Posts

Kulihat Betapa Baiknya Tuhan Melalui Sakitnya Papaku

Oleh Agustinus Ryanto

Tahun 2022 tak pernah kubayangkan akan semengerikan ini. Setelah serangkaian kejadian yang memahitkan hati, di akhir Maret kudapati telepon mendadak di tengah malam yang mengabariku kalau papaku yang bertubuh prima tanpa ada riwayat sakit apa pun kini tergolek tak berdaya, di batas antara hidup dan maut. Dia dilarikan ke ICU setelah kecelakaan tiga hari sebelumnya. Nyawanya ditopang oleh deru ventilator dan alat monitor jantung.

Telepon itu kuterima jam sebelas malam. Sudah tak ada lagi kendaraan antarkota yang bisa membawaku pulang ke. Sembari menunggu bus pertama yang akan berangkat jam lima subuh, pikiranku kacau. Tak menyangka apabila peristiwa yang musababnya terdengar konyol bisa menghancurkan hidup papaku. Kisah nahas ini bermula saat papaku beserta istri dan anaknya yang lain tengah berjalan-jalan di kompleks perumahan. Karena melihat ular, dia melompat dan terperosok ke selokan sedalam kira-kira tiga meter. Bonggol sendi yang menghubungkan tulang paha dan pinggangnya patah. Setelah serangkaian pengobatan non-medis yang dilakukan, keadaannya terus memburuk sehingga dia pun dilarikan ke ICU. Patah tulang itu turut membangkitkan penyakit lain dalam tubuhnya. Dia didiagnosis Pneumonia dan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), komplikasi pada paru-paru yang diakibatkan paparan asap rokok dan polusi, juga infeksi pada ususnya.

Dua belas malam kuhabiskan menemaninya di tepi ranjang. Banyak orang datang memberiku penghiburan dan dukungan, tetapi itu tak menghilangkan rasa heran dalam benakku.

Papaku bukanlah orang yang dekat dengan Tuhan. Di balik tubuh tegapnya, dia memang seorang perokok berat yang bisa menghabiskan tiga bungkus rokok dalam sehari. Keluarga kami pun retak setelah keputusan papa untuk meninggalkan kami dan membangun hidup barunya bersama orang lain. Beberapa orang yang dulu pernah disakiti olehnya menyebut bahwa sakit ini adalah karma atas tindakan papa, tetapi hatiku menolak konsep itu.

Sungguhkah Tuhan menghukum papa dengan intensi untuk membalaskan dendam?

Cara pemulihan yang tak terbayangkan

Hingga hari ini, papaku masih tergolek lemah tak berdaya. Kondisi fisiknya yang telah membaik, kembali memburuk. Namun, pengalamanku selama 12 hari berada di sisinya memberiku sebuah pemahaman baru tentang apa itu pemulihan yang sejati, yang datangnya dari Sang Ilahi.

Dunia memaknai konsep pulih berdasarkan ekspektasi manusia. Yang rusak menjadi utuh. Yang hilang menjadi ditemukan. Yang sakit menjadi sembuh. Pemulihan yang setiap kita harapkan adalah sebuah keadaan yang secara kasat mata berbalik 180 derajat. Tetapi, tak selalu pemulihan itu memberikan hasil yang demikian. Alkitab mencatat akan kisah Lazarus yang sakit hingga ia pun meninggal.

Kabar sakitnya Lazarus telah disampaikan oleh Maria dan Marta. Mereka berseru, “Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit.” (Yohanes 11:3). Kita bisa menerka bagaimana perasaan kedua wanita tersebut menghadapi saudara mereka yang kesakitan. Mungkin mereka panik, gusar, dan berharap agar mukjizat kesembuhan segera dinyatakan oleh Yesus. Ketika mendengar kabar itu, Yesus pun merespons. Kata-Nya, “Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan” (ayat 4). Alih-alih segera berangkat, Yesus malah sengaja tinggal dua hari lebih lama, dan ketika Dia tiba, Lazarus telah terbaring empat hari lamanya dalam kubur. Maria dan Marta mengungkapkan rasa sedih dan kecewanya pada Yesus dengan berkata, “Tuhan sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati” (ayat 21&32).

Yesus mengerti dukacita yang Maria dan Marta alami sehingga Dia pun turut menangis (ayat 35). Syahdan, mukjizat pun terjadi. Oleh kuasa-Nya, Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian. Kita tidak tahu bagaimana respons Maria dan Marta terhadap kebangkitan saudaranya itu sebab Alkitab tidak mencatat lebih detail. Tetapi, kebenaran yang kupetik dari kisah Lazarus ini begitu menguatkan hatiku.

Betapa Tuhan bekerja dengan cara-Nya sendiri yang tak mampu kita jelaskan dengan jalan pikiran kita. Pemulihan yang sejati, yang datang dari Tuhan bukanlah membalikkan keadaan agar sesuai dengan harapan dan kehendak kita, tetapi agar Allah dimuliakan dan kemuliaan-Nya itulah yang akan membawa orang-orang percaya kepada Dia yang diutus Bapa (ayat 42). Ada kalanya cara pemulihan-Nya membuat kita tak percaya. Mungkin Tuhan mengizinkan sakit berat, kehilangan, atau dukacita terjadi, tetapi jika itu adalah kehendak-Nya, maka biarlah itu terjadi, sebab kita tahu bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:16) dan segala jalan-jalan-Nya sempurna (Mzm 18:31). Bukan untuk membawa kecelakaan bagi kita, tetapi untuk mendatangkan kebaikan. Bukan sebagai karma dan hukuman agar kita menderita tak berdaya, tetapi sebagai dekapan kasih-Nya agar kita tahu bahwa di tengah dunia yang telah jatuh dalam dosa, segala hal buruk bisa menimpa, tetapi orang yang percaya dan dikasihi-Nya dipelihara-Nya selalu dalam segala musim kehidupan.

