara dari tepi pantai, “Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk pauk?” Mungkin dengan agak kesal dan kelelahan, mereka menjawab si orang asing, “Tidak” (ayat 5). Kemudian hal paling ajaib terjadi. Si orang asing menyuruh mereka untuk menebarkan jala mereka di sebelah kanan perahu. Para murid menatap satu sama lain dengan mata terbelalak, setengah kebingungan, setengah bersukacita. “Mungkinkah itu Guru?” Maka mereka menebar jala ke sebelah kanan perahu.

Yang terjadi setelahnya adalah pertemuan ketiga para murid dengan Tuhan Yesus yang telah bangkit, di mana mereka diteguhkan dan bersekutu dengan-Nya.

Akhir yang lebih baik

Dalam pembacaan dan perenungan terhadap cerita dalam perikop ini, aku merasa ditegur dan dihibur di saat yang sama; ditegur karena selama ini aku terlalu fokus melamar pekerjaan sehingga lupa untuk bergantung pada Tuhan; dihibur karena dalam membiarkan para murid menunggu-Nya pun Tuhan tetap memelihara iman mereka.

Tidak butuh waktu yang lama hingga aku dapat melihat pekerjaan Tuhan Yesus yang mengubahkan sikapku selama menunggu jawaban dari-Nya. Aku masih menonton serial TV serta membaca komik dan buku, tapi hanya di sela-sela waktuku saja. Aku menggunakan waktu-waktu utamaku untuk menyesuaikan kembali isi CV dan surat pengantar untuk setiap lowongan pekerjaan yang berbeda. Selain itu, aku juga mulai melakukan aktivitas lain seperti: menulis, memimpin kelompok kecil di gereja, membantu penelitian survei mamalia, dan pergi menghadiri seminar apologetika. Aku juga kembali mengerjakan beberapa pelayanan yang sempat kulalaikan dengan serius di hadapan Tuhan seperti mengajar sekolah Minggu.

Puji Tuhan, panggilan wawancara pun kembali berdatangan, dan walaupun belum ada tawaran pekerjaan yang datang, aku tetap menunggu Tuhan dengan penuh pengharapan sambil melakukan hal-hal terbaik lain yang bisa kukerjakan. Kemudian tibalah jawaban yang kutunggu-tunggu di awal Oktober. Dalam waktu dua minggu, aku menemukan satu perusahaan konsultasi lingkungan hidup, melamar ke sana, mengikuti wawancara tahap pertama, dan sempat risau karena jadwal wawancara tahap kedua mungkin akan bentrok dengan seminar apologetika yang kuikuti. Tapi, puji Tuhan, jantungku rasanya seperti berhenti sesaat ketika setelah wawancara kedua aku langsung ditawarkan pekerjaaan di bidang yang ingin kujelajahi.

Sisa ceritanya adalah bagian dari sejarah.

Sambil menunggu, lakukan yang terbaik yang bisa dikerjakan

Sekarang aku sudah bekerja sebagai konsultan lingkungan hidup selama tiga bulan. Butuh penantian dan perjuangan selama satu tahun untuk tiba di sini. Sambil menunggu, ada banyak pertanyaan dan kekecewaan yang kurasakan dan kutumpahkan kepada tuhan dalam waktu-waktuku berdoa dan bersaat teduh. “Kenapa aku tidak mendapatkan tawaran dari perusahaan A? Paling tidak aku seharusnya maju ke wawancara tahap kedua untuk posisi B, bukan?” dan lain sebagainya. Tetapi, Tuhan terus menjawabku dengan “Tunggu”, dan masa menunggu itulah dipakai-Nya untuk aku belajar berfokus melakukan hal-hal terbaik yang bisa kukerjakan.

Melihat ke belakang, aku menyadari bahwa Tuhan menggunakan masa-masa itu untuk mengasah dan mempertajam imanku sehingga ku dapat lebih bersukacita di dalam Kristus ketika jawaban dari-Nya datang.

Ketika Tuhan menyuruh kita untuk menunggu, bukan berarti kita harus berdiam diri tanpa melakukan apapun. Sebaliknya, lakukanlah hal-hal terbaik yang bisa kita kerjakan. Niscaya kita akan melihat dan mengalami rancangan damai sejahtera dari-Nya yang memberikan kepada kita hari depan yang penuh pengharapan (Yeremia 29:11).

