Posts

Menegur dengan Maksud Baik

Oleh Yuki Deli Azzolla Malau, Jakarta

Sewaktu menjadi pengurus di bagian acara persekutuan kampus kami di Pekanbaru, Johan rekan sepelayananku di bidang acara menunjuk Sari* untuk menjadi singer dalam Kebaktian Awal Tahun Akademik (KATA). Sari adalah adik tingkat kami yang telah mengikuti pembinaan. Kami menilai Sari punya relasi yang baik dengan Tuhan.

Atas pertimbangan relasi pribadinya yang erat dengan Tuhan, juga kedekatan kami dengannya, Johan pun menunjuk Sari sebagai singer di ibadah tersebut. Supaya ibadah bisa berlangsung baik, bisanya kami mengadakan latihan tiga sampai empat kali.

Ketika hari pertama latihan, aku dan seluruh rekan pengurus, termasuk Johan, menyadari bahwa Sari rupanya tidak punya talenta dalam menyanyi. Johan sendiri tidak memastikan apa talenta Sari sebelumnya. Karena takut melukai perasaan Sari, Johan tidak mengatakan hal yang sebenarnya pada Sari. Pun kami sebagai rekan pelayanan tidak berupaya untuk mendorong dan menegur Johan supaya dia berkata jujur pada Sari. Kami tidak ingin dianggap mengambil alih tanggung jawab Johan.

Ibadah KATA pun berlangsung. Sari menyanyikan lagu pengantar saat teduh secara solo. Menyadari hal yang sama dengan para pengurus, jemaat yang harusnya mengambil sikap teduh jadi tidak kondusif. Sari pun menyadari respons jemaat, dia menjadi sangat sedih dan malu. Kejadian ini lalu membuat kami merasa sangat bersalah karena tidak mengatakan hal yang sebenarnya dan menegur Johan.

Menegur ataupun mengatakan kebenaran seringkali menjadi dilema bagi tiap orang, termasuk orang percaya. Atas dasar relasi yang baik, kita tidak siap dengan risiko atau dampak yang akan dihasilkan, baik sebagai orang yang menyatakan atau menerima kebenaran itu sendiri. Sebagai orang yang akan menyatakan kebenaran kita takut orang yang menerimanya akan terluka, tidak terima dan dapat merusak relasi kita dengannya. Sedangkan sebagai orang yang menerima, kita tidak siap untuk rendah hati menerima teguran atau kebenaran.

Salomo dalam Amsal 27:5-6 mengatakan, “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.” Ayat ini mengajarkan kita untuk menyatakan kebenaran dan teguran secara nyata sebagai bentuk kasih. Kita diajarkan bahwa kebenaran ataupun teguran meskipun sakit dan tidak mengenakkan di awal apabila didasarkan dengan kasih dan maksud baik akan mendatangkan kebaikan bagi kita dan setiap orang yang mendengar dan menerimanya.

Salomo juga di dalam kitab Amsal menyatakan beberapa manfaat teguran. Teguran mendidik kita untuk tetap berada di jalan yang seharusnya (Amsal 6:23), membawa kita kepada kehidupan (Amsal 15:31), memperoleh akal budi (Amsal 15:32) dan mendatangkan hikmat (Amsal 29:15).

Mengasihi orang lain, berarti kita bersedia untuk terus mendorong dan membantu orang yang kita kasihi untuk menjadi pribadi yang lebih baik, termasuk dengan mengungkapkan kebenaran dan teguran yang membangun bagi mereka. Dengan teguran yang dilandaskan kasih, kita mengingatkan orang yang kita kasihi agar tetap berada atau berbalik kepada kebenaran. Kita juga dapat menghindarkan mereka dari kejatuhan ataupun kesalahan yang terlalu dalam. Serta membantu mereka menjadi pribadi yang lebih baik.

Hal yang sama juga berlaku dengan kita. Ketika kita menerima kebenaran dan teguran dari orang yang mengasihi kita, kita harus melihatnya sebagai bentuk kasih untuk kita dan kerinduan yang mendatangkan kebaikan buat kita. Kita harus merespons teguran dengan sikap terbuka dan merefleksikan diri hingga kita dapat melihat manfaat dan tujuan teguran tersebut sebagai sesuatu yang membangun.

Dalam Wahyu 3:19 dikatakan, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!”