Di tengah malam, kala kuusap rambut papaku, kuajak dia berdoa dan bernyanyi. Dengan suara lemah dan tetesan air mata, dia mengikuti ucapan doaku. Dia yang menghilang jauh dari keluarga dan Tuhan Yesus, kembali mengucap lewat mulutnya bahwa Kristus adalah Juruselamat dan dia pun bersemangat untuk pulih, untuk kelak dalam tubuhnya memuliakan Tuhan.

Hingga hari ini papaku masih tergolek lemas di rumah sakit. Operasi telah dilakukan, bahkan sudah dibolehkan pulang, tetapi ada penyakit lain yang menggerogoti tubuhnya yang membuatnya kembali lagi dilarikan ke bangsal perawatan, dengan selang oksigen dan sonde yang masuk ke dalam tubuhnya.

Masa-masa ini sungguh tidak mudah, tidak hanya untuk papaku, bahkan untuk aku cerna juga. Rasanya seperti masuk ke dalam terowongan yang gelap dan aku belum bisa melihat cahaya di ujung sana. Namun satu yang aku percaya, apabila Tuhan berkenan memberikan kesembuhan saat ini juga, maka mudah bagi-Nya seperti membalikkan telapak tangan. Namun, apabila Dia mengizinkan papaku melewati proses yang lebih berat dan lama, maka aku percaya tentunya Tuhan punya maksud, dan maksud-Nya selalu baik. Jadilah kehendak-Nya di bumi seperti di surga. Hanya, kumohonkan dalam hati agar dalam segala keadaan, kami tak pernah melepaskan iman percaya kami kepada-Nya. Sebab iman itulah yang menjadikan kami hidup, dan iman itu jugalah yang kelak akan membawa kami menyaksikan kemuliaan-Nya dinyatakan bagi kami maupun semua orang yang percaya kepada-Nya.

Pengalaman Tersulit

Kamis, 20 Februari 2020

Pengalaman Tersulit

Baca: Kejadian 41:46-52

41:46 Yusuf berumur tiga puluh tahun ketika ia menghadap Firaun, raja Mesir itu. Maka pergilah Yusuf dari depan Firaun, lalu dikelilinginya seluruh tanah Mesir.

41:47 Tanah itu mengeluarkan hasil bertumpuk-tumpuk dalam ketujuh tahun kelimpahan itu,

41:48 maka Yusuf mengumpulkan segala bahan makanan ketujuh tahun kelimpahan yang ada di tanah Mesir, lalu disimpannya di kota-kota; hasil daerah sekitar tiap-tiap kota disimpan di dalam kota itu.

41:49 Demikianlah Yusuf menimbun gandum seperti pasir di laut, sangat banyak, sehingga orang berhenti menghitungnya, karena memang tidak terhitung.

41:50 Sebelum datang tahun kelaparan itu, lahirlah bagi Yusuf dua orang anak laki-laki, yang dilahirkan oleh Asnat, anak Potifera, imam di On.

41:51 Yusuf memberi nama Manasye kepada anak sulungnya itu, sebab katanya: “Allah telah membuat aku lupa sama sekali kepada kesukaranku dan kepada rumah bapaku.”

41:52 Dan kepada anaknya yang kedua diberinya nama Efraim, sebab katanya: “Allah membuat aku mendapat anak dalam negeri kesengsaraanku.”

Demikianlah Yusuf menimbun gandum seperti pasir di laut.—Kejadian 41:49

Pengalaman Tersulit

Geoff kini melayani sebagai gembala kaum muda di kota tempat ia pernah mengalami kecanduan heroin. Allah telah mengubah hati dan keadaannya dengan cara yang luar biasa. “Aku ingin menolong anak-anak muda agar mereka tidak jatuh pada kesalahan yang sama dan merasakan penderitaan seperti yang kualami,” kata Geoff. “Yesus pasti akan menolong mereka.” Seiring waktu, Allah membebaskannya dari belenggu narkoba dan mempercayakan pelayanan yang penting kepadanya sekalipun masa lalunya suram.

Dengan cara-Nya, Allah sanggup membawa kebaikan yang tak terduga di tengah situasi yang seakan-akan tidak berpengharapan. Yusuf dijual sebagai budak ke Mesir, difitnah hingga masuk penjara, dan mendekam serta dilupakan di sana selama bertahun-tahun. Namun, Allah memulihkan keadaannya dan memberinya jabatan penting, langsung di bawah Firaun, sehingga ia dapat menyelamatkan hidup banyak orang—termasuk hidup saudara-saudaranya yang pernah membuangnya. Di Mesir, Yusuf menikah dan memiliki dua anak. Ia menamai anak keduanya Efraim (dari bahasa Ibrani yang berarti “berbuah dua kali lipat”), dengan alasan ini: “Allah membuat aku mendapat anak dalam negeri kesengsaraanku” (Kej. 41:52).

