Posts

Remukkanku ‘Tuk Memandang-Mu

Oleh: Ruth Lidya Panggabean

Remukkanku-tuk-memandangmu

Kalau kaki yang patah adalah tindakan kasih-Mu
untuk menghentikan lariku yang semakin jauh dari panggilan,

Kalau hati yang hancur adalah satu-satunya cara
untuk membuatku berbalik kepada-Mu dan berlutut meratapi segala pelanggaran,

Kalau impian yang runtuh dimaksudkan
supaya aku menyerahkan segenap detail hidup dan rancangan masa depan,

Kalau segala sesuatu yang hilang bertujuan
untuk melepaskanku dari hal-hal yang membuat Tuhan berada di prioritas kesekian,

Kalau aku sendiri tak mampu mematikan ke-aku-anku
sehingga Engkaulah yang berinisiatif mematikannya,

maka lakukanlah ya, Tuhan,
meski itu berarti aku akan diremukkan hingga ke titik yang paling rendah.

Lakukanlah itu,
untuk menundukkan kepalaku,
menyingkapkan kelemahanku,
dan membuatku mengingat betapa miskin aku di hadapan-Mu.

Lakukanlah itu, supaya dari titik terendahku,
aku menemukan kedalaman anugerah-Mu,
dan beroleh kekuatan pula
untuk memandang ke atas, kepada wajah-Mu

Engkau tahu ya Tuhan, jalan sempit itu sangat layak ditempuh,
walau dengan merangkak atau tertatih,
karena penyertaan-Mu telah tersedia di sepanjang perjalanan,
dan ujungnya pasti membawaku sampai ke garis akhir pertandingan

Engkau tahu ya Tuhan, tungku perapian itu bukan akhir dari segalanya,
walau akan membakar semua yang terlihat berharga,
karena melaluinya hatiku akan dimurnikan seperti emas
dan beroleh puji-pujian dari Sang Raja kekal.

Engkau tahu ya Tuhan, cawan pahit itu harus direguk sampai habis,
walau begitu mencekat dan membuat lidahku kelu,
karena derita dan airmata sesaat ini takkan sebanding sama sekali
dengan kemuliaan yang akan dinyatakan oleh Bapa nanti

Oh, atas kasih karunia Sang Juruselamat
yang sudah lebih dulu menunjukan apa artinya menjadi taat,
jatuhkanlah juga biji gandum-Mu ini ke dalam tanah
dan izinkanlah ia mati,

supaya kemudian ia menerima hidup itu kembali:
hidup yang baru, yang kekal, yang menang, dan bahkan berbuah;

hidup yang menjadikan Kristus sebagai satu-satunya Tuhan dan Raja,
tanpa menyisakan secuilpun ke-aku-an di dalamnya.

 
*Ditulis dalam masa-masa brokennes yang sedang dialami penulis, terinspirasi dari doa seorang temannya, “break me down to look You up, God!”

Keluarga Ya Kayak Gini …

Oleh: Sheila May

accepting-my-broken-family

Kesalahan terbesar dalam hidupku adalah menikahimu!” sangat sering aku mendengar kedua orangtuaku saling melontarkan kalimat itu sejak aku masih duduk di bangku TK. Pertengkaran bahkan baku hantam di antara mereka kerap terjadi tepat di depan mataku dan saudara-saudaraku. Hampir setiap hari kami harus menjadi penyambung lidah saat mereka perlu berkomunikasi satu sama lain. Ketika usiaku menginjak dua belas tahun, orangtuaku akhirnya memutuskan untuk pisah rumah.

Tidak usah dipedulikan. Itu urusan mereka.” Itulah pemikiran kanak-kanakku saat menghadapi ‘pisah rumah’ tersebut. Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya usiaku, aku mulai menyadari, masalah ini lebih besar dari yang kupikirkan. Tidak mungkin bisa aku tidak peduli. Aku ada di dalamnya! Aku pun mulai frustasi.

“Keluarga” menjadi topik yang selalu kuhindari dalam perbincangan dengan teman-temanku. Aku berusaha menghapus kata itu dalam pikiranku. Suatu hari aku diajak pergi oleh keluarga temanku; kami naik mobil bersama. Mendengarkan mereka berbincang dan bercanda biasa, tiba-tiba perasaan yang hangat menyelimuti hatiku. Diam-diam aku menangis, entah mengapa. Aku merasa senang, sedih, sekaligus prihatin dengan diriku sendiri. Aku berkata kepada diriku sendiri, “Oh, kayak gini yang namanya keluarga…”

Kembali melihat kondisi keluargaku sendiri, aku merasa sangat kecewa. Aku marah! Aku membenci semua orang di dalam keluargaku, dan tidak berusaha menyembunyikan perasaanku itu. Aku memuntahkan semua pikiran dan emosiku kepada teman-temanku. Mereka mulai menjauhiku dan menganggapku sangat menyebalkan. Aku lelah hidup bersama keluargaku, tetapi aku juga tidak bisa ke mana-mana. Rasanya lama-lama aku bisa jadi gila!