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Baca Juga:

3 Tanda Hidupmu Dikendalikan oleh Perasaanmu

Kawanku, emosi adalah hal yang sangat penting, tetapi kita tidak bisa membiarkannya mengendalikan hidup kita.

3 Alasan Mengapa Aku Menunggu

Oleh Amy Ji, Singapura
Artikel ini diterjemahkan oleh Arie Yanuardi
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Must I Wait?

Kita hidup di dalam masyarakat yang serba cepat: informasi yang instan, makanan cepat saji, dan hal-hal yang serba otomatis. Sulit untuk menghindari segala kemajuan zaman tersebut selain belajar untuk menjadi lebih peka terhadap teknologi. Namun ketika segalanya menjadi lebih cepat, generasi seperti kita sering menganggap bahwa menunggu itu— meskipun itu cuma lima menit—bisa jadi aktivitas yang terasa sangat berat.

Oleh karena itu, kita mencari hal-hal yang bisa kita lakukan selama kita menunggu. Sedang menunggu bus? Atau sedang mengantre makan siang? Waktunya untuk mengecek email dan media sosial. Masalah datang ketika tidak ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk mengalihkan perhatian kita saat kita menunggu. Inilah yang membuat menunggu terasa jadi penderitaan yang berat.

Tapi, bukankah sesungguhnya dalam hidup ini kita selalu menunggu sesuatu? Seperti seorang lajang yang menunggu pasangan hidup yang takut akan Tuhan; seorang pelajar yang dengan gelisah menunggu hasil ujian masuk perguruan tinggi; atau seorang pemuda yang menunggu masa akhir baktinya di wajib militer supaya dia bisa kembali ke kehidupan normal dan menumbuhkan kembali rambutnya. Atau, sepasang suami istri yang menunggu kehadiran anak pertama mereka.

Enam belas tahun sudah berlalu sejak aku mendengar panggilan Tuhan untuk melayani di ladang misi-Nya. Panggilan ini telah diteguhkan oleh para pemimpin gereja, dinubuatkan oleh para pembicara di youth-camp, dan dikuatkan melalui waktu-waktu teduh pribadiku dengan Tuhan. Tapi, beginilah hidupku sekarang: seorang ibu rumah tangga yang mengurusi anak balita di tanah airku, dan istri dari seorang calon pendeta yang harus memenuhi kontrak pelayanan selama empat tahun setelah lulus dari seminari.

Sejujurnya, masa menunggu ini membuatku frustrasi. Sekalipun aku tahu kalau belum seorangpun di keluargaku yang siap untuk melayani ladang misi tersebut, aku tetap tidak sabar untuk segera diutus. Setiap tahun, gereja kami memiliki “Bulan Misi” dan di minggu terakhirnya, pembicara selalu menantang para jemaat yang merasa terpanggil melalui panggilan altar. Sebagai seorang pemuda, dulu aku bergegas turun ke altar dengan tangan terangkat. Tapi, beberapa tahun belakangan, aku hanya berjalan ke altar dalam diam sembari hatiku terus menerus bertanya, “Kapan waktunya, Tuhan? Kapan?”

Namun tahun ini berlalu dengan sangat berbeda. Aku memutuskan untuk tidak tergesa-gesa. Selama masa penantian inilah aku mempelajari beberapa hal tentang menunggu yang Tuhan ajarkan kepadaku:

1. Proses menunggu dialami oleh setiap orang Kristen

Sesulit apapun menunggu, setiap kita dipanggil untuk menunggu.

Kita semua menjalani kehidupan kita di bumi sebagai pengembara. Kita menunggu untuk kelak pulang ke tempat peristirahatan yang kekal, seperti yang telah dijanjikan oleh Yesus. Tapi, masa-masa menunggu ini bukanlah masa yang kita jalani dengan berdiam diri. Sebaliknya, Yesus memerintahkan kita untuk memuridkan dan mengikuti Roh Kudus dalam melaksanakan pekerjaan Bapa.

Seorang misionaris yang pernah tinggal sambil melayani bersamaku selama semusim di Thailand baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-60 di Singapura. Setiap kali dia ditanya mengapa dia tidak menikah, dia dengan mudah menjawab bahwa Tuhan mungkin masih menyiapkan dirinya untuk menjadi pengantin wanita yang terbaik—dan jika itu tidak terjadi di kehidupan sekarang, maka itu akan terjadi di kekekalan nanti, bersama Tuhan di surga.