Kisah Geoff dan Yusuf, meski terpisah jarak waktu tiga atau empat ribu tahun, menunjuk pada satu kebenaran yang tidak pernah berubah: pengalaman-pengalaman tersulit dalam kehidupan kita dapat menjadi lahan subur bagi Allah untuk menolong dan memberkati banyak orang. Kasih dan kuasa Juruselamat kita tidak pernah berubah, dan Dia selalu setia kepada mereka yang percaya kepada-Nya.—James Banks

WAWASAN
Yusuf dijual sebagai budak oleh saudara-saudaranya pada usia tujuh belas tahun (Kejadian 37:2,27-28) dan kemudian dipenjara dengan tuduhan palsu mencoba tidur dengan istri majikannya (39:1-20). Tiga belas tahun dilewatinya dari menjadi budak hingga menjadi pegawai Firaun (41:46). Allah menyertai Yusuf ketika ia menjadi budak (39:2-6) dan selama ia berada dalam penjara (ay.20-23), lalu Dia memakainya dalam persiapan menghadapi bencana kelaparan. Hal ini memungkinkan Yusuf untuk menyelamatkan keluarganya, umat Allah, dari kelaparan dan membawa mereka ke Mesir (lihat pasal 41–47). Jika tidak dijual ke perbudakan, Yusuf tidak akan mencapai posisi yang memungkinkannya membawa keluarganya ke Mesir untuk menghindari kelaparan. Jika mereka mati, maka Yesus, keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub, tidak akan lahir dari keturunan mereka. Pada akhirnya, Allah memakai kehidupan Yusuf untuk menyatakan rencana keselamatan-Nya.—Julie Schwab

Pernahkah kamu menyaksikan bagaimana Allah mendatangkan kebaikan dari kesulitan hidup yang kamu alami? Bagaimana kamu dapat menggunakan kesulitan-kesulitan kamu di masa lalu untuk menguatkan orang lain hari ini?

Bapa yang Mahakuasa, sungguh tiada yang terlalu sulit bagi-Mu! Aku bersyukur atas kesetiaan-Mu yang sempurna, hari ini dan selamanya.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 26-27; Markus 2

Senantiasa Menyertai

Senin, 17 Februari 2020

Senantiasa Menyertai

Baca: Matius 28:16-20

28:16 Dan kesebelas murid itu berangkat ke Galilea, ke bukit yang telah ditunjukkan Yesus kepada mereka.

28:17 Ketika melihat Dia mereka menyembah-Nya, tetapi beberapa orang ragu-ragu.

28:18 Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.

28:19 Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,

28:20 dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”

Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.—Matius 28:20

Senantiasa Menyertai

Pada perhelatan Piala Dunia 2018, penyerang tim nasional Kolombia Radamel Falcao membobol gawang Polandia pada menit ke-17—sebuah gol yang menentukan kemenangan mereka. Gol ketiga puluh Falcao di kancah internasional itu membuatnya tercatat sebagai pemain Kolombia yang paling banyak dalam penampilan bersama tim nasional.

Falcao kerap memakai keberhasilannya di atas lapangan hijau untuk menunjukkan imannya. Sering kali, setelah berhasil menyarangkan bola ke gawang lawan, ia mengangkat seragam timnya untuk menunjukkan kaos dalamnya yang bertuliskan, “Con Jesus nunca estara solo” yang artinya: “Bersama Yesus kau takkan pernah sendirian.”

Pernyataan Falcao itu mengingatkan kita pada janji peneguhan dari Yesus, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20). Karena tahu Dia akan segera kembali ke surga, Yesus menghibur murid-murid-Nya dengan meyakinkan mereka bahwa Dia akan selalu menyertai mereka melalui kehadiran Roh-Nya (ay.20; Yoh. 14:16-18). Roh Kristus akan menghibur, menuntun, melindungi, dan menguatkan mereka ketika mereka memberitakan kabar tentang Yesus ke berbagai tempat yang jauh maupun dekat. Apabila kemudian mereka mengalami masa-masa yang sangat sunyi di tempat-tempat asing, perkataan Kristus tadi tentu terngiang kembali di telinga mereka, sebagai pengingat atas kehadiran-Nya di tengah-tengah mereka.

Ke mana pun kita melangkah untuk mengikuti Yesus menapaki masa depan yang tidak kita ketahui, kita juga dapat berpegang pada janji tersebut. Bahkan ketika kita merasa kesepian, lalu berdoa kepada Tuhan Yesus, kita dapat terhibur dengan menyadari bahwa Dia selalu menyertai kita.—Lisa M. Samra

WAWASAN
Peristiwa yang terjadi dalam pasal terakhir kitab Matius ini berlangsung tidak lama setelah kematian, penguburan, dan kebangkitan Kristus. Menjelang menyingsingnya fajar “Maria Magdalena dan Maria yang lain” pergi untuk “menengok kubur [Yesus]” (Matius 28:1). Maria Magdalena adalah perempuan dari Magdala yang disembuhkan dari tujuh roh jahat dan merupakan salah satu wanita yang membantu mendukung Yesus dan murid-murid-Nya (Lukas 8:1-3). Namun, siapakah “Maria yang lain” itu? Banyak yang percaya bahwa ia adalah “Maria istri Klopas” (Yohanes 19:25). Yang lain mengatakan bahwa ia adalah Maria ibu Yakobus dan Yusuf (Matius 27:56; Markus 15:40; Lukas 24:10). Dan yang lain lagi mengatakan bahwa ia adalah istri Klopas dan ibu dari Yakobus dan Yusuf. Namun, terlepas dari siapa pun wanita itu sebenarnya, ia dan Maria Magdalena mengira akan melihat kubur yang tertutup, tetapi mereka malah bertemu dengan Kristus yang telah bangkit (Matius 28:1-9).—Alyson Kieda

Bagaimana kepastian bahwa Yesus selalu menyertaimu membuatmu terhibur? Bagaimana Dia telah menghiburmu ketika kamu merasa kesepian?