Tuhan sendiri pun mengingatkan kita bahwa teguran adalah salah satu bentuk kasih. Justru ketika dalam kesalahan dan kejatuhan kita tidak ditegur atau menegur itu tanda bahwa kita tidak peduli dan dipedulikan. Pukulan dengan maksud baik akan membangun sedangkan pujian yang palsu akan menjatuhkan.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

“Pelayanan” Yang Kurang Pas Disebut Pelayanan

Kita tahu bahwa pelayanan bisa dikritisi dari berbagai macam sisi. Kita bisa melihat motivasinya. Kita bisa melihat caranya. Apakah motivasi dan caranya memuliakan Tuhan? Tetapi, satu sisi dari pelayanan yang jarang kita perhatikan adalah efektivitasnya. Apakah betul yang dilakukan menghasilkan sesuatu yang baik untuk kerajaan Tuhan?

Panggilan Melayani di Pelosok Negeri

Oleh Blessdy Clementine, Jakarta

Sejak SMP, aku sangat menyukai kegiatan sosial. Aku merasa bahagia ketika berbagi sembako kepada petugas kebersihan di sekitar Jakarta, mengunjungi panti asuhan dan panti wredha, menghabiskan waktu bersama anak-anak di yayasan kanker, dan sebagainya. Hal ini terus berlanjut hingga SMA melalui program kerja OSIS, yaitu memberikan kursus bahasa Inggris gratis bagi petugas keamanan dan petugas kebersihan sekolah. Ketika lulus SMA sampai kuliah, aku mengikuti berbagai kegiatan kerelawanan dan menemukan dunia sosial sebagai passion hidupku.

Pengalaman pertama ke pelosok Indonesia

Awal tahun 2018, di tahun pertama perkuliahan, sahabatku yang juga memiliki minat tinggi pada kegiatan sosial memberitahuku tentang sebuah organisasi yang mengadakan kegiatan voluntourism ke Sumba, Nusa Tenggara Timur, yaitu jalan-jalan sambil mengajar anak-anak di sana. Mendengar hal itu, seketika jantungku berdebar-debar. Aku benar-benar antusias untuk menjadi salah satu pesertanya!

Aku begitu bersyukur karena orang tuaku sepenuhnya mendukungku untuk melibatkan diri dalam kegiatan tersebut. Bagi mereka, traveling adalah cara untuk “berinvestasi” wawasan. Mengetahui bahwa kali ini aku akan jalan-jalan sambil berbagi ilmu dengan sesama membuat mereka memandang kegiatan ini sebagai sesuatu yang positif.

Mengajar anak-anak di pelosok menjadi suatu hal baru yang sangat menggugah hatiku. Kondisi sekolahnya tidak menyerupai sekolahku di Jakarta. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang sudah bolong-bolong, lantainya tanah tanpa semen, meja dan kursinya kayu yang tidak diamplas, dengan papan tulis kapur. Suara dari kelas sebelah jelas terdengar, yang membuat siswanya tidak bisa berkonsentrasi penuh. Tenaga pendidiknya amat terbatas, siswanya memakai seragam yang lusuh dan bertelanjang kaki. Tetapi, semangat belajar anak-anak itu sungguh tidak tertandingi. Binar mata mereka ketika memperhatikanku dan teman-temanku memimpin pembelajaran di kelas tidak akan pernah kulupakan.

Sejak itu, aku rindu untuk bisa berkontribusi lebih banyak lagi pada pendidikan Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang kurang mendapatkan perhatian. Aku ingin mengikuti program lainnya dengan jangka waktu lebih panjang dan di tempat yang lebih membutuhkan. Aku pun berdoa memohon kesempatan ini pada Tuhan.

Doaku terjawab. Tuhan membuka kesempatan demi kesempatan selanjutnya. Relasi yang kuperoleh dari acara-acara sosial yang pernah kuikuti dipakai Tuhan untuk memberikanku informasi tentang berbagai program pengabdian masyarakat bagi para mahasiswa yang ingin berkontribusi di pelosok.

Pengabdian ke Mentawai

Bulan Juli yang lalu, aku mengikuti program pengabdian masyarakat ke Dusun Salappa, Mentawai, Sumatera Barat. Perjalanan menuju Dusun Salappa terbilang panjang: jalur udara dari Jakarta ke Padang, dilanjutkan 4 jam perjalanan dengan kapal cepat ke Pulau Siberut, jalur darat menuju Desa Muntei, lalu menyusuri sungai menggunakan Pompong (sampan kayu) menuju Dusun Salappa selama 4,5 jam perjalanan. Meski cukup melelahkan, aku sangat menikmati perjalanan yang menawarkan pemandangan alam yang indah.