Tapi, alih-alih hanya duduk diam, dia adalah orang yang mempraktikkan perkataan “jangan pernah sia-siakan satu momen pun”. Dia bangun pukul lima pagi setiap hari untuk berdoa dan menyiapkan sarapan sebelum dia pergi berkeliling mengunjungi warga. Dia melakukan pekerjaan Tuhan dengan taat—memuridkan, berdoa, dan melayani orang-orang di sekitarnya.

Selagi kita menunggu hal-hal yang diinginkan oleh hati kita, mengapa kita tidak melakukan hal-hal yang menyenangkan hati Tuhan dengan penuh semangat? Buat sebagian besar dari kita yang sudah menjadi orang percaya untuk waktu yang lama, kita bisa menggunakan waktu kita untuk mempelajari Alkitab, membimbing orang-orang yang baru percaya, atau mengajari anak-anak yang lebih muda di gereja kita.

2. Menunggu adalah proses yang terpuji

Menunggu di bawah kaki Tuhan adalah sesuatu yang menyenangkan-Nya—tepat seperti yang dilakukan Maria ketika Marta menyibukkan dirinya di dapur. Yesus berkata Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya. Aku yakin bagian terbaik yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus adalah ketika Maria memilih untuk mendengarkan perkataan-Nya, yang adalah anak Allah.

Kita semua menanti Tuhan dengan cara yang berbeda. Beberapa orang lebih suka menulis dalam catatan harian mereka, sedangkan yang lain membaca dan mendengarkan ayat-ayat Alkitab dalam perjalanan mereka. Terlepas dari bagaimana cara kamu berdoa, yang terpenting adalah kamu menanti di dalam Tuhan. Di dalam firman-Nya, ada kehidupan. Dan ketika kita menerima-Nya, kita akan merasakan sukacita yang melimpah.

Ketika aku memperhatikan saudara-saudari seimanku yang sedang menantikan kehadiran seorang anak, aku dibuat malu oleh iman yang mereka tunjukkan. Alih-alih marah atau menyalahkan Tuhan, mereka berserah sepenuhnya pada Tuhan untuk memberikan kekuatan selama mereka menunggu. Aku melihat bagaimana Tuhan membalas waktu-waktu yang telah mereka berikan pada-Nya. Tuhan memberikan penghiburan dalam setiap tetesan air mata mereka, juga memberikan sukacita yang tak terukur dari firman-Nya.

3. Tuhan juga menunggu

Tuhan sendiri sedang menunggu kita untuk datang bertobat. 2 Petrus 3:9 mengatakan, “Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.”

Jadi sekarang, alih-alih bertanya “kapan” pada Tuhan, aku belajar untuk bertanya “mengapa”—mengapa aku masih di sini? Pada saat itulah aku menyadari bahwa Tuhan memberikan sebuah peran untukku lakukan sekarang, tepat di tempat di mana aku berada sekarang. Aku masih memiliki anggota keluarga besarku yang belum kujangkau. Ada para pemuda dan ibu-ibu muda di gerejaku yang harus kulayani. Ada orang-orang asing di seminari yang harus kusambut ke dalam rumahku. Dan masih banyak lagi.

Untuk kita yang sedang menunggu apapun itu, izinkan aku menguatkanmu dengan perkataan ini: jangan hanya berdiam ketika menunggu, karena Tuhan punya pekerjaan untuk kamu kerjakan sekarang.

Baca Juga:

Kupikir Menjadi Cantik dan Menarik Adalah Segalanya

Ketika aku sangat mengagumi selebritis idolaku, aku pun mulai membandingkan mereka dengan diriku. Aku ingin menjadi cantik dan terkenal seperti mereka hingga aku mulai merasa tidak puas dengan diriku dan membenci tubuhku.

5 Hal yang Harus Dilakukan Sebelum Mulai Bekerja

Penulis: Yong Xin, Malaysia
Artikel asli dalam Bahasa Mandarin: 工作还没来,就先做这五件事儿吧!

5-Things-to-Do-before-You-start-Work

Waktu berlalu sangat cepat. Sebentar lagi aku akan lulus kuliah dan memasuki dunia kerja.

Karena aku ingin sekali bisa segera bekerja, aku sudah giat mencari informasi lowongan kerja, mengirimkan lamaran, dan menjalani cukup banyak wawancara, berbulan-bulan sebelum hari kelulusanku tiba.