Tuhan Yesus, terima kasih aku tidak pernah sendirian karena Engkau selalu menyertaiku.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 21-22; Matius 28

Handlettering oleh Tora Tobing

Kita Ini Debu

Minggu, 9 Februari 2020

Kita Ini Debu

Baca: Mazmur 103:8-14

103:8 TUHAN adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia.

103:9 Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamanya Ia mendendam.

103:10 Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita,

103:11 tetapi setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang takut akan Dia;

103:12 sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita.

103:13 Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.

103:14 Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu.

Dia ingat, bahwa kita ini debu.—Mazmur 103:14

Kita Ini Debu

Seorang ayah muda terlihat mulai kehilangan kesabarannya. “Es krim! Es krim!” jerit anak balitanya. Kegaduhan di tengah mal yang ramai itu mulai menarik perhatian pengunjung lain di sekitarnya. “Ya nanti, kita cari keperluan Mama dulu ya, oke?” bujuk sang ayah. “Tidaaaak! Es krim!” Kemudian seseorang menghampiri mereka: wanita bertubuh mungil, berpakaian bagus dengan sepatu yang serasi dengan tas tangannya. “Ia sedang meluapkan emosi,” si ayah menjelaskan. Wanita itu tersenyum dan menjawab, “Sebenarnya, emosilah yang menguasai anakmu. Jangan lupa, ia masih kecil. Yang ia butuhkan adalah kamu tetap sabar dan berada di dekatnya.” Situasi tersebut tidak serta-merta berhasil diatasi, tetapi kehadiran wanita itu menjadi semacam jeda yang dibutuhkan oleh si ayah dan anaknya saat itu.

Perkataan bijak wanita itu menggemakan kata-kata yang tertulis dalam Mazmur 103. Daud menulis tentang Allah kita yang “penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (ay.8). Ia kemudian melanjutkan dengan memberi gambaran tentang ayah duniawi yang “sayang kepada anak-anaknya,” dan bahkan terlebih lagi “Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia” (ay.13). Allah Bapa kita “tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu” (ay.14). Dia tahu kita lemah dan rapuh.

Kita sering gagal dan merasa kewalahan menghadapi segala sesuatu yang dilontarkan dunia ini ke arah kita. Namun, alangkah luar biasanya kepastian yang kita pegang, yakni mengenal kasih Bapa kita yang sabar dan selalu hadir dengan berlimpah ruah.—John Blase

WAWASAN
“TUHAN adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (Mazmur 103:8) merupakan penggambaran Allah seperti yang ditunjukkan kepada Musa di atas Gunung Sinai (Keluaran 34:6-7). Kasih Allah (hesed dalam bahasa Ibrani) dalam kitab Mazmur sering kali dipasangkan dengan kata kesetiaan (lihat Mamzur 100:5), tetapi Mazmur 103 menghubungkan kasih Allah dengan rasa sayang (ay.8,13). Pemazmur menegaskan bahwa murka Allah bukanlah murka yang penuh dendam, tetapi berhubungan dengan keinginan-Nya agar umat manusia memperoleh pengampunan, kesembuhan, sukacita, dan kepuasan di dalam Dia (ay.3-5).—Monica Brands

Pernahkah kamu merasa jengkel seperti anak kecil dalam cerita di atas? Bagaimana Allah Bapa merespons sikapmu saat itu?

Ya Allah, terima kasih Engkau sudah menjadi Bapa kami yang sabar dan selalu hadir, yang mengingat siapa diri kami di hadapan-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 6-7; Matius 25:1-30

Handlettering oleh Dinda Sopamena

Bekerja Layaknya Seorang Atlet

Oleh Dian, Surabaya

Aku bekerja sebagai guru. Di bulan April 2019, aku mendapatkan keputusan dari atasanku bahwa kontrak kerjaku tidak dilanjutkan lagi. Berita yang membuatku hopeless dan cukup gelisah. Teman-temanku yang mengetahui kabar ini pun sempat tidak percaya dan menyarankanku untuk bertanya lagi. Tetapi, nyatanya memang keputusan itu tidak bisa dibatalkan. Ada teman juga yang memberikan beberapa informasi lowongan pekerjaan untukku. Beberapa lowongan sudah aku daftarkan dan tak kunjung dapat balasan juga.

Hari demi hari, beberapa teman bersimpati atas kejadian ini. Tapi tak jarang, aku bilang ke teman-temanku, “Tidak apa-apa, aku bisa cari pekerjaan lain”. Tapi itu hanya ketenangan semu untuk menutupi kekecewaanku. Apalagi, kondisiku bukanlah seorang bujang, yang bekerja untuk diri sendiri. Aku punya istri yang sedang mengandung. Tentu masalah finansial memenuhi pemikiranku. Meskipun aku hafal ayat 1 Petrus 5:7 “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia memelihara yang kamu”, namun tetap saja itu tidak mampu membuat tidurku nyenyak. Apakah aku tidak bisa mengimani ayat ini? Aku juga tidak bisa menjawabnya, karena kenyataannya aku susah untuk tidur atas kekhawatiranku ini. Di sisi lain ayat ini mengatakan Tuhan akan memelihara hidupku.