Tiga tahun setelah orangtuaku berpisah, aku sangat tidak betah di rumah. Sering aku berjalan kaki pulang sekolah supaya tidak cepat tiba di rumah. Satu-satunya alasan aku pulang ke rumah adalah untuk tidur di malam hari. Suatu hari, seorang teman mengajakku pergi ke gerejanya. Segera saja aku menyambut ajakan itu. Alasan yang bagus untuk tidak berada rumah, begitulah pikirku. Beberapa waktu kemudian aku mendengar bahwa gereja itu akan mengadakan retret selama tiga hari. Wah, tiga hari tidak di rumah! Tanpa pikir panjang, aku langsung mendaftarkan diri.

Tiga hari itu membuat hidupku tidak pernah sama lagi. Di sanalah aku mengenal Allah yang menyelamatkanku. Aku menyadari keberdosaanku, dan pada saat yang bersamaan, menemukan pengampunan dan kasih yang dikaruniakan Allah kepadaku. Aku merasa sangat bersyukur.

Akan tetapi, tidak berarti hidupku lantas bebas dari masalah. Kembali ke rumah, aku masih menghadapi ‘peperangan’ yang sama setiap hari. Tidak serta merta aku menjadi anak yang baik, manis, dan taat. Aku masih bergumul dengan karakter yang telah terbentuk selama belasan tahun di dalam diriku. Aku tetap tidak terima dengan keadaan keluargaku.

Masa-masa itu sangat tidak mudah, namun Allah memegang tanganku dengan sabar ketika aku sering memberontak kepada-Nya. Saat aku akhirnya kehabisan tenaga dan duduk merenungkan kehidupan keluargaku yang berantakan, aku tersadar bahwa situasi semacam itu sebenarnya tidak hanya dihadapi oleh keluargaku. Semua keluarga tidak luput dari masalah, entah itu keluarga teman-temanku, tetanggaku, orang-orang beragama atau tidak beragama, bahkan para hamba Tuhan yang melayani penuh waktu. Aku bukan satu-satunya orang yang bergumul, banyak orang di sekitarku yang juga menghadapi ‘peperangan’ serupa, bahkan tidak jarang situasi mereka lebih buruk dariku. Apa yang kualami selama ini sesungguhnya menunjukkan realitas dari dunia yang sudah dalam dosa.

Aku pun tersadar, bukan aku yang memilih untuk dilahirkan di keluarga mana, Allah sendirilah yang memilihkannya untukku. Lalu apakah itu artinya Dia tidak mengasihiku? Dia yang telah mengaruniakan Yesus, Anak-Nya yang tunggal, menyerahkan nyawa-Nya untuk menyelamatkan jiwaku, bagaimana mungkin Dia tidak mengasihiku? Dia adalah Bapa yang baik, dan tentulah Dia punya tujuan dengan menempatkanku, putri-Nya, di sini, meski tujuan itu belum seluruhnya kumengerti. Hal terbaik yang bisa kulakukan bagi diriku sendiri adalah menerima sepenuhnya keadaan diriku dan keluarga yang disediakan Allah bagiku.

Berdamai dengan diri sendiri membuka mata hatiku. Tidak banyak yang berubah dari keluargaku dalam sepuluh tahun ini, tetapi jelas aku melihat banyak perubahan terjadi dalam diriku sendiri. Allah telah menggunakan kondisi keluargaku untuk membentukku. Aku belajar mengendalikan emosiku dalam situasi-situasi yang menyulut kemarahan. Aku belajar mengampuni meski tidak ada jaminan aku tidak akan disakiti lagi. Aku belajar mengasihi mereka yang menurutku tidak layak dikasihi.

Allah tidak mengubah situasi hidupku untuk mengubah hatiku. Dia membiarkanku mengalami apa artinya putus asa supaya aku dapat melihat-Nya sebagai satu-satunya harapan dalam hidupku. Dia terlalu baik untuk merencanakan yang jahat, dan terlalu bijaksana untuk berbuat salah. Dalam luka, Dia menyediakan kesembuhan, dalam tangis, Dia menyediakan penghiburan (2 Korintus 1:3-4). Dalam segala sesuatu, Dia punya tujuan (Roma 8:28-29). Dalam segala perkara, Dia memberi kekuatan (Filipi 4:13).