Posts

Bukan di Mulut Saja

Oleh: Abyasat Tandirura

bukan-dimulut-saja

Pernahkah kamu mempercayakan suatu barang yang berharga kepada orang lain? Sayangnya, orang itu tidak hati-hati sehingga barangmu rusak. Bukannya menyesal, ia malah membela diri, “Cepat atau lambat, barang itu kan tetap bisa rusak juga.” Nyebelin banget nggak sih?

Ironisnya, entah disadari atau tidak, adakalanya kita pun berlaku sama terhadap Tuhan. Alam semesta karya-Nya seringkali tidak kita hargai. Padahal, bukan sembarangan Tuhan menciptakannya. Para peneliti mengatakan bahwa kondisi bumi ini benar-benar diciptakan sesuai dengan kebutuhan manusia. Tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh dari matahari. Temperatur, kadar oksigen, dan semua unsur alam lainnya, sangat pas dengan yang kita butuhkan untuk hidup. Semua dengan teliti dipersiapkan Tuhan lebih dulu sebelum Dia menempatkan manusia di dalamnya. Kita berdecak kagum atas semua itu. Kita menyanyikan pujian dan menaikkan doa syukur atas keagungan karya-Nya. Tapi … seberapa sering kita secara sadar memikirkan bagaimana agar alam ciptaan Tuhan tetap sehat dan indah terawat? Mungkin kita tidak ikut menebang hutan atau ikut menyebabkan polusi, tetapi bisa saja kita turut andil melalui hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari, misalnya ketika kita buang sampah sembarangan. Bisa juga kita turut andil dengan bersikap pasif, membiarkan saja kerusakan demi kerusakan alam terjadi di sekitar kita. Kita berpikir, mengapa harus memusingkan kondisi bumi yang tidak akan bertahan selamanya? Akibatnya, mulut kita mungkin memuji Tuhan, Sang Pencipta, tapi perilaku kita tidak menghargai karya-Nya. Bukankah keduanya sangat bertolak belakang? Bagaimana kita dapat memberi kesaksian kepada dunia jika tutur kata dan perbuatan kita ternyata tidak selaras?

Pemazmur mengingatkan kita bahwa “Tuhanlah yang empunya langit dan segala isinya dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mazmur 24:1). Bumi dan segala isinya bukanlah milik kita. Tuhan menciptakan semuanya dan menyebut semua yang diciptakan-Nya itu “baik” (lihat Kejadian 1). Jelas Dia memberikannya kepada kita bukan untuk dirusak atau disalahgunakan, tapi untuk dipelihara dan dirawat dengan sebaik-baiknya, agar seluruh penghuni bumi—termasuk generasi sesudah kita—dapat melihat keagungan karya-Nya.

Sampai di sini, aku menyadari bahwa berbicara tentang peduli lingkungan jauh lebih mudah daripada melakukannya. Semua orang tentu menginginkan lingkungan yang bersih dan sehat, tapi tak banyak yang sungguh-sungguh mengusahakannya terwujud. Sebagai anak muda Kristen, mungkin kita bisa mengambil inisiatif di tengah komunitas kita. Berpartisipasi bersama warga sekitar untuk kerja bakti membersihkan lingkungan misalnya. Atau, memilah sampah rumah tangga agar tidak bau dan mudah diproses sesuai jenisnya. Kita juga bisa membantu pemerintah memperbanyak ruang hijau dengan menanam pohon perindang di pekarangan rumah. Selain itu, kita pun dapat mengurangi sampah dengan mendaur ulang barang-barang bekas menjadi sesuatu yang berguna dan punya nilai ekonomi. Apa pun itu, yuk kita tunjukkan penghormatan dan kasih kita kepada Sang Pencipta dan Pemilik bumi ini melalui tindakan nyata, bukan ucapan indah di mulut saja.

Sampah dan Sakumi

Oleh: Melody Tjan

sakumi-dan-sampah

“Eitt, jangan dibuang dulu!” Sakumi meraih kotak jus yang sudah siap kulempar ke tempat sampah. Aku tersipu malu. Tinggal di asrama sekolah bersama para pelajar dari berbagai negara mengajarku tentang banyak hal. Salah satunya tentang betapa kurangnya aku memikirkan urusan membuang sampah. Sudah beberapa bulan satu asrama dengan Sakumi yang super rapi dan bersih pun belum membuatku otomatis memilah sampah menurut jenisnya. Padahal, bagi Sakumi dan teman-teman lain yang berasal dari Jepang, memilah sampah itu sudah menjadi gaya hidup mereka. Kotak bekas jus itu dicuci bersih agar tidak mengundang semut datang, lalu dikeringkan dan dilipat, dikumpulkan bersama sampah sejenis dalam satu tas. Saat ada waktu keluar, Sakumi akan membawa semua itu ke tong sampah khusus yang memang sudah disediakan pihak sekolah untuk sampah plastik dan kertas. Lumayan repot menurutku. Di Indonesia kebanyakan kita membuang segala jenis sampah di satu tempat yang sama. Mudah dan praktis. Tugas memilah sampah biarlah menjadi urusan para petugas sampah. Lagipula, kan tidak ada larangan untuk membuang segala jenis sampah di tempat yang sama, baik oleh negara atau agama. Beda dengan negeri asal Sakumi.