Selama bekerja memang aku nampak cuek di sekitarku, aku hanya berpikir apa yang bisa kukerjakan dan tidak memikirkan yang lain. Aku juga tidak berpikir terhadap penilaian orang terhadap pekerjaanku dan apa yang kulakukan. Selama siswaku mengerti dan memahami tujuanku mengajar, itu sudah cukup. Tapi bagi atasanku itu tidak cukup untuk melanjutkan karierku bekerja di situ. Di sisi lain, beliau mungkin memiliki pertimbangan yang tidak bisa aku prediksi. Aku menghargai itu, tetapi aku cukup sulit menerima konsekuensi dari keputusannya, karena penghasilanku akan berkurang. Dengan kondisiku sekarang, aku sudah menghitung detail bahwa kemampuan finansialku tidak mampu memenuhi kebutuhan persalinan istriku dan biaya setelahnya.

Lantas apa solusinya? Utang.

Aku memikirkan kata itu untuk memenuhi semua kebutuhan keluargaku, tetapi istriku menolaknya. Ia mengingatkan bahwa kami harus menghindari utang, karena itu akan memberatkan kami dalam melunasinya. Ia selalu memintaku untuk apply pekerjaan. Aku bilang kepadanya, “mending aku kerja jadi marketing aja ya? Gak apa-apa tekanan tinggi, tetapi setidaknya bisa mengejar target finansial kita.”

Ia pun tidak mengizinkan, karena itu bukan background-ku dan kesenanganku. “Percuma kalau kamu bekerja cuma targetnya finansial”, katanya.

“Coba dulu kamu masukkan lamaran di beberapa sekolah,” tambahnya.

Bulan Juli 2019

Bulan ini ada sebuah kelegaan bagiku karena aku mendapatkan pekerjaan baru. Aku bekerja di salah satu sekolah swasta di Surabaya, meskipun sekolah ini hanya memberikan masa orientasi kerja selama 3 bulan. Ini pun membuatku berpikir, “Ternyata Tuhan masih memperhatikanku, meskipun aku sulit menaruhkan kekhawatiranku kepada-Nya”.

Apakah kekhawatiranku sudah hilang? Tidak. Aku masih khawatir apakah aku mendapatkan kesempatan bekerja setelah masa orientasi. Kekhawatiran ini membuatku sangat berhati-hati dalam bekerja. Aku mengusahakan tidak cuek terhadap orang lain, mencoba mencari tahu penilaian orang terhadapku itu seperti apa. Sehingga, secara tidak sadar aku membuat image sesuai apa yang diinginkan oleh rekan kerja, terutama atasan. Berbeda dengan pekerjaanku sebelumnya, yang tidak memedulikan omongan orang lain.

Aku bertanya kepada partner kerjaku, “Apa kriteria atau syarat supaya kontrak kerjanya lanjut di sini?”

“Ngapain dipikirkan, Pak. Yang penting kerja bener, untuk urusan dilanjut atau enggak. Itu gak usah dipikir. Aku dulu seperti itu,” Jawabnya.

Jawabannya menamparku sejenak. Jawabannya mengingatkanku bahwa aku bekerja bukan untuk dilihat oleh orang lain baik, tapi bagaimana memberi pengaruh baik. Jelas, aku sudah kehilangan esensi dan visi dalam bekerja. Aku sudah takut kehilangan pekerjaanku, bahkan hidup matiku seakan-akan hanya bergantung kepada pekerjaanku itu. Meskipun aku bisa beralasan bahwa itu untuk memenuhi kebutuhan istriku dan kelahiran anakku. Itu nampaknya bukan diinginkan Tuhan yang telah memberikan dan mempercayakan pekerjaan itu kepadaku. Pikiranku melintir menjadi 180 derajat, dari “apa yang bisa kuberikan dari pekerjaan” menjadi “apa yang bisa kudapatkan dari pekerjaanku”.

Ternyata orang bekerja itu ibarat seorang atlet yang bertanding. Meskipun ribuan penonton memberikan ejekan, hinaan, pujian, semangat atau komentar lain terhadap atlet yang bertanding, atlet yang baik pasti tidak terpengaruh oleh seluruh komentar penonton melainkan fokus pada tujuan dalam pertandingan, yaitu menang dengan sportif, respect dan penuh semangat. Walapun atlet itu mengalami kekalahan, ia pasti akan berlatih lebih keras lagi untuk mencapai tujuan kemenangan tersebut. Begitu juga pekerja yang baik adalah pekerja yang tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain, melainkan menjaga fokus terhadap tujuan dalam pekerjaan. Apalagi tujuan yang ia bawa sejalan dengan tujuan Tuhan. Aku pun masih mengusahakannya, meskipun jatuh bangun dan rasa kecewa serta was-was masih aku rasakan. Tapi setidaknya aku mencoba belajar menjadi atlet yang baik. Jika masih kalah aku untuk melatihnya lagi.

Baca Juga:

Setelah Jarrid Wilson Bunuh Diri: Ke Mana Kita Melangkah Selanjutnya?

Data WHO menunjukkan ada 800 ribu orang setiap tahunnya meninggal karena bunuh diri. Kita tidak bisa diam saja menanggapi isu ini. Kita perlu beranjak dan melangkah.

Layak Kita Memuji

Selasa, 27 Agustus 2019

Layak Kita Memuji

Baca: Mazmur 121

121:1 Nyanyian ziarah. Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?

121:2 Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.

121:3 Ia takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap.

121:4 Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.

121:5 Tuhanlah Penjagamu, Tuhanlah naunganmu di sebelah tangan kananmu.

121:6 Matahari tidak menyakiti engkau pada waktu siang, atau bulan pada waktu malam.

121:7 TUHAN akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Ia akan menjaga nyawamu.

121:8 TUHAN akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya.

Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel. —Mazmur 121:4

Layak Kita Memuji

Sebagai lelaki yang mencoba teguh memegang prinsip, hari itu saya merasa sangat gagal. Apa yang telah saya lakukan? Saya tertidur. Masalahnya begini: saya menerapkan jam malam terhadap anak-anak saya ketika mereka keluar di malam hari. Saya percaya mereka anak-anak yang baik, tetapi saya memang terbiasa terjaga dan menunggu sampai mendengar pintu depan rumah kami dibuka. Saya harus memastikan bahwa mereka sudah pulang dengan selamat. Meski bukan keharusan, tetapi saya memilih melakukannya. Namun, suatu malam, saya dibangunkan putri saya yang berkata sambil tersenyum, “Ayah, aku sudah pulang dengan selamat. Ayah bisa masuk kamar sekarang.” Sebaik apa pun niat kita, terkadang kita tertidur selagi berjaga. Sesuatu yang wajar, dan juga sangat manusiawi.

Namun, hal tersebut tidak pernah terjadi pada Allah. Mazmur 121 adalah pujian yang meneguhkan hati tentang Allah sebagai penjaga dan pelindung anak-anak-Nya. Pemazmur menyatakan bahwa Allah yang menjaga kita “tidak akan terlelap” (ay.3). Pemazmur kembali menegaskan kebenaran itu di ayat 4: “Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.”

Sungguh tak terbayangkan! Allah tidak pernah lalai dan tertidur. Dia senantiasa menjaga kita semua—anak, paman, bibi, ibu, dan bahkan ayah. Dia tidak harus melakukannya, tetapi Dia memilih untuk melakukannya karena kasih-Nya yang besar. Layaklah kita memuji Dia untuk janji penyertaan-Nya yang luar biasa itu. —John Blase

WAWASAN
Mazmur 121 adalah sebuah nyanyian ziarah yang dinyanyikan oleh orang-orang yang beribadah dalam perjalanan tahunan mereka ke Yerusalem. Keyakinan bahwa Allah adalah “Penjaga” umat-Nya diulang sebanyak lima kali (ay.3,4,5,7,8). Mazmur ini disusun menjadi empat couplet atau stanza 2 baris, masing-masing dengan tema yang berbeda, tetapi semuanya berkaitan dengan perlindungan Allah. Ayat 1-2 menyatakan dengan khidmat bahwa pertolongan datang dari yang “menjadikan langit dan bumi.” Ayat 3-4 menekankan bahwa Dia tidak pernah tidur dalam menjaga umat-Nya. Ayat 5-6 menyatakan perlindungan-Nya atas Israel siang dan malam. Selanjutnya ayat 7-8 menunjukkan perlindungan kekal Allah adalah “dari sekarang sampai selama-lamanya.” —Julie Schwab

Dalam hal apa saja kamu merasakan penyertaan dan kehadiran Allah? Saat kamu tidak merasakannya, kebenaran apa yang bisa kamu andalkan?

Bapa, terima kasih atas pemeliharaan-Mu yang tak berkesudahan atas hidup kami. Kami tahu itu bukan berarti hidup kami bebas masalah, tetapi hidup yang dipegang erat oleh kasih dan kehadiran-Mu. Tolong kami untuk meyakini penuh bahwa Engkau tidak pernah lalai menjaga kami.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 120-122; 1 Korintus 9

Handlettering oleh Mesulam Esther

Mata di Belakang Kepala

Selasa, 23 Juli 2019

Mata di Belakang Kepala

Baca: Mazmur 33:6-19

33:6 Oleh firman TUHAN langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala tentaranya.

33:7 Ia mengumpulkan air laut seperti dalam bendungan, Ia menaruh samudera raya ke dalam wadah.

33:8 Biarlah segenap bumi takut kepada TUHAN, biarlah semua penduduk dunia gentar terhadap Dia!

33:9 Sebab Dia berfirman, maka semuanya jadi; Dia memberi perintah, maka semuanya ada.

33:10 TUHAN menggagalkan rencana bangsa-bangsa; Ia meniadakan rancangan suku-suku bangsa;

33:11 tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hati-Nya turun-temurun.

33:12 Berbahagialah bangsa, yang Allahnya ialah TUHAN, suku bangsa yang dipilih-Nya menjadi milik-Nya sendiri!

33:13 TUHAN memandang dari sorga, Ia melihat semua anak manusia;

33:14 dari tempat kediaman-Nya Ia menilik semua penduduk bumi.

33:15 Dia yang membentuk hati mereka sekalian, yang memperhatikan segala pekerjaan mereka.

33:16 Seorang raja tidak akan selamat oleh besarnya kuasa; seorang pahlawan tidak akan tertolong oleh besarnya kekuatan.

33:17 Kuda adalah harapan sia-sia untuk mencapai kemenangan, yang sekalipun besar ketangkasannya tidak dapat memberi keluputan.

33:18 Sesungguhnya, mata TUHAN tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya,

33:19 untuk melepaskan jiwa mereka dari pada maut dan memelihara hidup mereka pada masa kelaparan.