Meski usahaku terbilang sangat gigih, aku tidak kunjung menerima berita baik. Aku pun mulai mengeluh kepada Tuhan, “Mengapa Engkau belum juga memberiku pekerjaan?” Namun, Tuhan lalu menunjukkan alasan-Nya—karena aku sendiri belum siap untuk itu. Aku harus belajar untuk menanti dengan sabar, berserah pada kehendak-Nya, dan mempercayai waktu-Nya yang sempurna.

Selama masa menanti pekerjaan itu, aku belajar 5 hal yang menolongku mempersiapkan hati memasuki dunia kerja:

1. Memahami untuk apa kita bekerja

Kita perlu memahami apa pentingnya kita bekerja. Kolose 3:23 memberitahu kita: “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Bagian firman Tuhan ini selalu mengingatkan aku bahwa bekerja bukan sekadar usaha untuk mendapatkan uang, melainkan sebuah pelayanan kepada Tuhan yang harus dilakukan dengan rendah hati.

Jika kita bekerja bagi Tuhan, kita akan melihat apa yang kita kerjakan sebagai sesuatu yang memiliki nilai dalam kekekalan. Yang paling penting bukanlah apa pekerjaan yang aku lakukan, melainkan untuk siapa pekerjaan itu aku lakukan—untuk Tuhan saja.

2. Mengambil waktu bersekutu dengan Tuhan

Saat menantikan panggilan kerja, kecemasan sangat mudah memenuhi hati kita. Namun, kita bisa mengingat janji Tuhan: ketika kita hidup dekat kepada-Nya, Dia akan tinggal dekat dengan kita, menenangkan hati kita yang gelisah, dan mengaruniakan iman yang kita butuhkan untuk tetap berharap kepada-Nya.

Saat menanti panggilan kerja, aku memiliki banyak waktu untuk bersekutu dengan Tuhan, berbicara kepada-Nya, dan bertumbuh dalam hubunganku dengan-Nya. Aku belajar untuk bergantung kepada Tuhan dalam waktu-waktu yang penuh ketidakpastian, untuk mengalami kasih dan kesetiaan-Nya dalam proses penantian itu.

3. Menantikan Tuhan dengan sabar dan berserah pada kehendak-Nya

Aku sempat menerima tawaran pekerjaan yang sudah aku tunggu-tunggu, tetapi proses yang berjalan kemudian tidak selancar yang kuharapkan, dan pada akhirnya aku tidak mendapatkan pekerjaan itu. Meskipun aku merasa kecewa, aku diingatkan bahwa Tuhan memegang kendali di tengah semua pergumulanku. Ketika hidup ini tidak berjalan seperti yang aku harapkan, tidak seharusnya aku kehilangan iman atau sibuk mengeluh. Yang harus aku lakukan adalah menantikan-Nya dengan sabar dan belajar untuk berserah kepada-Nya.

Di mana pun Tuhan menempatkan kita, pilihan-Nya itu selalu sesuai dengan rencana-Nya. Aku yakin bahwa rencana Tuhan selalu lebih baik daripada rencana kita sendiri karena Dia mengenal kita lebih baik daripada kita mengenal diri kita sendiri (Dia juga lebih tahu tentang pekerjaan yang tepat bagi kita). Untuk lebih memahami kehendak-Nya, kita perlu selalu kembali kepada firman Tuhan dan datang kepada Tuhan dalam doa.

4. Mencari nasihat/bimbingan dari orang yang lebih dewasa

Apa yang akan kamu lakukan ketika menjumpai persimpangan dalam hidup dan kamu harus mengambil keputusan besar yang akan mempengaruhimu sepanjang sisa hidupmu? Aku sendiri akan selalu mencari bantuan dari saudara-saudara seiman yang lebih dewasa.

Saudara seiman yang lebih dewasa itu bisa jadi adalah para penatua di gereja kita, atau anggota keluarga kita sendiri. Mereka selalu senang memberikan nasihat-nasihat yang bijaksana, dan biasanya bersedia mendengarkan apa pun yang ada di hati kita atau yang sedang mengganggu kita. Mereka jelas punya lebih banyak pengalaman dibandingkan dengan kita, jadi saran dan dorongan dari mereka dapat menolong kita untuk melakukan hal yang benar.