Namun, rupanya bukan aturan hukum di Jepang yang membuat Sakumi dan teman-temannya disiplin memilah dan membuang sampah pada tempatnya. “Kita harus memikirkan orang lain,” Sakumi menjelaskan alasan di balik kedisiplinannya. Tak seharusnya kita menciptakan sumber bau busuk dan penyakit bagi orang lain. Sebagian sampah juga mengandung bahan kimia, yang bisa saja kemudian dikonsumsi hewan, dan kemudian meracuni manusia yang memakannya. Jepang sendiri memang pernah mengalami masalah besar di tahun 1970-an, ketika sampah industrinya mencemari perairan dan menyebabkan ribuan orang keracunan saat mengkonsumsi ikan. Menanggapi hal itu, sejumlah orang lalu memulai gerakan masyarakat peduli lingkungan. Melalui “choinakai” (semacam asosiasi pengurus wilayah yang dibentuk oleh masyarakat sendiri) di tiap-tiap daerah, mereka menggalang kesadaran orang untuk mengurangi sampah (reduce), menggunakan kembali barang-barang yang masih bisa dipakai (reuse), dan mendaur ulang (recycle), demi kebaikan bersama. Dua puluh tahun setelahnya, setelah makin banyak masyarakat yang peduli, barulah pemerintah mengeluarkan undang-undang sebagai payung hukumnya. Tak heran bila warga Jepang seperti Sakumi tetap disiplin dalam mengelola sampah meski tidak sedang berada di wilayah negaranya. Di Jakarta, aku bahkan membaca sejumlah tulisan tentang komunitas orang Jepang yang berinisiatif membersihkan sampah di beberapa tempat umum secara berkala. Sikap mereka muncul dari hati yang mau peduli dengan orang lain, jauh sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Orang Jepang malu bila sampai melakukan hal-hal yang bisa merugikan sesama.

Jujur saja saat membuang sampah aku jarang memikirkan orang lain. Apakah caraku membuang sampah bisa membuat orang lain terganggu atau tidak, kena dampak yang merugikan atau tidak, aku hampir tidak pernah ambil pusing. Apakah kemudian kebiasaan buang sampahku akan membuat rantai pengolahan sampah menjadi lebih panjang atau memakan biaya yang lebih besar, itu ya bukan urusanku, tapi pemerintah dan para petugas kebersihan. Urusanku sendiri sudah terlalu banyak. Masak disuruh mikirin orang lain lagi? Sakumi dan kepeduliannya yang tinggi pada sesama membuatku banyak berpikir ulang tentang hal ini. Sebagai seorang perawat yang telah melayani di sejumlah negara melalui lembaga-lembaga kemanusiaan, Sakumi kerap menyaksikan orang-orang yang menderita gara-gara sampah yang tidak dikelola dengan baik. Sebagai seorang Kristen, Sakumi tahu, ia tidak bisa menutup mata melihat sesama yang menderita. Ya, kita yang mengaku pengikut Kristus, diminta mengasihi sesama seperti diri sendiri (Matius 22:39). Bagaimana mungkin kita mengasihi jika kita tak mau ambil peduli?

Seorang pendeta pernah ditanyai, mengapa orang Kristen harus repot-repot memelihara lingkungan jika Alkitab sendiri berkata bahwa dunia ini nantinya akan “hangus dalam nyala api” (2 Petrus 3:10)? Pendeta itu balik bertanya. Bila kamu tahu bahwa dalam 30 tahun lagi rumahmu akan hancur, apakah kamu lantas tidak akan merawat rumah itu selama kamu tinggal di situ? Bila kamu tidak merawatnya dengan baik, tentu saja kamu tidak sedang mengasihi dirimu dan orang-orang yang tinggal bersamamu. Kupikir ini jawaban yang sederhana dan bijak. Benar bahwa bumi kita akan berlalu. Namun, selama kita tinggal di atasnya, kita diberi tanggung jawab oleh Tuhan untuk mengelolanya dengan baik, untuk kebaikan kita dan sesama kita! Sungguh sebuah alasan yang jauh lebih kuat daripada sekadar rasa takut pada aturan atau rasa malu pada komunitas!

Mungkin kebanyakan kita tidak akan menjadi seorang tokoh lingkungan hidup yang mengubah wajah seluruh negeri. Tapi kita bisa memulai dari hal yang sederhana. Mengurangi sampah plastik yang katanya sukar diuraikan itu misalnya bisa dimulai dengan membiasakan diri membawa kantong sendiri saat berbelanja, atau wadah makan dan minum sendiri untuk kebutuhan yang rutin. Ikut mendukung gerakan daur ulang bisa dimulai dengan memilah sampah menurut jenisnya agar mudah diproses lebih lanjut. Bagi yang punya energi dan kreativitas lebih, bisa memikirkan cara-cara mengolah sampah menjadi bahan-bahan yang bernilai guna. Tak perlu menunggu aturan pemerintah ditegakkan. Kita bisa memulainya dari lingkungan tempat kita tinggal dan beraktivitas. Apapun bentuknya, kepedulian kita terhadap lingkungan dapat menjadi jendela bagi orang lain untuk melihat kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Tidak hanya bagi generasi ini, tetapi juga bagi generasi mendatang. Akankah aku dan kamu mau peduli?