Sesampainya di Dusun Salappa, kami disambut hangat oleh senyuman anak-anak dan sapaan warga dusun yang menerima kami dengan tangan terbuka. Dusun Salappa adalah dusun dengan 91 kepala keluarga. Warganya tinggal di rumah-rumah panggung (karena sering terkena banjir kala musim hujan) yang terbuat dari kayu dengan atap yang terbuat dari daun sagu. Mata pencaharian utama warganya adalah petani, dengan komoditas berupa sagu, ubi, keladi, dan pisang. Aliran listrik tidak ada sama sekali—untuk penerangan pada pagi hingga sore hari, warga Salappa bergantung pada cahaya matahari dan pada malam hari bergantung pada generator bensin dan senter tenaga surya sumbangan dari pemerintah. Air bersih yang minim diperoleh dari sumur tadah hujan yang dibuat sendiri oleh warga dan kondisi airnya jauh dari jernih. Untuk saat ini, air PDAM sudah mulai mengalir ke dusun tersebut.

Aku dan 15 teman relawan lainnya terbagi menjadi sejumlah divisi, yaitu pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Divisi pendidikan membuat sejumlah program untuk siswa TK dan SD (karena SMP dan SMA berada di Desa Muntei), divisi kesehatan mengadakan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis dan sejumlah penyuluhan kesehatan, sedangkan divisi lingkungan bertugas melaksanakan program bersih-bersih desa, sosialisasi pemilahan sampah dan penyuluhan penanaman bibit tanaman baru.

Sebagai bagian dari divisi pendidikan, salah satu tanggung jawabku adalah melancarkan program pengenalan profesi dan memberi semangat bagi adik-adikku di sana untuk bercita-cita tinggi dan belajar dengan tekun. Kami mengumpulkan surat-surat dari teman-teman di Jakarta dengan berbagai latar belakang profesi, lalu membagikannya kepada setiap anak agar dapat menginspirasi mereka.

Selama lima hari menjalankan program di Salappa, kami tinggal di rumah-rumah warga dan menikmati kehidupan sebagai warga Salappa. Kami belajar bahasa Mentawai, makan makanan khas mereka, dan berinteraksi secara intens dengan warga. Bagiku, kehidupan di desa yang serba sederhana terasa menyenangkan. Di malam hari, kondisi desa gelap gulita, tapi di langit ratusan bintang berkilauan dengan amat jelas. Keluarga tempatku tinggal memperlakukanku sebagai anggota keluarga mereka sendiri, membuatku nyaman dan sejenak lupa akan hiruk pikuk kota Jakarta. Aku merasa tersentuh ketika keluarga angkatku di Salappa berkata:

Di, kapanpun kamu mau kembali ke Mentawai, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kamu. Terima kasih banyak sudah berkunjung ke Salappa.

Setiap saat aku berjalan sendirian maupun bergandengan dengan adik-adik di Salappa, aku hanya bisa berkata, “Terima kasih Tuhan, untuk kesempatan yang berharga ini!”

Terpanggil untuk Pelosok

Semenjak kali pertamaku pergi ke pelosok Indonesia, aku menyadari bahwa ini adalah sebuah panggilan yang Tuhan berikan bagiku. Aku semakin yakin ketika bercerita kepada orang-orang di sekitarku tentang pengalamanku tinggal di pelosok dengan segala kondisinya yang memprihatinkan. Ketika mereka menganggap tantangan yang ada di pelosok itu sebagai sesuatu yang harus dihindari, aku justru semakin terdorong untuk datang dan merasakan apa yang dirasakan warga setempat. Ketidaknyamanan yang ada tidak pernah menghalangiku untuk terus maju—itulah yang membuatku yakin bahwa ini adalah tugas khusus dari Tuhan untuk kukerjakan bersama-Nya.

Passion yang Tuhan letakkan dalam hatiku untuk saudara-saudara sebangsa dan tanah air di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) harus terus kutunaikan menjadi sebuah aksi nyata untuk dapat menjadi perpanjangan tangan Tuhan bagi mereka yang membutuhkan. Namun, tidak jarang pula aku merasa ragu: akankah aku sanggup hidup sementara saja di medan-medan yang sulit? Di saat-saat seperti itu, Tuhan meneguhkanku melalui kalimat dalam sebuah buku.

