Posts

3 Hal yang Membuat Kematian Yesus Berbeda

Penulis: Abyasat Tandirura

Kematian-yang-istimewa

Kematian itu menakutkan. Bisa merenggut siapa saja tanpa memandang usia. Dua tahun silam, nenekku meninggal setelah menjalani perawatan di rumah sakit selama beberapa hari. Sebulan setelah pemakamannya, keponakan perempuanku yang masih bayi juga meninggal dunia. Bersama keluarga besar di Toraja, aku mengikuti ritual panjang pemakaman jenazah dengan perasaan campur aduk.

Di Toraja, jenazah tidak dimakamkan begitu saja. Ada ritual panjang yang disebut Rambu Solo’ (Rambu=asap, Solo’=turun) yang meliputi penyembelihan hewan (kerbau dan babi) dengan jumlah yang tidak sedikit. Menurut kepercayaan leluhur orang Toraja (aluk todolo), makin banyak hewan yang dikurbankan, makin cepat roh orang yang meninggal mencapai Puya (dunia arwah, tempat perhentian sejatinya). Biayanya yang fantastis membuat ada yang berkata bahwa “orang Toraja itu hidup hanya untuk mempersiapkan kematian”.

Setelah Injil masuk ke Toraja lebih dari 100 tahun lalu, pandangan orang Toraja sudah banyak berubah. Yang diyakini dapat membawa orang ke tempat perhentian sejati (surga) bukan lagi kurban hewan yang banyak, melainkan Yesus Kristus saja. Yesus telah mati disalib sebagai kurban yang sempurna, sehingga setiap orang yang percaya kepada-Nya dapat memasuki tempat perhentian yang kekal (surga). Kalaupun orang masih menyumbang dan menyembelih hewan, kebanyakan orang Toraja memaknainya hanya sebagai simbol penghormatan dan kasih kepada orang yang meninggal sekaligus wujud empati terhadap keluarga yang berduka. Ritual rambu solo kini menjadi sarana mempererat tali kasih persaudaraan dan semangat kekeluargaan. Di dalamnya ada kebaktian penghiburan bagi segenap keluarga besar yang ditinggalkan.

Mengikuti rangkaian pemakaman kedua anggota keluarga yang sangat kukasihi membuat aku banyak merenungkan kembali tentang kematian. Secara khusus, aku diingatkan pada kematian Yesus Kristus yang sangat berbeda dengan kematian manusia pada umumnya.

1. Yesus memilih untuk memberikan nyawa-Nya sekalipun Dia sebenarnya berkuasa untuk menghindari kematian.

Nenekku meninggal di usia 80-an, sedangkan keponakan perempuanku di usia 42 hari. Tidak seorang pun di dunia ini yang tahu persis kapan kematian akan menjemputnya. Namun, Yesus berbeda. Dia tahu kapan “saatnya tiba” (bandingkan Yohanes 7:30 dengan Markus 14:41-42). Yesus mati bukan karena Dia tidak berdaya menghadapi kematian, namun karena Dia memang memilih untuk menyerahkan nyawa-Nya (Yohanes 10:17-18; 2 Korintus 5:15). Kebangkitan-Nya setelah tiga hari kemudian menegaskan fakta bahwa Yesus berkuasa atas kehidupan dan kematian. Sebab itulah, kita dapat mempercayakan hidup dan mati kita kepada-Nya.

2. Yesus rela mati dalam kehinaan sekalipun Dia adalah Anak Allah yang layak dihormati.

Seringkali besarnya acara pemakaman dianggap menjadi simbol penghormatan dan kasih keluarga kepada orang yang meninggal. Dalam Rambu Solo’ yang aku ikuti bahkan ada yang namanya Ma’badong, suatu tarian kedukaan yang disertai lantunan syair ratapan.

Yesus mati disalib bersama para penjahat, hukuman paling hina pada zaman itu. Tidak ada ritual khusus yang mengantar kematian-Nya, orang-orang yang mengasihi-Nya mungkin hanya bisa melihat dan menangis dari jauh. Dia bahkan dimakamkan secara sembunyi-sembunyi di kuburan milik orang lain (Matius 27:57-60; Yohanes 19:38). Padahal, Yesus adalah Pribadi yang selayaknya mendapat penghormatan tertinggi. Tanda-tanda ajaib menjelang kematian-Nya membuat kepala pasukan dan para prajurit yang berjaga di dekat-Nya mau tidak mau mengakui bahwa Dia sungguh adalah Anak Allah (Matius 27:45-54).

Yesus menunjukkan kepada kita bahwa menaati Allah dan mendapatkan penghormatan-Nya itu jauh lebih penting daripada penghormatan manusia (Yohanes 17:4; Filipi 2:5-11). Melalui kematian-Nya Yesus menunjukkan betapa besar kasih Allah kepada kita (Yohanes 3:16; Roma 5:10).

3. Yesus mati untuk memberikan kehidupan kekal bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya.

Kerinduan leluhur orang Toraja adalah masuk ke dalam tempat perhentian yang sejati. Segala harta diberikan demi bisa mengurbankan banyak hewan yang dipercaya dapat mengantar roh mereka menuju ke sana. Yesus mati untuk menjawab kerinduan orang Toraja dan semua manusia akan tempat perhentian yang sejati (surga) itu. Dia adalah jalan kepada Allah Bapa dan sedang menyediakan tempat kediaman abadi bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya (Yohanes 14:1-7). Kelak, Dia akan datang kembali untuk membawa kita yang percaya tinggal bersama-Nya (ayat 3).

Betapa istimewanya kematian Yesus! Setiap kali mengingat-Nya, aku dihiburkan, karena Yesus menunjukkan kepadaku betapa besar kasih Allah kepadaku. Kematian bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari kehidupan yang baru bersama Allah selamanya. Meski di dunia ini, maut bisa memisahkan kita dengan orang-orang yang kita kasihi, di surga nanti, setiap orang yang percaya kepada-Nya akan kembali bertemu dan tinggal bersama dalam sukacita abadi, sebagaimana yang dinubuatkan nabi Yesaya: “... dan orang-orang yang dibebaskan TUHAN akan pulang dan masuk ke Sion dengan bersorak-sorai, sedang sukacita abadi meliputi mereka; kegirangan dan sukacita akan memenuhi mereka, kedukaan dan keluh kesah akan menjauh” (Yesaya 35:10).

 

Untuk direnungkan lebih lanjut

Apa arti kematian dan kebangkitan Yesus untukmu?
Yuk bagikan dalam kolom komentar di bawah ini…