Dari tempat kediaman-Nya [Allah] menilik semua penduduk bumi. —Mazmur 33:14

Mata di Belakang Kepala

Semasa kecil, seperti lazimnya anak-anak lain yang seusia, saya sering nakal dan berusaha menyembunyikan kenakalan itu agar tidak dimarahi. Namun, ibu saya biasanya langsung tahu apa yang telah saya perbuat. Saya ingat betapa kagumnya saya kepadanya karena dengan cepat ia mengetahui ulah saya. Ketika saya heran dan bertanya bagaimana ia bisa tahu, ibu saya selalu menjawab, “Ibu punya mata di belakang kepala.” Tentu saja, jawaban itu membuat saya penasaran dan mengamati kepala ibu saya setiap kali ia berbalik membelakangi saya. Saya bertanya-tanya, apakah matanya tidak terlihat atau tertutup oleh rambut merahnya? Setelah besar, saya berhenti mencari bukti sepasang mata tambahan ibu saya sembari menyadari bahwa ternyata saya memang tidak selihai yang saya kira. Pengamatan ibu saya yang jeli menjadi bukti kasih dan perhatiannya kepada anak-anaknya.

Walaupun sangat mensyukuri perhatian ibu saya (meskipun kadang-kadang kecewa karena ulah nakal saya selalu ketahuan), saya jauh lebih bersyukur kepada Allah karena Dia “melihat semua anak manusia” pada saat memandang kita dari surga (Mzm. 33:13). Dia tidak hanya melihat perbuatan kita; tetapi lebih daripada itu, Dia melihat kesedihan kita, sukacita kita, dan kasih kita kepada satu sama lain.

Allah melihat karakter kita yang sejati dan selalu mengetahui dengan tepat apa yang kita perlukan. Dengan pandangan-Nya yang sempurna, yang melihat jauh sampai ke kedalaman hati kita, mata Allah tertuju kepada mereka yang mengasihi-Nya dan yang berharap penuh kepada-Nya (ay.18). Dialah Bapa kita yang penuh perhatian dan kasih setia. —Kirsten Holmberg

WAWASAN
Paralelisme adalah teknik sastra yang berupa pengulangan—baik kalimat senada maupun yang bertentangan—untuk menekankan atau memperjelas pesan yang hendak disampaikan. Dalam Mazmur 33, penulis memakai teknik sastra puisi Ibrani ini untuk menegaskan kuasa dan kepedulian Tuhan pada umat-Nya. Dalam ayat 6, Firman Allah sebagai Pencipta digambarkan dengan istilah yang sama yaitu “firman TUHAN” dan “nafas dari mulut-Nya.” “Surga” dan “tentaranya” juga merupakan istilah dengan pengertian serupa. Paralelisme juga membantu untuk mengetahui makna suatu ungkapan, misalnya: ”Biarlah segenap bumi takut kepada TUHAN, biarlah semua penduduk dunia gentar terhadap Dia!” (ay. 8). Dalam ayat ini, jelas bahwa yang dimaksud dengan “takut akan Tuhan” adalah menghormati-Nya dan “gentar terhadap Dia.” —Arthur Jackson

Apakah kamu terhibur karena mengetahui bahwa Allah melihat segala sesuatu dan selalu memperhatikanmu? Apa yang sedang dikerjakan-Nya untuk membentuk karaktermu belakangan ini?

Ya Bapa, terima kasih karena Engkau senantiasa memperhatikan umat-Mu dan selalu mengetahui apa yang terjadi di dunia dan di dalam hidupku.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 33-34; Kisah Para Rasul 24

Handlettering oleh Claudia Rachel

Sepak Bola dan Gembala

Kamis, 11 Juli 2019

Sepak Bola dan Gembala

Baca: Yohanes 10:11-15

10:11 Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya;

10:12 sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu.

10:13 Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu.

10:14 Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku

10:15 sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku.

Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. —Yohanes 10:11

Sepak Bola dan Gembala

Salah satu elemen menarik dari dunia sepakbola Inggris adalah lagu kebangsaan dari masing-masing kesebelasan yang dinyanyikan oleh para penggemarnya di awal tiap pertandingan. Jenis lagunya bermacam-macam, dari yang kocak seperti Glad All Over (Senang Sekali) sampai yang janggal seperti I’m Forever Blowing Bubbles (Terus-Terusan Meniup Gelembung) dan ada juga yang mengejutkan. Contohnya, lagu Psalm 23 (Mazmur 23) yang menjadi lagu kebangsaan klub West Bromwich Albion. Kata-kata dari mazmur tersebut terpampang pada dinding bagian dalam stadion, sehingga semua orang yang datang menonton tim yang dijuluki “The Beggies” itu dapat membaca tentang kasih dan pemeliharaan Sang Gembala Agung yang baik.

Dalam Mazmur 23, Daud membuat satu pernyataan yang tak lekang oleh waktu, “Tuhan adalah gembalaku” (ay.1). Kemudian, penulis Injil Matius menulis, “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala” (Mat. 9:36). Lalu, dalam Yohanes 10, Yesus menyatakan kasih dan kepedulian-Nya kepada “domba-domba” manusia pada zaman-Nya. Dia berkata, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (ay.11). Belas kasihan Yesus mendorong-Nya untuk berinteraksi dengan orang-orang, menjawab kebutuhan mereka, dan akhirnya, menyerahkan diri-Nya bagi mereka (dan kita) semua.

Ungkapan “Tuhan adalah gembalaku” tersebut lebih dari lirik atau slogan semata, melainkan suatu pernyataan yang penuh keyakinan tentang apa artinya dikenal dan dikasihi oleh Allah kita yang luar biasa—dan apa artinya diselamatkan oleh Anak-Nya. —Bill Crowder

WAWASAN
Dalam istilah sastra, frasa yang diulang pada awal dan akhir suatu bagian disebut inklusio. Misalnya dalam Yohanes 10:11-15: “Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (ay. 11); “Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku” (ay. 15). Inklusio ini memberi gambaran menarik tentang seorang gembala. Saat membayangkan seorang gembala yang melindungi domba-dombanya, kita mungkin teringat pada pernyataan Daud tentang melawan singa dan beruang yang menyerang hewan gembalaannya (1 Samuel 17:34-36). Akan tetapi, alih-alih gembala baik yang melindungi dombanya dari serangan serigala, renungan hari ini berbicara tentang gembala yang memberikan Diri-Nya sebagai pengganti domba. Gembala yang baik adalah seseorang yang bersedia mengorbankan nyawa-Nya. —J.R. Hudberg

Apa bentuk pemeliharaan Allah yang telah kamu alami dalam hidupmu? Kepada siapa kamu bisa bersaksi tentang Dia hari ini?

