Julid vs Peduli (?)
Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan
“Oke, latihan hari ini kita selesaikan di sini ya!” seru kak Ary, pelatih koor kami.
Hampir semua dari kami berseru kegirangan, jarang-jarang jadwal latihan koor kami singkat begini. Biasanya malam Sabtu kami benar-benar kami habiskan di gereja, belum lagi kalau kedapatan jadwal jadi pemandu lagu di ibadah Minggunya.
Jadi tentu saja kami senang, walau sedikit bertanya-tanya juga.
“Tumben banget ya, bisa selesai jam segini.” Keyla berjalan mendekat ke arahku, melirik jam dinding yang tergantung di atas pintu gereja. Belum tepat pukul 8.
Aku mengedikkan bahu, “Iya ya, padahal Kak Ary si paling ketat soal jadwal latihan, hujan badai latihan tetap jalan.” Kami berjalan menuju pintu keluar.
“Hei, langsung pulang?” seseorang tiba-tiba menghampiri kami. “Makan es krim dulu yuk di depan.” Lanjutnya, lalu menyeret kami ke gerai es krim yang malam itu cukup sepi.
“Eh, pada tahu nggak, kenapa hari ini kita latihannya cuma sebentar?” tanya Eva ketika kami duduk menunggu pesanan. Dia memang selalu si paling tahu soal isu-isu yang berkembang. Aku dan Keyla hanya mengangkat bahu.
“Itu karena kak Ary harus buru-buru pulang, soalnya di rumahnya lagi ada keluarga dari calon istrinya.” Katanya memulai.
“Ooh, pernikahannya 2 minggu lagi kan ya!” sahutku.
“Iya, tapi kayaknya ada masalah deh,” kata Eva dengan yakin. Aku dan Keyla sontak menoleh.
Eva mengangguk lagi dengan yakin.
“Aku dengar-dengar, kayaknya orangtuanya kak Ary itu nggak setuju. Soalnya belakangan baru tahu kalo calon istrinya itu pernah punya masa lalu yang nggak baik gitu. Makanya keluarganya bertemu lagi untuk membicarakan soal ini.”
“Masa sih gitu, kayaknya orangtuanya kak Ary bukan tipe yang gitu deh.” Kata Keyla menanggapi, aku mengangguk menyetujui.
“Lha kita manatahu. Orangtua kalo menyangkut anak bisa berubah kali, demi kebaikan anak sendiri.” Pesanan kami datang, tapi Eva tampak lebih bersemangat melanjutkan ceritanya daripada menikmati es krim kacang merah di hadapannya.
“Aku bukan julid nih ya, tapi aku juga kurang setuju sih sama calon istrinya kak Ary itu. Ingat nggak waktu pertama kali kak Ary kenalin dia di ibadah bulan lalu, cuek banget, nggak mau berbaur. Padahal kita udah ajakin foto juga. Tapi dia tetap aja cuma duduk di sebelah Kak Ary.”
“Namanya juga masih baru kenal, ya wajarlah kalo dia masih segan. Justru aneh kali kalo baru pertama ketemu udah heboh foto-foto sama kita,” jawabku menanggapi.
“Ah kamu aja yang terlalu berpikir positif, Rib. Aku udah paham nih ya, kalo cewek kayak gitu nanti pasti posesif banget sama suaminya, entah nanti setelah menikah kak Ary nggak akan jadi pelatih kita lagi. Sekali lagi, aku bukan mau julid, aku ngomongin fakta,” lanjut Eva masih dengan berapi-api.
“Kamu ini udah kayak netizen di kolom komentar akun gosip tau nggak, Va!” kata Keyla sambil tertawa kecil. “Atau peramal. Nggak kenal, tapi bisa tau gimana orangnya hanya dengan sekali melihat.” Aku ikut tertawa kecil.
Eva menghembuskan napas keras. Lalu beberapa detik kemudian melanjutkan.
“Aku itu cuma peduli aja sama kak Ary, aku udah anggap dia kayak kakak aku banget, aku nggak mau kak Ary menikahi orang yang salah! Aku nggak mau kak Ary menikah dengan orang yang akan membuat dia jauh dari pelayanannya saat ini, jauh dari kita,” katanya dengan nada yang bercampur antara kesal, sedih, kecewa dan.. cemburu? Entahlah.