Suatu kali aku bertanya kepada seorang saudara seiman yang lebih dewasa, apakah wajar jika orang selalu mengenang kehidupan mereka sebagai pelajar/mahasiswa ketika mereka mulai bekerja. Ia menasihatiku untuk tidak mengingat-ingat indahnya masa kuliah saat mulai bekerja. Sebaliknya, aku harus fokus memikirkan bagaimana Tuhan ingin memakaiku di tempat kerja. Tuhan pasti punya rencana dengan menempatkanku di sana. Sungguh sebuah nasihat yang sangat berkesan dalam pikiranku! Nasihat itu ikut membentuk sikap-sikap yang kumiliki terhadap pekerjaanku saat ini.

5. Tetapkan sejumlah target yang ingin dicapai secara pribadi

Sebelum kita memasuki dunia kerja, kita juga perlu menetapkan sejumlah target pribadi. Misalnya, kita dapat memikirkan apa yang akan kita lakukan untuk memuliakan Tuhan di tempat kerja kita, menjadi saksi bagi teman-teman kita. Matius 5:16 berkata, “…hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”

Kita juga dapat menentukan sikap seperti apa yang ingin kita tampilkan—selalu bersemangat, setia, dapat dipercaya, dan menolak godaan untuk mengambil jalan pintas atau untuk bekerja dengan setengah hati.

Kita juga harus berjuang untuk mengasihi mereka yang bekerja dengan kita. Dengan begitu, kita dapat menjadi kesaksian yang baik di dalam dan melalui pekerjaan kita, bahkan mempengaruhi orang-orang di sekitar kita. Tuhan menghendaki kita menjadi terang dan garam dunia. Sebab itulah kita harus selalu menjalankannya dengan tujuan yang jelas: untuk memuliakan Bapa di surga.

Saat menulis artikel ini, aku masih belum mendapatkan pekerjaan—namun aku percaya bahwa Tuhan bekerja dalam segala sesuatu menurut waktu-Nya. Dan, aku akan terus menanti dengan sabar. Sembari mempersiapkan diri kita memasuki fase hidup yang baru ini, mari kita mempersiapkan hati kita dengan tekad untuk bekerja bagi Tuhan dan bersinar bagi-Nya di mana pun nanti kita ditempatkan.

Mengapa Kita Suka Sesuatu yang BARU?

Oleh: Shawn Quah
(artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Do We Love New Things?)

mengapa-suka-yg-baru

Semua atau setidaknya kebanyakan orang suka dengan sesuatu yang baru. Apalagi jika hal yang baru itu dapat menunjang penampilan kita. Entah hal itu benar-benar diperlukan atau tidak, keinginan kita untuk memiliki hal-hal yang baru seolah tidak ada habisnya (kita ingin hp baru, sepatu baru, memulai sesuatu yang baru, dan seterusnya).

Gereja tempat aku berjemaat belum lama ini merenovasi aula kebaktian. Baru satu bulan ini kami mulai dapat memakainya untuk kebaktian. Sangat menyenangkan ketika akhirnya bisa menikmati aroma yang baru, ruang yang lebih luas, juga perasaan menjadi bagian dari sesuatu yang baru sekaligus yang sudah begitu dekat dengan kami.

Adakalanya aku bertanya-tanya, apakah selalu menginginkan sesuatu yang baru itu adalah perasaan yang sewajarnya kita miliki? Mengapa kita begitu senang memiliki sesuatu yang segar dan baru? Apakah itu berarti hal-hal yang dulunya “baru” bagi kita telah kehilangan nilainya seiring dengan waktu yang berlalu?

Sepertinya kerinduan kita untuk sesuatu yang lebih baik dan baru sudah dimulai sejak kejatuhan manusia dalam dosa. Kita membaca tulisan Paulus di kitab Roma, bahwa sejak kejatuhan manusia, kondisi segala makhluk terus memburuk, baik dalam aspek jasmani maupun rohani, dan sebab itu selalu mengharapkan datangnya sesuatu yang lebih baik.

Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.” —Roma 8:22-23

Tubuh yang baru, yang sempurna dan tidak bercela. Semua kita tentu menginginkannya, bukan? Jadi, menurut standar Alkitab, menginginkan sesuatu yang baru bukanlah sesuatu yang keliru. Pertanyaannya adalah, “hal baru” apa yang kita kejar? Apakah kita mencari hal-hal baru yang bersifat materi belaka? Ataukah kerinduan kita tertuju pada “langit baru”, “bumi baru”, dan “tubuh baru” yang dijanjikan Allah?