Sungguh ajaib Sang Gembala Baik yang Engkau berikan bagi kami, ya Bapa! Tolonglah kami menjawab panggilan suara-Nya dan mendekat kepada-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 1-3; Kisah Para Rasul 17:1-15

Handlettering oleh Priska Sitepu

Intervensi yang Berdaulat

Senin, 8 Juli 2019

Intervensi yang Berdaulat

Baca: Keluaran 3:1-9

3:1 Adapun Musa, ia biasa menggembalakan kambing domba Yitro, mertuanya, imam di Midian. Sekali, ketika ia menggiring kambing domba itu ke seberang padang gurun, sampailah ia ke gunung Allah, yakni gunung Horeb.

3:2 Lalu Malaikat TUHAN menampakkan diri kepadanya di dalam nyala api yang keluar dari semak duri. Lalu ia melihat, dan tampaklah: semak duri itu menyala, tetapi tidak dimakan api.

3:3 Musa berkata: “Baiklah aku menyimpang ke sana untuk memeriksa penglihatan yang hebat itu. Mengapakah tidak terbakar semak duri itu?”

3:4 Ketika dilihat TUHAN, bahwa Musa menyimpang untuk memeriksanya, berserulah Allah dari tengah-tengah semak duri itu kepadanya: “Musa, Musa!” dan ia menjawab: “Ya, Allah.”

3:5 Lalu Ia berfirman: “Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.”

3:6 Lagi Ia berfirman: “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub.” Lalu Musa menutupi mukanya, sebab ia takut memandang Allah.

3:7 Dan TUHAN berfirman: “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka.

3:8 Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya, ke tempat orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus.

3:9 Sekarang seruan orang Israel telah sampai kepada-Ku; juga telah Kulihat, betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka.

Allah melihat orang Israel itu, dan Allah memperhatikan mereka. —Keluaran 2:25

Intervensi yang Berdaulat

Barbara tumbuh besar di bawah tanggungan pemerintah Inggris pada dekade 1960-an, tetapi saat menginjak usia 16 tahun, ia dan bayinya yang baru lahir kehilangan tempat berteduh serta menjadi gelandangan. Negara tidak lagi wajib memelihara hidupnya karena usianya yang sudah beranjak dewasa. Barbara pun menulis surat kepada Ratu Inggris untuk meminta bantuan dan ternyata dijawab! Ratu berbelas kasihan kepadanya dan mengatur agar Barbara bisa memiliki rumah sendiri.

Ratu Inggris memiliki sumber daya yang tepat untuk menolong Barbara, dan bantuan yang keluar dari rasa belas kasihan itu bisa kita lihat sebagai gambaran kecil dari pertolongan Allah sendiri. Sebagai Raja Surgawi, Dia mengetahui segala kebutuhan kita dan dengan penuh kedaulatan berkarya mewujudkan rencana-Nya dalam hidup kita. Namun, sembari berkarya, Allah rindu kita datang kepada-Nya—untuk menyampaikan segala kebutuhan dan keluh kesah kita—sebagai bagian dari hubungan kasih kita dengan-Nya.

Bangsa Israel menyampaikan kebutuhan mereka akan pembebasan ke hadapan Allah. Mereka sedang menderita di bawah perbudakan orang Mesir dan berseru memohon pertolongan Allah. Allah mendengar mereka dan mengingat janji-Nya: “Allah melihat orang Israel itu, dan Allah memperhatikan mereka” (Kel. 2:25). Allah memerintahkan Musa untuk membebaskan bangsa Israel dan menyatakan bahwa Dia sekali lagi akan membawa mereka “ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya” (3:8).

Raja Surgawi kita senang jika kita datang kepada-Nya! Dengan hikmat-Nya yang sempurna, Dia menyediakan apa yang kita butuhkan, bukan semata-mata yang kita inginkan. Percayalah kepada kedaulatan dan pemeliharaan Allah yang penuh kasih. —Ruth O’reilly-Smith

WAWASAN
Ketika Allah memperkenalkan diri-Nya kepada Musa dari semak duri yang menyala, semak duri itu tidak terbakar (Keluaran 3:2). Belakangan, Musa menyebut Allah sebagai api yang menghanguskan (Ulangan 4:24). Melalui Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Allah Abraham, Ishak, Yakub, dan Yesus memakai api sebagai kiasan untuk menggambarkan penghancuran atas yang tidak berguna dan perlindungan serta pemurnian atas apa yang baik (1 Korintus 3:11-15). —Mart DeHaan

Mengapa penting untuk mendoakan segala kebutuhan kita kepada Allah? Bagaimana kamu belajar mempercayai pemeliharaan Allah dengan apa saja yang disediakan-Nya?

Allah terkasih, aku bersyukur dapat membawa setiap kebutuhanku ke hadapan-Mu. Ajarlah aku merasa puas pada jalan dan pemeliharaan-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 36-37; Kisah Para Rasul 15:22-41