Aku dan Keyla bertatapan, saling mengerti. Kami memang cukup dekat dengan kak Ary, dia pelatih koor kami sejak lima tahun lalu, saat kami masih di awal masa kuliah. Aku akui banyak yang kagum dengan sosok kak Ary yang bukan hanya pelatih yang kompeten, tapi juga seorang yang peduli, pendengar yang baik, juga solutif. Yahh… Walaupun dia sangat strict soal jadwal latihan. Aku yakin di antara anggota koor, banyak yang menyukainya, sebagai laki-laki.
Dia tidak pernah terlihat dekat dengan wanita manapun, sehingga kami cukup shock ketika di suatu waktu latihan dia bilang akan menikah. Dan di ibadah minggu itu, kak Ary membawa calonnya itu dan mengenalkannya pada kami. Mungkin saja memang ada sedikit rasa kecewa di antara kami, karena kak Ary—yang sudah kami anggap seperti kakak sendiri itu—akan menikah dengan seseorang yang kami tidak kenal. Tapi, secara pribadi aku tidak terlalu mempermasalahkannya sih. Mungkin itu yang dialami Eva.
Jadi aku mendekat, memegang bahu Eva dan berusaha memahaminya.
“Va, tapi itu bukan peduli namanya. Itu sudah mengarah ke membicarakan sesuatu yang buruk tentang orang lain, yang bahkan kita tidak kenal dan tidak tahu kebenarannya. Bahkan sekalipun itu benar, kayaknya nggak tepat deh kalo kita menjadikannya sebagai bahan omongan,” kataku berusaha dengan suara selembut yang aku bisa.
Eva terdiam sejenak, muncul kerutan kecil di keningnya.
“Lha, aku nggak ada maksud kayak gitu. Aku beneran cuma menunjukkan rasa peduli aja. Masa aku nggak boleh peduli sama kakak sendiri!” jawabnya defensif, sedikit tersinggung juga tampaknya.
“Iya, kita ngerti kok kalo kamu peduli. Tapi kayaknya ada cara lain yang lebih baik deh, Va, tanpa berpikiran negatif begitu,” tanggapku lembut.
“Aku bukan berpikiran negatif, aku hanya mengutarakan sesuai dengan apa yang aku lihat sendiri. Apa yang aku rasakan,” katanya lagi, tampak belum menerima sikapku dan Keyla.
“Va, tapi Ribka benar. Kayaknya itu bukan kepedulian kalau justru menimbulkan buruk sangka. Apalagi kita hanya berasumsi. Lagian kalo kita memang se-peduli itu sama kak Ary, justru kita akan doakan yang terbaik untuk pilihan yang ia sudah buat kan, bukannya membangun prasangka yang tidak baik tentang mereka. Walaupun mungkin saja memang ada perasaan kehilangan sosok kakak di hati kita.” Keyla ikut menambahkan.
Eva terdiam lagi. Tampak merenung. Semoga dia memang merenungi apa yang aku dan Keyla sampaikan, tanpa berpikir kalau kami sedang menyudutkannya.
Kami bertiga terdiam beberapa saat, aku dan Keyla menunggu responnya. Lalu kemudian Eva tersenyum, senyum mengerti. “Iya ya, itu bukan peduli ya namanya. Padahal aku memang benar-benar mempedulikannya.”
Respons Eva di luar dugaan kami, tetapi kami percaya Roh Kudus ikut berperan melembutkan hatinya untuk bisa mencerna masukan kami tanpa berprasangka kalau kami sedang melawannya.
Kali ini giliran Keyla yang menepuk pundaknya pelan, “Iya Va, kita paham kok perasaan kamu. Kadang-kadang perasaan tertentu memang bisa membuat kita memikirkan hal yang tidak seharusnya kita pikirkan, bersikap yang tidak seharusnya, pun mengatakan yang tidak seharusnya dikatakan.”
Eva tersenyum lagi, kali ini tampaknya ia benar sudah menyadari dan memahaminya.
“Ternyata aku sudah salah memahami situasi ini ya. Padahal aktif melayani, rajin ikut persekutuan, tapi malah bisa punya pemikiran seperti itu. Julid sama kakak sendiri,” katanya pelan. Aku kembali mengusap bahunya lembut.
“Udah udah… Kita belajar lagi supaya lebih bijak dalam berpikir dan berkata-kata ya, kan!” kata Keyla sambil tersenyum. Eva Kembali tersenyum.
“Sekarang habisin tuh es krim kamu yang udah jadi bubur kacang merah.” Kami pun tertawa menyadarinya.
“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.” (Efesus 4:29).
Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