Ketika aku meresponi panggilan-Nya dengan hati yang taat dan bersungguh-sungguh, Tuhan sendiri yang akan memampukanku dan menyediakan apa yang kuperlu.

Janji Tuhan tidak pernah diingkari. Aku diberikan kemampuan beradaptasi, sukacita, kesehatan, kekuatan, dan rasa nyaman. Lebih dari itu, Tuhan juga selalu mengirimkan donatur-donatur di setiap program pengabdian yang kuikuti untuk memberikan berbagai jenis bantuan bagi pemenuhan kebutuhan warga pelosok.

Panggilan Tuhan, anak muda, dan Indonesia

Aku percaya, Tuhan menempatkanku dan kita semua di Indonesia dengan sebuah tujuan. Setiap kita memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi bagi kesejahteraan Indonesia. Dalam Yeremia 29:7, Allah berkata, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”

Apakah kontribusi bagi negeri ini harus selalu dengan menjadi seorang presiden, menteri, PNS, polisi, dan tentara? Tentu saja tidak terbatas pada profesi-profesi tersebut! Dalam 1 Korintus 12:12-31, Rasul Paulus berpesan bahwa dalam tubuh Kristus, tidak ada yang lebih penting atau kurang penting dari yang lain sebab kita semua memegang peran yang berbeda-beda dan sama pentingnya. Tuhan memberikan kita talenta dan potensi masing-masing yang harus terus kita kembangkan dan kita gunakan untuk sesama kita demi kemuliaan nama Tuhan, di ladang pelayanan kita masing-masing. Ladangku adalah desa-desa di pelosok negeri, bisa jadi ladangmu adalah di kantor tempatmu bekerja, di gereja tempatmu melayani, atau di lingkungan tempat tinggalmu.

Mungkin banyak dari kita yang masih belum menemukan passion dan belum mengetahui panggilan Tuhan bagi hidup kita. Aku berdoa supaya kita semua diberikan hikmat dari Tuhan, serta kerinduan dan ketekunan untuk menemukannya. Tetapi, kiranya hal itu tidak menghentikan kita untuk tetap melakukan apapun yang bisa kita lakukan untuk negeri kita tercinta, dimulai dari langkah-langkah kecil. Menjadi relawan adalah salah satunya!

Selagi kita masih muda—dengan bekal semangat yang membara dan kondisi fisik yang masih mendukung—aku mengajak kita semua untuk bekerja di ladang Tuhan tempat di mana kita tinggal, yaitu negara kita, Indonesia. Biarlah kecintaan kita pada Indonesia tidak hanya sebatas kata-kata, tetapi nyata dalam pelayanan kita. Tuhan Yesus memberkati kita, anak-anak muda Indonesia!

Baca Juga:

Mereka Tanggung Jawab Kita

Jika kita bisa menangis di dalam gereja, maka kita pun harus juga bisa menangis untuk jiwa-jiwa di luar gereja yang membutuhkan pertolongan tangan kita.

Mereka Tanggung Jawab Kita

Oleh Arbentia Pratama Sumbung, Jakarta

Dua hari yang lalu, setelah selesai bertugas di daerah Salemba, panas matahari yang menyengat membuatku memutuskan untuk sejenak berteduh di sebuah mini market. Tidak lama kemudian, seorang anak menghampiri aku dengan wajah memelas, lalu menyodorkan tangan untuk meminta sedikit uang.

Karena tidak ada uang kecil, aku pun mengajak anak itu untuk makan bersama. Aku mengajaknya mengobrol sembari ia melahap setiap suap nasi dengan semangat.

Anak itu bernama Putra, umurnya delapan tahun. Ia tidak bersekolah. Ibunya sudah meninggal karena sakit jantung dan ayahnya pun tidak tinggal bersamanya, sehingga ia tinggal bersama neneknya di emperan pasar di daerah Senen. Putra dan sang nenek mengemis untuk dapat bertahan hidup.

Pertemuan dengan Putra membuatku teringat pada banyaknya anak di Jakarta dengan nasib yang sama. Saat mereka seharusnya pergi ke sekolah untuk belajar, keadaan membuat mereka harus mencari uang sejak dini untuk sesuap nasi.

Terkadang aku merenungkan kesenjangan sosial yang terjadi di depan mata. Di mal-mal besar, banyak orang yang rela mengantre berjam-jam hanya untuk mencoba makanan dan minuman yang sedang trending, atau berburu promo yang tak ada habisnya. Padahal, di luar sana masih banyak orang miskin di jalanan yang tidak memiliki tempat tinggal dan setiap hari berjuang untuk mencari makan.