Setiap hari kita ditantang untuk tidak beralih fokus pada berbagai hal menarik dari dunia ini yang dapat membuat Firman Tuhan tampak tidak relevan dan ketinggalan zaman. Namun, mari terus menjaga fokus kita kepada hidup kekal yang dijanjikan oleh Tuhan dan Pencipta kita bersama-Nya.

Di tahun yang baru ini, mari mengingat kembali saat-saat pertama kita mengenal Tuhan. Ingatlah selalu apa alasan kita percaya dan mengikut Dia. Kiranya perspektif kekekalan menyertai keinginan kita akan “hal-hal yang baru”—pertemuan di surga, bersama dengan orang-orang yang kita kasihi, dalam tubuh yang baru, dan bersama Tuhan yang telah lebih dulu mengasihi kita!

 

Menanti
Namun tak pernah menemukan
Terus mencari, tak kunjung menjumpai
Apa gerangan yang kukejar selama ini?
Hal-hal yang sia-sia
Mimpi-mimpi yang kosong
Adakah sesuatu di dunia ini
yang akan dapat memuaskan jiwaku ini?
Aku berdiri di sana dan mengingat
Hari ketika aku datang dengan tangan hampa
Namun dipenuhi Tuhanku dengan luapan kerinduan
Yakin teguh akan janji-janji-Nya
Sembari menanti
Menanti
….

Menanti Dengan Sabar

Bacaan: Yohanes 11:1-44

Yesus memang mengasihi Marta dan kakaknya dan Lazarus. Namun setelah didengar-Nya, bahwa Lazarus sakit, Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, di mana Ia berada. —Yohanes 11:5-6

Walaupun saya sudah bertahun-tahun menjadi orang Kristen, tetap saja ada beberapa aspek kehidupan Yesus yang membuat saya bertanya-tanya baru-baru ini. Saya membayangkan, bagaimana bunyi aksen Galilea-Nya, perangai apa yang dipelajari-Nya dari Yusuf dan Maria, dan siapa saja sahabat-Nya. Nah, bacaan hari ini cukup menjawab pertanyaan terakhir tadi. Walaupun Yesus menyebut murid-muridnya sebagai “sahabat” (Yoh. 15:15), namun Marta, Maria, dan Lazaruslah yang dituliskan sebagai yang dikasihi Yesus (Yoh. 11:5,36).

Yesus memperlakukan mereka yang dikasihi-Nya dengan cara yang unik.

Kedua kakak beradik yang merupakan teman baik Yesus itu telah mengirim kabar: “Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit” (Yoh. 11:3). Bukannya dengan segera pergi menolong mereka, Yesus seolah mengabaikan seruan mereka yang meminta pertolongan, dengan tinggal lebih lama di tempat Dia berada. Ketika Dia datang, Dia terlambat hadir di pemakaman Lazarus! (ay.17-19). Wajarlah saudara-saudara Lazarus mengungkapkan kedukaan mereka: “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati” (ay.21,32).

Jelas, ini bukan perlakuan yang pantas terhadap seseorang yang kita kasihi.

Akan tetapi Yesus telah mengatakan sesuatu yang tidak didengar oleh Marta dan Maria. “Penyakit itu tidak akan membawa kematian,” kata-Nya saat menerima kabar penyakit Lazarus. “Tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan” (ay.4).

Saat Yesus tiba, Dia menangis (ay.33-35). Sambil menangis, Dia mendatangi kubur Lazarus. Dan, seperti yang kita baca, seruan Yesus yang keras membuat Lazarus yang dikasihi-Nya keluar dari kubur (ay.43-44). Kedua saudari Lazarus benar-benar melihat kemuliaan Allah (ay.40).

Pernahkah kamu merasa diabaikan Tuhan? Seolah Dia tak mempedulikan tangisanmu?

Percayalah bahwa Dia punya maksud yang baik bagi masalahmu.

Percayalah bahwa Dia menangis ketika Dia melihat penderitaanmu.

Percayalah bahwa ketika kamu menanti dengan sabar, kamu akan melihat kemuliaan Allah. —Sheridan Voysey

Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN! (Mzm. 27:14)

Untuk direnungkan:

Karya Allah apa yang sedang kamu nantikan dalam hidupmu?

Bagaimanakah Allah membentuk karaktermu dalam masa penantianmu?