Sempat aku terjebak dalam cara berpikir bahwa kesulitan yang mereka hadapi adalah kesalahan mereka sendiri. Mengapa mereka harus datang ke kota besar dan berujung mengemis dan memulung, ketika mungkin mereka bisa memiliki kehidupan yang lebih baik di kampung halamannya? Tetapi, aku sadar bahwa aku tidak seharusnya menghakimi. Bagianku adalah menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk membantu.

Aku pun membuka Alkitab dan melihat bahwa fenomena kemiskinan sudah ada sejak dahulu, salah satunya adalah ketika seorang pengemis meminta uang kepada Petrus di bait suci (Kisah Para Rasul 3:3). Dalam Injil Lukas 14:13, Yesus pun berkata, “Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu”.

Banyak pemahaman baru yang kuperoleh setelah membaca firman Tuhan. Jika kita bisa menangis di dalam gereja, maka kita pun harus juga bisa menangis untuk jiwa-jiwa di luar gereja yang membutuhkan pertolongan tangan kita. Jika kita bisa mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk memuji dan menyembah Tuhan di dalam gereja, maka kita pun harus bisa mengulurkan tangan di luar tembok gereja.

Aku percaya bahwa kekristenan sejati tidak terbatas pada apa yang kita lakukan di dalam gereja, tetapi terlebih lagi soal apa yang kita lakukan setelahnya. Sebagai orang percaya, kita semua terpanggil untuk menghadirkan kasih Tuhan dan menjadi Alkitab berjalan bagi mereka yang membutuhkan dengan mengasihi mereka yang terhina, terlupakan, sendirian, dan tersakiti.

Mengutip kata-kata John Keith Falconer, “Saya punya satu terang lilin kehidupan dan saya lebih memilih menerangi tempat-tempat yang penuh dengan kegelapan daripada tempat yang penuh dengan terang.”

Setiap kita adalah lilin yang membawa terang Ilahi. Pelayanan di gereja adalah sesuatu yang baik, tetapi api semangat itu harus kita bawa dan teruskan juga ke tempat-tempat yang membutuhkan terang pengharapan yang kita terima dari Yesus. Kita dapat memulai dari tempat dan orang-orang yang terdekat dengan kita.

Dilansir dari sebuah situs pelayanan, ada:

140 juta anak yatim di dunia dan 150 juta anak jalanan.

Setiap 1 jam ada 72 anak-anak dan wanita diperdagangkan sebagai budak,

setiap 1 jam ada 237 orang meninggal karena HIV/AIDS,

setiap 1 jam ada 869 orang meninggal karena kelaparan kronis, dan

setiap 1 jam ada 1250 orang meninggal karena penyakit yang seharusnya bisa disembuhkan.

Seperti Alkitab menulis, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40), melayani Tuhan adalah ketika kita melayani sesama kita. Apa yang bisa kita lakukan untuk menolong orang-orang yang menderita dan butuh pertolongan?

Tuhan menempatkan mereka di dalam kehidupan kita, karena mereka adalah tanggung jawab kita. Kiranya perenunganku dapat membangkitkan semangat kita untuk mulai berbuat sesuatu bagi sesama kita yang membutuhkan. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Baca Juga:

Berhenti Memikirkan Hal-hal Negatif

Pernahkah kamu tenggelam dalam pikiran-pikiran negatif? Apa yang biasanya kamu lakukan untuk menghentikannya?

Melawan Cuek, Raksasa Penumpul Jiwa

Oleh: Andhika Ariella Lumembang

cerita-pelayanan-kami

Tidak terbayangkan sebelumnya aku akan makan bersama para preman, bergaul dengan penghuni area pembuangan sampah, juga menerjang arus deras demi mengantar bantuan bagi para korban banjir; orang-orang yang kelaparan, haus, dan telanjang, seperti yang digambarkan Tuhan Yesus dalam Matius 25:35-40.

Sebelum menginjakkan kaki ke tanah Jawa, aku tidak banyak memikirkan tentang orang lain di sekitarku. Cuek. Seperti kebanyakan orang, aku punya banyak mimpi yang ingin kucapai, mana ada waktu mengurusi orang lain? Aku juga bukan orang yang sangat memuja Tuhan. Aku tak pernah meluangkan waktu untuk mengenal-Nya lebih karib. Aku merasa hidupku baik-baik saja dengan atau tanpa Dia.

Namun, Tuhan kemudian membukakan mataku tentang siapa sesungguhnya aku di hadapan-Nya. Seperti secarik kain kotor yang tidak berharga. Jika bukan karena kasih Tuhan, kehidupanku ini tidak ada artinya. Aku disadarkan betapa aku membutuhkan Tuhan. Dialah yang seharusnya menjadi dasar hidupku. Dan, seiring pertumbuhan imanku, mataku pun mulai terbuka melihat betapa banyaknya orang di sekitarku yang membutuhkan anugerah yang sama.

Bersama adik saya, Meyyer, dan beberapa sahabat dekat, kami mulai memikirkan apa yang bisa kami lakukan untuk membagikan kasih Tuhan kepada orang-orang di sekitar kami. Dimulai dari hal-hal yang sederhana, seperti mengumpulkan pakaian bekas layak pakai dari rumah ke rumah, lalu kami bagikan kepada anak-anak jalanan dan orang-orang miskin. Mengandalkan BBM, Facebook, dan Twitter, kami berusaha membangun komunitas yang peduli. Kami menamakan pelayanan kami sebagai Theou Foundation (Wadah yang Berfondasikan Tuhan) dan STLC (Save Their Life Community, komunitas yang menyelamatkan mereka yang didera rasa lapar, haus, dan keterasingan).

Kedengarannya mulia, tetapi praktiknya ada lebih banyak cemooh dan tawa daripada pujian yang kami terima. Kelihatannya sederhana, tetapi, prosesnya sungguh tidak mudah. Dalam masyarakat modern yang sibuk, sikap cuek laksana raksasa yang menghambat kasih untuk dibagikan. Tidak peduli, masa bodoh, terutama dengan orang yang berbeda dengan kita. Masalah sendiri sudah banyak, untuk apa menyusahkan diri dengan kebutuhan orang lain? Kerap aku merasa seperti pejuang di jalan sunyi. Hati menangis melihat banyak orang yang lemah tak berdaya, namun aku sendiri tidak punya kapasitas yang cukup untuk menolong mereka. Rasanya jauh lebih mudah untuk ikut bersikap cuek. Namun, aku diingatkan bahwa dasar pelayananku adalah Tuhan sendiri, bukan aku dan segenap kemampuanku. Jadi, kami terus melangkah hingga hari ini dengan keyakinan bahwa setiap hal yang kami lakukan bagi mereka yang membutuhkan, tanpa pandang bulu, semua itu kami lakukan bagi Tuhan yang telah mengasihi kami. Dan, Dia memperhatikan setiap hal yang kami lakukan, sekecil apa pun itu.

Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan”—Matius 25:35.

Mungkin kamu juga pernah atau sedang merasa seperti pejuang di jalan sunyi. Kamu gelisah melihat berbagai kebutuhan di sekitarmu, tetapi kamu tak berani melangkah karena merasa tak mampu. Lebih banyak orang yang cuek daripada yang mendukung. Ingatlah bahwa yang seharusnya menjadi dasar pelayanan kita adalah Tuhan saja, bukan yang lain. Kita tidak menunggu hidup kita sempurna dan berkelebihan baru melayani. Kita tidak menunggu semua orang melihat dan mendukung kita baru mulai menolong sesama yang membutuhkan. Jangan biarkan sikap cuek menumpulkan jiwa kita. Isi diri terus dengan kebenaran-kebenaran Firman Tuhan, agar kita tetap peka dan bersemangat dengan apa yang ingin Tuhan lakukan melalui hidup kita. Hidup di dunia ini terlalu singkat. Mari mulai melakukan hal-hal yang bernilai kekal. Menyatakan kasih Tuhan di tengah komunitas kita melalui tiap talenta dan kesempatan yang Tuhan berikan. Membagikan pengharapan yang kita miliki di dalam Kristus, kepada dunia yang sungguh membutuhkan-Nya.

Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah …” —Filipi 1:21-22

 
Tentang penulis
Andhika & Meyyer Lumembang adalah kakak beradik yang merintis komunitas sosial Save Their Live Community di bawah naungan Theou Foundation pada bulan April 2012, sebagai tanggapan atas berbagai kebutuhan masyarakat di sekitar mereka. Mereka menghimpun dan menyalurkan donasi secara jujur, transparan, dan bertanggung jawab, kepada sesama yang membutuhkan, tanpa memandang suku, ras, dan agama.